MENGAPA HANYA HASAN?"Untuk uang tabungan Abah, apa tidak ada Mas?" tanya Dinda.Hasan langsung menatap Dinda dengan pandangan bertanya-tanya. Tumben sekali Dinda mau menanyakan hal yang sangat sensitif dan mengusik keuangan keluarganya."Bukannya mau ikut campur, tetapi kan ini keadaan yang urgent! Cobalah Mas, tanyakan kepada Ibu, barangkali masih mempunyai simpanan yang bisa digunakan untuk biaya rumah sakit," kata Dinda."Kau jangan salah paham dulu, toh semua demi Ibumu, Mas! Aku sama sekali tak memiliki kepentingan," bujuk Dinda.Hasan terdiam beberapa saat. Semua yang dikatakan Dinda memang tak ada salahnya. Ini juga demi kepentingan Ibunya, Hasan yakin jika Abahnya pasti memiliki uang simpanan yang lebih.Cobalah nanti dek Mas akan tanya dengan ibu Mas akan jujur tentang semuanya dan bagaimana kondisi keuangan kita barangkali barangkali memang Ibu memiliki simpanan atau tabungan Abah.Dinda memegang tangan suaminya sebagai bentuk support dan dukungan."Bersabarlah Mas, badai p
IFAH?Dina memarkirkan mobil tepat di depan maju hardware. Toko HP terbesar di kotanya. Dia akan membuktikan ke mertuanya bahwa bisa memberikan HP mertuanya. Risih sekali telinga Dinda mendengar perkataan itu."Permisi Mbak? Apakah ada HP dengan merk Vivo keluaran terbaru?" tanya Dinda."Silakan masuk Bu, ada banyak pilihannya. Ibu mau cari yang di range harga berapa?" tanya pelayan itu ramah."Carikan saja Mbak yang harga empat jutaan. Warnanya yang netral kalau bisa dengan tempered glass sekalian casing hp-nya juga," pesan DindaSambil menunggu pelayan itu mengambilkan pesanannya, Dinda membuka HP. Satu panggilan tak terjawab dari Hasan, diikuti dengan rentetan pesan lainnya. Hasan mengatakan jika ibunya masuk ruang operasi sekitar lima belas menit lalu. Dinda memutuskan untuk membalas pesan itu.Saat Dinda sedang memilih HP untuk bu Nafis, matanya melihat sesosok orang yang begitu dikenalnya. Dia tak salah lagi, sedang apa dia di sini? Bersama lelaki yang tampak lebih tua dari usia
Ifah Hilang!"Fah, jangan-jangan kau-" ucap Dinda."Assalamualaikum," suara dari luar mengejutkan Dinda dan Ifah.Mas Zain dan Mbak Eva masuk ke ruangan. Mereka datang dari Kediri."Di mana Ibu Dek?" tanya Zain."Kata Mas Hasan dia di ruang operasi Mas, Ifah juga belum melihatnya," kata Ifah."Bagaimana ini bisa terjadi?" tanya Zain lagi."Katanya Ibu ikut senam Mas, ada lomba di Grape. Ibu pergi menggunakan kereta kelinci tetapi saat menanjak ke atas keretanya tak kuat, lalu mengguling ke selokan air irigasi yang lumayan dalam," jelas Dinda."Astagfirullah, lalu sekarang semua ke mana? Hasan dan Mbak Alif?" tanya Zain."Mbak Alif masih ada di depan ruang operasi menunggu Ibu, sedangkan Mas Hasan pergi keluar untuk mengambil makanan," jawab Dinda.Zain keluar menyusul Mbak Alif ke depan ruang operasi, sedangkan Eva tetap berada di ruangan. Mendapat kesempatan untuk lolos Ifah pun mengikuti kakak lelakinya pergi."Kenapa tuh Dek?" tanya Eva."Tak biasanya dia ikut," imbuhnya.Dinda bin
KEDATANGAN PAPASeketika keadaan berubah menjadi panik. Semua berusaha menelepon Ifah namunl tak seorangpun bisa menghubunginya."Mas Hasan lebih baik pulang sekarang bersama Mbak Eva dan Mas Zain, barangkali di jalan bertemu Ifah. Sementara kalian pulang ke rumah, Dinda dan Mbak Alif akan berusaha mencari dan menghubungi Ifah. Kita tak bisa begini terus, kalau semua panik keadaan juga tak akan bertambah baik," usul Dinda."Ya itu aku rasa lebih baik saat ini," ucap Zain setuju.Mereka bertiga akhirnya pulang ke rumah lebih dahulu. Mbak Alif dan Dinda berusaha menghubungi Ifah. Pikiran Dinda tertuju pada seseorang lelaki yang ditemuinya saat membeli HP tadi."Tapi apakah mungkin Ifah melakukannya? Apa demi hp iPhone yang diinginkan? Dari mana Ifah mendapatkan uang sebanyak? Harga HP itu mencapai puluhan juta, sedangkan Ifah bekerja hanya menerima beberapa endors dengan harga yang tak seberapa," tanya Dinda dalam hati."Apakah aku harus mengatakannya pada Mbak Alif atau menyimpannya se
"Aduh besan, maaf ya! Kami tidak bisa membawa apa-apa, hanya buah," kata mama Dinda."Aduh! Kok buah sih Besan? Aku kan tidak begitu suka buah lho, lain kali kalau ke sini jangan bawa buah! Lebih baik bawa roti saja yang coklat itu loh atau yang vanila juga boleh," pinta bu Nafis tak tahu diri.Papa hanya menggelengkan kepalanya melihat kelakuan besannya itu."Oh iya Besan, kemarin Dinda membelikan aku HP baru loh!" kata Bu Nafi sambil menunjukkan hp-nya."Nih! Ya walaupun tidak begitu mahal cuma 4 juta tetapi ya sudahlah, itu kan tanda bahwa dia menyayangi mertuanya. Padahal tuh saya pengennya HP yang matanya 3 itu, apa ya namanya ya? Boba atau apa gitu, aku kurang tahu pokoknya itu!" jelas bu Nafis tanpa rasa bersalah."Oh kalau saya mah HP apa saja, yang penting bisa untuk menelpon dan memberikan kabar. Buat apa HP bagus jika tidak ada guna dan fungsinya? Toh HP itu dijual harganya pasti lebih murah! Lebih baik uangnya diinvestasikan bentuk lain," sahut mama Dinda."Ya memang sih,
Ketahuan!"Astaghfirullahaladzim Ifah!" teriak Hasan.Hasan berlari sekuat tenaga menghampiri adiknya. Ifah jelas terlihat turun dari mobil seseorang yang tidak dikenal mereka. Ya lelaki yang pernah ditemui oleh Dinda saat membeli HP mertuanya."Siapa dia Ifah?' tanya Hasan dengan sedikit membentak."Dia hanya teman Ifah kok Mas, tadi kebetulan ketemu dan mengantarkan Ifah ke sini karena motor Ifah bocor di tengah jalan," jelas Ifah dengan sedikit tergagap."Kau pikir Mas Hasan itu bodoh?" teriak Hasan di pinggir jalan raya.Dinda mengelus pundak suaminya. Dia tahu saat ini posisi Hasan sudah sangat marah mengetahui adiknya berada satu mobil dengan yang bukan mahram. Apalagi lelaki itu lebih tua dan pantas disebut Om daripada teman."Sabar, Mas! sabar saya bisa jelaskan semuanya," kata lelaki di dalam mobil."Turun kau! Apa maksudmu membawa adikku?" tanya Hasan."Mana ktpmu?" bentak Hasan lagi tak sabar.Dengan gugup lelaki itu turun dari mobil. Hasan segera menghampirinya. Tak lama le
Kemana Hasan?"Entahlah Bu, tiba-tiba Mas Hasan menyita HP Ifah tanpa kejelasan yang pasti," kata Ifah membuat alasan."Sebenarnya ada apa sih Din?" tanya Bu Nafis pada menantunya.Bu Nafis bertanya pada Dinda karena dia tahu menantunya tidak akan mungkin berbohong. Ifah anaknya masih memiliki peluang membohongi dirinya."Dinda sendiri juga kurang paham Bu, mengapa HP Ifah sampai disita Mas Hasan. Makanya ini Dinda mau mencari Mas Hasan. Ibu di sini dulu ya, dengan Ifah tak papa kan?" tanya Dinda meminta izin pergi mencari suaminya.Bu Nafis hanya menggangguk. Dinda bersyukur, setidaknya hari ini ibunya akan baik karena sudah mendapat uang dari orangtuanya. Walaupun menurutnya jumlah itu tak seberapa namun mampu membuat Bu Nafis bergembira.Dinda berjalan keluar mencari keberadaan suaminya. Dia mencari Hasan ke gerbang Rumah Sakit tempatnya tadi. Tapi mereka sudah tidak ada, bahkan mobil lelaki itu juga sudah pergi. Dinda berkali-kali menghubungi HP Hasan tetapi nihil tak diangkat han
BUKAN PERKARA DUDA ATAU PERJAKA!"Namanya adalah Aris Wijaya," kata Dinda."Apa? Coba kau ulang sekali lagi Dek! Aris Wijaya," gumam Mbak Alif dengan sedikit terkejut."Iya Mbak, benar tak salah lagi namanya Arif Wijaya," ujar Dinda."Sebentar, apakah orangnya itu berbadan atletis? Mobilnya kalau tidak salah Innova ya? Warna silver, benar tidak? tanya Mbak Alif."Kalau itu Dinda kurang memperhatikan Mbak, yang jelas mobilnya memang berwarna silver, badannya memang besar khas orang-orang gym yang seneng sama olahraga gitu loh Mbak," jelas Dinda."Apakah orangnya lumayan tinggi Dek? Lebih tinggi sedikitlah dari Hasan, paling tidak dia itu dandanan- nya rapi mengenakan kemeja khas cowok metroseksual, benar bukan?" tanya Mbak Alif mengintrogasi detail."Ah begini, dia kepalanya agak plontos dengan wajah yang oval," sambung Mbak Alif lagi mendeskripsikan wajah Arif Wijaya."Mbak Alif kenal?" tanya Dinda bingung."Sepertinya aku tahu siapa lelaki y