iba-tiba, entah dari mana, ada partikel-partikel kecil berwarna emas terbang di hadapanku menuju langit. Aku mengangkat sebelah kening melihat itu. Ketika melihat partikel-partikel itu. Sudut hatiku terasa berdenyut kencang dan sedih.
Bersinar begitu kecil dengan dampak luar biasa, sama seperti Fero. Dia bagai pelita yang terus menerangi tanpa henti. Entah bagaimana harus aku deskripsikan laki-laki tampan pujaan hati itu. Di mata dan hatiku, dia akan terus menerus bersinar tanpa henti.
Aku lalu teringat pada Angklung berjenis Pentatonis yang dia berikan tadi. Kalau tak salah ingat, ada dua jenis Angklung jika dibedakan dari nadanya.
Pertama adalah jenis Angklung Pentatonis yang terdiri dari dua bambu di bagian dalamnya. Kedua, jenis Angklung Diatonis yang terdiri dari tiga bambu. Senyumku kemudian merekah, dan menoleh ke arah Fero berbaring.
"Fe–ro?" panggilku dengan kening mengernyit sarat akan tanda tanya. Tak ada seorang pun di bekasnya dia berbaring tadi. Bangkit dari posisi rebahan. Aku berteriak ; "Fero ... Feroo! Di mana kamu?"
Lama berteriak bertanya dan bertanya, tapi hanya ada keheningan tak ada jawaban. Walau itu hanya sekedar deheman untuk menjawab, kalau dia masih berada di dekat sini.
Terdiam dengan kedua tangan mengepal, sambil melirik ke sana ke mari, mencari sosoknya di setiap sudut mata memandang. Namun tetap saja, aku tak melihat sedikitpun dari tanda-tanda keberadaannya. Kecuali Angklung yang dia tinggalkan.
Aku menoleh ke arah tempat Fero berbaring tadi, dan menyadari sesuatu. Di mana, aku menemukan keberadaan sebuah partikel debu yang bersinar, juga lembar kertas dengan tema love.
Isi kepalaku langsung menyimpulkan sesuatu hanya dengan apa yang ada di depan mata. Butiran cahaya ini mirip seperti yang tadi terbang ke langit. Aku mulai meraih kertas itu, dan membacanya ; "Ada beberapa takdir yang tak mampu untuk diubah seorang manusia, yaitu kematian dan pasangan. Lania, aku tau. Kamu membaca surat ini dengan cairan bening yang mulai berlinang di sudut mata ..." aku menjeda kalimatnya, ketika membaca surat ini.
"Aku meninggalkan surat ini bersama dengan Angklung yang pernah kita mainkan. Jangan bertanya kapan surat ini ditulis, itu rahasia. Aku ingin kamu mengetahui satu hal. Angklung ini bukanlah alat musik tradisional biasa, tetapi sebuah alat musik istimewa yang akan membantu kehidupanmu di tubuh baru ..." sambungku kembali menjeda.
Seperti apa yang dia katakan dalam surat, sudut kelopak mataku mulai dipenuhi cairan bening. Aku mengusap kedua sudut mata, dan kembali membaca kertas di tangan dengan suara.
"Jangan bertanya kapan aku bisa tahu hal itu. Satu hal dari jawaban yang pasti. Aku selalu memperhatikanmu dari sudut Surga. Ke depannya, sebisa mungkin akan kuluangkan waktu untuk kita bertemu lagi dalam alam bawah sadar seperti ini ...."
Netraku langsung berbinar membaca kalimat terakhir di surat. Air mataku menitik ke surat. Rasanya tak mampu lagi untuk membaca kalimat selanjutnya, yang dia tinggalkan dalam tulisan ini. Namun, mau bagaimanapun. Rasa penasaran mengalahkan ketidakmampuan itu.
"Hehehehe, kamu pasti tidak bisa melanjutkan untuk membaca suratku ini bukan? Tapi pada akhirnya, kamu tetap akan membaca lanjutannya. Kalau aku benar, berarti kamu tak berubah sama sekali, setelah ini, pasti tebakan yang selanjutnya akan benar-benar mengejutkanmu."
Aku kembali terdiam tanpa bisa berucap. Dia menebak dengan benar apa yang kulakukan selanjutnya. Semua pertahanan yang sebelumnya dibangun hancur, kala membaca pesan dalam kertas ini.
Setiap kalimatnya, setiap paragrafnya. Semuanya membuatku merasa seperti dia ada di sini, dan selalu memperhatikan dari tempat yang dia katakan di sana.
"Sudah kuduga, kau tak akan bisa melanjutkan bacaan suratku, setelah berhasil ditebak. Ini adalah rekaman suara dalam surat, seperti yang kubilang tadi. Jangan mempertanyakan bagaimana bisa. Satu hal terakhir yang ingin kusampaikan, jangan menyerah untuk hidup!"
Di saat aku sedang mengusap air mata, menguatkan diri untuk tidak menangis. Suara dari Fero kemudian terdengar, itu persis seperti kalimat dari surat sebelumnya, dia benar-benar mengejutkanku. Bersamaan dengan surat yang berubah menjadi debu dari atas ke bawah secara perlahan.
Ketika sampai di kalimat terakhir, yang berkata ; "Jangan menyerah untuk hidup!" surat yang seperti terbuat dari kertas kuno ini langsung berubah jadi abu sepenuhnya. Kedua kakiku terasa lemas, dan aku kembali terduduk dalam posisi tak berdaya.
Kini, hanya ada abu bekas surat tadi di dalam genggamanku. Fero telah memperhatikanku selama itu. Namun aku tak ada rasa peka, dan berfirasat kalau dia memiliki perempuan lain yang disukai.
Mengapa aku begitu bodoh, rasanya ingin mengutuk semua rasa ketidakpekaan dalam diriku, setiap melihat kebodohan di masa lalu. Andai ... andai bisa peka waktu itu, mungkin kami memiliki lebih banyak kenangan yang bahagia.
Klenggg! Suara Angklung nomor enam dengan nada La itu mulai bergerak, dan menciptakan suara khas yang mampu membuat bulu kuduk para pendengarnya meremang.
Tak hanya di nomor enam saja yang bergerak. Secara perlahan, nada-nada dari nomor lain juga ikut berayun membentuk sebuah intonasi yang begitu familiar dalam ingatan.
Mataku semakin terpejam dengan sel neutron yang berusaha mengingat melodi ini. Menarik napas dalam, seketika, sebuah jawaban langsung melintas dalam benakku.
"Be Happy With A Problem!" gumamku membuka mata dan tersenyum, sambil mengucapkan nama lagu asal-asalan yang pernah dibuat bersama Fero sebelumnya.
Tak salah lagi, alat musik tradisional ini benar-benar bermain dengan melodi lagu kami. Namun, aku kembali terdiam ketika mengingat sebuah hal yang Fero tinggalkan dalam kalimat di surat tadi ; "Kehidupan di tubuh baru?" gumamku bertanya-tanya.
Angklung-angklung ini berhenti bermain. Namun kemudian, sebuah lubang hitam muncul di dekat alat musik tradisional Jawa Barat itu, dan menghisap tubuhku juga Angklung dalam sekejab, tanpa diberi waktu untuk bertahan.
Terkejut dan tak bisa bergerak, seperti ada yang mengikat. Pandanganku semuanya terlihat gelap. Aku teringat pada Angklung yang terhisap dalam lubang hitam.
Aku harus mencari Angklung itu! Bukankah sebelumnya aku sudah berjanji akan menjaga kenangan dalam bentuk alat musik itu dengan baik? Tapi belum berapa lama terpisah dari Fero, Angklung itu sudah tak ada lagi kabarnya.
Sial-sial-sial! Aku memang selalu kehilangan sesuatu yang sudah menjadi milikku. Sangat mudah untuk kehilangan. Namun, sangat sulit untuk ditemukan.
[Notifikasi! Memverifikasi Hunter ....]
Tubuhku yang tak bisa bergerak ini langsung tersentak, kala ada panel transparan atau hologram muncul begitu saja tanpa aba-aba, disertai sebuah dentingan bak lonceng. Panel di hadapanku ini menampilkan kalimat Loading, dengan angka persen yang semakin bertambah setiap detiknya. [Notifikasi! Menampilkan data biografi Majikan ....] Begitu angka persen yang berada di tengah lingkaran hologram mencapai angka seratus persen, kalimat baru dalam layar hologram muncul, menampilkan data-data seperti game. Nama : [Lania Herberts] Usia : [18 tahun]Item : [Angklung Kenangan]Skill : [Melodi Penghilang Kesedihan ; F-]STR : [10+]AGI : [4+]VIT : [10+]Level : [1]Rank : [F-] Ringkasan : [Memiliki potensi untuk menjadi karakter dengan skill Support (Pendukung), Hitter (Penyerang), Healer (Penyembuh), Mage (Penyihir Tinggi), Ranger (Penyerang Jarak Jauh).] "Apa ini?" tanyaku pelan, melihat dengan kening mengernyit ke arah hologram yang menampilkan kalimat-kalimat seperti dala
[Notifikasi! Jika Majikan tak kuat untuk melihatnya, diharapkan agar menutup mata dan tak melihat adegan yang begitu menyakitkan ini!] Aku menggelengkan kepala, tak bisa mengalihkan fokusku sedikitpun dari adegan kehancuran dunia yang seperti kiamat ini. Di saat meteor itu terpecah, terlihat seperti gelas yang jatuh secara perlahan. Begitu indah untuk dilewatkan. [Notifikasi! Sistem sudah memperingatkan!] Hanya mengangguk sebagai jawaban. Begitu pecahan-pecahan meteor di depan mataku ini menembus atmosfer, semuanya langsung jatuh dengan cepat karena tarikan gravitasi. Ribuan teriakan meminta tolong, maaf, penyesalan, marah, khawatir, takut, semuanya bercampur aduk dalam gema alunan di gendang telingaku, sebelum pecahan meteor ini merenggut nyawa mereka. Booomm! Dentuman keras terdengar di mana-mana pada saat yang bersamaan. Embusan angin yang lebih cepat dari topan bergerak ke setiap sudut mata angin tanpa berhenti sedikitpun. Abu merah yang lebih panas dari gunung merapi menya
Ghooarr! Teriakan Monster Dungeon yang berhasil menguasai satu tempat. "Four-Horned Dragon?" aku membaca kalimat yang tertulis dari Dungeon Monster itu berada. Artinya adalah Naga Empat Tanduk. Sesuai seperti tampilan Monster dengan jenis naga ini. Empat tanduk yang berada di atas kepala itu melindungi sesuatu yang dinamakan 'Core' atau 'Inti Kehidupan'. Aku tak menyentuhnya, tapi aku tau dari banyak Monster lain yang menyerangnya. Four-Horned Dragon, atau Naga Empat Tanduk itu benar-benar memiliki kulit yang lebih tebal dari baja. Ditambah, tampilan kulitnya bagai tanah yang tandus dialiri oleh lahar panas merah menyala. [Notifikasi! Tampilan sejarah sudah selesai, diharapkan Anda mampu memahami semua pemahaman di Planet Qeluav ini. Karena telah selesai, secara otomatis sistem mengirim jiwa Anda kembali ke tubuh 'Sofein Meqsesa Lachenfort'] [Notifikasi! Selamat tinggal!] Sebuah panel hologram tiba-tiba kembali muncul di hadapanku, dan seketika itu juga. Aku dalam bentuk roh atau
Judul : []Rank : [C-]Misi : [Buat para tamu undangan ikut merasakan kesedihan bersama Monster yang keluar dari Dungeon peringkat B plus, biarkan mereka mengetahui emosi kesedihan Anda!]Bonus : [400 Coin] [???]Gagal : [Mati]Batas Waktu : [-][Terima] [Tidak]*Jika Anda menolak akan ada penalti yang lebih berat dari pada kematian!"Hei! Apa yang kamu liat ke arah situ? Emangnya aku sedang berdiri di sana? Atau otakmu sudah oleng setelah jatuh dari lantai dua, ditambah mengguling-guling di tangga?" suara ketus dari pria yang menyandang status suamiku ini agak mengesalkan ya.Apa di matanya, aku ini itu mirip seperti Lumpia yang berguling-guling di atas tepung agar menjadi renyah untuk digigit? Tentu saja tidak, aku adalah Lania Herberts yang terjebak dalam tubuh Sofein Meqsesa Lachenfort ini. Andai kemarin aku tak bertemu dengan Fero di alam bawah sadar, mungkin sekarang akan berlari ke dapur dan meraih pisau untuk mengakhiri hidup yang baru saja di
Aku terdiam di depan pintu, meraih gagang kemudian menarik pintu itu hingga terbuka lebar. Memperlihatkan postur tubuh Rafeon yang mendekatkan telinganya seperti orang yang menguping. Alisku terangkat sebelah penuh tanda tanya menatapnya. Namun tak ada rasa peduli.Mengalihkan pandangan untuk menoleh ke arah Riana, aku tersenyum sinis. "Silahkan keluar, karena aku harus bersiap-siap untuk pesta ini. Sesuai kalimat kalian, untuk tidak berbuat hal-hal yang memalukan malam ini." Di dalam hati, aku tersenyum sangat puas setelah mengembalikan kalimat itu.Riana berbalik dan menatapku tak percaya, mungkin dia sedang kebingungan karena tubuh ini tak bertingkah seperti pemilik aslinya. Wanita dengan gelar istri pertama itu belum mengetahui, kalau jiwa yang sudah mengisi tubuh Meqsesa ini sudah berbeda.Tentu saja tak akan ada lagi penindasan tak adil terhadapku. Mengarahkan tatapan sinis ke arah Rafeon yang membeku, aku menegaskan kalimat lembut ; "Ah ya, tolong bawa Istri Pertamamu itu kelua
Mendengar suara Riana, aku langsung terbangun dari khayalan masa lalu yang membuat sudut mata menjadi berair setiap kali mengingatnya. Bergerak meraih gagang dan memutarnya, pintu terbuka secara perlahan."Aku sudah siap," jawabku singat dengan wajah dingin. Riana membulatkan mata seperti kesal, dia juga meremas gaun merah nan megah yang melekat pada tubuhnya, walau tak ada yang melihat selain aku. "Hei! Bagaimana bisa kau mendapat gaun indah seperti itu? Honey, apa kamu membelikannya gaun itu?" kalimat Riana terdengar seperti tak suka melihatku dengan gaun seperti ini, dia kemudian bertanya pada Rafeon yang berdiri di sampingnya. Pria itu menggeleng sambil mencuri pandang ke arahku, lalu membuang wajahnya ke arah lain. Berbeda dengan reaksi Riana, perempuan dengan gelar istri pertama menatapku dengan senyum smirk.Kipas lipat dengan warna senada dengan gaun merahnya mengembang menutupi bibir. Pandangannya begitu sinis ke arahku. "Apa kamu ada bermain ranjang dengan pria lain di bel
"Andai aku memiliki kekuatan untuk memutar waktu, maka semua itu akan aku gunakan agar aku tak pernah menginjakkan kaki di rumah ini." Bibirku kembali menyambung kalimatnya tanpa aku gerakkan. [Notifikasi! Meqsesa yang asli mengendalikan dirinya, dan mengungkapkan semua kalimat yang belum tersampaikan sebelumnya!] [Notifikasi! Anda berhasil menyelesaikan misi berkat bantuan dari Meqsesa yang asli!] [Notifikasi! Anda menerima 200 Coin!] [Notifikasi! Anda diberikan sebuah tiket untuk mengundi skill di panel undian!] [Notifikasi! Bar tampilan Coin akan ditambahkan pada biodata Anda!] Bertepatan dengan selesainya kalimat tadi, dentingan lonceng pun terdengar bersamaan dengan munculnya sebuah layar hologram secara beruntun di hadapanku. Semuanya mengejutkan, karena muncul secara tiba-tiba. Namun, yang paling mengejutkan adalah ketika membaca; bahwa Meqsesa sedang mengendalikan tubuh ini. Napasku serasa tercekat di tenggorokan ketika membaca itu. Ini berarti, Meqsesa yang entah di m
Aku terdiam dan mengangguk pelan sambil mencuri pandang melihatnya ; Sosok pria tampan di umur sekitar 23-25 dengan kulit sedikit cokelat, hidung mancung dan rahang tegas. Tak lupa tubuh kekar berbalut jas hitam yang menambah kesan tampan pada Butler satu ini. *** Kini aku duduk di samping Rafeon yang sedang mengemudi setelah melalui beberapa perdebatan, sementara Riana duduk di belakang dengan wajah kesal sambil menggerutu ; "Harusnya aku duduk di sana." Memang pelan, tapi terdengar dengan sangat jelas. Nama : [Lania Herberts] Usia : [18 tahun]Item : [Angklung Kenangan]Skill : [Melodi Penghilang Kesedihan ; F-], [The Song of Summoner ; A+], [Fiery Melody ; B+].Penyimpanan : [-] STR : [10+]AGI : [4+]VIT : [10+]Cantik : [15+ (karena menggunakan gaun yang cocok menutupi penampilan buruk rupa tubuh Anda!)]Sexy : [3+]Pesona : [30+ (gaun yang dikenakan menambah pesona, cukup untuk membuat Anda menjadi tokoh utama pada pesta!)] Coin : 450CLevel : [1]Rank : [F-]
Entah ini sekadar kebetulan atau memangnya ada di sana. Seekor Tupai kemudian terlihat meloncat-loncat dari pohon yang cukup jauh itu. "Woah! Tatapan Nona Cantik tajam! Itu betul-betul Tupaai! Ini pertama kalinya Leon liat Tupai langsung!" seru Leon dengan nada kegirangan. Hufft! Aku hanya bisa menghela napas lega secara diam-diam ketika mereka percaya kalimatku barusan. Aku melirik panel yang menampilkan 'Dual Mission' tadi. Tidak ada jalan lain selain menerima-nya.Aku tak ingin ada Meqsesa lain di dunia ini. Cukup biarkan dunia modern ini berjalan dengan semestinya tanpa ada gangguan. Jariku pun bergerak menyentuh tombol 'iya' yang melayang di udara.[Notifikasi! Anda menerima 'Dual Mission'!]"Apa kau benar-benar yakin ingin pergi sendiri-an? Ini sudah mau malam. Rasanya, tidak baik bagi perempuan sepertimu yang masih gadis untuk keluyuran," tanya Roland memastikan sekali lagi.Aku tersenyum dan mengangguk dengan tegas sambil berkata, "Iya. Lagi pula, aku memiliki sesuatu yang pe
Secara otomatis, ingatan-ingatanku menerawang pada masa di mana kami masih bermain dan berseko-lah di SMA. Ah iya, SMA. Tiba-tiba aku teringat dengan SMA yang sebelumnya aku tempati untuk belajar dan menuntut ilmu. Aku masih belum lulus dari SMA. Bisa dibilang hampir lulus. Malam ketika aku dan Fero ditabrak oleh mobil. Itu adalah malam perpisahan. Tak terkira kalau kami akan benar-benar berpisah sampai beda dunia. "Kenangan yang menyakitkan, sekaligus menye-nangkan untuk diingat. Fero," gumamku mendongkak ke atas sambil terkekeh pelan.Langit mulai berwarna jingga kegelapan, tanda malam akan menghiasi cakrawala. Aku segera berdiri. "Aku tak bisa berlama-lama di sini, ini waktunya aku pergi," ungkapku tersenyum dan berbalik menatap Roland dan Leon yang hanya menunggu di pintu masuk makam.Mendekat ke arah mereka, aku membungkukkan badan sedikit. "Sebelumnya, terima kasih karena telah mengantar saya sampai di sini. Sekarang saya tak lagi ikut dengan kalian, sebab ada yang harus say
"Papa memang mengenal Nona ini. Nama nonanya adalah Lania. Tapi, Nona ini adalah pasien Papa yang diceritakan setiap malam itu. Pasien yang kabur dari rumah sakit," jelasnya membuatku melototkan mata malu ke arahnya. Bagaimana bisa dia menceritakan kebohongan besar seperti itu!"Itu bohong! Hei Dokter, sejak kapan aku kabur dari rumah sa–kit." Semakin mendekati akhir, kalimatku semakin nadanya terdengar ragu-ragu karena aku mengetahui alasannya. Waktu itu, setelah menangis dan meminta waktu untuk berdua saja bersama Fero yang telah tidak bernyawa. Aku berlari keluar dari rumah sakit. "Kaumengingatnya bukan? Waktu itu kauberlari sangat cepat, hingga para satpam tak mampu mengejarmu," jelas Roland diakhiri dengan kekehan pelan.Pipiku langsung terasa panas, seakan sedang dikukus di tempat tertutup dengan suhu tinggi. "Sete-lah dia berlari keluar. Nona cantik ini hanya kembali dengan keadaan koma, sebelum dibawa ke Rumah Sakit Mi ...." Direktur Roland tak melanjutkan kalimatnya, dia m
Lagi dan lagi, aku kembali menahan rasa gemas luar biasa agar tidak membuat pipi itu menjadi korban dari keegoisan jari-jemariku. "Mau Nona gendong atau jalan sendiri?" tawarku tersenyum lembut."Leon mau digendong!" serunya dengan mata berbinar yang lucu, dan tangan yang melebar seakan sudah siap untuk digendong. Di dalam hati aku mengeluh, sampai kapan akan menahan rasa gemas ini setiap melihat tingkah Leon yang imut ini? Kemudian, aku segera mengambil dia ke dalam gendonganku dan berjalan menuju lift menuju lantai empat, tempat direktur rumah sakit berada. Sampai di lantai empat. Tak seperti yang kuperkirakan sebelumnya, tempat ini cukup sepi. Mengikuti arahan seperti yang dikatakan oleh resepsionis tadi. Aku berhenti melangkah di depan pintu yang memiliki papan nama 'Direktur'. "Leon, jangan nakal ya di dalam. Nanti kena marah sama orang yang duduk di dalam. Nanti kamu gak dibolehin masuk rumah sakit lagi," pesanku mengusap kepala dan mencium pipinya.Aaakk! Akhirnya bisa j
Menarik napas dalam dan mengembuskannya pelan, aku menguatkan diri untuk melangkah mengi-tari bangunan, menuju bagian depan tempat pintu masuk terpasang. Di depan pintu rumah sakit, beberapa orang terus menerus menatapku tanpa henti. Itu membuatku merasa sedikit risih. "Apakah ada yang salah dengan penampilanku?" Aku bertanya pelan pada diri sendiri sambil mendo-rong pintu untuk masuk. [Notifikasi! Bisa dibilang seperti itu. Kecantikan Anda saat ini berada di level Siren, yang berada di bawah tingkatan Dewi Cariella sendiri. Jika di Bumi ada alat untuk mengukur kecantikan, maka Anda adalah pemenangnya!]Aku tersentak ketika membacanya, lalu melihat ke sekeliling. Semuanya masih menatapku dengan tatapan itu. Mau tak mau, aku sedikit bergegas mendorong pintu rumah sakit dan masuk ke dalamnya. Mempercepat langkah mendekat ke arah resep-sionis, aku mengedarkan pandangan. Beberapa orang di dalam sini juga sama. Mereka menghentikan kegiatan dan terus menatapku. Aku kembali menatap si
"Ta–tapi ini tugas kami Queen," tolak salah satu prajurit secara halus. Aku langsung menatapnya, begitu juga dengan Queen of Siren yang berada di sampingku. Melirik ke arah wajahnya, dia tersenyum lembut. "Baiklah. Buka Palatium Maris-nya, aku hanya akan membantu kalian," usulnya menawarkan cara lain. "Seperti yang Anda pinta, wahai Queen kami!" tutur para prajurit Siren dengan nada riang. Diam-diam aku tersenyum tipis melihat mereka. Terlukis jelas ekspresi bahagia mereka, saat Queen mau memahami dan memberikan usul yang adil. Bersamaan dengan itu, aku juga miris melihat-nya. Bagaimana tidak? Queen sebelumnya menjelas-kan padaku secara langsung, bahwa hidupnya tak lagi lama. Makanya dia mencari seorang pewaris atau sebutannya Heres agar tak khawatir lagi, jika nanti dia pergi secara mendadak. Alunan mantra dengan bahasa yang tidak ku-pahami mengalun. Lingkaran sihir muncul di per-mukaan gerbang besar berwarna putih bersih ini. Gerbang yang diberi nama Palatium Maris atau Gerbang
"Untuk Portal Antar Dimensi, beritahu Siren Bangsawan Secundus Locus, dan Tertio Loco untuk menyusulku ke tempat Portal Antar Dimensi itu muncul." Queen of Siren mengeluarkan sebuah emas tipis berbentuk kertas.Si prajurit menerima emas tipis berbentuk kertas itu. "Siap, saya akan melaksanakan seperti apa yang Anda perintahkan, Queen!" balas si prajurit dengan tegas. Queen of Siren pun membalas respon si prajurit itu dengan anggukan kecil. Setelah menerima balasan dari Queen of Siren. Prajurit itu langsung pergi dan melesat layaknya speedboat. "Cepat!" gumamku yang kagum dengan mata berbinar. Apa aku bisa secepat itu? Kuharap iya! Pikirku dalam hati.Tawa kecil pun terdengar. Aku menoleh ke arah Queen of Siren. "Kecepatan berenang seperti itu sudah biasa di antara para Siren," ungkapnya tersenyum. Senyum itu hanya bertahan beberapa saat, sebelum ekspresinya runtuh."Maaf, aku hanya bisa mengantarmu sampai sini. Sebagai penggantiku, ikutilah ikan-ikan ini," ungkap Queen. Dia menu
Walau diliputi cahaya, aku masih bisa melihat kalau wajahnya sedang merekahkan senyum indah. "Ini adalah Cahaya Ilahi. Setiap Dewa atau Dewi yang memperlihatkan wujud mereka di hadapan makhluk fana, akan terlihat seperti ini. Itulah aturan Surga. Jika kedua matamu tak kuberikan berkah, pasti dua bola mata itu akan hancur," jelas Dewi Maris. Tangannya terulur mengelus rambutku. [Notifikasi! Anda menerima Berkah Dewi Penguasa Lautan!][Notifikasi! Skill Penglihatan Normal dalam air menjadi permanen. Mencatat level skill ....][Notifikasi! Berhasil, rank Skill Penglihatan Normal Dalam Air memiliki rank S plus!][Notifikasi! Pesona Anda meningkat sebanyak +20!][Notifikasi! Kecantikan Anda meningkat sebanyak +20!][Notifikasi! Ke-sexy-an Anda meningkat sebanyak +20!][Notifikasi! Rank Skill Breathing Underwater ditingkatkan menjadi S plus!][Notifikasi! Rank Skill Fire Resistance diti
"Tentu, rasanya semakin ke sini semakin berat," balasku menetralkan napas. Tawa Queen of Siren pun mengalun dengan nada khas dan indahnya. "Wajar saja kalau kamu kelelahan. Level kepadatan air dan arus di sini lebih padat. Jika kamu mengerti soal sihir, pasti mengetahuinya," jelas Queen of Siren melirikku sambil tersenyum. Sebelah alis pun kuangkat karena penasaran dengan kalimat yang dia lontarkan barusan. Keheningan pun datang, saat Queen of Siren hanya memandangi lantai tengah altar. "Apa kau membawa Permata yang kemarin kuberikan?" Queen of Siren tiba-tiba berhenti melamun dan melirik ke arahku. Raut wajahnya begitu serius. Aku mengangguk sebagai jawaban iya. Dia pun kembali menatap lantai tengah altar. "Pada umur 12 tahun, para Siren perempuan maupun laki-laki akan melakukan ritual di sini. Tak seperti manusia, setiap Siren diwajibkan untuk memiliki kekuatan dari berkah Dewi. Ini sebagai perlindungan diri,