SIDANG LEWAT VIDEO CALL"Ya mungkin ini berat tapi mau bagaimana lagi? Karena bukan kita sekali lagi yang menjalankan rumah tangga itu, tapi Putri kita, anak kita dialah yang lebih tahu mana yang baik mana yang buruk dalam rumah tangganya. Yang penting saya akan melihatnya dari dua sisi, jika memang itu pilihan yang terbaik untuk putri saya dan putri saya ikhlas menjalaninya, ya Monggo mungkin itu memang sudah garis tapi yang harus di lakukannya. Mungkin ini adalah cara Gusti Allah agar putri saya bisa mencari pahala dengan lebih mudah yaitu ujiannya pada suaminya, begitu Pak Bukhari," jelas pak Hendi dengan bijak. Pak Bukhori menghela nafasnya panjang. Dia sedang mempertimbangkan semua ucapan Pak Hendi, jujur saja apa yang di katakan Pak Hendi memang tak salah. Bahkan semua nya benar, hanya saja hatinya masih saja sakit dan tak terima sebagai sosok seorang Ayah yang memang membesarkan putrinya."Baiklah karena saya menghormati pak Hendi dan saya mempertimbangkan semua saran pak Hend
AKU MENANTU BUKAN MADUMU, BU!"Sedangkan Ifah tidak ada siapa- siapa. Dia hanya memiliki saya saja tak ada ibunya tak ada orang lain lagi selain saya saat itu, Jadi saya harus menemaninya sampai melarut malam tak mungkin saya meninggalkan Ifah adik saya sendirian...""KARENA LEBIH PENTIING KELUARGAMU, MAS! DARI PADA AKU ISTRIMU!" teriak Dinda."Nduk! Sabar," teriak Mama Dinda memeluknya langsung. Pecah tangis Dinda, lagi Hasan hanya bisa tertegun melihat reaksi yang di berikan oleh istrinya. Dia tak mengira Dinda akan semarah ini padanya, mengingat selama ini istrinya lah yang lebih mencintainya dari pada dirinya."Tidak, Sayang. Dengarkan, Dek! Kau salah paham, tapi bukan pula ini berarti aku tak mencintaimu, Dinda! Maksudku tidak seperti itu, tapi kondisinya lah yang memang benar-benar mengharuskan aku untuk tidak ke sini. Aku pun baru pulang tadi subuh setelah itu langsung mengajak Pak Hendi untuk segera pergi ke Kediri untuk segera menyelesaikan masalah
HANYA ORANG TUA YANG MEMANG PEDULI!"Bagaimana aku rasa itu adil, Dek," kata Hasan. Melihat Dinda yang terus terdiam, Pak Hendi pun akhirnya mengambil inisiatif sendiri. Dia tahu jika terus begini tak akan ada penyelesaian. Apalagi dia juga tak ingin jika rumah tangga Hasan dan Dinda harus berakhir mengingat Pak Hendi sendiri sudah menganggapnya sebagai anak dan menantunya sendiri."Nduk, Dinda! Dengarkan Pak Hendi ya!" perintah Pak Hendi."Nggeh, Pak," sahut Dinda."Nah, sekarang Pak Hendi akan menjelaskan padamu. Dinda, Hasan, Pak Hendi itu sangat sayang pada kalian berdua. Sudah tak anggep seperti anakku sendiri kalian berdua itu. Kau juga sudah kuanggap sebagai anakku sendiri, Eva. Begitupun dengan Zain, Ifah, maupun Alif dan Andi. Kalian semua, aku juga sangat menyayangimu dan menyayangi Hasan. Aku tak ingin kalian kenapa-napa, kau percaya pada Pak Hendi kan?" tanya Pak Hendi. Dinda pun menganggukkan kepalanya, begitupun Hasan dan Eva."Nah sekarang jika memang kau percaya kepad
BERKACALAH HASAN!"Hahaha. Kau bercanda ya, Mbak? Kau menakutiku?" tanya Hasan dengan mata nanar dan tak percaya."Legowo, San! Ikhlas," ucap Mbak Eva."Bohong. Bohong kan, Pa?" selidik Hasan. Pak Bukhori hanya menghela nafas panjang. Semua orang terdiam, otomatis Hasan langsung paham jika memang apa yang di katakan oleh Pak Bukhor adalah satu kenyataan. Hasan langsung mengusap wajahnya kasar."Kau jangan salahkan Dinda, Hasa. Berkacalah ini semua juga karena dirimu. Kau yang membuat dirinya seperti ini. Ini semua karena ulahmu, andai saja jika Ibumu tak melakukan seperti ini, tak pastikan anakmu selamat. Dinda itu setress. Dia itu tertekan!" bentak Eva."Nduk! Sabar," perintah Pak Bukhori."Hasan ini semua musibah. Tolong kuatkan Dinda. Kau sebagai suami harus memastikan bahwa dia sudah bisa menerima dan menahan diri saat berhadapan dengannya, dia yang sedang mengalami kesedihan mendalam. Alih–alih menghibur, bisa jadi dirinya sekarang memiliki perasaan
BERSIMPUH DI HADAPAN MERTUA!"Biarkan aku yang merawatnya, biarkan aku yang menjaganya. Jangan sampai kejadian seperti ini terulang kembali. Aku tahu anak itu adalah gusti Allah, tapi kan kita sebagai manusia juga harus menjaganya sebisa mungkin. Dua kali aku mempercayakan kehamilan Dinda di rumah kalian tapi endingnya tak memuaskan. Anakku harus merasakan kesakitan, fisik dan mentalnya. Menurutmu sebagai suami bagaimana Hasan?" sindir Pak Bukhori."Tapi Pa, pekerjaan saya kan di Madiun," sanggah Hasan."Lalu di mana masalahnya? Yang bekerja kan dirimu, Le. Bukan Dinda. Jadi menurutku ini tak ada kaitannya. Toh kau lelaki kan? Tidak hamil, kau bisa mengunjungi istrimu sebulan sekali atau dua minggu sekali. Senyamanmu saja. Apakah kau tak lihat sekarang?" sindir Pak Bukhori. Hasan terdiam sekarang."Tak tanggung-tanggung dan tak sekali dua kali lo, Le. Apakah harus sampai tiga kali dia kehilangan anaknya sendiri? Bukankah itu sudah cukup untuk pembelajaran kalian? Buk
PINDAH ATAU RESIGN?"Maafkan aku, Pah! Maafkan," kata Hasan bersimpuh mencium kaki mertuanya."Maafkan saya jika selama saya menjadi suami Dinda, saya masih banyak kesalahan. Sehingga membuat Dinda seperti ini, Pah. Hasan sadar juga, selama ini Hasan masih belum bisa membahagiakan Papa dan Mama. Maafkan saya jika selama saya menjadi suami Dinda saya masih sering menyusahkan, belum bisa membahagiakan Dinda," kata Hasan dengan nada suara bergetar menahan tangisnya."Terima kasih juga Papa dan Mama sudah mau berbesar hati dan memberikan Hasan kepercayaan lagi untuk membawa Dinda pulang ke rumah. Hasan tahu ini tentu itu tidak mudah dan Papa mau melakukannya. Terima kasih Ya Pa, terima kasih banyak. Hanya itu yang bisa Hasan ucapkan sekarang. Doakan rumah tangga Hasan agar selalu awet dan bahagia kayaknya Papa dan Mama, bisa rukun sampai tua. Hanya itu yang berani Hasan minta sekarang kepada Papa dan Mama," ucap Hasan tulus. Pak Bukhari hanya menganggukkan kepalanya. DI
KISAH MASA LALU PAK HENDI DAN BU NAFIS!"Nah, jika kau berpikir sampai sana, maka Bapak sebaliknya. Bapak hanya takut saja, bagaimana jika Hasan justru mengundurkan diri dari perusahaan. Bukankah itu sama dengan harus merelakan Dinda lebih lama di sana?" ucap Pak Bukhari. Memang ada benarnya juga semua ucapan Pak Bukhari itu. Dengan begitu justru Bu Nafis akan tambah semena-mena kepada Dinda. Memang kalau dipikir lagi akan menjadi buah simalakama. "Mungkin kita harus mendiskusikan ini lagi kepada yang lebih tahu, Pak. Saya rasa mungkin Dinda memiliki pemikiran lain," usul Eva."Iya aku berpikir seperti itu juga. Kita tak bisa gegabah untuk kali ini, karena banyak pertimbangannya. Kita tak tahu seberapa cinta anak lelaki itu kepada ibunya, bisa saja dia menuruti permintaanku untuk pindah karena memang merasa masih belum bisa mencukupi kebutuhan hidupnyad an memiliki pemikiran sepertimu kalau tidak bekerja di perusahaanku di mana lagi. Tapi di sisi lain kita harus me
MENGUSIR BU NAFIS?"Pak Hendi," panggil Hasan melihat pak Hendi yang tiba-tiba saja diam."Ah tidak, San. Sebenarnya jujur saja kalau boleh jujur kau sudah tahu sendiri itu masalah Pak Hendi dengan Ibumu dulu dengan almarhum Abahmu kan?" tanya Pak Hendi. Hasan menganggukkan kepalanya."Aku hanya ingin menebus kesalahan dan dosa masa lalu saja, San. Abahmu dulu terlalu baik kepadaku dan Ibumu. Dia tak pernah menuntut, mengampuniku, padahal aku jelas-jelas menyakitinya. Bukannya menjauh judtru dia mendekatiku, sampai aku memutuskan pergi ke Jakarta saking sungkannya aku. Aku malu jika terus ada di sini. Itu lah sebabnya aku dulu memutuskan kerja jauh, itu juga agar istriku merasa lega aku tak akan berhubungan dengan Nafis lagi," jawab Pak Hendi."Aku hanya ingin membalas kebaikan Abah saja, tidak lebih. Agar Abahmu juga tenang di sana," pungkas Pak Hendi.Pak Hendi menarik nafas yang panjang sekali. Dia sedang mencari jawaban paling aman dan terlintas jawaban