"Ya sebenarnya cuma sekitar tiga puluh juta Mas, untuk pembayaran uang pangkal dan biaya satu semester apa ya istilahnya kayak SKS atau apalah aku juga nggak begitu paham," kata Ifah."Lalu kenapa kau meminta nominal lima puluh juta? Itu hampir dua kali lipatnya loh," ujar Hasan heran."Iya itu sih sebenarnya belum mencakup semua kebutuhan Ifah saat kuliah Mas, ifa juga mengukur kemampuan kok! Kalau dipikir-pikir lagi sebenarnya jumlahnya lebih dari itu, bayangkan saja uang UKT tiga puluh juta, iPad second lah tak usah baru sudah lima belas juta total tiga puluh lima juta," ucap Ifah."Ditambah lagi untuk beli iPhone baru yang pro max tiga belas sekitar second-nya dua puluh juta harusnya semua jadi enam puluh lima juta, tapi Ifah pikir-pikir lagi mending uangnya buat beli ipad dulu karena itu kebutuhan," sambung Ifah.Dinda dan Eva saling bertatapan dan melongo mendengar semua tuntutan dari adik iparnya. Begitupun Hasan dan Zain hanya bisa mengelus dada."Fah apakah kamu sadar berkata
"Ada apa Bu?" tanya Eva yang ikut panik mendengar teriakan bu Nafis."Kau memasukkan racun ya di masakannya? Apa kau memasak tak menggunakan panci bersih?"cerca bu Nafis."Hah? Tidak Bu! Eva masak bersama Dinda tanya saja dia, Eva memasak sesuai kok seperti biasanya, masak iya untuk di makan keluarga Eva memasukkan racun! Ibu ini aneh!" sanggah Eva."Heh ini ada yang komplain ke ibu, katanya perutnya mulas setelah memakan masakanmu! Sengaja kau ya? Mau mempermalukan Ibu?" tanya bu Nafis."Astagfirulloh Bu! Jika memang Eva memiliki niatan seperti itu apa ndak sekalian Eva bubuhkan sianida di masakan malam ini? Nyatanya setelah makan kita semua baik- baik saja to?" tanya Eva."Bu Maaf Dinda potong! Kalau memang bnar itu sebab masakan Mbak Eva harusnya Ifah juga sakit perut kan, tadi makanan buatan Mbak Eva yang memakan paling banyak teman- teman Ifah! Dek perutmu sakit?" tanya Dinda ke Ifah yang masih cemberut.Ifah menggelengkan kepala."Apa temanmu ada yang komplain padamu mengatakan s
"Entahlah Mas, aku juga bingung apa yang terjadi dengan Dinda! Tadi sore sebelum ke masjid dia yang ngotot ingin menjual mobilnya padahal aku sudah larang, eh sekarang jadi seperti ini," kata Hasan.Zain mengusap wajahnya dengan kasar. Dia bingung langkah apa yang harus dia ambil sekarang ini."Kalau mobil BMW itu kita jual laku berapa ya?" tanya Zain."Tak akan cukup Mas, walau hanya di gunakan untuk membayar UKT Ifah! Mobil itu hanya laku sekitar dua puluh lima jutaan, sedangkan jujur saja Hasan hanya punya tabungan sepuluh juta! Tau sendiri lah Mas, berapa gaji Hasan! Itupun harus di bagi karena kewajiban Hasan pada Dinda," jelas Zain."Yah, Mas juga buntu! Jujur saja sekarang ini untuk biaya makan sehari- hari Mas hanya mengandalkan pendapatan Mbakmu Ipar Eva," Zain mengakui."Sudah Mas, wajar saja jika Mas masih belum stabil ekonominya! Kan Mas memiliki anak yang di pesantren! Sudah jangan di pikirkan, insyaallah Hasan akan segera mencari jalan! Sudah mari kita ke kamar," ajak Ha
"Apa kau tak salah Mas? Bukankah kau dengar sendiri tadi Ibu berkata apa? Dia mengatakan aku menantu yang sok pahlawan! Bahkan Ibu juga yang berkata akan membiayai semua urusan uang UKT dan permintaan Ifah! Beliau juga melarangku menjual mobil, apa aku salah dengar tadi?" tanya Dinda.Hasan sadar dan maklum memang bukan salaha Dinda jika dia marah sampai seperti ini. Saat Dinda berbicara dan mulai menyebut nama aku bukan lagi namanya tanda dia sedang emosi tinggi."Maafkan aku Dek, sekarang tidurlah," perintah Hasan.Dinda tak menjawab pernyataan Hasan. Dia membaringkan tubuhnya yang lelah seharian membantu Eva, berbelanja, bahkan harus menghadapi watak mertuanya."Maafkan aku Mas," ujar Dinda lirih.Saat tengah malam Dinda terbangun. Tenggorokannya kering sekali. Dia tak mendapati suaminya di ranjang."Kemana Mas Hasan?" tanya Dinda dalam hati.Dia berjalan keluar kamar. Semua sepi senyam, lampu teras menyala dan pintunya terbuka. Dinda melihat jam di dinding ruang tamu, pukul tiga l
"Mbak Eva rasanya tak sanggup lagi jika ke rumah Ibu lagi," ujar Eva lirih.Ah Dinda akhirnya tahu, memanglah sekuat apapun Eva mencoba tegar di hadapan keluarga mertuanya tetaplah dia memiliki sisi lemah. Menantu mana yang tak sakit hati mendapat perkataan seperti itu dari mulut mertuanya sendiri."Dinda tak bisa berkomentar apapun Mbak," kata Dinda."Andaikan aku dan Mas Zain tak miskin pasti kami tak akan mendapatkan perlakuan seperti ini Va," ucap Eva."Karena miskinlah yang membuat keluarga kecilku membuat Ibu memandang kami rendah, rasanya sangat tak adil bukan Din? Memang siapa sih yang mau miskin? Aku juga tak ingin, namun bagaimana lagi takdir Allah menguji kami dalam masalah ekonomi," sambung Eva."Andai Ibu Nafis mertua kita bisa memikirkan dengan logika, bahwa kita adalah anak perempuan yang berharga juga di mata orang tua masing- masing. Tapi sepertinya Ibu Nafis tak berpikiran sampai sana," lanjut Eva.Dinda terdiam mendengar semua penjelasan Eva. Ya benar apa yang di ka
BPJS (Budget Pas-pasan Jiwa Sosialita)"Dek! Innalillahi Ibu kecelakaan," tubuh Hasan luruh ke lantai saat setelah mengatakan hal itu."Astagfirulloh Mas, yang benar? Di mana? Tenang dulu, yakin kah itu bukan penipuan?" tanya Dinda."Bukan Dek, tadi polisi langsung menyuruh kita ke RSUD Kota Madiun, mari Dek kita ke sana," ajak Hasan.Dinda mengangguk, segera berganti baju panjang. Dinda mengambilkan baju ganti untuk Hasan."Gantilah bajumu Mas, tak mungkin kita ke Rumah Sakit dengan pakaian seperti itu," perintah Dinda.Hasan menurut, dia segera berganti pakaian. Pikiran buruk membayangi kepalanya. Sakit kepala yang tadi di rasakan tiba- tiba menguar pergi begitu saja."Dek ayok cepat! Aku takut ibu kenapa- kenapa! Bagaimana kalo nanti Ibu pergi meninggalkan kita Dek," lirih Hasan mengatakannya."Stttt! Jangan bicara seperti itu Mas, banyak- banyak lah berdoa, minta pertolongan pada Allah!" tegur Dinda."Kau duduk saja, biar aku yang mengendarai mobilnya, pikiranmu kacau jika memaksa
SEMUA BUTUH UANG!Dinda menggeleng-gelengkan kepalanya heran mendengar pernyataan Ibu mertuanya. Dia tak mengira saat seperti ini Ibu mertuanya masih memikirkan gengsi yang terlalu besar bukan mementingkan keselamatan nyawanya sendiri."Pengen heran tapi ini mertuaku sendiri, kok ada orang seperti ini," batin Dinda dalam hati.Hasan memandang Dinda untuk meminta persetujuan. Dinda hanya menganggukkan kepalanya. Biarlah nanti dipikirkan lagi bagaimana caranya untuk mendapatkan uang biaya pengobatan itu."Dek Mas mau minta tolong, bisakah kamu tetap di sini? Mas akan mengurus semua administrasinya soalnya," pinta Hasan.Dinda terdiam beberapa detik. Jika dia tetap berada di sini maka mertuanya akan melakukan hal-hal yang aneh. Belum lagi dengan semua ucapan yang menyakitkan hati. Lebih baik Dinda memilih untuk mengurus semua administrasi. Itu hanya akan membuat capek tenaga tidak capek hati."Menurut Dinda lebih baik Mas Hasan di sini dulu menjaga ibu, bukankah Mas Hasan sendiri juga se
MENGAPA HANYA HASAN?"Untuk uang tabungan Abah, apa tidak ada Mas?" tanya Dinda.Hasan langsung menatap Dinda dengan pandangan bertanya-tanya. Tumben sekali Dinda mau menanyakan hal yang sangat sensitif dan mengusik keuangan keluarganya."Bukannya mau ikut campur, tetapi kan ini keadaan yang urgent! Cobalah Mas, tanyakan kepada Ibu, barangkali masih mempunyai simpanan yang bisa digunakan untuk biaya rumah sakit," kata Dinda."Kau jangan salah paham dulu, toh semua demi Ibumu, Mas! Aku sama sekali tak memiliki kepentingan," bujuk Dinda.Hasan terdiam beberapa saat. Semua yang dikatakan Dinda memang tak ada salahnya. Ini juga demi kepentingan Ibunya, Hasan yakin jika Abahnya pasti memiliki uang simpanan yang lebih.Cobalah nanti dek Mas akan tanya dengan ibu Mas akan jujur tentang semuanya dan bagaimana kondisi keuangan kita barangkali barangkali memang Ibu memiliki simpanan atau tabungan Abah.Dinda memegang tangan suaminya sebagai bentuk support dan dukungan."Bersabarlah Mas, badai p
ENDING YANG BAHAGIA!"Ya Allah apapun yang terjadi aku ikhlas, akan semua keputusanmu. Berikan yang terbaik," kata Dinda dalam hati.Tanpa membuang waktu lagi dia mengetes dan hasilnya adalah garis dua. Dinda langsung memekik, memakai bajunya dengan baik dan keluar dari kamar mandi. DIa langsung bersujud saat itu juga, dia merasa senang sekali."Ya Allah ternyata kau adalah sebaik-baiknya pengatur! Di saat semuanya sudah damai saat seperti ini kau memberikanku kepercayaan lagi dan di saat ini pula itu bersama pak Hendi akan segera umroh. Alhamdulillah! Alhamdulillah ya Allah," pekik Dinda tertahan dalam isak tangisnya.Dia pun segera menelpon kedua orang tuanya. Dia ingin membagi kabar kebahagiaan itu pertama kali dengan kedua orang tuanya. Untung tak lama telpon itu diangkat."Assalamualaikum, Papa!" sapa Dinda."Waalaikumsalam, Nduk," jawab Pak Bukhori."Papa, sedang sibukkah?" tanya Dinda."Kenapa kok sepertinya kau terdengar sangat gembira sekali. Ada berita membahagiakankah?" s
HAMIL?"Ya, lama-kelamaan aku juga ikhlas. Aku selalu berpikir positif dan mengambil hikmahnya. Bayangkan saja betapa akan mengasyikkan nanti hidup kita berdua setelah menjadi saudara tiri dan kau serta aku bisa berbaikan. Ini akan sangat menguntungkan sekali bagi kita, karena kita bisa menginap di rumah masing-masing sesuka hati lagi. Ide bagus kan?" bujuk Ifah.Dinda salut sekali pada adik iparnya itu, Ifah nampak sekali mencoba untuk lebih bijak dan dewasa. Hal itu membuat Dinda dan Hasan tersenyum."Nah kau dengar sendiri kan, Nduk? Ifah saja sudah bisa berdamai dengan keadaan, kau sampai kapan mau begini terus? Percayalah Ibumu juga ingin melihat Papa bahagia dan mungkin saat ini Papa bisa bahagia jika bersama Bu Nafis. Bukannya sebagai Bapak egois tetapi Papa membutuhkan teman saat tua. Kau juga akan memiliki kehidupan sendiri nantinya. Lalu bagaimana kalau kita tua? Papa juga membutuhkan sosok bu Nafis sebagai ibu pengganti kalian," terang Pak Hendi."Jadi tolong terimalah," l
AWAL BARU KEBAHAGIAAN"Benarkah , Pak? Sungguh rasanya ini masih seperti mimpi, Mas. Alhamdulillah ya Allah," kata Bu Nafis langsung luruh di lantai.Da bersujud syukur, tak pernah terbayangkan di dunia bisa menginjak tanah suci bersama suami barunya itu. Dia sekarang benar-benar merasa sangat dicintai dan sangat bahagia meskipun pernikahannya dengan Abah dulu cukup bahagia namun dia tidak pernah mencintai Abah sepenuhnya. Beda halnya dengan Pak Hendi, dia benar-benar mencintai lelaki itu. Pak Hendi pun membiarkan sang istri menikmati sujud syukurnya, setelah selesai dia merengkuh sang istri. "Semua telah berlalu, semua telah usai. Buang semua traumamu, buang semua marahmu terhadap anak-anakmu, terhadap menantumu. Hubungan semua yang buruk-buruk lupakan, kita mulai semuanya baru. Kita akan pergi umroh bersama, kita berpamitan kepada anak-anak ya," pinta Pak Hendi.Bu Nafis memeluk Pak Hendi dan menangis sesegukan. Dia benar-benar tak kuasa menahan tangisnya.
HADIAH DARI SUAMI BARU"Bu? Apa Ibu tidak berjualan lagi?" tanya Dinda saat dia melihat dapur yang masih bersih."Tidak, Pak Hendi melarangku untuk jualan," jawab Bu Nafis.Mertuanya itu masih meminum kopinya di meja makan, sedangkan Pak Hendi entah kemana.Pamit pulang ke rumahnya. Dinda menggeret kursinya. "Maafkan Dinda ya, Bu. Selama ini Dinda yang egois, Dinda yang banyak salahnya sebagai menantu," kata Dinda."Maafkan Ibu juga," ucap Bu Nafis lirih. Terlihat dari wajahnya sepertinya dia juga menyesal. "Terkadang sebagai seorang ibu aku merasa belum rela jika anak lelakiku mencintai wanita lain bahkan terkadang aku merasa iri. Bagaimana bisa anakku memperlakukanmu begitu istimewa sedangkan akulah yang melahirkannya, akulah yang menyusuinya, akulah yang selalu membersamainya sampai dia besar. Ketika dia sudah besar aku harus melepaskannya, rasanya aku masih belum ikhlas. Aku tahu ini salah, tetapi itulah yang aku rasakan sekarang," kata Bu Nafis menghela napasnya panjang."Bu...
ORANG TUA PASTI INGIN YANG TERBAIK UNTUK ANAKNYA"Hahaha lalu kau percaya begitu saja?" tanya pak Hendi. Hasan pun mengangguk dengan polosnya. Membuat Dinda dan Pak Hendi gemas sendiri namun merasa lucu dengan tingkah Hasan."Mana ada online sembako yang bisa menggaji karyawannya sebanyak itu? Bahkan bisa untuk mencukupi dan menambal semua kekurangan kebutuhan keluarga kalian. Apakah kau pernah membelikan bensin kendaraanmu itu, San?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Lalu biaya servis? Siapa yang menanggungnya?" selidiknya."Dinda, Pak," jawab Hasan lemah."Lalu untuk kekurangan-kekurangan kebutuhan harian kalian? Bahkan untuk makan sehari-hari, biasanya siapa yang mennambal sulam?" cerca Pak Hendi."Dinda," sahut Hasan."Lalu, apakah selama ini Dinda pernah menuntutmu atau keluarga Dinda pernah menuntutmu dengan semuanya berkaitan dnegan nafkah atau uang?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Menurutmu kenapa mereka tidak menuntutmu? Bukankah itu a
MELEPAS MESKIPUN BELUM IKHLAS"Terima kasih karena Ibu sudah bicara seperti itu kepada Dinda. Sungguh Hasan tak mengira itu. Ibu bisa meminta maaf kepada Dinda dengan tulus. Hari ini rasanya adalah hari yang paling membahagiakan untuk Hasan," kata Hasan. Bu Nafis hanya tersenyum kecut mendengar semua ucapan Dinda dan diam. Begitupun dengan pak Hendi, lelaki itu lebih senang memperhatikan mereka. Ada bahagia yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata melihat keluarga barunya ini sedang mencoba memperbaiki semuanya."Kau ke sini tulus kan Nafis?" tanya pak Hendi."Iya," jawab Bu Nafis. "Nafis, ingatlah. Selama ini banyak hal dan kebaikan yang diperbuat Dinda untuk keluargamu. Jadi sekarang tak ada salahnya jika kau ganti membahagiakan Dinda. Toh Dinda tak pernah meminta banyak padamu kan? Dia tak minta hartamu, dia juga tak meminta kau menjadi ini dan itu. Dia hanya ingin mencoba membina keluarga sendiri dengan Hasan putramu, tak ada yang salah sebenarnya" ucap Pak Hendi."Nah memisah
RESTU ORANG TUA SANGAT PENTING BAGI ANAK MANTUNYA!"Pak, Bu," panggil Dinda lirih. Hasan tersedak."Uhukkk," Hasan langsung terbatuk."Kenapa to, San? Kok sampai tersedak begitu? Mbok ya kalau makan itu hati-hati. Tak akan ada yang meminta makananmu," tegur Bu Nafis dengan sigap mengulurkan air minum dalam gelas.Hasan dengan segera meminumnya, Dinda yang melihat itu hanya menghela nafasnya panjang. Lagi dia merasa, bahwa dia lah yang harus bersikap tegas sekarang. Kalau saja dia tak tegas maka yang rugi akan dirinya sendiri."Ada apa?" tanya pak Hendi."Begini, Pak. Maaf sebelumnya jika pagi-pagi Dinda langsung membahas pembahasan berat seperti ini. Tapi Dida tak dapat menahannya lagi. Karena sepertinya suami Dnda ini tidak sanggup mengatakannya," ucap Dinda. Hasan hanya mampu menundukkan kepalanya."Katakanlah, Nduk," perintah Pak Hendi."Dulu kan Mas Hasan pernah berjanji kepada Dinda untuk membawa Dinda mengekost dan membina hubungan rumah tangga sendiri tanpa ikut campur tangan
IZIN PERGI DARI RUMAH"Kau sudah berkemas, Dek? Pagi sekali. Bukankah kita bisa pindahan nanti saja saat aku pulang bekerja?" tanya Hasan."Tentu saja, Mas. Kita bisa kok pindahan nanti dan aku juga tidak menuntut untuk pindahan sekarang juga," kata Dinda menyahut."Lalu kenapa kau sudah bersiap dan berkemas seperti itu? Toh pindahnya kan masih nanti," ucap Hasan."Tak apa-apa, Mas. Aku hanya sedang senang saja, kita akhirnya bisa pindah. Aku tak ingin kau berubah pikiran, maka dari itu aku sudah menyiapkan semuanya. Kita tinggal berangkat nanti setelah kau pulang dari bekerja," teramg Dinda. Hasan menghela napasnya panjang. "Tapi aku belum berpamitan dengan ibu atau Pak Hendi Dek. Nanti kita pahami dulu ya," minta Hasan."Iya, Mas," sahut Dinda tanpa keberatan sedikitpun."Apa Kita tak bisa sedikit lebih lama lagi di sini, Dek?" gumam Hasan lirih namun masih bisa terdengar oleh Dinda."Tidak, Mas. Seperti janjimu dulu. Aku hanya menuntut apa saja yang sudah kau katakan padaku di dep
MINTA MAAF SEBAGAI ORANG TUA?"Selama ini aku salah Pak," gumam Bu Nafis."Nafis, kau itu harus menyadarinya kalau kau yang salah saat ini. Jangan semua kau nilai dari keuangannya saja, kau ini terbiasa menilai semua dari uang dan harta. Kita tidak tahu orang itu sebenarnya kaya atau tidakk. Karena apa? Banyak orang yang berpura-pura kaya namun tak sedikit orang juga yang masih berpura-pura miskin agar tak terlihat kaya dan banyak di hutangi orang," jawab Pak Hendi."Kita tidak dapat menilai semua hanya dari harta, tapi lihatlah. Coba kau ingat lagi, kebaikan apa yang sudah Dinda buat selama ini untukmu? Apa yang dilakukan untuk keluargamu juga? Kau bahkan juga menggadaikan mobil miliknya padaku. Apakah itu benar? Dinda masih legowo juga lo. Nah, coba kau renungi semua. Itu yang penting," tegur Pak Hendi."Lalu aku harus bagaimana, Pak?" tanya Bu Nafis. "Jika aku menjadi dirimu maka aku akan minta maaf. Jadi saranku mending sekarang kau minta maaflah kepada Dinda," jawab Pak Hendi."