Lania Herbert POVS
"Selamat tinggal Lania, terima kasih sudah hadir dalam hidupku. Aku malu mengungkapkannya, tapi ... aku mencintaimu!" kalimat yang aku tunggu agar bisa terucap dari bibir pria yang menjadi cahaya hidupku ini telah terwujud.Terpaku tanpa bisa berucap.
Mendengar kalimat itu, hatiku serasa digelitiki ribuan kupu-kupu, siapa yang tak bahagia, saat kalimat seperti itu terucap dari seseorang yang disukai? Semua terasa bagai mimpi. Seperti kesadaran kembali. Aku membalas; "Fer, a ..." belum sempat terucap, kedua tangannya langsung mendorong tubuhku ke pinggir jalan.
Jariku berusaha menggapainya. Tapi tak bisa! Tanganku terlalu pendek!Hanya ada satu pertanyaan di benakku. Kenapa dia melakukannya? Begitu melihat ekspresinya. Matanya menyipit, dengan sudut mata dipenuhi cairan bening yang siap untuk mengalir.
Tangannya melambai, seakan mengucapkan perpisahan.Tunggu?! Perpisahan? Aku kembali teringat ucapannya tadi. Selamat tinggal. Waktu terasa berhenti dan lambat. Namun kembali berlalu dengan cepat. Sangat-sangat cepat. Hingga aku tak sadar.Tiada waktu berlalu lama.
Suara klakson mobil terdengar. kemudian, menghempas tubuhnya dengan satu kedipan mata. Mataku terbelalak. Tubuhku tak mampu merespon, bahkan untuk bergerak saja tak bisa.
Sepercik rasa ngilu dan sakit merayap masuk memenuhi sudut hati. Teriakan orang-orang di sekitar mulai membuatku sadar. Melihat ke arah sekeliling. Banyak orang mengerumuniku. Aku sadar, jika saat ini sedang terbaring di pinggir jalan akibat dorongannya.
Mataku kembali membola dengan pandangan yang mulai berkaca-kaca. Pikiranku saat ini hanya ada satu. Fero! "Nak? Apa kamu tak apa?" Pertanyaan demi pertanyaan tak aku pedulikan. Tubuhku berusaha bangkit. "Fero!" seruku pelan. Tubuhku sakit. Tapi ini belum seberapa dengan apa yang Faro alami! Tuhan, jika kau ada, kabulkanlah harapanku.
Aku rela tersiksa di bawah tekananmu, aku rela menjalani takdir penuh darah darimu. Tapi jangan ambil Fero dariku! Kumohon! Hanya itu. Begitu aku bangkit dan berdiri dengan kedua kaki. Aku mulai melangkah.
Rasanya begitu berat untuk berdiri. Kedua tanganku memegang mulut. Sesak dan hancur, tubuhnya dipenuhi cairan kental merah, matanya meringis seakan menahan rasa sakit luar biasa.
Langsung saja aku berlari mendekat dan duduk, sembari memangku kepalanya dengan rasa sesak. "Ni–a, ma–af a–ku tak bi–sa men–jadi cahaya la–gi untuk–mu," ungkapnya terbata-bata, mengulurkan tangan menyentuh wajahku.
Kuraih tangan itu dan menempelkannya pada pipi, menggerakkannya agar bisa mengelus. Perlahan, air mataku turun. "Jangan berkata seperti itu Fero, kamu ... kamu pasti bisa bertahan, harusnya ... harusnya aku yang berada di posisimu saat ini," sesalku menggenggam tangannya yang mengelus pipiku.
Kepala Fero bergerak menggeleng perlahan, tanda bahwa dia tak setuju dengan ungkapanku. "Ja–ngan ber–kata seper–ti i–tu, a–ku ba–hagia tak me–lihatmu ter–siksa rasa sakit ini," lirihnya disertai batuk darah.
Bukannya lega, kalimat seperti itu membuat hati, jiwa dan ragaku hancur di saat yang bersamaan. Apa hidup memang selalu seperti ini? Berkorban dan berkorban, namun akhirnya tak mendapatkan apa-apa.
Andai dunia memang adil, seperti yang banyak orang katakan. Kenapa itu tak berlaku pada kami. Kudekatkan wajah kami, hingga hidung saling bersentuhan, dan rambutku menjuntai, seakan membentuk tirai.
Bau amis, dan sakit dari luka tak lagi kupedulikan. "Fero, kamu harus selamat, oke. Tadi ... kamu bilang cinta padaku bukan. Jika iya, maka buktikan Fero. Bertahan, kita belum pernah melakukan kencan secara resmi. Lalu, kamu ingin pergi begitu saja? Seperti tak pernah terjadi apa-apa?" lirihku diiringi air mata.
Hancur sudah pertahananku. Rasa ini tak lagi bisa dibendung oleh kalimat seperti apa pun. Fero terdiam, tapi ia tetap menatapku penuh cinta dan sayang. Kenapa saat diungkapkan, ini menjadi pertemuan terakhir.
"Ni–a, cin–ta itu tak ha–nya pem–buktian atau ucapan, ta–pi ketulusan. A–ku me–nyelamatkan–mu tu–lus dari lu–buk hati terdalam."
Tak bisa kubalas kalimat itu. Di waktu bersamaan, sosoknya berhasil membuatku senang, takut dan khawatir yang tak pernah kurasakan di saat bersamaan. Seberapa kerasnya hidupku, rasa sakit yang lalu tak pernah dalam seperti luka saat ini.
Suara Ambulans menggema, para penonton menyingkir. Beberapa petugas dengan seragamnya datang, membawaku dan Fero ke dalam mobil mereka, dan langsung menuju rumah sakit. Selama perjalanan.
Genggaman tangan hangatnya tak pernah kulepaskan, aku ingin memberitahunya, di saat-saat seperti ini, tak akan pernah aku menjauh dari sisinya. Jika Fero melindungi, maka akulah yang akan menemani.
Tak perlu ada janji sakral yang perlu terucap, hanya dengan bersama seperti ini. Aku sangat berharap, bila waktu berhenti, dan membuat perasaan ini jadi abadi dalam kenangan bahagia. Lama-kelamaan. Tubuh Fero menggelinjang, dengan mata membola.
Aku langsung panik, dan mendekat ke tubuhnya, tanpa melepaskan genggaman tangnnya yang bergetar. "Fero?" panggilku. Tak ada respon. Kucoba memanggilnya sekali lagi. Tapi tetap tak ada respon.
Kugerakkan tubuhnya, tetap tak merespon. Hanya ada guncangan dahsyat pada tubuhnya. Aku terdiam. Kalimat yang terlintas dalam kepalaku saat ini hanya satu. Fero menghadapi sakratul maut.Aku menggelengkan kepala, menolak kalimat itu. Tak mungkin Fero meninggalkanku. Karena ia tadi mengucapkan kalimat cinta dan penuh pengertian padaku bukan. Namun, semakin menepis pemikiran itu.Rasa takut kehilangannya semakin memenuhi setiap sudut ragaku. Mobil ambulans terasa berhenti. Mungkin kami sudah sampai. Pihak petugas medis membuka pintu dan menarik brankar Fero.Mereka juga membawaku, dan menuntunku. Awalnya, terjadi pertentangan karena mereka ingin membawaku ke ruang pengobatan. Kalau itu terjadi, aku dan Fero akan berpisah. Tidak, kali ini tidak.Perdebatan itu tak berlangsung lama, karena akhirnya mereka setuju. Aku ikut mendorong brankan Fero menuju ruang Unit Gawat Darurat. Disuruh menunggu di depan pintu. Raut cemas terlukis pada wajahku.Mondar-mandir ke sana kemari bagai setrika, sese
"Fero," gumamku tak bisa menahan bendungan air mata untuk bisa terus bertahan di balik kelopak mata. Aku ingin move on darimu, tapi ini tak akan mudah. Kau selalu muncul di saat aku butuh. Mau itu penyelamat, sahabat, superhero, sekaligus sosok hangat. Seperti ayah dan ibu orang lain.Sebab, ayah atau ibuku tak akan seperti itu. Ibu telah pergi, sementara ayah terus menyalahkanku akibat masalah lalu. Kemudian kedua kakak yang terus menyalahkanku dan membenciku. Tak ada yang bisa jadi pegangan untukku. Semua menjauh kala aku butuh. Dan tidak pernah mendekat. Kecuali Fero.Sebuah tangan langsung memeluk pinggang, dan meraih tanganku untuk bergerak memeluk pundaknya. "Kenapa bisa gini? Suaranya sampai kedengaran di atas lho!" serunya menatapku khawatir. Tak bisa kujawab pertanyaannya. Jadi, hanya bisa terdiam."Lan? Bertahan, kalau kamu gak bisa jalan aku gendong!" ungkapnya membuatku tersentak. Sontak saja kepalaku menggeleng. Tapi Fero seakan tak peduli. Dalam sekejab, ia membuatku ber
"Maaf Nona, tapi tolong terimalah kenyataan. Saya tahu ini semua berat untuk Anda ditinggal orang yang terkasih. Namun, tolong jangan membuat pihak lain ikut merasa berat dan kesusahan!"Aku terdiam mendengar kalimat pria dengan jas berwarna putih ini. Sekarang semua mengetahui, tak ada yang mau berdiri di sisiku kecuali Fero. Tak ada yang mau meraih tanganku kecuali Fero. "Sungguh saya tak berharap apa-apa darimu, ataupun dari-Nya, tapi bisakah aku meminta satu hal. Biarkan dia tetap di sini, biarkan aku bersama dengan Fero sedikit lebih lama," pintaku menengok ke arah Fero yang terbaring kaku. Dokter di hadapanku ini terdengar menghela napas pasrah. Aku menengoknya, dia melangkah keluar pergi dari ruangan. "Saya hanya memberikan Anda waktu sedikit lebih lama, jika kemudian Anda meminta untuk waktu lebih lama, saya mohon maaf, itu tidak bisa saya lakukan!" tegasnya berhenti melangkah, ketika pintu terbuka.Aku mengangguk sebagai tanda terima kasih atas waktu yang lebih lama ini, se
"Sedari awal tak ada keinginan untuk diselamatkan! Kenapa juga harus diselamatkan? Aku ... aku tak lagi ingin menaruh harapan pada siapapun di dunia ini. Karena semuanya akan hancur, dan aku akan kembali sendirian," tuturku mendongkak ke arah langit malam yang terasa begitu gelap.Aku benar-benar tenggelam, tanpa ada keinginan untuk mengawasi gerakan dari pria tertua di keluarga, Nelions Herbert. Puas mendongkak ke arah langit, kini aku menoleh ke arah Nelions yang dipanggil Neon ini terdiam dengan mata berkaca-kaca ke arahku.Tangan kanannya menutup bibir. Aku mengangkat sebelah alis sembari memandangnya dengan mata berkaca-kaca. "Apa ekspresimu itu? Kaumengira aku Pengemis yang meminta perhatian untuk hidup? Aku tak memerlukan ekspresimu, karena yang kuperlukan saat ini adalah sebuah akhir dari cerita," sindirku bergetar.Kenapa dia menampilkan ekspresi seperti itu, ketika aku sudah tak lagi berharap apa-apa pada dunia? Kenapa harus sekarang, padahal sebelumnya aku terus berharap da
Aku terdiam mencerna kalimat ketus yang mengesalkan dari pria ini. Istri Kedua? Jatuh dari lantai dua dan terguling di tangga? Ini benar-benar berbeda dari apa yang sebelumnya terjadi padaku!Bukankah aku menabrakkan diri pada mobil, dan dibopong untuk dibawa ke mobil, oleh saudara yang enggan untuk mengakuiku itu. Begitu sampai di mobil, aku mengucapkan perpisahan terakhir, dan akhirnya semua menggelap. Aku sangat yakin akan hal itu!Berhenti mengedarkan pandangan, dan menatap pria asing di depanku ini. Aku mulai bertanya ; "Tunggu! Apa maksudnya saya istri kedua? Jatuh dari tangga pula." Alisku terangkat sebelah, ketika kalimat itu terucap. Pria tampan yang mulutnya luwes di hadapanku ini tersentak kecil, dia mengerutkan kening, kemudian menolehkan kepala menatap perempuan cantik bergaun merah gelap di sampingnya, seperti sedang bertanya melalui isyarat. Perempuan dengan gaun merah di sampingnya itu pun mengangkat kedua bahu, dan alis di saat bersamaan. Seperti jawaban tidak tahu d
Secara refleks, aku langsung menjawab panggilan itu dengan memiringkan kepala, dan menatap wajahnya. Fero terlihat sangat serius. Alisku terangkat sebelah. Suasana yang tadi hening, diisi oleh keseriusan yang terasa hangat. "Kamu ingat permainan Angklung yang pernah kita mainkan sama-sama waktu kelas 2 SMA?" tanyanya. Langsung saja aku mengangguk dengan senyum. "Aku tak akan pernah melupakan momen-momen itu," balasku menyembunyikan rasa gugup setiap melihat wajah tampan itu. Fero tersenyum, ujung telinganya memerah. Memang wajahnya tidak memerah, tapi ujung telinganya benar-benar memerah. Itu sebagai tanda, kalau dia malu. Sosok Fero memang hangat, tapi dia sangat susah ditebak. Namun, walau seperti itu, aku tetap mengetahui beberapa tingkahnya dengan respons dari gerakan yang sangat kuhafal sekali. Suasana terasa sangat canggung, tapi tetap ada sensasi hangat yang bisa terasa di sudut hati. "Aku gak tau harus bilang apa ... tapi aku ingin memberikan sesuatu." Fero kembali berbi
iba-tiba, entah dari mana, ada partikel-partikel kecil berwarna emas terbang di hadapanku menuju langit. Aku mengangkat sebelah kening melihat itu. Ketika melihat partikel-partikel itu. Sudut hatiku terasa berdenyut kencang dan sedih.Bersinar begitu kecil dengan dampak luar biasa, sama seperti Fero. Dia bagai pelita yang terus menerangi tanpa henti. Entah bagaimana harus aku deskripsikan laki-laki tampan pujaan hati itu. Di mata dan hatiku, dia akan terus menerus bersinar tanpa henti. Aku lalu teringat pada Angklung berjenis Pentatonis yang dia berikan tadi. Kalau tak salah ingat, ada dua jenis Angklung jika dibedakan dari nadanya. Pertama adalah jenis Angklung Pentatonis yang terdiri dari dua bambu di bagian dalamnya. Kedua, jenis Angklung Diatonis yang terdiri dari tiga bambu. Senyumku kemudian merekah, dan menoleh ke arah Fero berbaring. "Fe–ro?" panggilku dengan kening mengernyit sarat akan tanda tanya. Tak ada seorang pun di bekasnya dia berbaring tadi. Bangkit dari posisi re
Tubuhku yang tak bisa bergerak ini langsung tersentak, kala ada panel transparan atau hologram muncul begitu saja tanpa aba-aba, disertai sebuah dentingan bak lonceng. Panel di hadapanku ini menampilkan kalimat Loading, dengan angka persen yang semakin bertambah setiap detiknya. [Notifikasi! Menampilkan data biografi Majikan ....] Begitu angka persen yang berada di tengah lingkaran hologram mencapai angka seratus persen, kalimat baru dalam layar hologram muncul, menampilkan data-data seperti game. Nama : [Lania Herberts] Usia : [18 tahun]Item : [Angklung Kenangan]Skill : [Melodi Penghilang Kesedihan ; F-]STR : [10+]AGI : [4+]VIT : [10+]Level : [1]Rank : [F-] Ringkasan : [Memiliki potensi untuk menjadi karakter dengan skill Support (Pendukung), Hitter (Penyerang), Healer (Penyembuh), Mage (Penyihir Tinggi), Ranger (Penyerang Jarak Jauh).] "Apa ini?" tanyaku pelan, melihat dengan kening mengernyit ke arah hologram yang menampilkan kalimat-kalimat seperti dala
Entah ini sekadar kebetulan atau memangnya ada di sana. Seekor Tupai kemudian terlihat meloncat-loncat dari pohon yang cukup jauh itu. "Woah! Tatapan Nona Cantik tajam! Itu betul-betul Tupaai! Ini pertama kalinya Leon liat Tupai langsung!" seru Leon dengan nada kegirangan. Hufft! Aku hanya bisa menghela napas lega secara diam-diam ketika mereka percaya kalimatku barusan. Aku melirik panel yang menampilkan 'Dual Mission' tadi. Tidak ada jalan lain selain menerima-nya.Aku tak ingin ada Meqsesa lain di dunia ini. Cukup biarkan dunia modern ini berjalan dengan semestinya tanpa ada gangguan. Jariku pun bergerak menyentuh tombol 'iya' yang melayang di udara.[Notifikasi! Anda menerima 'Dual Mission'!]"Apa kau benar-benar yakin ingin pergi sendiri-an? Ini sudah mau malam. Rasanya, tidak baik bagi perempuan sepertimu yang masih gadis untuk keluyuran," tanya Roland memastikan sekali lagi.Aku tersenyum dan mengangguk dengan tegas sambil berkata, "Iya. Lagi pula, aku memiliki sesuatu yang pe
Secara otomatis, ingatan-ingatanku menerawang pada masa di mana kami masih bermain dan berseko-lah di SMA. Ah iya, SMA. Tiba-tiba aku teringat dengan SMA yang sebelumnya aku tempati untuk belajar dan menuntut ilmu. Aku masih belum lulus dari SMA. Bisa dibilang hampir lulus. Malam ketika aku dan Fero ditabrak oleh mobil. Itu adalah malam perpisahan. Tak terkira kalau kami akan benar-benar berpisah sampai beda dunia. "Kenangan yang menyakitkan, sekaligus menye-nangkan untuk diingat. Fero," gumamku mendongkak ke atas sambil terkekeh pelan.Langit mulai berwarna jingga kegelapan, tanda malam akan menghiasi cakrawala. Aku segera berdiri. "Aku tak bisa berlama-lama di sini, ini waktunya aku pergi," ungkapku tersenyum dan berbalik menatap Roland dan Leon yang hanya menunggu di pintu masuk makam.Mendekat ke arah mereka, aku membungkukkan badan sedikit. "Sebelumnya, terima kasih karena telah mengantar saya sampai di sini. Sekarang saya tak lagi ikut dengan kalian, sebab ada yang harus say
"Papa memang mengenal Nona ini. Nama nonanya adalah Lania. Tapi, Nona ini adalah pasien Papa yang diceritakan setiap malam itu. Pasien yang kabur dari rumah sakit," jelasnya membuatku melototkan mata malu ke arahnya. Bagaimana bisa dia menceritakan kebohongan besar seperti itu!"Itu bohong! Hei Dokter, sejak kapan aku kabur dari rumah sa–kit." Semakin mendekati akhir, kalimatku semakin nadanya terdengar ragu-ragu karena aku mengetahui alasannya. Waktu itu, setelah menangis dan meminta waktu untuk berdua saja bersama Fero yang telah tidak bernyawa. Aku berlari keluar dari rumah sakit. "Kaumengingatnya bukan? Waktu itu kauberlari sangat cepat, hingga para satpam tak mampu mengejarmu," jelas Roland diakhiri dengan kekehan pelan.Pipiku langsung terasa panas, seakan sedang dikukus di tempat tertutup dengan suhu tinggi. "Sete-lah dia berlari keluar. Nona cantik ini hanya kembali dengan keadaan koma, sebelum dibawa ke Rumah Sakit Mi ...." Direktur Roland tak melanjutkan kalimatnya, dia m
Lagi dan lagi, aku kembali menahan rasa gemas luar biasa agar tidak membuat pipi itu menjadi korban dari keegoisan jari-jemariku. "Mau Nona gendong atau jalan sendiri?" tawarku tersenyum lembut."Leon mau digendong!" serunya dengan mata berbinar yang lucu, dan tangan yang melebar seakan sudah siap untuk digendong. Di dalam hati aku mengeluh, sampai kapan akan menahan rasa gemas ini setiap melihat tingkah Leon yang imut ini? Kemudian, aku segera mengambil dia ke dalam gendonganku dan berjalan menuju lift menuju lantai empat, tempat direktur rumah sakit berada. Sampai di lantai empat. Tak seperti yang kuperkirakan sebelumnya, tempat ini cukup sepi. Mengikuti arahan seperti yang dikatakan oleh resepsionis tadi. Aku berhenti melangkah di depan pintu yang memiliki papan nama 'Direktur'. "Leon, jangan nakal ya di dalam. Nanti kena marah sama orang yang duduk di dalam. Nanti kamu gak dibolehin masuk rumah sakit lagi," pesanku mengusap kepala dan mencium pipinya.Aaakk! Akhirnya bisa j
Menarik napas dalam dan mengembuskannya pelan, aku menguatkan diri untuk melangkah mengi-tari bangunan, menuju bagian depan tempat pintu masuk terpasang. Di depan pintu rumah sakit, beberapa orang terus menerus menatapku tanpa henti. Itu membuatku merasa sedikit risih. "Apakah ada yang salah dengan penampilanku?" Aku bertanya pelan pada diri sendiri sambil mendo-rong pintu untuk masuk. [Notifikasi! Bisa dibilang seperti itu. Kecantikan Anda saat ini berada di level Siren, yang berada di bawah tingkatan Dewi Cariella sendiri. Jika di Bumi ada alat untuk mengukur kecantikan, maka Anda adalah pemenangnya!]Aku tersentak ketika membacanya, lalu melihat ke sekeliling. Semuanya masih menatapku dengan tatapan itu. Mau tak mau, aku sedikit bergegas mendorong pintu rumah sakit dan masuk ke dalamnya. Mempercepat langkah mendekat ke arah resep-sionis, aku mengedarkan pandangan. Beberapa orang di dalam sini juga sama. Mereka menghentikan kegiatan dan terus menatapku. Aku kembali menatap si
"Ta–tapi ini tugas kami Queen," tolak salah satu prajurit secara halus. Aku langsung menatapnya, begitu juga dengan Queen of Siren yang berada di sampingku. Melirik ke arah wajahnya, dia tersenyum lembut. "Baiklah. Buka Palatium Maris-nya, aku hanya akan membantu kalian," usulnya menawarkan cara lain. "Seperti yang Anda pinta, wahai Queen kami!" tutur para prajurit Siren dengan nada riang. Diam-diam aku tersenyum tipis melihat mereka. Terlukis jelas ekspresi bahagia mereka, saat Queen mau memahami dan memberikan usul yang adil. Bersamaan dengan itu, aku juga miris melihat-nya. Bagaimana tidak? Queen sebelumnya menjelas-kan padaku secara langsung, bahwa hidupnya tak lagi lama. Makanya dia mencari seorang pewaris atau sebutannya Heres agar tak khawatir lagi, jika nanti dia pergi secara mendadak. Alunan mantra dengan bahasa yang tidak ku-pahami mengalun. Lingkaran sihir muncul di per-mukaan gerbang besar berwarna putih bersih ini. Gerbang yang diberi nama Palatium Maris atau Gerbang
"Untuk Portal Antar Dimensi, beritahu Siren Bangsawan Secundus Locus, dan Tertio Loco untuk menyusulku ke tempat Portal Antar Dimensi itu muncul." Queen of Siren mengeluarkan sebuah emas tipis berbentuk kertas.Si prajurit menerima emas tipis berbentuk kertas itu. "Siap, saya akan melaksanakan seperti apa yang Anda perintahkan, Queen!" balas si prajurit dengan tegas. Queen of Siren pun membalas respon si prajurit itu dengan anggukan kecil. Setelah menerima balasan dari Queen of Siren. Prajurit itu langsung pergi dan melesat layaknya speedboat. "Cepat!" gumamku yang kagum dengan mata berbinar. Apa aku bisa secepat itu? Kuharap iya! Pikirku dalam hati.Tawa kecil pun terdengar. Aku menoleh ke arah Queen of Siren. "Kecepatan berenang seperti itu sudah biasa di antara para Siren," ungkapnya tersenyum. Senyum itu hanya bertahan beberapa saat, sebelum ekspresinya runtuh."Maaf, aku hanya bisa mengantarmu sampai sini. Sebagai penggantiku, ikutilah ikan-ikan ini," ungkap Queen. Dia menu
Walau diliputi cahaya, aku masih bisa melihat kalau wajahnya sedang merekahkan senyum indah. "Ini adalah Cahaya Ilahi. Setiap Dewa atau Dewi yang memperlihatkan wujud mereka di hadapan makhluk fana, akan terlihat seperti ini. Itulah aturan Surga. Jika kedua matamu tak kuberikan berkah, pasti dua bola mata itu akan hancur," jelas Dewi Maris. Tangannya terulur mengelus rambutku. [Notifikasi! Anda menerima Berkah Dewi Penguasa Lautan!][Notifikasi! Skill Penglihatan Normal dalam air menjadi permanen. Mencatat level skill ....][Notifikasi! Berhasil, rank Skill Penglihatan Normal Dalam Air memiliki rank S plus!][Notifikasi! Pesona Anda meningkat sebanyak +20!][Notifikasi! Kecantikan Anda meningkat sebanyak +20!][Notifikasi! Ke-sexy-an Anda meningkat sebanyak +20!][Notifikasi! Rank Skill Breathing Underwater ditingkatkan menjadi S plus!][Notifikasi! Rank Skill Fire Resistance diti
"Tentu, rasanya semakin ke sini semakin berat," balasku menetralkan napas. Tawa Queen of Siren pun mengalun dengan nada khas dan indahnya. "Wajar saja kalau kamu kelelahan. Level kepadatan air dan arus di sini lebih padat. Jika kamu mengerti soal sihir, pasti mengetahuinya," jelas Queen of Siren melirikku sambil tersenyum. Sebelah alis pun kuangkat karena penasaran dengan kalimat yang dia lontarkan barusan. Keheningan pun datang, saat Queen of Siren hanya memandangi lantai tengah altar. "Apa kau membawa Permata yang kemarin kuberikan?" Queen of Siren tiba-tiba berhenti melamun dan melirik ke arahku. Raut wajahnya begitu serius. Aku mengangguk sebagai jawaban iya. Dia pun kembali menatap lantai tengah altar. "Pada umur 12 tahun, para Siren perempuan maupun laki-laki akan melakukan ritual di sini. Tak seperti manusia, setiap Siren diwajibkan untuk memiliki kekuatan dari berkah Dewi. Ini sebagai perlindungan diri,