AWAL KEHARMONISAN KELUARGA!"Mau keadaan sadar atau mau dalam kondisi rileks?" tanya Bu Nur."Sadar saja, Bu! Ifah memang benar- benar ingin mengatakan dan mengungkapkan langsung permohonan maaf itu," ujar Ifah."Memang siapa orangnya, Nduk?" tanya Bu Nur."Mas Hasan," gumam Ifah lirih sambil memandang ke arah kakaknya yang sedari tadi masih asik melamun saja."Hah! Ada apa, Dek?" sahut Hasan otomatis ketika namanya di panggil."Apakah Mas Hasan kakakmu ini?" tanya Bu Nur lagi."Benar, Bu!" jawab Ifah tegas,"Ada apa sih, Dek?" bisik Hasan pada Ifah. Karena dia sudah bertanya tapi tak ada seorang pun yang menghiraukannya. Dia menyenggol kaki Dinda berkali-kali. Karena Hasan tak paham mengapa sejak tadi Ifah memanggil namanya dan mengapa namanya di bawa-bawa saat ini. Setahu Hasan, Ifah ke sini karena putus cinta dengan Arif bukan ada masalah dengannya. Tetapi kenapa malah dia di panggil Bu Nur. Perasaan masalah Ifah trauma dengannya dulu sudah clear. "Apakah penyakit seperti itu bisa
Mulai Ulah LagiSetelah Dinda membayarkan semua biaya konsultasi kepada Bu Nur lewat transfer m bangking mereka segera berpamitan. Akhirnya mereka memutuskan untuk segera pulang, karena tak enak hari sudah tengah malam mereka masih bertamu. Mereka pulang pukul sebelas malam, tak terasa dua jam sudah mereka curhat ngobrol ngalor ngidul dengan Bu Nur. Dinda sengaja mengajak mereka makan malam, karena sedari tadi mereka memang belum makan malam. Apalagi bisa di pastikan bahwa makanan di rumah habis.'Mas kita beli makan dulu yuk bertiga, jarang- jarang kita bisa andok atau makan di sana bersama," pinta Dinda."Boleh juga idemu itu, Dek! Kau mau makan apa, Dek?" tanya Hasan."Mau makan apa?" tanya balik Dinda kepada adik iparnya."Kita cari sebat saja bagaimana, Mbak? Kok aku pengen makan sebat malam- malam! Kan pedes banget sambel nya, masih ada nggak yajam segini?" pinta Ifah yang mendadak ingin memakan pedas.Sebat adalah nasi babat. Nasi khas Surabaya yang terdiri dari nasi putih, sam
PERKARA NAFKAH DALAM RUMAH TANGGA"Kau sudah bilang Dinda kan?" tanya nya lagi."Pesan apa, Mas?" tanya Dinda yang tak paham. Karena semalam Hasan tak mengatakan apapun."Tidak kok, Dek! Tak apa- apa," jawab Hasan masih tak mau jujur kepada Dinda.Dinda hanya menganggukkan kepalanya. Dia tak mau ambil pusing lagi dengan urusan sang suami. Dari pada semakin mencari tahu justru dia yang akan sakit hati sendiri. Jika suaminya sendiri tak ingin dia mengetahuinya. Hasan berdiri dan berangkat kerja seperti biasa.Sampai sore hari tak ada kejadian menarik. Sampai dengan kepulangan Hasan, hari ini adalah hari gajian. Biasanya Hasan akan memberikan jatah Dinda satu juta, apalagi Hasan tahu sendiri bahwa Dinda mengeluarkan uang banyak untuk biaya pengobatan terapi adiknya dalam sebulan ini. Saat Hasan pulang masih Dinda masih di dalam kamar. Dinda segera menyelesaikan pekerjaannya lewat laptop dan bergegas untuk segera keluar dari dalam menemui suaminya Hasan yang tak kunjung masuk kamar."Tumb
KEMANAKAH PERGINYA BU NAFIS?"Tidak, Mas! Aku ingin kau menjawab pertanyaan ku, jika seorang suami mempunyai ibu yang butuh uang dan memiliki istri yang juga butuh makan, siapa yang lebih di utamakan? Istrinya atau ibunya?" tanya Dinda menatap Hasan dengan tatapan tajam."Apa maksudmu, Dek?" tanya Hasan mengernyitkan keningnya bingung."Ini masalah nafkah, Mas! Bukankah yang wajib lebih dulu itu Istri? Jadi yang lebih berhak adalah seorang istri. Suami itu wajib memberikan nafkah kepada istrinya, walaupun istrinya kaya, itu sifatnya sangat wajib! Wajib kasih nafkah dan di situlah kedudukan seorang suami, dia tetap harus memberikan nafkah kepada istrinya. Tapi kalau kepada orang tua, kalau orangnya kaya nggak wajib dia kasih nafkah, tapi kalau kepada istri wajib! Kalau menyebutnya bagaimana kalau istrinya butuh makan dan ibunya butuh makan ini? Sedangkan makan cuma cukup untuk satu orang istri, para ulama sepakat istri," jelas Dinda."Kenapa? Karena itu kewajibannya d
MASA LALU TERKUAK KARENA SEGO BERKAT!"Entahlah, Mas! Ibu pergi begitu saja tadi, Dinda juga sedang mencarinya tetapi tidak ketemu," jawabnya."Apakah mungkin Ibu ke rumah pak Hendi mengingat acara hari ini kan kenduri," ujar Dinda lagi"Rasanya tidak mungkin deh, Dek! Ibu itu tidak pernah pernahnya berhubungan dengan Pak Hendi, bahkan selama mendiang istri pak Hendi dulu masih hidup mereka juga tak berhubungan, karena sejak dulu Ibu kurang cocok dengan istri Pak Hendi itu yang meninggal," jawab Hasan."Tidak cocok? Memangnya kenapa masalahnya, Mas?" tanya Dinda penasaran. Karena selama ini dia tidak tahu cerita di balik keluarga Pak Hendi. Walaupun mereka saling bersebelahan dan bertetangga selain. Hal itu, karena Pak Hendi sendiri juga jarang pulang. Dia bekerja di luar kota, Dinda juga tak pernah bermain ke rumah tetangga. Karena selama ini dia hanya menghabiskan waktu di rumah saja."Karena dulu Ibu pernah di curigai oleh istri Pak Hendi, Dek! Mereka berdua p
MEREBUT HATI DUA ANAK!"Dek," tegur Laras pada adiknya. Dinda sedikit lega karena setidaknya ada Laras yang berada di pihaknya. Meskipun Laras juga tak seramah orang pada normalnya, tapi dia tak menolak kehadiran. Sekarang Dinda mulai ragu. Apakah dia bisa menaklukkan kedua anak itu."Benarkah adik Mbak Dinda berkuliah di Australia?" tanya Laras mulai tertarik dengan topik pembicaraan mereka."Iya, Dek Laras! Kalau tak percaya, Mbak bisa menunjukkan buktinya. Tapi sayang sekali, Mbak tak membawa hp. Jadi kapan- kapan mainlah ke rumah, akan Mbak Dinda tunjukkan semua! Bahkan kita bisa bervideo call bersama, dia di sana juga kerja loh, Dek! Tapi cuma bagian kasir di minimarket dua puluh empat jam seperti itu," jelas Dinda dia antusias, karena Laras sudah mulai tertarik dengan obrolan mereka."Cowok atau cewek, Mbak?" tanya Laras."Cewek, Dek! Sama usianya dengan kalian," sahut Dinda."Sebenarnya ada yang ingin kuliah di luar negeri, Mbak! Mungkin dia malu, yang jelas juga itu bukan aku,
MENDEKATI LARAS DAN SAFIRA!"Kalau kau menganggur nanti mending ke sana saja, Din! Ikut Ibu, biar kenal dengan warga lingkungan sini," perintah Dinda."Apakah ini kesempatanku?" batin Dinda."Dengan senang hati, Bu! jawab Dinda Dinda tersenyum simpul ini merupakan kesempatannya untuk mengamati hubungan ibunya dan pak Hendi di acara kenduriSetelah sholat maghrib mereka pergi bersama. Dinda dan ibu mertuanya berjalan kaki, mereka pergi lewat kebun belakang rumah saja. Karena jika lewat depan rumah sudah banyak warga atau lelaki yang datang untuk acara kenduri. Saat acara itu berangsung, tampak Bu Nafis sangat sibuk mengatur semua yang ada di dpaur. Lebih tepatnya dia caper sendiri, mulai mengatur suguhan, minuman, bahkan ater- ater para tetangga. Namun kali ini Dinda tak ingin berburuk sangka dia tak ingin menarik kesimpulan sendiri terhadap perubahan mertuanya yang di rasa mencurigakan itu."Tumben, Din! Ibu mertuamu rajin sekali," ejek Mbak Lina berbisik kepada Dinda sambil terus mer
DAGING WAHYU[Dek, besok kalau longgar telp ya]Send pesan terkirim ke adik Dinda. Dia sengaja mengirim pesan langsung ke adiknya untuk mengetahui aneka resep masakan Australia yang mudah dan bisa dibuatnya. Ini dilakukan untuk mengambil hati Laras dan Safira dalam misinya agar bisa dekat dengan kedua anak itu."Asik sekali sedang whatsapp-an dengan siapa dek tanya Hasan yang baru saja pulang dari acara kenduri"Dengan adikku, Mas! Mau tanya resep masakan yang mudah dari Australia," ucap Dinda di dalam kamar."Oh," sahut Hasan pendek sambil berlalu ke dapur. Dinda pun mengikuti langkah kaki suaminya."Mas Apakah Laras dan Safira itu memang wataknya terus begitu?" tanya Dinda yang masih penasaran."Menurut Mas, dia baik kok memangnya dia ketus denganmu?" tanya balik Hasan.Dinda hanya mengangguk-anggukan kepalanya sekarang. Dia mengerti memanglah kedua anak itu ketus hanya pada wanita sepertinya. Sepertinya memang mereka berdua ada trauma mendalam tent