ARIF WIJAYA
"Tidak ada apa-apa Bu, Ifah hanya sedikit ada masalah dengan Hasan! Biasalah masalah salah paham, wajar toh Bu! Problematika antara kakak dan adik," ucap Alif.Zain menatap ke arah kakak perempuannya dengan pandangan tak percaya. Namun dia belum berani bertanya adaa apa sebenarnya. Waktu menunjukkan jam lima sore, Ifah masih belum balik ke kamar bu Nafis."Assalamualaikum," ucap Hasan."Waalaikumsalam!" jawab mereka serempak.Hasan masuk lalu mencium tangan ibunya, kemudian bergantian dengan Mbak Alif dan Mas Zain. Terakhir Dinda mencium tangan Hasan."Bagaimana Bu? Ibu merasa lebih baik atau masih ada yang sakit?" tanya Hasan pada ibunya."Sudah lebih baik Nak, tadi Dokter juga sudah memeriksa semua stabil. Nanti kalau sudah bisa berjalan dengan tongkat sendiri Ibu sudah bisa pulang," ucap bu Nafis menjelaskan kondisinya."Di mana Ifah?" tanya Hasan yang menyadari saudara kandungnya kurang satu.Semua diam tak ada yang menjawab.KARENA WANITA BUTUH KENYAMANANZain dan Hasan menghela nafas panjang mengetahui bahwa adiknya Ifah sudah jauh melangkah tanpa mereka sadari."Apa yang harus kita lakukan sekarang Mas?" tanya Hasan pada Zain.Zain terdiam tak menjawab. Dia sendiri tak tahu harus berbuat apa."Menurutmu bagaimana Dek? Kau kan sesama wanita, mungkin memiliki pemikiran yang berbeda," kaa Hasan meminta pertimbangan istrinya."Kalau boleh Dinda jujur, andai itu menimpa Adik Dinda, sekarang Dinda akan cari kemanai Adik Dinda pergi. Bukan untuk dihakimi Mas, orang Jawa dulu bilang kalau memiliki anak perempuan itu seperti memegang telur di atas duri. Ketika kita menekannya terlalu dalam, telur itu akan pecah! Tapi ketika kita membiarkannya dia akan terguling jatuh akhirnya pecah juga. Resiko yang sangat besar kan? Kita dituntut bagaimana cara agar telur itu tetap bisa berdiri tegak di atas duri," kata Dinda.Hasan dan Zain menyimak semua tuturan Dinda. Perkataan dari wanita yang
SEPERTI DRAMA TELENOVELA"Bagaimana kalau ini kita sembunyikan dulu dari Ibu Mas?" usul Dinda."Bukannya apa-apa, pertama kondisi Ibu juga masih sakit. Kita tidak bisa membiarkan Ibu banyak pikiran, biarlah Ibu sementara fokus untuk sembuh dahulu. Kedua jika kita katakan pada ibu sekarang, Ibu tak dapat banyak membantu! Bisa-bisa Ibu mericuki rencana kita, lebih baik kita bercerita nanti setelah Ifah ditemukan saja. Kita juga harus belajar menghargai pendapat Ifah, apakah dia ingin Ibu tahu atau tidak. Kita harus memperlakukan Ifah layaknya orang dewasa bukan anak kecil lagi yang selalu dituntut agar dia kembali ke keluarga kita," saran Dinda."Baik Dek! Mas setuju dengan pendapatmu kali ini. Bagaimana dengan Mas Zain?" tanya Hasan."Itu bukanlah ide yang buruk, mengingat sekarang kondisi Ibu juga seperti ini. Kita tidak berbohong tetapi akan menyampaikan faktanya nanti! Begitu bukan?" tanya Mas Zain."Ya, maksud Dinda seperti itu Mas! Kita hanya tinggal men
"Ya dia tadi menemuiku dan menangis, karena hp-nya disita oleh Masnya. Bahkan ktp-ku juga dibawa oleh adik iparmu," kata Arif Wijaya."Syukurlah kalau memang dia bersamamu, setidaknya aku lega sekarang karena dia berada di tangan orang yang tepat. Apakah kita bisa bertemu sore ini?" tanya Mas Andri."Bisa, tapi datanglah sendiri! Jangan dengan keluargamu, bukannya apa-apa kasihan Ifah jika dia dipaksa menuruti semua permintaan keluarganya. Apalagi sepertinya Ifah tak dekat dengan saudara kandungnya," ujar Arif Wijaya."Aku akan mengajak seorang wanita yang mungkin Ifah juga akan nyaman bersamanya. Tolong tanyakan padanya dulu, apa dia setuju jika aku mengajak Dinda? Itu adik iparku nomer tiga, suami dari lelaki yang menyita ktpmu," jelas Mas Andri."Baik, aku akan menanyakannya nanti. Jawabannya aku wa ya, sekarang aku sedang bekerja! Ifah di tempat sepupuku, Insyallah dia akan aman," kata Arif Wijaya."Oke aku tunggu kabarmu, terimakasih sudah menjaga Ifah," uca
BAGAIKAN BOM WAKTU"Sebenarnya Ifah sudah menahan ini sejak lama, mungkin ini titik puncak amarah Ifah pada semuanya," ujar Ifah."Emang ada masalah apa sih Fah? Apa masalah itu tak bisa di bicarakan baik- baik? Sampai kau harus nekat seperti ini? Untung loh Mbak Anisa baik, mau memberikan perlindungan yang aman dan nyaman untukmu," kata Dinda sambil mengelus tangan adik iparnya lembut.Dinda berusaha memberikan rasa nyaman pada Ifah. Agar gadis itu mau menceritakan keluh kesah dan isi hatinya. Pandangan Ifah menatap kosong."Ifah melakukan ini juga karena tak ada pilihan lain Mbak, Ifah bingung dan tak tahu lagi harus bagaimana. Semenjak Abah meninggal, Ifah selalu merasa sendiri Mbak. Ibu selalu sibuk dengan urusan geng sosialnya arisan lah, senam lah, jalan- jalan lah, di tambah sekarang Ibu berdagang membuat makan untuk kantin rumah sakit, jadi tambah sibuk dengan kehidupanny sendiri. Tak punya sedikit sisa waktu untuk Ifah sekedar bisa berbagi cerita, baru
DUA SISI WANITA"Ifah hanya ingin semua mendengarkan, mengerti, dan tidak memperlakukan Ifah dengan kasar. Ifah punya perasaan, apalagi selalu memaksa sesuai keinginannya tanpa mau mendengarkan semua penjelasan Ifah, seperti Mas Hasan," Ifah berkata sambil menangis."Menangislah lebih dahulu, jika itu membuatmu lega!" kata Dinda sambil menepuk bahu Ifah.Perempuan pemilik rumah tadi datang dengan membawa dua botol air mineral dingin."Mbak, maaf ya hanya ada air putih." kata perempuan itu."Ya ampun! Saya yang harusnya minta maaf Mbak, sudah merepotkan panjenengan (kamu)," ujar Dinda sungkan."Oh iya, Mbak ini kakaknya Ifah? Yang nomer berapa? Apa Mbak Alif itu?" tanya perempuan itu sedikit heran karena wajah Dinda dan Ifa yang berbeda."Saya hanya kakak iparnya Mbak, kebetulan menikah dengan kakak Ifah nomor tiga! Mbak Alif tidak bisa datang ke sini karena menunggu Ibu kami di Rumah Sakit, beliau sedang operasi,"" jelas Dinda."Iya Mbak, Ifah ju
TIDAK ADA YANG GRATIS DI DUNIA INI!"Sebenarnya Dinda dan Mas Arif memang dekat, Mbak!" kata Ifah lirih."Dekat? Dekat yang bagaimana? Ada banyak jenis kedekatan, apakah dekat sebagi teman, dekat sebagai kakak adik, atau dekat dekat karena memiliki perasaan emosional satu sama lain?" jelas Dinda.Ifah terdiam sesaat. Dia juga bingung bagaimana menjelaskan deskripsi hubungannya dengan Mas Arif. Karena selama ini memanglah tidak ada kesepakatan atau ikatan yang jelas antara ke duanya. Tapi Mas Arif pernah menjanjikan satu hal."Ya, kami memang berhubungan dekat, Mbak! Dengan Mas Arif Ifah seperti menemukan kenyamanan sama seperti saat Ifah bersama Abah. Mas Arif bukanlah tipe penuntut, Dia juga mengerti Ifah dan selalu menuruti apa permintaan Ifah," kata Ifah."Bahkan Mas Arif lah yang selama ini mengelola keuangan Ifah, baik dari endorse iklan yang masuk dan uang hasil MC, sholawatan, semua Mas Arif yang kelola. ATM Ifah juga dia yang pegang, Mbak," jelas Ifa
MENGHADAPI IFAH SI ABG LABIL!"Kenapa kau terdiam Fa? Ada apa? Kau dan Mas Arif kenapa?" tanya Dinda dengan sedikit memaksa karena tiba-tiba Ifa menghentikan pembicaraannya.Ifah menggelengkan kepalanya perlahan. Ifah sangat tahu, ini hanya rahasia dia dan Arif. Dia takut Dinda akan menentangnya sama seperti yang lain. Walaupun Ifah sendiri tahu bahwa kakak iparnya itu adalah wanita yang baik"Tidak Mbak, tidak apa-apa! Ifah dan Mas Arif hanya berhubungan dekat saja, tidak lebih hanya sebatas kakak dan adik!" ucap Ifah. Dinda menatap gadis itu dalam-dalam. Dia tahu bahwa sebenarnya Ifah menyembunyikan sesuatu yang mungkin saja memang belum waktunya Ifah mengatakan padanya. Atau mungkin Ifah belum percaya seratus persen pada Dinda. Hal yang menurut Dinda sangat wajar dan tak dipermasalahkan. Karena semakin Dinda menekan Ifah, takutnya Ifah malah akan semakin menjauh.HP di tas Dinda berdering beberapa kali. Dinda segera melihatnya, terpampang nama suamiku di
ANAK MILENIAL BEDA DENGAN GENERASI 80-AN!"Mas hanya ingin mengatakan terima kasih banyak kamu sudah mau membantu keluarga kami," kata Zain."Mas, ini bukan perkara membantu! Tapi kalian kan juga keluargaku, bukankah aku sudah menikah dengan Mas Hasan. Jadi sudah kewajiban Dinda juga bertanggung jawab pada Ifah," kata Dinda sambil tersenyum.Zain hanya mengangguk. Dia bisa berkata-kata lagi, bila saja tak ada Dinda bagaimana nasib Ifah nanti. Apalagi dia menyadari bahwa sebagai lelaki kurang bisa mengerti perasaan wanita, apalagi usia Ifah masih delapan belas tahun. Mungkin ini masa pubernya dengan emosi yang tidak stabil. Minta tolong pada kakaknya Alif juga rasanya tak mungkin karena dia ikut suaminya Mas Andri."Mana sih Dek? Si Ifah kok gak keliatan?" tanya Hasan tak sabaran."Masih mandi, Mas!" sahut Dinda.Dinda ingin duduk bersama semua iparnya. Untuk membahas masalah Ifah, apalagi nanti saat bu Nafis keluar dari rumah sakit hanya dia yang akan sering di rumah bersama Ifah dan