KARENA WANITA BUTUH KENYAMANAN
Zain dan Hasan menghela nafas panjang mengetahui bahwa adiknya Ifah sudah jauh melangkah tanpa mereka sadari."Apa yang harus kita lakukan sekarang Mas?" tanya Hasan pada Zain.Zain terdiam tak menjawab. Dia sendiri tak tahu harus berbuat apa."Menurutmu bagaimana Dek? Kau kan sesama wanita, mungkin memiliki pemikiran yang berbeda," kaa Hasan meminta pertimbangan istrinya."Kalau boleh Dinda jujur, andai itu menimpa Adik Dinda, sekarang Dinda akan cari kemanai Adik Dinda pergi. Bukan untuk dihakimi Mas, orang Jawa dulu bilang kalau memiliki anak perempuan itu seperti memegang telur di atas duri. Ketika kita menekannya terlalu dalam, telur itu akan pecah! Tapi ketika kita membiarkannya dia akan terguling jatuh akhirnya pecah juga. Resiko yang sangat besar kan? Kita dituntut bagaimana cara agar telur itu tetap bisa berdiri tegak di atas duri," kata Dinda.Hasan dan Zain menyimak semua tuturan Dinda. Perkataan dari wanita yangSEPERTI DRAMA TELENOVELA"Bagaimana kalau ini kita sembunyikan dulu dari Ibu Mas?" usul Dinda."Bukannya apa-apa, pertama kondisi Ibu juga masih sakit. Kita tidak bisa membiarkan Ibu banyak pikiran, biarlah Ibu sementara fokus untuk sembuh dahulu. Kedua jika kita katakan pada ibu sekarang, Ibu tak dapat banyak membantu! Bisa-bisa Ibu mericuki rencana kita, lebih baik kita bercerita nanti setelah Ifah ditemukan saja. Kita juga harus belajar menghargai pendapat Ifah, apakah dia ingin Ibu tahu atau tidak. Kita harus memperlakukan Ifah layaknya orang dewasa bukan anak kecil lagi yang selalu dituntut agar dia kembali ke keluarga kita," saran Dinda."Baik Dek! Mas setuju dengan pendapatmu kali ini. Bagaimana dengan Mas Zain?" tanya Hasan."Itu bukanlah ide yang buruk, mengingat sekarang kondisi Ibu juga seperti ini. Kita tidak berbohong tetapi akan menyampaikan faktanya nanti! Begitu bukan?" tanya Mas Zain."Ya, maksud Dinda seperti itu Mas! Kita hanya tinggal men
"Ya dia tadi menemuiku dan menangis, karena hp-nya disita oleh Masnya. Bahkan ktp-ku juga dibawa oleh adik iparmu," kata Arif Wijaya."Syukurlah kalau memang dia bersamamu, setidaknya aku lega sekarang karena dia berada di tangan orang yang tepat. Apakah kita bisa bertemu sore ini?" tanya Mas Andri."Bisa, tapi datanglah sendiri! Jangan dengan keluargamu, bukannya apa-apa kasihan Ifah jika dia dipaksa menuruti semua permintaan keluarganya. Apalagi sepertinya Ifah tak dekat dengan saudara kandungnya," ujar Arif Wijaya."Aku akan mengajak seorang wanita yang mungkin Ifah juga akan nyaman bersamanya. Tolong tanyakan padanya dulu, apa dia setuju jika aku mengajak Dinda? Itu adik iparku nomer tiga, suami dari lelaki yang menyita ktpmu," jelas Mas Andri."Baik, aku akan menanyakannya nanti. Jawabannya aku wa ya, sekarang aku sedang bekerja! Ifah di tempat sepupuku, Insyallah dia akan aman," kata Arif Wijaya."Oke aku tunggu kabarmu, terimakasih sudah menjaga Ifah," uca
BAGAIKAN BOM WAKTU"Sebenarnya Ifah sudah menahan ini sejak lama, mungkin ini titik puncak amarah Ifah pada semuanya," ujar Ifah."Emang ada masalah apa sih Fah? Apa masalah itu tak bisa di bicarakan baik- baik? Sampai kau harus nekat seperti ini? Untung loh Mbak Anisa baik, mau memberikan perlindungan yang aman dan nyaman untukmu," kata Dinda sambil mengelus tangan adik iparnya lembut.Dinda berusaha memberikan rasa nyaman pada Ifah. Agar gadis itu mau menceritakan keluh kesah dan isi hatinya. Pandangan Ifah menatap kosong."Ifah melakukan ini juga karena tak ada pilihan lain Mbak, Ifah bingung dan tak tahu lagi harus bagaimana. Semenjak Abah meninggal, Ifah selalu merasa sendiri Mbak. Ibu selalu sibuk dengan urusan geng sosialnya arisan lah, senam lah, jalan- jalan lah, di tambah sekarang Ibu berdagang membuat makan untuk kantin rumah sakit, jadi tambah sibuk dengan kehidupanny sendiri. Tak punya sedikit sisa waktu untuk Ifah sekedar bisa berbagi cerita, baru
DUA SISI WANITA"Ifah hanya ingin semua mendengarkan, mengerti, dan tidak memperlakukan Ifah dengan kasar. Ifah punya perasaan, apalagi selalu memaksa sesuai keinginannya tanpa mau mendengarkan semua penjelasan Ifah, seperti Mas Hasan," Ifah berkata sambil menangis."Menangislah lebih dahulu, jika itu membuatmu lega!" kata Dinda sambil menepuk bahu Ifah.Perempuan pemilik rumah tadi datang dengan membawa dua botol air mineral dingin."Mbak, maaf ya hanya ada air putih." kata perempuan itu."Ya ampun! Saya yang harusnya minta maaf Mbak, sudah merepotkan panjenengan (kamu)," ujar Dinda sungkan."Oh iya, Mbak ini kakaknya Ifah? Yang nomer berapa? Apa Mbak Alif itu?" tanya perempuan itu sedikit heran karena wajah Dinda dan Ifa yang berbeda."Saya hanya kakak iparnya Mbak, kebetulan menikah dengan kakak Ifah nomor tiga! Mbak Alif tidak bisa datang ke sini karena menunggu Ibu kami di Rumah Sakit, beliau sedang operasi,"" jelas Dinda."Iya Mbak, Ifah ju
TIDAK ADA YANG GRATIS DI DUNIA INI!"Sebenarnya Dinda dan Mas Arif memang dekat, Mbak!" kata Ifah lirih."Dekat? Dekat yang bagaimana? Ada banyak jenis kedekatan, apakah dekat sebagi teman, dekat sebagai kakak adik, atau dekat dekat karena memiliki perasaan emosional satu sama lain?" jelas Dinda.Ifah terdiam sesaat. Dia juga bingung bagaimana menjelaskan deskripsi hubungannya dengan Mas Arif. Karena selama ini memanglah tidak ada kesepakatan atau ikatan yang jelas antara ke duanya. Tapi Mas Arif pernah menjanjikan satu hal."Ya, kami memang berhubungan dekat, Mbak! Dengan Mas Arif Ifah seperti menemukan kenyamanan sama seperti saat Ifah bersama Abah. Mas Arif bukanlah tipe penuntut, Dia juga mengerti Ifah dan selalu menuruti apa permintaan Ifah," kata Ifah."Bahkan Mas Arif lah yang selama ini mengelola keuangan Ifah, baik dari endorse iklan yang masuk dan uang hasil MC, sholawatan, semua Mas Arif yang kelola. ATM Ifah juga dia yang pegang, Mbak," jelas Ifa
MENGHADAPI IFAH SI ABG LABIL!"Kenapa kau terdiam Fa? Ada apa? Kau dan Mas Arif kenapa?" tanya Dinda dengan sedikit memaksa karena tiba-tiba Ifa menghentikan pembicaraannya.Ifah menggelengkan kepalanya perlahan. Ifah sangat tahu, ini hanya rahasia dia dan Arif. Dia takut Dinda akan menentangnya sama seperti yang lain. Walaupun Ifah sendiri tahu bahwa kakak iparnya itu adalah wanita yang baik"Tidak Mbak, tidak apa-apa! Ifah dan Mas Arif hanya berhubungan dekat saja, tidak lebih hanya sebatas kakak dan adik!" ucap Ifah. Dinda menatap gadis itu dalam-dalam. Dia tahu bahwa sebenarnya Ifah menyembunyikan sesuatu yang mungkin saja memang belum waktunya Ifah mengatakan padanya. Atau mungkin Ifah belum percaya seratus persen pada Dinda. Hal yang menurut Dinda sangat wajar dan tak dipermasalahkan. Karena semakin Dinda menekan Ifah, takutnya Ifah malah akan semakin menjauh.HP di tas Dinda berdering beberapa kali. Dinda segera melihatnya, terpampang nama suamiku di
ANAK MILENIAL BEDA DENGAN GENERASI 80-AN!"Mas hanya ingin mengatakan terima kasih banyak kamu sudah mau membantu keluarga kami," kata Zain."Mas, ini bukan perkara membantu! Tapi kalian kan juga keluargaku, bukankah aku sudah menikah dengan Mas Hasan. Jadi sudah kewajiban Dinda juga bertanggung jawab pada Ifah," kata Dinda sambil tersenyum.Zain hanya mengangguk. Dia bisa berkata-kata lagi, bila saja tak ada Dinda bagaimana nasib Ifah nanti. Apalagi dia menyadari bahwa sebagai lelaki kurang bisa mengerti perasaan wanita, apalagi usia Ifah masih delapan belas tahun. Mungkin ini masa pubernya dengan emosi yang tidak stabil. Minta tolong pada kakaknya Alif juga rasanya tak mungkin karena dia ikut suaminya Mas Andri."Mana sih Dek? Si Ifah kok gak keliatan?" tanya Hasan tak sabaran."Masih mandi, Mas!" sahut Dinda.Dinda ingin duduk bersama semua iparnya. Untuk membahas masalah Ifah, apalagi nanti saat bu Nafis keluar dari rumah sakit hanya dia yang akan sering di rumah bersama Ifah dan
KELUARGA SUAMIKU HOBI MUSYAWARAH TANPA MUFAKAT!"Kalau masalah HP itu, lebih baik Mbak Alif tanya sendiri saja. Dinda takut Mbak nanti kalau ada salah paham, Mbak!" ucap Dinda."Rasanya aneh sekali, Dek! jika memang Ifah tidak memiliki hubungan apapun dengan Arif, mengapa bisa Ifah mengenal adik kandungnya Arif? Bahkan sampai menumpang melarikan diri ke sana, tentu tak akan mungkin terjadi kalau mereka tak memiliki hubungan khusus," kata Hasan.Dinda hanya mengangkat bahu tanda bahwa dia tidak tahu. Tak lama pintu kamar mandi dibuka, Ifah muncul dari sana. Dengan wajah yang sedikit lebih segar, walupun masih nampak sembab."Duduk sini, Fah!" perintah Hasan."Mas! Ingat dia adikmu, perlakukan dia seperti kau ingin diperlakukan olehnya," bisik Dinda.Ifah berjalan perlahan menuju ke arah mereka. Dia sudah pasrah jika akan disidang malam ini. Tak akan ada yang membelanya lagi, apalagi ibunya sekarang tertidur pulas."Apa yang sekarang ingin kau katakan sebagai pembelaan aats sikapmu hari
ENDING YANG BAHAGIA!"Ya Allah apapun yang terjadi aku ikhlas, akan semua keputusanmu. Berikan yang terbaik," kata Dinda dalam hati.Tanpa membuang waktu lagi dia mengetes dan hasilnya adalah garis dua. Dinda langsung memekik, memakai bajunya dengan baik dan keluar dari kamar mandi. DIa langsung bersujud saat itu juga, dia merasa senang sekali."Ya Allah ternyata kau adalah sebaik-baiknya pengatur! Di saat semuanya sudah damai saat seperti ini kau memberikanku kepercayaan lagi dan di saat ini pula itu bersama pak Hendi akan segera umroh. Alhamdulillah! Alhamdulillah ya Allah," pekik Dinda tertahan dalam isak tangisnya.Dia pun segera menelpon kedua orang tuanya. Dia ingin membagi kabar kebahagiaan itu pertama kali dengan kedua orang tuanya. Untung tak lama telpon itu diangkat."Assalamualaikum, Papa!" sapa Dinda."Waalaikumsalam, Nduk," jawab Pak Bukhori."Papa, sedang sibukkah?" tanya Dinda."Kenapa kok sepertinya kau terdengar sangat gembira sekali. Ada berita membahagiakankah?" s
HAMIL?"Ya, lama-kelamaan aku juga ikhlas. Aku selalu berpikir positif dan mengambil hikmahnya. Bayangkan saja betapa akan mengasyikkan nanti hidup kita berdua setelah menjadi saudara tiri dan kau serta aku bisa berbaikan. Ini akan sangat menguntungkan sekali bagi kita, karena kita bisa menginap di rumah masing-masing sesuka hati lagi. Ide bagus kan?" bujuk Ifah.Dinda salut sekali pada adik iparnya itu, Ifah nampak sekali mencoba untuk lebih bijak dan dewasa. Hal itu membuat Dinda dan Hasan tersenyum."Nah kau dengar sendiri kan, Nduk? Ifah saja sudah bisa berdamai dengan keadaan, kau sampai kapan mau begini terus? Percayalah Ibumu juga ingin melihat Papa bahagia dan mungkin saat ini Papa bisa bahagia jika bersama Bu Nafis. Bukannya sebagai Bapak egois tetapi Papa membutuhkan teman saat tua. Kau juga akan memiliki kehidupan sendiri nantinya. Lalu bagaimana kalau kita tua? Papa juga membutuhkan sosok bu Nafis sebagai ibu pengganti kalian," terang Pak Hendi."Jadi tolong terimalah," l
AWAL BARU KEBAHAGIAAN"Benarkah , Pak? Sungguh rasanya ini masih seperti mimpi, Mas. Alhamdulillah ya Allah," kata Bu Nafis langsung luruh di lantai.Da bersujud syukur, tak pernah terbayangkan di dunia bisa menginjak tanah suci bersama suami barunya itu. Dia sekarang benar-benar merasa sangat dicintai dan sangat bahagia meskipun pernikahannya dengan Abah dulu cukup bahagia namun dia tidak pernah mencintai Abah sepenuhnya. Beda halnya dengan Pak Hendi, dia benar-benar mencintai lelaki itu. Pak Hendi pun membiarkan sang istri menikmati sujud syukurnya, setelah selesai dia merengkuh sang istri. "Semua telah berlalu, semua telah usai. Buang semua traumamu, buang semua marahmu terhadap anak-anakmu, terhadap menantumu. Hubungan semua yang buruk-buruk lupakan, kita mulai semuanya baru. Kita akan pergi umroh bersama, kita berpamitan kepada anak-anak ya," pinta Pak Hendi.Bu Nafis memeluk Pak Hendi dan menangis sesegukan. Dia benar-benar tak kuasa menahan tangisnya.
HADIAH DARI SUAMI BARU"Bu? Apa Ibu tidak berjualan lagi?" tanya Dinda saat dia melihat dapur yang masih bersih."Tidak, Pak Hendi melarangku untuk jualan," jawab Bu Nafis.Mertuanya itu masih meminum kopinya di meja makan, sedangkan Pak Hendi entah kemana.Pamit pulang ke rumahnya. Dinda menggeret kursinya. "Maafkan Dinda ya, Bu. Selama ini Dinda yang egois, Dinda yang banyak salahnya sebagai menantu," kata Dinda."Maafkan Ibu juga," ucap Bu Nafis lirih. Terlihat dari wajahnya sepertinya dia juga menyesal. "Terkadang sebagai seorang ibu aku merasa belum rela jika anak lelakiku mencintai wanita lain bahkan terkadang aku merasa iri. Bagaimana bisa anakku memperlakukanmu begitu istimewa sedangkan akulah yang melahirkannya, akulah yang menyusuinya, akulah yang selalu membersamainya sampai dia besar. Ketika dia sudah besar aku harus melepaskannya, rasanya aku masih belum ikhlas. Aku tahu ini salah, tetapi itulah yang aku rasakan sekarang," kata Bu Nafis menghela napasnya panjang."Bu...
ORANG TUA PASTI INGIN YANG TERBAIK UNTUK ANAKNYA"Hahaha lalu kau percaya begitu saja?" tanya pak Hendi. Hasan pun mengangguk dengan polosnya. Membuat Dinda dan Pak Hendi gemas sendiri namun merasa lucu dengan tingkah Hasan."Mana ada online sembako yang bisa menggaji karyawannya sebanyak itu? Bahkan bisa untuk mencukupi dan menambal semua kekurangan kebutuhan keluarga kalian. Apakah kau pernah membelikan bensin kendaraanmu itu, San?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Lalu biaya servis? Siapa yang menanggungnya?" selidiknya."Dinda, Pak," jawab Hasan lemah."Lalu untuk kekurangan-kekurangan kebutuhan harian kalian? Bahkan untuk makan sehari-hari, biasanya siapa yang mennambal sulam?" cerca Pak Hendi."Dinda," sahut Hasan."Lalu, apakah selama ini Dinda pernah menuntutmu atau keluarga Dinda pernah menuntutmu dengan semuanya berkaitan dnegan nafkah atau uang?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Menurutmu kenapa mereka tidak menuntutmu? Bukankah itu a
MELEPAS MESKIPUN BELUM IKHLAS"Terima kasih karena Ibu sudah bicara seperti itu kepada Dinda. Sungguh Hasan tak mengira itu. Ibu bisa meminta maaf kepada Dinda dengan tulus. Hari ini rasanya adalah hari yang paling membahagiakan untuk Hasan," kata Hasan. Bu Nafis hanya tersenyum kecut mendengar semua ucapan Dinda dan diam. Begitupun dengan pak Hendi, lelaki itu lebih senang memperhatikan mereka. Ada bahagia yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata melihat keluarga barunya ini sedang mencoba memperbaiki semuanya."Kau ke sini tulus kan Nafis?" tanya pak Hendi."Iya," jawab Bu Nafis. "Nafis, ingatlah. Selama ini banyak hal dan kebaikan yang diperbuat Dinda untuk keluargamu. Jadi sekarang tak ada salahnya jika kau ganti membahagiakan Dinda. Toh Dinda tak pernah meminta banyak padamu kan? Dia tak minta hartamu, dia juga tak meminta kau menjadi ini dan itu. Dia hanya ingin mencoba membina keluarga sendiri dengan Hasan putramu, tak ada yang salah sebenarnya" ucap Pak Hendi."Nah memisah
RESTU ORANG TUA SANGAT PENTING BAGI ANAK MANTUNYA!"Pak, Bu," panggil Dinda lirih. Hasan tersedak."Uhukkk," Hasan langsung terbatuk."Kenapa to, San? Kok sampai tersedak begitu? Mbok ya kalau makan itu hati-hati. Tak akan ada yang meminta makananmu," tegur Bu Nafis dengan sigap mengulurkan air minum dalam gelas.Hasan dengan segera meminumnya, Dinda yang melihat itu hanya menghela nafasnya panjang. Lagi dia merasa, bahwa dia lah yang harus bersikap tegas sekarang. Kalau saja dia tak tegas maka yang rugi akan dirinya sendiri."Ada apa?" tanya pak Hendi."Begini, Pak. Maaf sebelumnya jika pagi-pagi Dinda langsung membahas pembahasan berat seperti ini. Tapi Dida tak dapat menahannya lagi. Karena sepertinya suami Dnda ini tidak sanggup mengatakannya," ucap Dinda. Hasan hanya mampu menundukkan kepalanya."Katakanlah, Nduk," perintah Pak Hendi."Dulu kan Mas Hasan pernah berjanji kepada Dinda untuk membawa Dinda mengekost dan membina hubungan rumah tangga sendiri tanpa ikut campur tangan
IZIN PERGI DARI RUMAH"Kau sudah berkemas, Dek? Pagi sekali. Bukankah kita bisa pindahan nanti saja saat aku pulang bekerja?" tanya Hasan."Tentu saja, Mas. Kita bisa kok pindahan nanti dan aku juga tidak menuntut untuk pindahan sekarang juga," kata Dinda menyahut."Lalu kenapa kau sudah bersiap dan berkemas seperti itu? Toh pindahnya kan masih nanti," ucap Hasan."Tak apa-apa, Mas. Aku hanya sedang senang saja, kita akhirnya bisa pindah. Aku tak ingin kau berubah pikiran, maka dari itu aku sudah menyiapkan semuanya. Kita tinggal berangkat nanti setelah kau pulang dari bekerja," teramg Dinda. Hasan menghela napasnya panjang. "Tapi aku belum berpamitan dengan ibu atau Pak Hendi Dek. Nanti kita pahami dulu ya," minta Hasan."Iya, Mas," sahut Dinda tanpa keberatan sedikitpun."Apa Kita tak bisa sedikit lebih lama lagi di sini, Dek?" gumam Hasan lirih namun masih bisa terdengar oleh Dinda."Tidak, Mas. Seperti janjimu dulu. Aku hanya menuntut apa saja yang sudah kau katakan padaku di dep
MINTA MAAF SEBAGAI ORANG TUA?"Selama ini aku salah Pak," gumam Bu Nafis."Nafis, kau itu harus menyadarinya kalau kau yang salah saat ini. Jangan semua kau nilai dari keuangannya saja, kau ini terbiasa menilai semua dari uang dan harta. Kita tidak tahu orang itu sebenarnya kaya atau tidakk. Karena apa? Banyak orang yang berpura-pura kaya namun tak sedikit orang juga yang masih berpura-pura miskin agar tak terlihat kaya dan banyak di hutangi orang," jawab Pak Hendi."Kita tidak dapat menilai semua hanya dari harta, tapi lihatlah. Coba kau ingat lagi, kebaikan apa yang sudah Dinda buat selama ini untukmu? Apa yang dilakukan untuk keluargamu juga? Kau bahkan juga menggadaikan mobil miliknya padaku. Apakah itu benar? Dinda masih legowo juga lo. Nah, coba kau renungi semua. Itu yang penting," tegur Pak Hendi."Lalu aku harus bagaimana, Pak?" tanya Bu Nafis. "Jika aku menjadi dirimu maka aku akan minta maaf. Jadi saranku mending sekarang kau minta maaflah kepada Dinda," jawab Pak Hendi."