MENGATASI MERTUA TOXIC- KU!"Betul sekali, Ma. Dinda sangat mengalaminya. Tidak sekali dua kali, Bu Nafis tertangkap basah dan ketahuan membicarakan kejelekanku terhadap Mbak Lina tetangga depan rumah atau pada tukang sayur, pada Mbok Jum juga, ah rasanya kepada semua orang yang ditemuinya. Bahkan teman-temannya arisan juga, hampir semua mengetahui semua rahasiaku dan Mas Hasan. Seolah-olah aku ini tak pernah memiliki ruang privasi sendiri," keluh Dinda."Astagfirulloh!" gumam Mama Dinda."Memang benar, Bu. Semua dan apa yang disampaikan oleh Dinda tak mengada- ngada. Karena saya sendiri pun juga sudah mengalaminya, plek ketiplek seperti yang Dinda sampaikan. Jadi memang Ibu Nafis itu tak segan dan tak hanya menjelek-jelekkan kami di hadapan suami atau sesama ipar saja. Namun di hadapan semua orang baik langsung maupun sembunyi- sembunyi. Pokoknya totalitas, jika dihadapan saya akan menjelekkan Dinda, jika di hadapan Dinda maka dia akan menjelekkan saya, seperti itulah w
BU NAFIS DAN SEMUA TINGKAH AJAIBNYA!"Ibu mertuaku akan merasa terdzolimi dan berkata seolah tidak ada yang membuat mertua bahagia, padahal sebenarnya kami anak-anaknya sudah berusaha membahagiakannya semaksimal mungkin, Ma. Tapi entah mengapa Bu Nafis selalu merasa kurang-kurang dan kurang, Mah! Bahkan akhir-akhir ini ada satu hal konyol yang mungkin Mbak Eva pun belum tahu," gumam Dinda."Hah? Apa itu, Dek?" sahut Eva penasaran. Dia benar- benar tak tahu apa- apa kali ini. Rasanya kemarin saat bersama sang suaminya dan Ibu mertuanya menyelesaikan semua tanggungan di Bank, semua berjalan baik- baik saja. Bahkan Ibu mertuanya tampak anteng- anteng saja tak menunjukkan gejala akan melakukan hal konyol atau tingkahnya yang ajaib. Bahkan sang Ibu cenderung diam juga, lebih banyak diam saja dan tak membicarakan masalah lain dan dia juga tidak tahu rencana apa yang ingin dilakukan ibu Nafis mertuanya itu. Tapi jika Dinda mengatakan hal seperti itu, tentulah rencana itu
MERTUA YANG MENCINTAI MENANTU? BULSHIT!"Ketiga, Tidak percaya diri. Jelas. Orang social climbertidak memiliki percaya diri yang tinggi. Dia akan percaya diri saat menggunakan apa yang bermerk dan terkenal serta diakui publik. Pada dasarnya orang tersebut memiliki sifat rendah diri. Social climber bisa terjadi pada laki-laki maupun perempuan," lanjutnya."Apakah Bu Nafis masuk dalam semua kategori itu?" tanya Mama Dinda."Benar!" sahut Dinda dan Mbak Eva secara bersamaan kemudian mereka tertawa bersama."Mengingat social climberini merupakan kelainan sosiologis dan psikologis, bisa dikatakan orang yang mengalami ini mengidap penyakit kejiwaan. Hal ini disebabkan karena orang tersebut tidak berperilaku sebagaimana dirinya sendiri. Tapi melakukan apa yang dilakukan orang lain supaya sama. Ciri-ciri orang yang memiliki kelainan tersebut akan terlihat Gelisah. Dia akan gelisah setiap saat. Apalagi setiap komunitasnya terlihat menggunakan barang bermerk tertentu. Akan sus
MENCOBA MENGERTI BU NAFIS DAN TANTRUMNYA!"Dari penjelasan kalian semua sebenarnya yang paling menyeramkan adalah saat mereka berpura-pura mencintai para menantunya. Coba pikirkan lagi apakah mertua kalian Bu Nafis itu berpura-pura mencintaimu? Ketika di hadapan anaknya, mungkin? Atau Bu Nafis mengatakan bahwa dia mencintai para menantunya di hadapan semua orang? Dan melakukan apa saja, namun tidak berusaha untuk menghabiskan waktu bersama kalian atau mengenal kalian?" tanya Mama Dinda."Benar, Bu. Tapi Bu Nafis selalu berkata kepada teman- temannya bahwa kami menantunya yang tak mau bergaul dengannya. Padahal Ibu Nafis sendiri yang sibuk dengan dunianya sendiri, Bu. Lalu bagaimana cara menghadapi mertua toxic, Bu?" tanya Eva."Memang seringkali, perilaku toxic mertua merupakan cerminan dari sesuatu yang lebih dalam, seperti rasa takut kehilangan anak mereka, hingga trauma antargenerasi. Mendiskusikan perilaku mertua kalian kepada dengan pasangan kalian terkadang dapat membantu menjel
JADI MISKIN DI HADAPAN MERTUA!"Nah, inilah yang menyebabkan mungkin baik suamimu, Zain. Ataupun suami Dinda itu kaget, mereka bingung dan syok mengapa tiba-tiba istrinya menjadi seorang wanita yang memberontak? Percayalah semua itu ada sebabnya," ucap Mama Dinda. Jika mertua sudah benar-benar menghalangi waktu dan ruang gerak, maka sebagai pasangan harus mendiskusikan masalah ini terlebih dahulu dengan pasangan. Selain itu, selidiki pula alasan di balik perilaku mertua. Terkadang, ketika kita memiliki pemahaman yang lebih baik tentang motif seseorang, hal ini akan membantu untuk memfasilitasi percakapan yang saling menghormati tentang masalah tersebut. Jelaskan pada mertua, bahwa meskipun sebagai menantu senang menghabiskan waktu bersama mereka, penting bagi menantu dan pasangan untuk memiliki waktu sendiri, hal ini dilakukan untuk membantu meredakan intervensi. Namun, jika menantu merasa anggota keluarga pasangan bersikap kasar, cobalah batasi kontak mereka dengan m
KEDATANGAN HASAN DAN PAK HENDI!"Hus! Jangan bicara seperti itu, Nduk. Tidak ada kata penyesalan loh, memang ini sudah jalan takdirmu kok. Jadi kau bisa mengambil pelajaran kedepannya nanti. Jika suatu saat kau memiliki anak jangan terlalu membebaskannya memilih jodoh seperti Papa dan Mama dulu, terlalu mempercayakan kepada anak dan ingin anak bahagia, eh tapi nyatanya apa?" tanya Mama Dinda."Apakah sebegitu kecewanya Papa dan Mama?" tanya Dinda. "Apa? Kecewa? Bohong rasanya jika Mama bilang tak kecewa. Rasa kecewa itu pasti ada. Tapi mau bagaimana lagi? Bukankah Hasan lelaki pilihanmu sendiri, Nduk?" sahut Mama Dinda. Dinda pun menganggukkan kepalanya, karena memang Hasan adalah lelaki pilihannya sendiri. Padahal dari awal Papa nya alias Pak Bukhori sudah memperingatkan Dinda. Salah satu upaya orangtua yang sangat mulia adalah memilihkan pasangan yang baik untuk anaknya yang hendak menikah. Ini tentu sangat baik sebagai bentuk kehati-hatian orang tua agar anakny
DRAMA BARU"Waalaikumsalam, ada apa kok tumben telepon, Mbok? Apakah ada tamu yang penting datang?" tanya Bapak Dinda."Pak gawat, Pak! Gawat!" pekik Mbok Jum tertahan."Kenapa, Mbok? Ada apa?" tanya Papa Dinda heran."Ini Mas Hasan, Pak. Mas Hasan suami Mbak Dinda datang kemari," bisik Mbok Jum lirih.'Deg' Pak Bukhori kaet mendengar ucapan Mbok Jum. Dia tak mengira bahwa menantunya itu memiliki keberanian juga medatanginya ke rumahnya. Dia pikir Hasan tak berani datang."Apakah mungkin Ibu mertuanya juga datang ya?" batin Pak Bukhori."Apa dia datang sendiri ke sana, Mbok? Atau sama siapa, Mbok?" tanya Pak Bukhori penasaran."Entahlah, Pak. Tapi dia datang tak sendiri, memang dia datang bersama seorang lelaki setegah baya. Katanya tetangganya, Pak. Mereka hanya berdua naik mobil ke sini, tidak tahu mobil siapa. Warnanya silperr, Pak," ujar Mbok Jum ketakutan dengan bahasa medoknya."Pak, saya harus mengatakan apa? Bapak tahu tidak, tadi mereka sudah bertanya dimana Bapak kok tidak
DIAM BUKAN EMAS! Dinda yang memang tidak tahu kedatangan suaminya cukup kaget. Begitu pun dengan Hasan yang melihat Dinda datang, bahkan taka lama motor Mbak Eva menyusul di belakang."Ada apa ini?" tanya Hasan."Kenapa dia ada di sini, Pa?" tanya Dinda."Sttt! Kau diam saja, Nduk. Mari Papa antar ke atas, biar Papa nanti yang menjelaskan semua pada Hasan. Kau tak usah menjawab apapun," perintah Pak Bukhori.Melihat Dinda sang istri yang tak menjawab, Hasan pun mendekati sang istri yang berjalan dengan di gandeng Papa dan Mama nya. Mbok Jum dari belakang pun langsung datang menyambut kedatangan mereka."Ambil semua barang di bagasi, Mbok!" perintah Pak Bukhori."Nggeh, Dek," jawab Mbok Jum."Ayok sini tak bantu, Mbok," ucap Eva yang tiba- tiba datang di samping mereka setelah motornya di parkir di belakang."Dek sebenarnya kau dari mana, Dek?" tanya Hasan."Mengapa kau di sini sih, Mas!" jawab Dinda dengan sinisnya."Jangan mendekat!" pekik Dinda saat Hasan hendak mendekatinya."Ast
ENDING YANG BAHAGIA!"Ya Allah apapun yang terjadi aku ikhlas, akan semua keputusanmu. Berikan yang terbaik," kata Dinda dalam hati.Tanpa membuang waktu lagi dia mengetes dan hasilnya adalah garis dua. Dinda langsung memekik, memakai bajunya dengan baik dan keluar dari kamar mandi. DIa langsung bersujud saat itu juga, dia merasa senang sekali."Ya Allah ternyata kau adalah sebaik-baiknya pengatur! Di saat semuanya sudah damai saat seperti ini kau memberikanku kepercayaan lagi dan di saat ini pula itu bersama pak Hendi akan segera umroh. Alhamdulillah! Alhamdulillah ya Allah," pekik Dinda tertahan dalam isak tangisnya.Dia pun segera menelpon kedua orang tuanya. Dia ingin membagi kabar kebahagiaan itu pertama kali dengan kedua orang tuanya. Untung tak lama telpon itu diangkat."Assalamualaikum, Papa!" sapa Dinda."Waalaikumsalam, Nduk," jawab Pak Bukhori."Papa, sedang sibukkah?" tanya Dinda."Kenapa kok sepertinya kau terdengar sangat gembira sekali. Ada berita membahagiakankah?" s
HAMIL?"Ya, lama-kelamaan aku juga ikhlas. Aku selalu berpikir positif dan mengambil hikmahnya. Bayangkan saja betapa akan mengasyikkan nanti hidup kita berdua setelah menjadi saudara tiri dan kau serta aku bisa berbaikan. Ini akan sangat menguntungkan sekali bagi kita, karena kita bisa menginap di rumah masing-masing sesuka hati lagi. Ide bagus kan?" bujuk Ifah.Dinda salut sekali pada adik iparnya itu, Ifah nampak sekali mencoba untuk lebih bijak dan dewasa. Hal itu membuat Dinda dan Hasan tersenyum."Nah kau dengar sendiri kan, Nduk? Ifah saja sudah bisa berdamai dengan keadaan, kau sampai kapan mau begini terus? Percayalah Ibumu juga ingin melihat Papa bahagia dan mungkin saat ini Papa bisa bahagia jika bersama Bu Nafis. Bukannya sebagai Bapak egois tetapi Papa membutuhkan teman saat tua. Kau juga akan memiliki kehidupan sendiri nantinya. Lalu bagaimana kalau kita tua? Papa juga membutuhkan sosok bu Nafis sebagai ibu pengganti kalian," terang Pak Hendi."Jadi tolong terimalah," l
AWAL BARU KEBAHAGIAAN"Benarkah , Pak? Sungguh rasanya ini masih seperti mimpi, Mas. Alhamdulillah ya Allah," kata Bu Nafis langsung luruh di lantai.Da bersujud syukur, tak pernah terbayangkan di dunia bisa menginjak tanah suci bersama suami barunya itu. Dia sekarang benar-benar merasa sangat dicintai dan sangat bahagia meskipun pernikahannya dengan Abah dulu cukup bahagia namun dia tidak pernah mencintai Abah sepenuhnya. Beda halnya dengan Pak Hendi, dia benar-benar mencintai lelaki itu. Pak Hendi pun membiarkan sang istri menikmati sujud syukurnya, setelah selesai dia merengkuh sang istri. "Semua telah berlalu, semua telah usai. Buang semua traumamu, buang semua marahmu terhadap anak-anakmu, terhadap menantumu. Hubungan semua yang buruk-buruk lupakan, kita mulai semuanya baru. Kita akan pergi umroh bersama, kita berpamitan kepada anak-anak ya," pinta Pak Hendi.Bu Nafis memeluk Pak Hendi dan menangis sesegukan. Dia benar-benar tak kuasa menahan tangisnya.
HADIAH DARI SUAMI BARU"Bu? Apa Ibu tidak berjualan lagi?" tanya Dinda saat dia melihat dapur yang masih bersih."Tidak, Pak Hendi melarangku untuk jualan," jawab Bu Nafis.Mertuanya itu masih meminum kopinya di meja makan, sedangkan Pak Hendi entah kemana.Pamit pulang ke rumahnya. Dinda menggeret kursinya. "Maafkan Dinda ya, Bu. Selama ini Dinda yang egois, Dinda yang banyak salahnya sebagai menantu," kata Dinda."Maafkan Ibu juga," ucap Bu Nafis lirih. Terlihat dari wajahnya sepertinya dia juga menyesal. "Terkadang sebagai seorang ibu aku merasa belum rela jika anak lelakiku mencintai wanita lain bahkan terkadang aku merasa iri. Bagaimana bisa anakku memperlakukanmu begitu istimewa sedangkan akulah yang melahirkannya, akulah yang menyusuinya, akulah yang selalu membersamainya sampai dia besar. Ketika dia sudah besar aku harus melepaskannya, rasanya aku masih belum ikhlas. Aku tahu ini salah, tetapi itulah yang aku rasakan sekarang," kata Bu Nafis menghela napasnya panjang."Bu...
ORANG TUA PASTI INGIN YANG TERBAIK UNTUK ANAKNYA"Hahaha lalu kau percaya begitu saja?" tanya pak Hendi. Hasan pun mengangguk dengan polosnya. Membuat Dinda dan Pak Hendi gemas sendiri namun merasa lucu dengan tingkah Hasan."Mana ada online sembako yang bisa menggaji karyawannya sebanyak itu? Bahkan bisa untuk mencukupi dan menambal semua kekurangan kebutuhan keluarga kalian. Apakah kau pernah membelikan bensin kendaraanmu itu, San?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Lalu biaya servis? Siapa yang menanggungnya?" selidiknya."Dinda, Pak," jawab Hasan lemah."Lalu untuk kekurangan-kekurangan kebutuhan harian kalian? Bahkan untuk makan sehari-hari, biasanya siapa yang mennambal sulam?" cerca Pak Hendi."Dinda," sahut Hasan."Lalu, apakah selama ini Dinda pernah menuntutmu atau keluarga Dinda pernah menuntutmu dengan semuanya berkaitan dnegan nafkah atau uang?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Menurutmu kenapa mereka tidak menuntutmu? Bukankah itu a
MELEPAS MESKIPUN BELUM IKHLAS"Terima kasih karena Ibu sudah bicara seperti itu kepada Dinda. Sungguh Hasan tak mengira itu. Ibu bisa meminta maaf kepada Dinda dengan tulus. Hari ini rasanya adalah hari yang paling membahagiakan untuk Hasan," kata Hasan. Bu Nafis hanya tersenyum kecut mendengar semua ucapan Dinda dan diam. Begitupun dengan pak Hendi, lelaki itu lebih senang memperhatikan mereka. Ada bahagia yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata melihat keluarga barunya ini sedang mencoba memperbaiki semuanya."Kau ke sini tulus kan Nafis?" tanya pak Hendi."Iya," jawab Bu Nafis. "Nafis, ingatlah. Selama ini banyak hal dan kebaikan yang diperbuat Dinda untuk keluargamu. Jadi sekarang tak ada salahnya jika kau ganti membahagiakan Dinda. Toh Dinda tak pernah meminta banyak padamu kan? Dia tak minta hartamu, dia juga tak meminta kau menjadi ini dan itu. Dia hanya ingin mencoba membina keluarga sendiri dengan Hasan putramu, tak ada yang salah sebenarnya" ucap Pak Hendi."Nah memisah
RESTU ORANG TUA SANGAT PENTING BAGI ANAK MANTUNYA!"Pak, Bu," panggil Dinda lirih. Hasan tersedak."Uhukkk," Hasan langsung terbatuk."Kenapa to, San? Kok sampai tersedak begitu? Mbok ya kalau makan itu hati-hati. Tak akan ada yang meminta makananmu," tegur Bu Nafis dengan sigap mengulurkan air minum dalam gelas.Hasan dengan segera meminumnya, Dinda yang melihat itu hanya menghela nafasnya panjang. Lagi dia merasa, bahwa dia lah yang harus bersikap tegas sekarang. Kalau saja dia tak tegas maka yang rugi akan dirinya sendiri."Ada apa?" tanya pak Hendi."Begini, Pak. Maaf sebelumnya jika pagi-pagi Dinda langsung membahas pembahasan berat seperti ini. Tapi Dida tak dapat menahannya lagi. Karena sepertinya suami Dnda ini tidak sanggup mengatakannya," ucap Dinda. Hasan hanya mampu menundukkan kepalanya."Katakanlah, Nduk," perintah Pak Hendi."Dulu kan Mas Hasan pernah berjanji kepada Dinda untuk membawa Dinda mengekost dan membina hubungan rumah tangga sendiri tanpa ikut campur tangan
IZIN PERGI DARI RUMAH"Kau sudah berkemas, Dek? Pagi sekali. Bukankah kita bisa pindahan nanti saja saat aku pulang bekerja?" tanya Hasan."Tentu saja, Mas. Kita bisa kok pindahan nanti dan aku juga tidak menuntut untuk pindahan sekarang juga," kata Dinda menyahut."Lalu kenapa kau sudah bersiap dan berkemas seperti itu? Toh pindahnya kan masih nanti," ucap Hasan."Tak apa-apa, Mas. Aku hanya sedang senang saja, kita akhirnya bisa pindah. Aku tak ingin kau berubah pikiran, maka dari itu aku sudah menyiapkan semuanya. Kita tinggal berangkat nanti setelah kau pulang dari bekerja," teramg Dinda. Hasan menghela napasnya panjang. "Tapi aku belum berpamitan dengan ibu atau Pak Hendi Dek. Nanti kita pahami dulu ya," minta Hasan."Iya, Mas," sahut Dinda tanpa keberatan sedikitpun."Apa Kita tak bisa sedikit lebih lama lagi di sini, Dek?" gumam Hasan lirih namun masih bisa terdengar oleh Dinda."Tidak, Mas. Seperti janjimu dulu. Aku hanya menuntut apa saja yang sudah kau katakan padaku di dep
MINTA MAAF SEBAGAI ORANG TUA?"Selama ini aku salah Pak," gumam Bu Nafis."Nafis, kau itu harus menyadarinya kalau kau yang salah saat ini. Jangan semua kau nilai dari keuangannya saja, kau ini terbiasa menilai semua dari uang dan harta. Kita tidak tahu orang itu sebenarnya kaya atau tidakk. Karena apa? Banyak orang yang berpura-pura kaya namun tak sedikit orang juga yang masih berpura-pura miskin agar tak terlihat kaya dan banyak di hutangi orang," jawab Pak Hendi."Kita tidak dapat menilai semua hanya dari harta, tapi lihatlah. Coba kau ingat lagi, kebaikan apa yang sudah Dinda buat selama ini untukmu? Apa yang dilakukan untuk keluargamu juga? Kau bahkan juga menggadaikan mobil miliknya padaku. Apakah itu benar? Dinda masih legowo juga lo. Nah, coba kau renungi semua. Itu yang penting," tegur Pak Hendi."Lalu aku harus bagaimana, Pak?" tanya Bu Nafis. "Jika aku menjadi dirimu maka aku akan minta maaf. Jadi saranku mending sekarang kau minta maaflah kepada Dinda," jawab Pak Hendi."