SALAH PAHAM!"Astagfirulloh! Siapakah wanita itu?" batin Dinda dalam hati.Jujur saja dalam hatinya terbesit rasa cemburu melihat sang suami sedang terlihat asik makan bersama wanita lain. Dinda mencoba mengamati wanita itu sampai menyipitkan mata, Mengezoom gambarnya, namun tak kunjung jelas juga. Meskipun wanita itu tak bisa dengan jelas dilihatnya, yapi dia bisa memastikan bahwa tak mengenal wanita itu."Sepertinya ini bukan dedemit ondel-ondel alias Nanda! Penampilan dedemit itu pasti hebring sekali dan cetar. Ini kok kalem sekali, tampak seperti wanita berkelas. Siapa ya?" batin Dinda dalam hati.Dinda pun meneruskan pesan itu kepada Hasan. Mungkin saat ini suaminya masih sedang bekerja atau bersama wanita itu. Dinda tak kehabisan akal saat ini, dia pun segera menelpon Hasan tapi juga tidak diangkat. Hampir dua puluh lima kali dia meneleponnya tetapi sama hasilnya tak diangkat juga. Akhirnya dia menelpon ke kantor tepat Hasan bekerja untuk menanyakan kebera
PERINGATAN PERTAMA DARI MERTUA"Di manakah kau, Dek?" tanya Hasan dalam hati.Hasan mencoba bersabar menunggu sang istri. Namun di tunggu punya tunggu, Dinda juga tak kunjung datang. Hasan pun mulai khawatir dengan keberadaan istrinya itu, dia tak pernah pergi ke luar rumah dalam jangka waktu yang lama. Apalagi tak berpamitan dengannya. Hasan baru teringat bahwa tadi semua baju Dinda sudah di masukkan dalam mobil pajeronya. Bahkan sebagian besar bajunya juga ada dalam koper sana."Astagfirulloh! Apakah Dinda pulang ke rumah orang tuanya ya?" batin Hasan dalam hati. Tiba-tiba terlintas saja pikiran itu. Sebenarnya dia ingin menanyakan semua langsung kepada mertuanya. Hanya pulang ke Kediri lah yang paling memungkinkan di lakukan sang istri. Mengingat dia tak memiliki teman di kota sini. Tapi nyalinya cukup cetek juga, belum lagi jika nanti mertuanya bertanya bagaimana ceritanya Dinda bisa pergi dari rumah. Padahal jelas seorang istri itu adalah tanggung jawab Hasan sebagai suami. Namu
PERKARA PERGI TANPA IZIN SUAMI"Apakah ini ada kaitannya dengan Ibu?" tanya Hasan memandang Ibunya dengan tatapan penuh curiga."Astagfirulloh, San! Mengapa kau menuduh Ibu seperti itu? Betapa tega nya kamu dengan Ibu kandungmu! Kau sampai hati berkata seperti itu ya, San?" kata Bu Nafis berpura pura sedih sambil meninggalkan putranya itu pergi masuk kamar.Dia takut berhadapan lama-lama dengan Hasan dan terungkap semua perbuatannya. Hasan pun mengusap hanya bisa mengusap rambutnya dengan kasar. Dia berkali-kali menelpon Dinda, namun masih saja tidak bisa tersambung. Akhirnya Hasan pun merebahkan dirinya di kasur."Kau ke mana sih, Dek? Pergi dari rumah tanpa pamit! Maafkan aku ya, Dek! Membuatmu kecewa berkali- kali," gumam Hasan dalam hati.Sedangkan di sisi lain, ini pertama kalinya bagi Dinda merasakan kebebasan setelah hampir enam bulan menikah dengan Hasan. Dia bisa tertidur nyenyak tanpa gangguan dari mertuanya ataupun suaminya sendiri. Hatinya terasa lapang sekali sampai dia b
IZIN PERGI KE KEDIRI"Bahkan di katakan kalau seorang perempuan rumah tanpa suami tidak izin dengan suaminya malaikat di langit dan di bumi semua mengutuk perempuan tadi sampai dia pulang-pulang ke rumah dan meminta maaf suaminya meski dia membela diri," sambung Mama Dinda."Tapi, Mah!" sanggah Papa Dinda."Tak ada tapi- tapia, Pa! Ini sudah menjadi hukum Allah SWT! Bagaimana jika posisinya di balik, Papa yang ada di posisi Hasan. Mama tak membela Hasan, namun kita bicara masalah agama," ucap Mama Dinda tegas."Lalu apa yang harus kita lakukan, Mah?" tanya Dinda. Jujur saja dia juga tak ingin kembali ke rumah Hasan karena takut Hasan marah. Apalagi Bu Nafis, tentu akan murka melihat Dinda tak pulang dan tanpa kabar. Tak hanya itu, Dinda juga tak ingin kalau mendengar penjelasan dan pembelaan Hasan lagi. Rasanya dia sudah cukup muak dengan suaminya."Kau masih ingin di Madiun, Nduk?" tanya Mama Dinda bijak."Andai Dinda boleh memilih, maka Dinda tak ingin di Madiun, Ma! Dinda ingin iku
MENTAL ISTRI DI HANCURKAN!"Izinkan aku untuk ikut kedua orang tuaku pulang sekejap saja ke Kediri. Aku hanya ingin menenangkan diri, Mas," jelas Dinda."Dek! Bukannya Mas tak mengizinkan namun Mas ingin kau di sini dulu! Kita selesaikan semua dengan kepala dingin," jelas Hasan."Termasuk masalah wanita itu dan selingkuhanmu, Mas?" ejek Dinda."Selingkuhan?" tanya Pak Bukhori kaget.Dinda pun memutar suara di HP nya, rekaman pembicaraan Bu Nafis dan Mas Zain. Hasan terkejut Dinda melakukan hal itu. Bukannya apa- apa namun Dinda melakukan itu di hadapan orang tuanya. Tentulah nama baik dan citra Hasan di pertaruhkan dalam hal ini. Dia tak ingin mertuanya salah paham namun dia juga tak kuasa lagi melihat Dinda mengeluarkan bukti yang sangat jelas dan tegas bahkan tak bisa di bantah. "Kenapa kau lakukan itu Hasan? Hah? Kalau memang kau tak suka pada anakku, bukankah lebih baik kau pulangkan saja? Kenapa kau masih mencegahnya pulang jika kau menduakannya? Apa maumu?" tanya Pak Bukhari me
SAAT ISTRI MULAI DIAM!"Aku akan beristiqoroh dulu beberapa hari untuk memutuskan nasib rumah tanggaku ke depannya," batin Dinda dalam hati."Bahtera kapalku yang mulai terombang-ambing di usia pernikahan yang belum genap setahun, haruskah aku pertahankan semua ini atau aku harus menyerah sekarang juga pilihan mana yang bisa ku ambil?"Setelah puas menulis surat itu, Dinda pun segera pergi. Dia mengemasi beberapa pakaian yang sengaja ingin di bawanya. Kemudian dia berpamitan kepada Hasan, bagaimanapun juga dia tak ingin meninggalkan rumah dalam keadaan saling emosi. Karena dia tak menganggap ada pertengkaran dengan Hasan."Dinda pamit dulu, Mas," kata Dinda sambil mengulurkan tangan memintah tangan Hasan untuk di salami dan menciumnya penuh takdzim. "Dek, kau akan kembali kan?" tanya Hasan.Alaih- alih menjawab justru Dinda hanya mampu tersenyum dengan sejuta arti. Hati Dinda sudah lelah. Dia memilih diam dan berpasrah pada Tuhan. Biarlah Tuhan yang membawa mereka ke mana, Dinda juga
MAKNA HIDUP BERUMAH TANGGA!"Maafkan aku, Dek! Maafkan! Kembalilah padaku," pekik Hasan lirih menjerit keras dalam hatinya.Hasan segera mengambil ponselnya untuk merayu Dinda. Tak mungkin dia menelpon Dinda karena sadar saat ini Dinda tentulah masih dalam mobil bersama orang tuanya. Hasan memutuskan untuk mengirim pesan saja pada istrinya itu.Sedangkan di sisi lain Dinda pun juga menjatuhkan air matanya di pipi berkali-kali. Dia mengusapi dengan tangannya. Kedua orang tuanya mengetahui hal itu, tapi membiarkannya memuaskan diri menangis. Memberi sedikit dan ruang bagi putrinya itu. Biarlah luka itu Dinda rasakan sekarang, biarlah dia membawa pergi luka itu rasa kecewa dan semua sakit hatinya, biarlah dia menangis hari ini tetapi besok tak akan pernah lagi ada air mata pikir kedua orang tua Dinda."Sudahlah, Nduk! Kau harus banyak bersyukur diantara pedihnya musibah yang sedang menimpa rumah tanggamu. Eh kok Alhamdulillah Hasan mengizinkanmu pulang ke rumah orang tuamu," jelas Pak Bu
TENTANG OPERASI BARIATRIK!Dinda pun bingung harus menjawab apa pesan dari suaminya. Dia memutuskan untuk sementara diam saja. Dia takut terlalu banyak berharap pada suaminya bukan karena apa-apa dia sudah membuktikan sendiri bagaimana saat suaminya itu emosi dia dengan mudah mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan semuanya dan efek jangka panjangnya. Hal itu uang sebenarnya membuat Dinda semakin ragu kepada suaminya sendiri.Mobil itu pun melaju meninggalkan kota Madiun berjalan terus ke Kediri. Sesampainya di rumah orang tua Dinda. Dia pun segera merebahkan badanya di kasur kamar miliknya. Kamar yang telah membersamai nya sejak lama. Dia ingin istirahat malam ini lelah sekali rasanya hatinya merasakan semuanya. Dinda dan Hasan sama-sama saling memandang atap kamar masing-masing mencari jawaban atas segala permasalahan rumah tangganya ini."Ya Allah aku berpasrah semua padamu," batin Dinda dalam hati sambil memejamkan matanya.Keesokan harinya Dinda bangun dengan lebih segar lagi.