GPS MOBIL"Ya Allah! Jangan balik ke Kediri lagi, Dek!" doa Hasan saat melihat posisi HP Dinda mulau mendekati arah tol.Dinda melajukan mobilnya tanpa arah. Rasnaya dia ingin pulang dan mengadukan semua pada kedua orang tuanya agar Hasan di pecat, hidupnya sengsara. Saat ini Dinda mengendarai mobil sendiri dari Madiun ke Kediri. Namun dia sadar jika pulang ke Kediri itu tak mungkin kedua orang tuanya mengizinkan dia untuk bisa pulang ke Madiun lagi.Padahal jujur saja, di hati Dinda terdalam dia masih sangat mencintai Hasan. Apapun alasannya Dinda sebenarnya ingin bertahan dan bingung. Satu sisi mempertahankan rumah tangganya demi bayi yang di kandungnya atau meninggalkan Hasan karena kesakitan yang dia berikan.'Shittttt' Dinda langsung mengerem mobilnya. Dia menghentikan mobil tepat di depan salah satu Indomaret sebelum masuk gerbang tol Madiun. Dinda menghentikan mobilnya dan masuk ke dalam Indomaret untuk memesan secangkir kopi espresso."Mbak kopi satu ya," kata Dinda meminta pe
KEDATANGAN IFAH!"Kenapa kau melakukan ini semua padaku, Mas? Apakah kau memang ingin kembali kepada Nanda?" tanya Dinda."Astagfirullah, Dek! Kau salah paham," ujar Hasan."Hahaha! Kalau aku salah paham, lantas bagaimana sebenarnya kejadian itu? Mengapa kau rela izin sampai ke luar kantor di jam bekerja seperti ini hanya untuk menuruti permintaan Nanda?" tanya Dinda dengan nada suara keras karena marah."Kalau tak cinta apa namanya?" tanya Dinda lagi."Astaghfirullahaladzim," gumam Hasan."Kau mau Mas yang bicara atau masih kau yang bicara, Dek? Jika memang kau masih mau berbicara maka bicaralah dulu, Dek! Puaskan dan keluarkan semua emosimu. Mas akan dengarkan tanpa memotongnya," jelas Hasan."Karena percuma saja Mas menjelaskan padamu kalau kau masih emosi. Tentu akal dan pikiranmu tak akan bisa menerima semua penjelasan Mas dan masih terlihat salah saja nantinya. Kalau sudah bilang ya," kata Hasan.Dinda langsung terdiam mendengar perkataan suaminya itu. Dia menarik nafas dalam- d
BERGHIBAH DENGAN IFAH'Ting' satu pesan masuk dari Ifah. Rasanya Dinda juga rindu kepada adik iparnya itu. Bagaimanapun juga Ifah tidak pernah bersalah dia hanya menjadi korban hasutan ibunya.[Mbak Dinda, di mana? Bolehkah Ifah bermain ke sana? Kata Ibu, Mbak Dinda sudah pulang][Kemarilah, Dek. Mbak akan mengirim share loc lokasinya][Ada sesuatu yang ingin Ifah bicarakan, Mbak][Apa itu?]Pesan Dinda tak di jawab oleh Ifah. Dinda berpikir mungkin Ifah sedang berangkat menuju ke kos miliknya. Dia juga memesankan beberapa makanan dan camilan yang jarang sekali bisa Ifah makan jika di rumah."Assalamualaikum," kata Ifah memasuki gerbang kos- kosan milik kakaknya itu.Tak salah lagi ini adalah kos tempat kakak iparnya. Ifah melihat mobil Kakak iparknya yang masih ada di sana, dia pun segera menelpon Dinda. Untunglah tak lama kemudian Dinda pun keluar dari kamarnya. Dinda menyuruh masuk Ifah. Mereka pun saling berpelukan melepas rasa rindu."Mbak Dinda! Ifah kangen sekali denganmu. Kena
TA'ARUF MEMBELI KUCING DALAM KARUNG?"Ifah kau yakin?" tanya Dinda."Memang kenapa, Mbak?" jawab Ifah."Dek, kalau kau taaruf maka jangan hanya melihat lelakinya saja, Dek! Tapi pertimbangkan juga, bebet, bibit, bobotnya," sambung Dinda."Siapa yang mengenalkannya padamu?" tanya Dinda."Kenapa memang, Mbak?" sahut Dinda."Kita bisa menilai lelaki itu dari pergaulannya. Meskipun juga itu tak jaminan setidaknya kita bisa mengetahuinya, Dek," sambung lelaki itu.Untuk mengetahui apakah ia seorang pasangan yang ideal atau tidak diharuskan untuk mengenalnya terlebih dahulu sebelum melakukan proses khitbah atau tunangan. Seperti kata pepatah, kenali babat, bibit, bobotnya. Dalam Islam pun dianjurkan agar seseorang mengetahui atau mengenal dulu calon yang akan dihalalkannya. Dalam bahasa syariatnya hal tersebut dikenal dengan istilah taaruf yang memang secara pengertian sederhananya berarti saling mengenal."Jangan sampai membeli kucing dalam karung, Dek!" pesan Dinda.Mengenal saling menge
PERNIKAHAN ITU DILAKUKAN OLEH DUA ORANG BUKAN HANYA AKU SAJA, MAS[Pernikahan itu dilakukan oleh dua orang bukan hanya aku saja, Mas]Send. Pesan itu terkirim pada suaminya, Hasan. Sudah tercentang namun belum di balas olehnya. Terakhir di lihat di wa- nya pun sudah beberapa jam yang lalu. Dinda sadar dia tak boleh begini. Dia harus berusaha mempertahankan rumah tangganya. Saat asik melamun, tiba- tiba Dinda mendengar kajian salah satu ustad saat asik men- scroll aplikasi tok tok nya."Karena kalau dia adalah seorang wanita yang cerdas, maka pilihannya bukan menghancurkan, atau membuat masalah, atau memancing persoalan lagi, yang akhirnya bisa merusak rumah tangga mereka.Wanita itu pasti akan selalu berusaha untuk mempertahankan rumah tangga mereka. Karena apa? Rumah tangga itu adalah kunci surga kita. Rumah tangga kita adalah peluang masuk surga dari pintu yang bebas kita pilih, pada hari kiamat kelak. Jadi kalau kalian para wanita cerdas dan pandai, jangan kita lepaskan hanya gara
MENYINGSINGKAN LENGAN! BERPERANG MELAWAN MERTUA!"Setelah tahu bahwa kau sedang hamil, Mas juga berpikir untuk sesekali tidur di sini saja, Dek! Bagaimana menurtmu? Jadi tiga hari tidur di rumah Ibu, sisanya yang empat hari tidur di sini. Itu rasanya lebih adil kan?" tanya Hasan."Bagaimana menurutmu?" sambungnya.Mendengar pernyataan itu justru Dinda terkejut dan terdiam beberapa saat. Dia dilema, jalan manakah yang harus dia pilih? Ikut kembali ke rumah ibu mertuanya dengan segala konsekuensinya atau menuruti saran Hasan. Kalau dia terus di sini, maka Nanda masih mempunyai peluang untuk mendatangi rumahnya selama tiga hari. Tapi jika dia kembali ke rumah itu harus siap berhadapan dengan Bu Nafis.Dinda memandang suaminya itu. Terbesit rasa bersalah dalam pikirannya. Lelaki itu sudah memiliki keriput, padahal mereka baru menikah beberapa bulan. Mungkin beban yang dia pikul saat ini memang berat. Apalagi memiliki dua ratu yang sama- sama saling menuntut. Dinda
PAK HENDI MEMINTA KEJELASAN!"Orang kok sukanya menuduh dan menjilat ludah sendiri! Sudah begitu berani kembali lagi ke rumah ini. Dasar benalu tak tahu malu! Mandul pula," kata Bu Nafis sekolah sedang menyindir seseorang. Dinda menghentikan langkah kakinya. Namun dia beristighfar berkali-kali."Haruskah aku membalas ucapan ibu mertuaku sekarang ini?" batin Dinda dalam hati.Dinda hanya bisa menghela nafasnya panjang. Dia mencoba untuk mengumpulkan kembali kewarasannya sebelum bertindak. Ini baru beberapa jam dia menginjakkan kaki di istana penderitaan milik mertuanya. Tak mungkin jika langsung mencari masalah saat ini juga. Dia tahu suaminya sudah lelah dan tak mau memberatkan janin yang di kandungnya juga. Dinda mengelus perutnya perlahan dan memilih untuk diam sambil berlalu."Oh dia itu memang budek atau pura -pura tuli dan tak mendengar ucapanku atau mungkin juga sudah bebal?" sindir Bu Nafis lagi.Dinda pun melangkah ke dapur dan mengambil air minum. D
LARAS GADIS PEMBERANI TANPA BATAS!"Loh kemarin belum selesai to, Mas?" tanya Dinda keceplosan."Heh kau tak usah ikut- ikutan apalagi turut campur! Kau itu hanya menantu di sini, jadi tak usah ikut urusanku intern keluarga ini!" tegur bu Nafis.Dinda pun langsung terdiam. Memang salahnya menanyakan itu di hadapan Bu Nafis. "Sekarang kan keputusannya tinggal pada Ibu! Ibu mau menerima atau tidak lamaran dan pinangan Pak Hendi itu?" tanya Hasan."Emmm! Anu!" ujar Bu Nafis tergagap."Apa sih, Bu? Mbok yang jelas kalau ngomong. Hasan sungkan karena kita tak bisa terus mengulur waktu begini. Pihak warga dan Pak Hendi berkali- kali meminta penjelasan. Kalau memang Ibu mau ya mau, kalau tidak ya tidak," jelas Hasan sambil mulai menyuap nasihnya."Bukan itu, San! Ini bukan hanya masalah itu saja. Kalau Ibu akan menikah tentu saja semua harus melalui persetujuan semua anak Ibu, tak bisa memutuskan sendiri. Ibu kan juga memiliki anak, tak rasa Ibu harus berdiskusi semua dengan anak- anak Ibu.
ENDING YANG BAHAGIA!"Ya Allah apapun yang terjadi aku ikhlas, akan semua keputusanmu. Berikan yang terbaik," kata Dinda dalam hati.Tanpa membuang waktu lagi dia mengetes dan hasilnya adalah garis dua. Dinda langsung memekik, memakai bajunya dengan baik dan keluar dari kamar mandi. DIa langsung bersujud saat itu juga, dia merasa senang sekali."Ya Allah ternyata kau adalah sebaik-baiknya pengatur! Di saat semuanya sudah damai saat seperti ini kau memberikanku kepercayaan lagi dan di saat ini pula itu bersama pak Hendi akan segera umroh. Alhamdulillah! Alhamdulillah ya Allah," pekik Dinda tertahan dalam isak tangisnya.Dia pun segera menelpon kedua orang tuanya. Dia ingin membagi kabar kebahagiaan itu pertama kali dengan kedua orang tuanya. Untung tak lama telpon itu diangkat."Assalamualaikum, Papa!" sapa Dinda."Waalaikumsalam, Nduk," jawab Pak Bukhori."Papa, sedang sibukkah?" tanya Dinda."Kenapa kok sepertinya kau terdengar sangat gembira sekali. Ada berita membahagiakankah?" s
HAMIL?"Ya, lama-kelamaan aku juga ikhlas. Aku selalu berpikir positif dan mengambil hikmahnya. Bayangkan saja betapa akan mengasyikkan nanti hidup kita berdua setelah menjadi saudara tiri dan kau serta aku bisa berbaikan. Ini akan sangat menguntungkan sekali bagi kita, karena kita bisa menginap di rumah masing-masing sesuka hati lagi. Ide bagus kan?" bujuk Ifah.Dinda salut sekali pada adik iparnya itu, Ifah nampak sekali mencoba untuk lebih bijak dan dewasa. Hal itu membuat Dinda dan Hasan tersenyum."Nah kau dengar sendiri kan, Nduk? Ifah saja sudah bisa berdamai dengan keadaan, kau sampai kapan mau begini terus? Percayalah Ibumu juga ingin melihat Papa bahagia dan mungkin saat ini Papa bisa bahagia jika bersama Bu Nafis. Bukannya sebagai Bapak egois tetapi Papa membutuhkan teman saat tua. Kau juga akan memiliki kehidupan sendiri nantinya. Lalu bagaimana kalau kita tua? Papa juga membutuhkan sosok bu Nafis sebagai ibu pengganti kalian," terang Pak Hendi."Jadi tolong terimalah," l
AWAL BARU KEBAHAGIAAN"Benarkah , Pak? Sungguh rasanya ini masih seperti mimpi, Mas. Alhamdulillah ya Allah," kata Bu Nafis langsung luruh di lantai.Da bersujud syukur, tak pernah terbayangkan di dunia bisa menginjak tanah suci bersama suami barunya itu. Dia sekarang benar-benar merasa sangat dicintai dan sangat bahagia meskipun pernikahannya dengan Abah dulu cukup bahagia namun dia tidak pernah mencintai Abah sepenuhnya. Beda halnya dengan Pak Hendi, dia benar-benar mencintai lelaki itu. Pak Hendi pun membiarkan sang istri menikmati sujud syukurnya, setelah selesai dia merengkuh sang istri. "Semua telah berlalu, semua telah usai. Buang semua traumamu, buang semua marahmu terhadap anak-anakmu, terhadap menantumu. Hubungan semua yang buruk-buruk lupakan, kita mulai semuanya baru. Kita akan pergi umroh bersama, kita berpamitan kepada anak-anak ya," pinta Pak Hendi.Bu Nafis memeluk Pak Hendi dan menangis sesegukan. Dia benar-benar tak kuasa menahan tangisnya.
HADIAH DARI SUAMI BARU"Bu? Apa Ibu tidak berjualan lagi?" tanya Dinda saat dia melihat dapur yang masih bersih."Tidak, Pak Hendi melarangku untuk jualan," jawab Bu Nafis.Mertuanya itu masih meminum kopinya di meja makan, sedangkan Pak Hendi entah kemana.Pamit pulang ke rumahnya. Dinda menggeret kursinya. "Maafkan Dinda ya, Bu. Selama ini Dinda yang egois, Dinda yang banyak salahnya sebagai menantu," kata Dinda."Maafkan Ibu juga," ucap Bu Nafis lirih. Terlihat dari wajahnya sepertinya dia juga menyesal. "Terkadang sebagai seorang ibu aku merasa belum rela jika anak lelakiku mencintai wanita lain bahkan terkadang aku merasa iri. Bagaimana bisa anakku memperlakukanmu begitu istimewa sedangkan akulah yang melahirkannya, akulah yang menyusuinya, akulah yang selalu membersamainya sampai dia besar. Ketika dia sudah besar aku harus melepaskannya, rasanya aku masih belum ikhlas. Aku tahu ini salah, tetapi itulah yang aku rasakan sekarang," kata Bu Nafis menghela napasnya panjang."Bu...
ORANG TUA PASTI INGIN YANG TERBAIK UNTUK ANAKNYA"Hahaha lalu kau percaya begitu saja?" tanya pak Hendi. Hasan pun mengangguk dengan polosnya. Membuat Dinda dan Pak Hendi gemas sendiri namun merasa lucu dengan tingkah Hasan."Mana ada online sembako yang bisa menggaji karyawannya sebanyak itu? Bahkan bisa untuk mencukupi dan menambal semua kekurangan kebutuhan keluarga kalian. Apakah kau pernah membelikan bensin kendaraanmu itu, San?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Lalu biaya servis? Siapa yang menanggungnya?" selidiknya."Dinda, Pak," jawab Hasan lemah."Lalu untuk kekurangan-kekurangan kebutuhan harian kalian? Bahkan untuk makan sehari-hari, biasanya siapa yang mennambal sulam?" cerca Pak Hendi."Dinda," sahut Hasan."Lalu, apakah selama ini Dinda pernah menuntutmu atau keluarga Dinda pernah menuntutmu dengan semuanya berkaitan dnegan nafkah atau uang?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Menurutmu kenapa mereka tidak menuntutmu? Bukankah itu a
MELEPAS MESKIPUN BELUM IKHLAS"Terima kasih karena Ibu sudah bicara seperti itu kepada Dinda. Sungguh Hasan tak mengira itu. Ibu bisa meminta maaf kepada Dinda dengan tulus. Hari ini rasanya adalah hari yang paling membahagiakan untuk Hasan," kata Hasan. Bu Nafis hanya tersenyum kecut mendengar semua ucapan Dinda dan diam. Begitupun dengan pak Hendi, lelaki itu lebih senang memperhatikan mereka. Ada bahagia yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata melihat keluarga barunya ini sedang mencoba memperbaiki semuanya."Kau ke sini tulus kan Nafis?" tanya pak Hendi."Iya," jawab Bu Nafis. "Nafis, ingatlah. Selama ini banyak hal dan kebaikan yang diperbuat Dinda untuk keluargamu. Jadi sekarang tak ada salahnya jika kau ganti membahagiakan Dinda. Toh Dinda tak pernah meminta banyak padamu kan? Dia tak minta hartamu, dia juga tak meminta kau menjadi ini dan itu. Dia hanya ingin mencoba membina keluarga sendiri dengan Hasan putramu, tak ada yang salah sebenarnya" ucap Pak Hendi."Nah memisah
RESTU ORANG TUA SANGAT PENTING BAGI ANAK MANTUNYA!"Pak, Bu," panggil Dinda lirih. Hasan tersedak."Uhukkk," Hasan langsung terbatuk."Kenapa to, San? Kok sampai tersedak begitu? Mbok ya kalau makan itu hati-hati. Tak akan ada yang meminta makananmu," tegur Bu Nafis dengan sigap mengulurkan air minum dalam gelas.Hasan dengan segera meminumnya, Dinda yang melihat itu hanya menghela nafasnya panjang. Lagi dia merasa, bahwa dia lah yang harus bersikap tegas sekarang. Kalau saja dia tak tegas maka yang rugi akan dirinya sendiri."Ada apa?" tanya pak Hendi."Begini, Pak. Maaf sebelumnya jika pagi-pagi Dinda langsung membahas pembahasan berat seperti ini. Tapi Dida tak dapat menahannya lagi. Karena sepertinya suami Dnda ini tidak sanggup mengatakannya," ucap Dinda. Hasan hanya mampu menundukkan kepalanya."Katakanlah, Nduk," perintah Pak Hendi."Dulu kan Mas Hasan pernah berjanji kepada Dinda untuk membawa Dinda mengekost dan membina hubungan rumah tangga sendiri tanpa ikut campur tangan
IZIN PERGI DARI RUMAH"Kau sudah berkemas, Dek? Pagi sekali. Bukankah kita bisa pindahan nanti saja saat aku pulang bekerja?" tanya Hasan."Tentu saja, Mas. Kita bisa kok pindahan nanti dan aku juga tidak menuntut untuk pindahan sekarang juga," kata Dinda menyahut."Lalu kenapa kau sudah bersiap dan berkemas seperti itu? Toh pindahnya kan masih nanti," ucap Hasan."Tak apa-apa, Mas. Aku hanya sedang senang saja, kita akhirnya bisa pindah. Aku tak ingin kau berubah pikiran, maka dari itu aku sudah menyiapkan semuanya. Kita tinggal berangkat nanti setelah kau pulang dari bekerja," teramg Dinda. Hasan menghela napasnya panjang. "Tapi aku belum berpamitan dengan ibu atau Pak Hendi Dek. Nanti kita pahami dulu ya," minta Hasan."Iya, Mas," sahut Dinda tanpa keberatan sedikitpun."Apa Kita tak bisa sedikit lebih lama lagi di sini, Dek?" gumam Hasan lirih namun masih bisa terdengar oleh Dinda."Tidak, Mas. Seperti janjimu dulu. Aku hanya menuntut apa saja yang sudah kau katakan padaku di dep
MINTA MAAF SEBAGAI ORANG TUA?"Selama ini aku salah Pak," gumam Bu Nafis."Nafis, kau itu harus menyadarinya kalau kau yang salah saat ini. Jangan semua kau nilai dari keuangannya saja, kau ini terbiasa menilai semua dari uang dan harta. Kita tidak tahu orang itu sebenarnya kaya atau tidakk. Karena apa? Banyak orang yang berpura-pura kaya namun tak sedikit orang juga yang masih berpura-pura miskin agar tak terlihat kaya dan banyak di hutangi orang," jawab Pak Hendi."Kita tidak dapat menilai semua hanya dari harta, tapi lihatlah. Coba kau ingat lagi, kebaikan apa yang sudah Dinda buat selama ini untukmu? Apa yang dilakukan untuk keluargamu juga? Kau bahkan juga menggadaikan mobil miliknya padaku. Apakah itu benar? Dinda masih legowo juga lo. Nah, coba kau renungi semua. Itu yang penting," tegur Pak Hendi."Lalu aku harus bagaimana, Pak?" tanya Bu Nafis. "Jika aku menjadi dirimu maka aku akan minta maaf. Jadi saranku mending sekarang kau minta maaflah kepada Dinda," jawab Pak Hendi."