Untuk melihat Visual tokoh bisa follow ig/ titok/ fb author Secilia Abigail Hariono/ @secilia_hariono
"Ada apa Bu?" tanya Eva yang ikut panik mendengar teriakan bu Nafis."Kau memasukkan racun ya di masakannya? Apa kau memasak tak menggunakan panci bersih?"cerca bu Nafis."Hah? Tidak Bu! Eva masak bersama Dinda tanya saja dia, Eva memasak sesuai kok seperti biasanya, masak iya untuk di makan keluarga Eva memasukkan racun! Ibu ini aneh!" sanggah Eva."Heh ini ada yang komplain ke ibu, katanya perutnya mulas setelah memakan masakanmu! Sengaja kau ya? Mau mempermalukan Ibu?" tanya bu Nafis."Astagfirulloh Bu! Jika memang Eva memiliki niatan seperti itu apa ndak sekalian Eva bubuhkan sianida di masakan malam ini? Nyatanya setelah makan kita semua baik- baik saja to?" tanya Eva."Bu Maaf Dinda potong! Kalau memang bnar itu sebab masakan Mbak Eva harusnya Ifah juga sakit perut kan, tadi makanan buatan Mbak Eva yang memakan paling banyak teman- teman Ifah! Dek perutmu sakit?" tanya Dinda ke Ifah yang masih cemberut.Ifah menggelengkan kepala."Apa temanmu ada yang komplain padamu mengatakan s
"Entahlah Mas, aku juga bingung apa yang terjadi dengan Dinda! Tadi sore sebelum ke masjid dia yang ngotot ingin menjual mobilnya padahal aku sudah larang, eh sekarang jadi seperti ini," kata Hasan.Zain mengusap wajahnya dengan kasar. Dia bingung langkah apa yang harus dia ambil sekarang ini."Kalau mobil BMW itu kita jual laku berapa ya?" tanya Zain."Tak akan cukup Mas, walau hanya di gunakan untuk membayar UKT Ifah! Mobil itu hanya laku sekitar dua puluh lima jutaan, sedangkan jujur saja Hasan hanya punya tabungan sepuluh juta! Tau sendiri lah Mas, berapa gaji Hasan! Itupun harus di bagi karena kewajiban Hasan pada Dinda," jelas Zain."Yah, Mas juga buntu! Jujur saja sekarang ini untuk biaya makan sehari- hari Mas hanya mengandalkan pendapatan Mbakmu Ipar Eva," Zain mengakui."Sudah Mas, wajar saja jika Mas masih belum stabil ekonominya! Kan Mas memiliki anak yang di pesantren! Sudah jangan di pikirkan, insyaallah Hasan akan segera mencari jalan! Sudah mari kita ke kamar," ajak Ha
"Apa kau tak salah Mas? Bukankah kau dengar sendiri tadi Ibu berkata apa? Dia mengatakan aku menantu yang sok pahlawan! Bahkan Ibu juga yang berkata akan membiayai semua urusan uang UKT dan permintaan Ifah! Beliau juga melarangku menjual mobil, apa aku salah dengar tadi?" tanya Dinda.Hasan sadar dan maklum memang bukan salaha Dinda jika dia marah sampai seperti ini. Saat Dinda berbicara dan mulai menyebut nama aku bukan lagi namanya tanda dia sedang emosi tinggi."Maafkan aku Dek, sekarang tidurlah," perintah Hasan.Dinda tak menjawab pernyataan Hasan. Dia membaringkan tubuhnya yang lelah seharian membantu Eva, berbelanja, bahkan harus menghadapi watak mertuanya."Maafkan aku Mas," ujar Dinda lirih.Saat tengah malam Dinda terbangun. Tenggorokannya kering sekali. Dia tak mendapati suaminya di ranjang."Kemana Mas Hasan?" tanya Dinda dalam hati.Dia berjalan keluar kamar. Semua sepi senyam, lampu teras menyala dan pintunya terbuka. Dinda melihat jam di dinding ruang tamu, pukul tiga l
"Mbak Eva rasanya tak sanggup lagi jika ke rumah Ibu lagi," ujar Eva lirih.Ah Dinda akhirnya tahu, memanglah sekuat apapun Eva mencoba tegar di hadapan keluarga mertuanya tetaplah dia memiliki sisi lemah. Menantu mana yang tak sakit hati mendapat perkataan seperti itu dari mulut mertuanya sendiri."Dinda tak bisa berkomentar apapun Mbak," kata Dinda."Andaikan aku dan Mas Zain tak miskin pasti kami tak akan mendapatkan perlakuan seperti ini Va," ucap Eva."Karena miskinlah yang membuat keluarga kecilku membuat Ibu memandang kami rendah, rasanya sangat tak adil bukan Din? Memang siapa sih yang mau miskin? Aku juga tak ingin, namun bagaimana lagi takdir Allah menguji kami dalam masalah ekonomi," sambung Eva."Andai Ibu Nafis mertua kita bisa memikirkan dengan logika, bahwa kita adalah anak perempuan yang berharga juga di mata orang tua masing- masing. Tapi sepertinya Ibu Nafis tak berpikiran sampai sana," lanjut Eva.Dinda terdiam mendengar semua penjelasan Eva. Ya benar apa yang di ka
BPJS (Budget Pas-pasan Jiwa Sosialita)"Dek! Innalillahi Ibu kecelakaan," tubuh Hasan luruh ke lantai saat setelah mengatakan hal itu."Astagfirulloh Mas, yang benar? Di mana? Tenang dulu, yakin kah itu bukan penipuan?" tanya Dinda."Bukan Dek, tadi polisi langsung menyuruh kita ke RSUD Kota Madiun, mari Dek kita ke sana," ajak Hasan.Dinda mengangguk, segera berganti baju panjang. Dinda mengambilkan baju ganti untuk Hasan."Gantilah bajumu Mas, tak mungkin kita ke Rumah Sakit dengan pakaian seperti itu," perintah Dinda.Hasan menurut, dia segera berganti pakaian. Pikiran buruk membayangi kepalanya. Sakit kepala yang tadi di rasakan tiba- tiba menguar pergi begitu saja."Dek ayok cepat! Aku takut ibu kenapa- kenapa! Bagaimana kalo nanti Ibu pergi meninggalkan kita Dek," lirih Hasan mengatakannya."Stttt! Jangan bicara seperti itu Mas, banyak- banyak lah berdoa, minta pertolongan pada Allah!" tegur Dinda."Kau duduk saja, biar aku yang mengendarai mobilnya, pikiranmu kacau jika memaksa
SEMUA BUTUH UANG!Dinda menggeleng-gelengkan kepalanya heran mendengar pernyataan Ibu mertuanya. Dia tak mengira saat seperti ini Ibu mertuanya masih memikirkan gengsi yang terlalu besar bukan mementingkan keselamatan nyawanya sendiri."Pengen heran tapi ini mertuaku sendiri, kok ada orang seperti ini," batin Dinda dalam hati.Hasan memandang Dinda untuk meminta persetujuan. Dinda hanya menganggukkan kepalanya. Biarlah nanti dipikirkan lagi bagaimana caranya untuk mendapatkan uang biaya pengobatan itu."Dek Mas mau minta tolong, bisakah kamu tetap di sini? Mas akan mengurus semua administrasinya soalnya," pinta Hasan.Dinda terdiam beberapa detik. Jika dia tetap berada di sini maka mertuanya akan melakukan hal-hal yang aneh. Belum lagi dengan semua ucapan yang menyakitkan hati. Lebih baik Dinda memilih untuk mengurus semua administrasi. Itu hanya akan membuat capek tenaga tidak capek hati."Menurut Dinda lebih baik Mas Hasan di sini dulu menjaga ibu, bukankah Mas Hasan sendiri juga se
MENGAPA HANYA HASAN?"Untuk uang tabungan Abah, apa tidak ada Mas?" tanya Dinda.Hasan langsung menatap Dinda dengan pandangan bertanya-tanya. Tumben sekali Dinda mau menanyakan hal yang sangat sensitif dan mengusik keuangan keluarganya."Bukannya mau ikut campur, tetapi kan ini keadaan yang urgent! Cobalah Mas, tanyakan kepada Ibu, barangkali masih mempunyai simpanan yang bisa digunakan untuk biaya rumah sakit," kata Dinda."Kau jangan salah paham dulu, toh semua demi Ibumu, Mas! Aku sama sekali tak memiliki kepentingan," bujuk Dinda.Hasan terdiam beberapa saat. Semua yang dikatakan Dinda memang tak ada salahnya. Ini juga demi kepentingan Ibunya, Hasan yakin jika Abahnya pasti memiliki uang simpanan yang lebih.Cobalah nanti dek Mas akan tanya dengan ibu Mas akan jujur tentang semuanya dan bagaimana kondisi keuangan kita barangkali barangkali memang Ibu memiliki simpanan atau tabungan Abah.Dinda memegang tangan suaminya sebagai bentuk support dan dukungan."Bersabarlah Mas, badai p
IFAH?Dina memarkirkan mobil tepat di depan maju hardware. Toko HP terbesar di kotanya. Dia akan membuktikan ke mertuanya bahwa bisa memberikan HP mertuanya. Risih sekali telinga Dinda mendengar perkataan itu."Permisi Mbak? Apakah ada HP dengan merk Vivo keluaran terbaru?" tanya Dinda."Silakan masuk Bu, ada banyak pilihannya. Ibu mau cari yang di range harga berapa?" tanya pelayan itu ramah."Carikan saja Mbak yang harga empat jutaan. Warnanya yang netral kalau bisa dengan tempered glass sekalian casing hp-nya juga," pesan DindaSambil menunggu pelayan itu mengambilkan pesanannya, Dinda membuka HP. Satu panggilan tak terjawab dari Hasan, diikuti dengan rentetan pesan lainnya. Hasan mengatakan jika ibunya masuk ruang operasi sekitar lima belas menit lalu. Dinda memutuskan untuk membalas pesan itu.Saat Dinda sedang memilih HP untuk bu Nafis, matanya melihat sesosok orang yang begitu dikenalnya. Dia tak salah lagi, sedang apa dia di sini? Bersama lelaki yang tampak lebih tua dari usia