RONCE DAN SAWUR"Oh, Dinda paham. Misal nya seperti Haul Kyai Hamid, Kyai Hasnan, begitu to, Mbok?" tanya Dinda."Betul itu. Jadi beda kasta," jawab Mbok Jum."Umborampe itu apa to, Mbok? Kenapa harus ada?" tanya nya lagi."Umborampe itu benda atau alat perlengkapan dalam setiap sistem upacara oleh Orang Jawa, meliputi uborampe pangrukti layon sampai uborampe panguburing layon,yaitu perlengkapan merawat jenasah sampai perlengkapan penguburan jenasah. Saat upacara memandikan jenazah ada air landha merang yaitu air dari abu jerami yang disaring, digunakan untuk menyiram jenazah pertama kali. Air suci yaitu air yang diambil dari sumur yang digunakan untuk membilas jenazah. Air kunyit, yaitu air yang diberi campuran kunyit yang dihaluskan. Merang, atau dapat juga diganti dengan cottonbuds untuk membersihkan kuku. Sabun dan sampo, kapur barus, debog yaitu batang pisang yang dipotong. Tetapi ini hanya digunakan untuk situasi tertentu seperti jika tidak ada yang dapat dianggap layak untuk me
SAWAN MAYIT!"Kau kan hamil to kata mertuamu, kok rewang di sini?" sambung Nanda."Memang kenapa? Wajar to, wong Pak Hendi tetangga, mosok tetangga kesripahan mau diam diri di rumah?" sahut Dinda."Nduk, kau hamil?" tanya Mbok Jum dengan wajah paniknya. Dinda menganggukkan kepalanya."Astagfirulloh!" teriak beberapa orang yang rewang. Sontak pekikkan itu membuat Dinda bingung."Memang kenapa, Mbok?" tanya Dinda lagi ikut panik."Astagfirulloh, Gusti! Ayok pulang!" jawab Mbok Jum tanpa peduli dengan semua pertanyaan Dinda.Dinda yang memang tak tahu apa- apa langsung saja menurutinya. Dia langsung ngibrit pulang bersama Mbok Jum. Sepanjang jalan Mbok Jum meramalkan mantra- mantra yang tak tahu apa di katakannya."Kau itu ngawur, Din! Ngawur!" omel Mbok Jum."Kenapa memangnya, Mbok? Kenapa kita pulang? Di san masih repot lo, Mbok," ujar Dinda."Urusan layat melayat tidak sembarang orang diperbolehkan, Nduk! Kenapa kau tak mengatakan pada Mbok Jum sejak awal?" tanya Mbok Jum."La Mbok J
MENANTU SOK KAYA!Bu Nafis tak peduli dengan teriakan Dinda. Dia berpura- pura cuek dengan teriakan Dinda. Tapi dalam hati bangga, menantunya yang mengejarnya."Halah wes ben, Din! Mertuamu rada sableng setelah di tinggah Abah Kyai," jawab Mbok Jum."Bukan begitu, Mbok! Tapi kan helm Ibu masih di pakai, Mbok. Dia marah- marah sama Mbok Jum sampai lupa melepas helmnya," kata Dinda tertawa."Hahahah. Sukurin wes ben! Biarkan saja, biar malu," sahut Mbok Jum."Wes ndang mandi nanti tak buatkan jamu, Nduk! Tak tambahi buatkan gelang sekalian," perintah Mbok Jum lagi.Di sini orang yang terkena sawan baik anak bayi, anak- anak, maupun Ibu hamil akan di beri obat berupa rempah- rampah yang telah di beri mantera- mantera yang di kenal dengan sebutan sawanan. Sawanan biasanya berupa rempah-rempah Jawa di antaranya daun dlingo, bangle, adas waras, kunyit, bawang merah, ketumbar, laos, jinten, kulit pohon secang, kayu manis, akar wangi, cendana, daun kemukus, daun kemuning. Rempah-rempah terse
MASALAH UANG!"Dinda!!! DINDAAA!" teriak Bu Nafis."Ck! Ada apa lagi itu Ibu mertuaku," gumam Dinda.'Brak' pintu kamar Dinda di buka paksa."Dasar menantu sok kaya! Cari muka kau ya! Hah?" bentak Bu Nafis."Ada apa, Bu?" tanya Dinda mendengar Ibu mertuanya sudah ribut di depan sana."Jangan pura- pura tak tahu! Kau tak usah sok sekali jadi orang, kau ini orang seperti apa sebenarnya? Sedang cari muka atau sedang memperbaiki nama atau mencari belas kasihan orang? Hah? Pengen di wahhh orang agar semua orang di sana kagum iya? Mana yang sebenarnya sedang kau lakukan?" cerca Bu Nafis."Ada apa toh, Bu? Ada apa sebenarnya? Dinda sungguh tak paham dengan apa yang Ibu katakan," ujar Dinda."Hahaha! Sok polos! Munafik. Tak usah berpura- pura kau itu, tadi Mbok Jum ke sana mengatakan bahwa kau akan menyumbang jajan untuk acara tiga harian di rumah Pak Hendi! Iya to?" tanya nya lgi."Oalah, masalah itu to, Bu! Tak kira masalah apa, la memang apa salahnya, Bu? Kan Ibu juga dekat dengan Pak Hend
MENJADI SUAMI KALKULATOR!"Hah?" sahut Dinda melongo. Dia sungguh tak percaya seorang Hasan bisa mengatakan demikian."Mas, kau mengeluh menghidupiku?" tanya Dinda setengah tak percaya. Hasan menelan ludahnya kasar."Bukannya begitu, Dek. Mas tidak melarangmu, Mas juga tidak mengeluh, Dek. Kalau memang ada rezeki berlebih pun Mas juga ingin menyumbang ke keluarga Pak Hendi, apalagi itu kan tetangga gandeng tembok kita," kata Hasan."Baguslah kalau begitu, Mas. Lalu masalahnya di mana, Mas?" tanya Dinda."Masalahnya itu kan kita juga bukan orang yang berlebihan untuk sekarang, Dek," jawab Hasan."Apakah itu alasan untuk tidak bisa bersedekah sedikit, Mas?" sahut Dinda."Ya bukan begitu, pokoknya apa -apa kan harus punya skala prioritas, Dek. Dalam hidup ini tidak hanya tentang sedekah harta to, tapi kan sedekah juga melihat melihat kemampuan. Bisa kan sedekah bukan dengan mengeluarkan uang. Seperti rewang kan juga masuk sedekah tenaga," jelas Hasan."Andai aku boleh dan bisa melakukann
SEFATAL ITUKAH SALAHKU, MAS?'Brakkk'"Cukup ADINDA!" teriak Hasan."Lancang mulutmu ya!" bentaknya."Apa?" tantang Dinda dengan wajah memerah."Jangan kelewat batas, Dinda. Aku dari tadi sudah menahan emosiku agar tak marah padamu, namun jika kau terus menantangku begitu baiklah! Kau memang tahu yang terbaik untukmu, kau lebih pandai dariku karena seorang sarjana S1, kau juga lebih mengerti agama. Tak perlu aku lagi kan sebagai suami mu? Baik. Akan aku ingat- ingat semua ucapanmu malam ini!" tegur Hasan.Dinda tertegun mendengar ucapan suaminya. Dia tak mengira sang suami akan semarah itu, padahal dia hanya mengatakan semua unek- uneknya saja. Namun Hasan sepertinya benar- benar tersinggung dengan ucapan Dinda."Apa perlu aku tak usah pulang sekalian? Ah salah, aku tak akan pulang ke rumah yang aa di hatimu! Bukankah istri itu rumah untuk suaminya pulang? Nyatanya sang istri tak menginginkan suaminya datang. Oh mungkin kau juga lebih nyaman sendiri dan tak ada aku. Asal kau tahu saj
AKU HANYA INGIN BERJALAN BERIRINGAN BUKAN MENDAHULUI, MAS!"Apakah sefatal itu kesalahanku, Mas?" batin Dinda dalam hati.Dinda berjalan menuju ke dapur, dia membuka tudung saji. Tak ada apapun di dalam sana, Dinda menghela nafasnya perlahan. Dia membuka kulkas, hanya ada sisa nasi berkat. Sekarang dia menyesal mengapa tak menyetok roti dan camilan. Besok dia akan membelinya.Saat memasuki kembali ke kamar, dia melihat sang suami. Nelangsa sebenarnya hatinya melihat sang suami dengan ego yang sangat tinggi. Suami yang selalu ingin menang sendiri."Mas, jika menikah hanya tentang mencari dan memberi nafkah, bahkan perempuan pun bisa mencari nafkah dan menafkahi dirinya sendiri tanpa harus menikah. Mengapa engaku menjadi lelaki yang paling paling sekarang, mengapa kau merasa seperti lelaki yang paling berjasa, paling lelah, paling bekerja keras. Apakah kau tak tahu aku juga lelah meskipun tak menjalani pekerjaan sepertimu? Aku yang harus membantu mertua dan bekerja juga, bukankah kita
JANGAN MERASA SI PALING PALINGDinda menarik nafasnya perlahan, antara ingin bertanya atau tidak. Dia tak berani karena takut membuka aib suami, namun ini kesempatan emas. Bertanya langsung pada orang yang tepat."Umi, bagaimana jika di dalam rumah tangga seorang suami merasa paling benar?" tanya seorang wanita berhijab dengan bulu mata anti badai.Dinda lega sekali akhirnya ada yang merasakan sepertinya sehingga membuatnya tak harus repot membuka aib suaminya di hadapan banyak orang semua. Karena Dinda juga merasa tak enak, meskipun Ifah sekarang ada di pihaknya namun dia kan tetap saudar kandung Hasan. Belum lagi nanti jika bu Nafis datang."Nah ini! Ini merupakan permasalahan yang paling banyak. Memang memiliki suami yang merasa dirinya selalu benar memang sangat menjengkelkan. Hal ini membuat kita sebagai istri tidak bisa mengungkapkan apa yang dirasakan. Memang hampir setiap hubungan memiliki konflik karena membutuhkan navigasi dari dua kepribadian yang berbeda. Meski ada banya
ENDING YANG BAHAGIA!"Ya Allah apapun yang terjadi aku ikhlas, akan semua keputusanmu. Berikan yang terbaik," kata Dinda dalam hati.Tanpa membuang waktu lagi dia mengetes dan hasilnya adalah garis dua. Dinda langsung memekik, memakai bajunya dengan baik dan keluar dari kamar mandi. DIa langsung bersujud saat itu juga, dia merasa senang sekali."Ya Allah ternyata kau adalah sebaik-baiknya pengatur! Di saat semuanya sudah damai saat seperti ini kau memberikanku kepercayaan lagi dan di saat ini pula itu bersama pak Hendi akan segera umroh. Alhamdulillah! Alhamdulillah ya Allah," pekik Dinda tertahan dalam isak tangisnya.Dia pun segera menelpon kedua orang tuanya. Dia ingin membagi kabar kebahagiaan itu pertama kali dengan kedua orang tuanya. Untung tak lama telpon itu diangkat."Assalamualaikum, Papa!" sapa Dinda."Waalaikumsalam, Nduk," jawab Pak Bukhori."Papa, sedang sibukkah?" tanya Dinda."Kenapa kok sepertinya kau terdengar sangat gembira sekali. Ada berita membahagiakankah?" s
HAMIL?"Ya, lama-kelamaan aku juga ikhlas. Aku selalu berpikir positif dan mengambil hikmahnya. Bayangkan saja betapa akan mengasyikkan nanti hidup kita berdua setelah menjadi saudara tiri dan kau serta aku bisa berbaikan. Ini akan sangat menguntungkan sekali bagi kita, karena kita bisa menginap di rumah masing-masing sesuka hati lagi. Ide bagus kan?" bujuk Ifah.Dinda salut sekali pada adik iparnya itu, Ifah nampak sekali mencoba untuk lebih bijak dan dewasa. Hal itu membuat Dinda dan Hasan tersenyum."Nah kau dengar sendiri kan, Nduk? Ifah saja sudah bisa berdamai dengan keadaan, kau sampai kapan mau begini terus? Percayalah Ibumu juga ingin melihat Papa bahagia dan mungkin saat ini Papa bisa bahagia jika bersama Bu Nafis. Bukannya sebagai Bapak egois tetapi Papa membutuhkan teman saat tua. Kau juga akan memiliki kehidupan sendiri nantinya. Lalu bagaimana kalau kita tua? Papa juga membutuhkan sosok bu Nafis sebagai ibu pengganti kalian," terang Pak Hendi."Jadi tolong terimalah," l
AWAL BARU KEBAHAGIAAN"Benarkah , Pak? Sungguh rasanya ini masih seperti mimpi, Mas. Alhamdulillah ya Allah," kata Bu Nafis langsung luruh di lantai.Da bersujud syukur, tak pernah terbayangkan di dunia bisa menginjak tanah suci bersama suami barunya itu. Dia sekarang benar-benar merasa sangat dicintai dan sangat bahagia meskipun pernikahannya dengan Abah dulu cukup bahagia namun dia tidak pernah mencintai Abah sepenuhnya. Beda halnya dengan Pak Hendi, dia benar-benar mencintai lelaki itu. Pak Hendi pun membiarkan sang istri menikmati sujud syukurnya, setelah selesai dia merengkuh sang istri. "Semua telah berlalu, semua telah usai. Buang semua traumamu, buang semua marahmu terhadap anak-anakmu, terhadap menantumu. Hubungan semua yang buruk-buruk lupakan, kita mulai semuanya baru. Kita akan pergi umroh bersama, kita berpamitan kepada anak-anak ya," pinta Pak Hendi.Bu Nafis memeluk Pak Hendi dan menangis sesegukan. Dia benar-benar tak kuasa menahan tangisnya.
HADIAH DARI SUAMI BARU"Bu? Apa Ibu tidak berjualan lagi?" tanya Dinda saat dia melihat dapur yang masih bersih."Tidak, Pak Hendi melarangku untuk jualan," jawab Bu Nafis.Mertuanya itu masih meminum kopinya di meja makan, sedangkan Pak Hendi entah kemana.Pamit pulang ke rumahnya. Dinda menggeret kursinya. "Maafkan Dinda ya, Bu. Selama ini Dinda yang egois, Dinda yang banyak salahnya sebagai menantu," kata Dinda."Maafkan Ibu juga," ucap Bu Nafis lirih. Terlihat dari wajahnya sepertinya dia juga menyesal. "Terkadang sebagai seorang ibu aku merasa belum rela jika anak lelakiku mencintai wanita lain bahkan terkadang aku merasa iri. Bagaimana bisa anakku memperlakukanmu begitu istimewa sedangkan akulah yang melahirkannya, akulah yang menyusuinya, akulah yang selalu membersamainya sampai dia besar. Ketika dia sudah besar aku harus melepaskannya, rasanya aku masih belum ikhlas. Aku tahu ini salah, tetapi itulah yang aku rasakan sekarang," kata Bu Nafis menghela napasnya panjang."Bu...
ORANG TUA PASTI INGIN YANG TERBAIK UNTUK ANAKNYA"Hahaha lalu kau percaya begitu saja?" tanya pak Hendi. Hasan pun mengangguk dengan polosnya. Membuat Dinda dan Pak Hendi gemas sendiri namun merasa lucu dengan tingkah Hasan."Mana ada online sembako yang bisa menggaji karyawannya sebanyak itu? Bahkan bisa untuk mencukupi dan menambal semua kekurangan kebutuhan keluarga kalian. Apakah kau pernah membelikan bensin kendaraanmu itu, San?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Lalu biaya servis? Siapa yang menanggungnya?" selidiknya."Dinda, Pak," jawab Hasan lemah."Lalu untuk kekurangan-kekurangan kebutuhan harian kalian? Bahkan untuk makan sehari-hari, biasanya siapa yang mennambal sulam?" cerca Pak Hendi."Dinda," sahut Hasan."Lalu, apakah selama ini Dinda pernah menuntutmu atau keluarga Dinda pernah menuntutmu dengan semuanya berkaitan dnegan nafkah atau uang?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Menurutmu kenapa mereka tidak menuntutmu? Bukankah itu a
MELEPAS MESKIPUN BELUM IKHLAS"Terima kasih karena Ibu sudah bicara seperti itu kepada Dinda. Sungguh Hasan tak mengira itu. Ibu bisa meminta maaf kepada Dinda dengan tulus. Hari ini rasanya adalah hari yang paling membahagiakan untuk Hasan," kata Hasan. Bu Nafis hanya tersenyum kecut mendengar semua ucapan Dinda dan diam. Begitupun dengan pak Hendi, lelaki itu lebih senang memperhatikan mereka. Ada bahagia yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata melihat keluarga barunya ini sedang mencoba memperbaiki semuanya."Kau ke sini tulus kan Nafis?" tanya pak Hendi."Iya," jawab Bu Nafis. "Nafis, ingatlah. Selama ini banyak hal dan kebaikan yang diperbuat Dinda untuk keluargamu. Jadi sekarang tak ada salahnya jika kau ganti membahagiakan Dinda. Toh Dinda tak pernah meminta banyak padamu kan? Dia tak minta hartamu, dia juga tak meminta kau menjadi ini dan itu. Dia hanya ingin mencoba membina keluarga sendiri dengan Hasan putramu, tak ada yang salah sebenarnya" ucap Pak Hendi."Nah memisah
RESTU ORANG TUA SANGAT PENTING BAGI ANAK MANTUNYA!"Pak, Bu," panggil Dinda lirih. Hasan tersedak."Uhukkk," Hasan langsung terbatuk."Kenapa to, San? Kok sampai tersedak begitu? Mbok ya kalau makan itu hati-hati. Tak akan ada yang meminta makananmu," tegur Bu Nafis dengan sigap mengulurkan air minum dalam gelas.Hasan dengan segera meminumnya, Dinda yang melihat itu hanya menghela nafasnya panjang. Lagi dia merasa, bahwa dia lah yang harus bersikap tegas sekarang. Kalau saja dia tak tegas maka yang rugi akan dirinya sendiri."Ada apa?" tanya pak Hendi."Begini, Pak. Maaf sebelumnya jika pagi-pagi Dinda langsung membahas pembahasan berat seperti ini. Tapi Dida tak dapat menahannya lagi. Karena sepertinya suami Dnda ini tidak sanggup mengatakannya," ucap Dinda. Hasan hanya mampu menundukkan kepalanya."Katakanlah, Nduk," perintah Pak Hendi."Dulu kan Mas Hasan pernah berjanji kepada Dinda untuk membawa Dinda mengekost dan membina hubungan rumah tangga sendiri tanpa ikut campur tangan
IZIN PERGI DARI RUMAH"Kau sudah berkemas, Dek? Pagi sekali. Bukankah kita bisa pindahan nanti saja saat aku pulang bekerja?" tanya Hasan."Tentu saja, Mas. Kita bisa kok pindahan nanti dan aku juga tidak menuntut untuk pindahan sekarang juga," kata Dinda menyahut."Lalu kenapa kau sudah bersiap dan berkemas seperti itu? Toh pindahnya kan masih nanti," ucap Hasan."Tak apa-apa, Mas. Aku hanya sedang senang saja, kita akhirnya bisa pindah. Aku tak ingin kau berubah pikiran, maka dari itu aku sudah menyiapkan semuanya. Kita tinggal berangkat nanti setelah kau pulang dari bekerja," teramg Dinda. Hasan menghela napasnya panjang. "Tapi aku belum berpamitan dengan ibu atau Pak Hendi Dek. Nanti kita pahami dulu ya," minta Hasan."Iya, Mas," sahut Dinda tanpa keberatan sedikitpun."Apa Kita tak bisa sedikit lebih lama lagi di sini, Dek?" gumam Hasan lirih namun masih bisa terdengar oleh Dinda."Tidak, Mas. Seperti janjimu dulu. Aku hanya menuntut apa saja yang sudah kau katakan padaku di dep
MINTA MAAF SEBAGAI ORANG TUA?"Selama ini aku salah Pak," gumam Bu Nafis."Nafis, kau itu harus menyadarinya kalau kau yang salah saat ini. Jangan semua kau nilai dari keuangannya saja, kau ini terbiasa menilai semua dari uang dan harta. Kita tidak tahu orang itu sebenarnya kaya atau tidakk. Karena apa? Banyak orang yang berpura-pura kaya namun tak sedikit orang juga yang masih berpura-pura miskin agar tak terlihat kaya dan banyak di hutangi orang," jawab Pak Hendi."Kita tidak dapat menilai semua hanya dari harta, tapi lihatlah. Coba kau ingat lagi, kebaikan apa yang sudah Dinda buat selama ini untukmu? Apa yang dilakukan untuk keluargamu juga? Kau bahkan juga menggadaikan mobil miliknya padaku. Apakah itu benar? Dinda masih legowo juga lo. Nah, coba kau renungi semua. Itu yang penting," tegur Pak Hendi."Lalu aku harus bagaimana, Pak?" tanya Bu Nafis. "Jika aku menjadi dirimu maka aku akan minta maaf. Jadi saranku mending sekarang kau minta maaflah kepada Dinda," jawab Pak Hendi."