KEMANAKAH PERGINYA BU NAFIS?"Tidak, Mas! Aku ingin kau menjawab pertanyaan ku, jika seorang suami mempunyai ibu yang butuh uang dan memiliki istri yang juga butuh makan, siapa yang lebih di utamakan? Istrinya atau ibunya?" tanya Dinda menatap Hasan dengan tatapan tajam."Apa maksudmu, Dek?" tanya Hasan mengernyitkan keningnya bingung."Ini masalah nafkah, Mas! Bukankah yang wajib lebih dulu itu Istri? Jadi yang lebih berhak adalah seorang istri. Suami itu wajib memberikan nafkah kepada istrinya, walaupun istrinya kaya, itu sifatnya sangat wajib! Wajib kasih nafkah dan di situlah kedudukan seorang suami, dia tetap harus memberikan nafkah kepada istrinya. Tapi kalau kepada orang tua, kalau orangnya kaya nggak wajib dia kasih nafkah, tapi kalau kepada istri wajib! Kalau menyebutnya bagaimana kalau istrinya butuh makan dan ibunya butuh makan ini? Sedangkan makan cuma cukup untuk satu orang istri, para ulama sepakat istri," jelas Dinda."Kenapa? Karena itu kewajibannya d
MASA LALU TERKUAK KARENA SEGO BERKAT!"Entahlah, Mas! Ibu pergi begitu saja tadi, Dinda juga sedang mencarinya tetapi tidak ketemu," jawabnya."Apakah mungkin Ibu ke rumah pak Hendi mengingat acara hari ini kan kenduri," ujar Dinda lagi"Rasanya tidak mungkin deh, Dek! Ibu itu tidak pernah pernahnya berhubungan dengan Pak Hendi, bahkan selama mendiang istri pak Hendi dulu masih hidup mereka juga tak berhubungan, karena sejak dulu Ibu kurang cocok dengan istri Pak Hendi itu yang meninggal," jawab Hasan."Tidak cocok? Memangnya kenapa masalahnya, Mas?" tanya Dinda penasaran. Karena selama ini dia tidak tahu cerita di balik keluarga Pak Hendi. Walaupun mereka saling bersebelahan dan bertetangga selain. Hal itu, karena Pak Hendi sendiri juga jarang pulang. Dia bekerja di luar kota, Dinda juga tak pernah bermain ke rumah tetangga. Karena selama ini dia hanya menghabiskan waktu di rumah saja."Karena dulu Ibu pernah di curigai oleh istri Pak Hendi, Dek! Mereka berdua p
MEREBUT HATI DUA ANAK!"Dek," tegur Laras pada adiknya. Dinda sedikit lega karena setidaknya ada Laras yang berada di pihaknya. Meskipun Laras juga tak seramah orang pada normalnya, tapi dia tak menolak kehadiran. Sekarang Dinda mulai ragu. Apakah dia bisa menaklukkan kedua anak itu."Benarkah adik Mbak Dinda berkuliah di Australia?" tanya Laras mulai tertarik dengan topik pembicaraan mereka."Iya, Dek Laras! Kalau tak percaya, Mbak bisa menunjukkan buktinya. Tapi sayang sekali, Mbak tak membawa hp. Jadi kapan- kapan mainlah ke rumah, akan Mbak Dinda tunjukkan semua! Bahkan kita bisa bervideo call bersama, dia di sana juga kerja loh, Dek! Tapi cuma bagian kasir di minimarket dua puluh empat jam seperti itu," jelas Dinda dia antusias, karena Laras sudah mulai tertarik dengan obrolan mereka."Cowok atau cewek, Mbak?" tanya Laras."Cewek, Dek! Sama usianya dengan kalian," sahut Dinda."Sebenarnya ada yang ingin kuliah di luar negeri, Mbak! Mungkin dia malu, yang jelas juga itu bukan aku,
MENDEKATI LARAS DAN SAFIRA!"Kalau kau menganggur nanti mending ke sana saja, Din! Ikut Ibu, biar kenal dengan warga lingkungan sini," perintah Dinda."Apakah ini kesempatanku?" batin Dinda."Dengan senang hati, Bu! jawab Dinda Dinda tersenyum simpul ini merupakan kesempatannya untuk mengamati hubungan ibunya dan pak Hendi di acara kenduriSetelah sholat maghrib mereka pergi bersama. Dinda dan ibu mertuanya berjalan kaki, mereka pergi lewat kebun belakang rumah saja. Karena jika lewat depan rumah sudah banyak warga atau lelaki yang datang untuk acara kenduri. Saat acara itu berangsung, tampak Bu Nafis sangat sibuk mengatur semua yang ada di dpaur. Lebih tepatnya dia caper sendiri, mulai mengatur suguhan, minuman, bahkan ater- ater para tetangga. Namun kali ini Dinda tak ingin berburuk sangka dia tak ingin menarik kesimpulan sendiri terhadap perubahan mertuanya yang di rasa mencurigakan itu."Tumben, Din! Ibu mertuamu rajin sekali," ejek Mbak Lina berbisik kepada Dinda sambil terus mer
DAGING WAHYU[Dek, besok kalau longgar telp ya]Send pesan terkirim ke adik Dinda. Dia sengaja mengirim pesan langsung ke adiknya untuk mengetahui aneka resep masakan Australia yang mudah dan bisa dibuatnya. Ini dilakukan untuk mengambil hati Laras dan Safira dalam misinya agar bisa dekat dengan kedua anak itu."Asik sekali sedang whatsapp-an dengan siapa dek tanya Hasan yang baru saja pulang dari acara kenduri"Dengan adikku, Mas! Mau tanya resep masakan yang mudah dari Australia," ucap Dinda di dalam kamar."Oh," sahut Hasan pendek sambil berlalu ke dapur. Dinda pun mengikuti langkah kaki suaminya."Mas Apakah Laras dan Safira itu memang wataknya terus begitu?" tanya Dinda yang masih penasaran."Menurut Mas, dia baik kok memangnya dia ketus denganmu?" tanya balik Hasan.Dinda hanya mengangguk-anggukan kepalanya sekarang. Dia mengerti memanglah kedua anak itu ketus hanya pada wanita sepertinya. Sepertinya memang mereka berdua ada trauma mendalam tent
TANGIS BU NAFIS!"Apakah benar yang dikatakan Mbak Lina selama ini bahwa sang Ibu terkenal suka gonta-ganti pasangan semenjak Abah meninggal beberapa bulan lalu? Dia sudah berhenti karena terjebak cinta dengan pak Hendi? Apakah kisah masa lalu pak Hendi dan ibu itu benar?" batin Dinda dalam hati."Kalau menurut Dinda sih, mungkin mereka mengizinkan, Bu! Bukan karena apa-apa, Bu! Tapi kan demi kebahagiaan Ibu sendiri, mungkin anak-anak ibu akan mengerti! Itu menurut Dinda," jawab Dinda. "Karena bagaimanapun kebahagiaan itu kan kembali ke masing-masing, Bu! Apalagi jika Ibu memang mau menikah lagi, kita sesama wanita kan, bu! Memang tak bisa munafik yang namanya wanita itu kan tetap butuh kasih sayang tak memandang usia. Apalagi sayang itu rasa yang tidak bisa diberikan oleh anak-anaknya, kadang kan ada rasa kesepian juga," ujar Dinda."Tumben, Din! Pemikiranmu itu dewasa sekali," ejek bu Nafis."Memang ibu mau menikah ya sama Pak Hendi?" tanya Dinda."Tidakla
PERKARA SERTIFIKAT!"Bagaimana ya, Din? Bagaimana kalau rumah ini di sita? Tak mungkin kan Ibu menyerahkannya ke bank," ujar Bu Nafis sambil gelisah."Din, bagaimana jika uang mu jual mobil di pakai menebus sertifikat ini?" tanya bu Nafis menatap wajah Dinda mendalam.Dinda terdiam tak bisa menimpali atau menjawab pertanyaan sang mertua. Bukan apa- apa tentulah jika dia meminjamkan uang itu pada ibunya akan menjadi masalah besar nantinya. Mengingat watak Bu Nafis mertuanya seperti itu. Akan lebih baik menghindari hitungan uang dengan sang mertua. Dinda terdiam mencari asan yang tepat."Tunggu Mas Hasan saja, Bu! Nanti kita cari jalan keluarnya," ucap Dinda mengusulkan."Ah, jika saja Hasan tahu kelakuan kakaknya itu, tentulah dia akan marah, Din! Ini akan menjadi pertentangan lagi bagi mereka," jelas Bu Anfis sambil menghela nafas yang sangat berat memikirkan kedua anakny itu."Padahal dulu sebelum menikah denganmu, Hasan sudah berkorban banyak untuk kakaknya! Tabungannya bahkan habis
HENGKANG DARI RUMAH MERTUA?"Apakah mobil pajeromu saja ya yang dijual ya, Din? Toh ini demi keluarga kita," rayu Bu Nafis.Dinda langsung mengerlingkan bola matanya malas melihat ibu mertuanya itu kambuh lagi. Bukannya dia tak ingin membantu mertuanya, namun ini sudah beda kasus. Dia tak mau putus seperti yang sudah-sudah karena mertuanya itu tipikal orang yang tidak tahu berterima kasih."Sudah tunggu saja nanti, Bu! Sampai Mas Hasan pulang Bu, Dinda tidak bisa memutuskan. Mobil itu adalah hadiah pemberian orang tua Dinda bukan milik Dinda sendiri, kecuali itu adalah milik Dinda, kalo Papa menanyakan aku harus jawab apa, Bu? ibu mau tanggung jawab?" tanya Dinda sambil berusaha mencari alasan yang tepat."Loh kau itu gimanna to, Din! Kan bpkbnya sudah ada di kamu tadi, tentu itu adalah milikmu! Wong namanya saja hadiah! Lagian masa iya orang tahu kamu mau hitung-hitungan sama anak sendiri?" jawab Bu Nafis."Bu, cuma sekarang Dinda berpikir ulang! Dinda bukannya tak ikhas terhadap apa