DEBAT MERTUA VS MENANTU!"Sebab, faktanya rata-rata pria adalah makhluk yang kurang peka. Mereka lebih mengandalkan logika dibandingkan dengan perasaan. Jangan sampai pernikahanmu hancur hanya karena enggan untuk mengkomunikasikan masalah sekecil apapun itu," jelas Hasan."Sudahlah Hasan, jangan berdebat hal yang kiranya tak penting sekarang. Lebih baik berkacalah dulu sebelum kau berkata seperti itu," tegur Pak Bukhori yang cukup tersinggung atas ucapan sang menantu.Bagi Pak Bukhori Hasan berkata seperti itu tanpa dia sadari bahwa dirinya sendiri selama ini menjadi suami belumlah sempurna namun menuntut istri yang sempurna dan mengerti dirinya. Bahkan Pak Bukhori merasa kali ini Hasan kelewat batas menegur sang istri di hadapn orang tuanya langsung. Andai saja saat ini anaknya yang salah mungkin dia akan terima saja, tapi saat ini dia tahu yang salah bukanlah anaknya namun keluarga besannya."Maksudnya, Pak?" tanya Hasan mulai tersinggung dengan ucapan mertuanya. Mungkin karena lel
KENYATAAN DAN PUKULAN TELAK! Sepersekian detik dia baru sadar mengingat sang istri sekarang sedang hamil muda. Hasan mengusap wajahnya dengan kasar."Astaghfirullahaladzim!" pakik Hasan tertahan."Jangan begitu kau, Nak! Istigfar. Berpikir yang positif saja," tegur Pak Hendi. Seketika Hasan terdiam, pikirannya kacau sekarang. Untunglah tak lama pak Hendi Bukhori turun dari lantai dua. Dia turun sendiri tak ditemani dengan sang istri kemudian menyapa Hasan dan pak Hendi bersalaman sejenak dengan para tamunya."Maaf ya kalau saya lama," ujarnya."Tak apa-apa Pak," sahut Pak Hendi."Mbok sirup untuk tamu-tamu jangan lupa di keluarkan. Siang- siang begini paling enak minum sirup. Tolong buatkan ya," perintah Pak Bukhari melihat para tamunya hanya di suguhi secangkir kopi. Kepada tamu yang berkunjung, sangat disarankan menghidangkan makanan dan minuman yang terbaik. Akan tetapi, jangan sampai ketika menghidangkan makanan yang terbaik, kita jadi menyulit
PAK BUKHORI MENJALANKAN TAKTIKNYA!"Pertanyaan yang sebenarnya sudah saya pikirkan jauh- jauh hari itu, Pak. Jujur saja sebagai seorang Bapak rasa memiliki anak perempuan itu sangat kuat, namun jika dia mencintai seoraang lelaki namun kita tidak menyukainya dan sang anak tetap mengotot ingin menikah dengannya apa yang bisa di lakukan sebagai orang tua selain menerima, Pak? Bukankah semua akan orang tua korbankan? Jangan kan hanya perasaan, hati dan nyawa pun rela di berikan Bapak ke anaknya," imbuh Pak Hendi."Apakah Papa tak menyukai Hasan sejak awal?" tanya Hasan."Sudah, Le. Diam dulu, biar mertuamu menjelaskan semuanya," tegur Pak Hendi. Meskipun Hasan sakit hati, tak terima, dan sejuta tanya ada di benaknya namun dia hanya bisa diam sekarang ketika Pak Hendi sudah menegurnya. Dia tak bisa lagi menyaggah mertuanya meskipun hatinya sangat ingin tahu alasan Bapak mertuanya seperti itu. Hasan bahkan hanya bisa istigfar saja. Dia memposisikan dirinya sebagai Dinda."Nah, saya lanjutk
SIDANG LEWAT VIDEO CALL"Ya mungkin ini berat tapi mau bagaimana lagi? Karena bukan kita sekali lagi yang menjalankan rumah tangga itu, tapi Putri kita, anak kita dialah yang lebih tahu mana yang baik mana yang buruk dalam rumah tangganya. Yang penting saya akan melihatnya dari dua sisi, jika memang itu pilihan yang terbaik untuk putri saya dan putri saya ikhlas menjalaninya, ya Monggo mungkin itu memang sudah garis tapi yang harus di lakukannya. Mungkin ini adalah cara Gusti Allah agar putri saya bisa mencari pahala dengan lebih mudah yaitu ujiannya pada suaminya, begitu Pak Bukhari," jelas pak Hendi dengan bijak. Pak Bukhori menghela nafasnya panjang. Dia sedang mempertimbangkan semua ucapan Pak Hendi, jujur saja apa yang di katakan Pak Hendi memang tak salah. Bahkan semua nya benar, hanya saja hatinya masih saja sakit dan tak terima sebagai sosok seorang Ayah yang memang membesarkan putrinya."Baiklah karena saya menghormati pak Hendi dan saya mempertimbangkan semua saran pak Hend
AKU MENANTU BUKAN MADUMU, BU!"Sedangkan Ifah tidak ada siapa- siapa. Dia hanya memiliki saya saja tak ada ibunya tak ada orang lain lagi selain saya saat itu, Jadi saya harus menemaninya sampai melarut malam tak mungkin saya meninggalkan Ifah adik saya sendirian...""KARENA LEBIH PENTIING KELUARGAMU, MAS! DARI PADA AKU ISTRIMU!" teriak Dinda."Nduk! Sabar," teriak Mama Dinda memeluknya langsung. Pecah tangis Dinda, lagi Hasan hanya bisa tertegun melihat reaksi yang di berikan oleh istrinya. Dia tak mengira Dinda akan semarah ini padanya, mengingat selama ini istrinya lah yang lebih mencintainya dari pada dirinya."Tidak, Sayang. Dengarkan, Dek! Kau salah paham, tapi bukan pula ini berarti aku tak mencintaimu, Dinda! Maksudku tidak seperti itu, tapi kondisinya lah yang memang benar-benar mengharuskan aku untuk tidak ke sini. Aku pun baru pulang tadi subuh setelah itu langsung mengajak Pak Hendi untuk segera pergi ke Kediri untuk segera menyelesaikan masalah
HANYA ORANG TUA YANG MEMANG PEDULI!"Bagaimana aku rasa itu adil, Dek," kata Hasan. Melihat Dinda yang terus terdiam, Pak Hendi pun akhirnya mengambil inisiatif sendiri. Dia tahu jika terus begini tak akan ada penyelesaian. Apalagi dia juga tak ingin jika rumah tangga Hasan dan Dinda harus berakhir mengingat Pak Hendi sendiri sudah menganggapnya sebagai anak dan menantunya sendiri."Nduk, Dinda! Dengarkan Pak Hendi ya!" perintah Pak Hendi."Nggeh, Pak," sahut Dinda."Nah, sekarang Pak Hendi akan menjelaskan padamu. Dinda, Hasan, Pak Hendi itu sangat sayang pada kalian berdua. Sudah tak anggep seperti anakku sendiri kalian berdua itu. Kau juga sudah kuanggap sebagai anakku sendiri, Eva. Begitupun dengan Zain, Ifah, maupun Alif dan Andi. Kalian semua, aku juga sangat menyayangimu dan menyayangi Hasan. Aku tak ingin kalian kenapa-napa, kau percaya pada Pak Hendi kan?" tanya Pak Hendi. Dinda pun menganggukkan kepalanya, begitupun Hasan dan Eva."Nah sekarang jika memang kau percaya kepad
BERKACALAH HASAN!"Hahaha. Kau bercanda ya, Mbak? Kau menakutiku?" tanya Hasan dengan mata nanar dan tak percaya."Legowo, San! Ikhlas," ucap Mbak Eva."Bohong. Bohong kan, Pa?" selidik Hasan. Pak Bukhori hanya menghela nafas panjang. Semua orang terdiam, otomatis Hasan langsung paham jika memang apa yang di katakan oleh Pak Bukhor adalah satu kenyataan. Hasan langsung mengusap wajahnya kasar."Kau jangan salahkan Dinda, Hasa. Berkacalah ini semua juga karena dirimu. Kau yang membuat dirinya seperti ini. Ini semua karena ulahmu, andai saja jika Ibumu tak melakukan seperti ini, tak pastikan anakmu selamat. Dinda itu setress. Dia itu tertekan!" bentak Eva."Nduk! Sabar," perintah Pak Bukhori."Hasan ini semua musibah. Tolong kuatkan Dinda. Kau sebagai suami harus memastikan bahwa dia sudah bisa menerima dan menahan diri saat berhadapan dengannya, dia yang sedang mengalami kesedihan mendalam. Alih–alih menghibur, bisa jadi dirinya sekarang memiliki perasaan
BERSIMPUH DI HADAPAN MERTUA!"Biarkan aku yang merawatnya, biarkan aku yang menjaganya. Jangan sampai kejadian seperti ini terulang kembali. Aku tahu anak itu adalah gusti Allah, tapi kan kita sebagai manusia juga harus menjaganya sebisa mungkin. Dua kali aku mempercayakan kehamilan Dinda di rumah kalian tapi endingnya tak memuaskan. Anakku harus merasakan kesakitan, fisik dan mentalnya. Menurutmu sebagai suami bagaimana Hasan?" sindir Pak Bukhori."Tapi Pa, pekerjaan saya kan di Madiun," sanggah Hasan."Lalu di mana masalahnya? Yang bekerja kan dirimu, Le. Bukan Dinda. Jadi menurutku ini tak ada kaitannya. Toh kau lelaki kan? Tidak hamil, kau bisa mengunjungi istrimu sebulan sekali atau dua minggu sekali. Senyamanmu saja. Apakah kau tak lihat sekarang?" sindir Pak Bukhori. Hasan terdiam sekarang."Tak tanggung-tanggung dan tak sekali dua kali lo, Le. Apakah harus sampai tiga kali dia kehilangan anaknya sendiri? Bukankah itu sudah cukup untuk pembelajaran kalian? Buk