"Mbak Eva rasanya tak sanggup lagi jika ke rumah Ibu lagi," ujar Eva lirih.Ah Dinda akhirnya tahu, memanglah sekuat apapun Eva mencoba tegar di hadapan keluarga mertuanya tetaplah dia memiliki sisi lemah. Menantu mana yang tak sakit hati mendapat perkataan seperti itu dari mulut mertuanya sendiri."Dinda tak bisa berkomentar apapun Mbak," kata Dinda."Andaikan aku dan Mas Zain tak miskin pasti kami tak akan mendapatkan perlakuan seperti ini Va," ucap Eva."Karena miskinlah yang membuat keluarga kecilku membuat Ibu memandang kami rendah, rasanya sangat tak adil bukan Din? Memang siapa sih yang mau miskin? Aku juga tak ingin, namun bagaimana lagi takdir Allah menguji kami dalam masalah ekonomi," sambung Eva."Andai Ibu Nafis mertua kita bisa memikirkan dengan logika, bahwa kita adalah anak perempuan yang berharga juga di mata orang tua masing- masing. Tapi sepertinya Ibu Nafis tak berpikiran sampai sana," lanjut Eva.Dinda terdiam mendengar semua penjelasan Eva. Ya benar apa yang di ka
BPJS (Budget Pas-pasan Jiwa Sosialita)"Dek! Innalillahi Ibu kecelakaan," tubuh Hasan luruh ke lantai saat setelah mengatakan hal itu."Astagfirulloh Mas, yang benar? Di mana? Tenang dulu, yakin kah itu bukan penipuan?" tanya Dinda."Bukan Dek, tadi polisi langsung menyuruh kita ke RSUD Kota Madiun, mari Dek kita ke sana," ajak Hasan.Dinda mengangguk, segera berganti baju panjang. Dinda mengambilkan baju ganti untuk Hasan."Gantilah bajumu Mas, tak mungkin kita ke Rumah Sakit dengan pakaian seperti itu," perintah Dinda.Hasan menurut, dia segera berganti pakaian. Pikiran buruk membayangi kepalanya. Sakit kepala yang tadi di rasakan tiba- tiba menguar pergi begitu saja."Dek ayok cepat! Aku takut ibu kenapa- kenapa! Bagaimana kalo nanti Ibu pergi meninggalkan kita Dek," lirih Hasan mengatakannya."Stttt! Jangan bicara seperti itu Mas, banyak- banyak lah berdoa, minta pertolongan pada Allah!" tegur Dinda."Kau duduk saja, biar aku yang mengendarai mobilnya, pikiranmu kacau jika memaksa
SEMUA BUTUH UANG!Dinda menggeleng-gelengkan kepalanya heran mendengar pernyataan Ibu mertuanya. Dia tak mengira saat seperti ini Ibu mertuanya masih memikirkan gengsi yang terlalu besar bukan mementingkan keselamatan nyawanya sendiri."Pengen heran tapi ini mertuaku sendiri, kok ada orang seperti ini," batin Dinda dalam hati.Hasan memandang Dinda untuk meminta persetujuan. Dinda hanya menganggukkan kepalanya. Biarlah nanti dipikirkan lagi bagaimana caranya untuk mendapatkan uang biaya pengobatan itu."Dek Mas mau minta tolong, bisakah kamu tetap di sini? Mas akan mengurus semua administrasinya soalnya," pinta Hasan.Dinda terdiam beberapa detik. Jika dia tetap berada di sini maka mertuanya akan melakukan hal-hal yang aneh. Belum lagi dengan semua ucapan yang menyakitkan hati. Lebih baik Dinda memilih untuk mengurus semua administrasi. Itu hanya akan membuat capek tenaga tidak capek hati."Menurut Dinda lebih baik Mas Hasan di sini dulu menjaga ibu, bukankah Mas Hasan sendiri juga se
MENGAPA HANYA HASAN?"Untuk uang tabungan Abah, apa tidak ada Mas?" tanya Dinda.Hasan langsung menatap Dinda dengan pandangan bertanya-tanya. Tumben sekali Dinda mau menanyakan hal yang sangat sensitif dan mengusik keuangan keluarganya."Bukannya mau ikut campur, tetapi kan ini keadaan yang urgent! Cobalah Mas, tanyakan kepada Ibu, barangkali masih mempunyai simpanan yang bisa digunakan untuk biaya rumah sakit," kata Dinda."Kau jangan salah paham dulu, toh semua demi Ibumu, Mas! Aku sama sekali tak memiliki kepentingan," bujuk Dinda.Hasan terdiam beberapa saat. Semua yang dikatakan Dinda memang tak ada salahnya. Ini juga demi kepentingan Ibunya, Hasan yakin jika Abahnya pasti memiliki uang simpanan yang lebih.Cobalah nanti dek Mas akan tanya dengan ibu Mas akan jujur tentang semuanya dan bagaimana kondisi keuangan kita barangkali barangkali memang Ibu memiliki simpanan atau tabungan Abah.Dinda memegang tangan suaminya sebagai bentuk support dan dukungan."Bersabarlah Mas, badai p
IFAH?Dina memarkirkan mobil tepat di depan maju hardware. Toko HP terbesar di kotanya. Dia akan membuktikan ke mertuanya bahwa bisa memberikan HP mertuanya. Risih sekali telinga Dinda mendengar perkataan itu."Permisi Mbak? Apakah ada HP dengan merk Vivo keluaran terbaru?" tanya Dinda."Silakan masuk Bu, ada banyak pilihannya. Ibu mau cari yang di range harga berapa?" tanya pelayan itu ramah."Carikan saja Mbak yang harga empat jutaan. Warnanya yang netral kalau bisa dengan tempered glass sekalian casing hp-nya juga," pesan DindaSambil menunggu pelayan itu mengambilkan pesanannya, Dinda membuka HP. Satu panggilan tak terjawab dari Hasan, diikuti dengan rentetan pesan lainnya. Hasan mengatakan jika ibunya masuk ruang operasi sekitar lima belas menit lalu. Dinda memutuskan untuk membalas pesan itu.Saat Dinda sedang memilih HP untuk bu Nafis, matanya melihat sesosok orang yang begitu dikenalnya. Dia tak salah lagi, sedang apa dia di sini? Bersama lelaki yang tampak lebih tua dari usia
Ifah Hilang!"Fah, jangan-jangan kau-" ucap Dinda."Assalamualaikum," suara dari luar mengejutkan Dinda dan Ifah.Mas Zain dan Mbak Eva masuk ke ruangan. Mereka datang dari Kediri."Di mana Ibu Dek?" tanya Zain."Kata Mas Hasan dia di ruang operasi Mas, Ifah juga belum melihatnya," kata Ifah."Bagaimana ini bisa terjadi?" tanya Zain lagi."Katanya Ibu ikut senam Mas, ada lomba di Grape. Ibu pergi menggunakan kereta kelinci tetapi saat menanjak ke atas keretanya tak kuat, lalu mengguling ke selokan air irigasi yang lumayan dalam," jelas Dinda."Astagfirullah, lalu sekarang semua ke mana? Hasan dan Mbak Alif?" tanya Zain."Mbak Alif masih ada di depan ruang operasi menunggu Ibu, sedangkan Mas Hasan pergi keluar untuk mengambil makanan," jawab Dinda.Zain keluar menyusul Mbak Alif ke depan ruang operasi, sedangkan Eva tetap berada di ruangan. Mendapat kesempatan untuk lolos Ifah pun mengikuti kakak lelakinya pergi."Kenapa tuh Dek?" tanya Eva."Tak biasanya dia ikut," imbuhnya.Dinda bin
KEDATANGAN PAPASeketika keadaan berubah menjadi panik. Semua berusaha menelepon Ifah namunl tak seorangpun bisa menghubunginya."Mas Hasan lebih baik pulang sekarang bersama Mbak Eva dan Mas Zain, barangkali di jalan bertemu Ifah. Sementara kalian pulang ke rumah, Dinda dan Mbak Alif akan berusaha mencari dan menghubungi Ifah. Kita tak bisa begini terus, kalau semua panik keadaan juga tak akan bertambah baik," usul Dinda."Ya itu aku rasa lebih baik saat ini," ucap Zain setuju.Mereka bertiga akhirnya pulang ke rumah lebih dahulu. Mbak Alif dan Dinda berusaha menghubungi Ifah. Pikiran Dinda tertuju pada seseorang lelaki yang ditemuinya saat membeli HP tadi."Tapi apakah mungkin Ifah melakukannya? Apa demi hp iPhone yang diinginkan? Dari mana Ifah mendapatkan uang sebanyak? Harga HP itu mencapai puluhan juta, sedangkan Ifah bekerja hanya menerima beberapa endors dengan harga yang tak seberapa," tanya Dinda dalam hati."Apakah aku harus mengatakannya pada Mbak Alif atau menyimpannya se
"Aduh besan, maaf ya! Kami tidak bisa membawa apa-apa, hanya buah," kata mama Dinda."Aduh! Kok buah sih Besan? Aku kan tidak begitu suka buah lho, lain kali kalau ke sini jangan bawa buah! Lebih baik bawa roti saja yang coklat itu loh atau yang vanila juga boleh," pinta bu Nafis tak tahu diri.Papa hanya menggelengkan kepalanya melihat kelakuan besannya itu."Oh iya Besan, kemarin Dinda membelikan aku HP baru loh!" kata Bu Nafi sambil menunjukkan hp-nya."Nih! Ya walaupun tidak begitu mahal cuma 4 juta tetapi ya sudahlah, itu kan tanda bahwa dia menyayangi mertuanya. Padahal tuh saya pengennya HP yang matanya 3 itu, apa ya namanya ya? Boba atau apa gitu, aku kurang tahu pokoknya itu!" jelas bu Nafis tanpa rasa bersalah."Oh kalau saya mah HP apa saja, yang penting bisa untuk menelpon dan memberikan kabar. Buat apa HP bagus jika tidak ada guna dan fungsinya? Toh HP itu dijual harganya pasti lebih murah! Lebih baik uangnya diinvestasikan bentuk lain," sahut mama Dinda."Ya memang sih,