Udara di ruang okultisme dipenuhi dengan energi yang menggelisahkan, bayangan-bayangan tampak menekan di sekitar Danu dan Sari ketika kata-kata menakutkan dari sosok berjubah itu bergema di seluruh ruangan."Kota ini akan menjadi wadah untuk kembalinya roh itu, dan tidak ada yang bisa menghentikannya, termasuk kalian," kata sosok itu dengan suara penuh kebencian.Pikiran Danu berpacu, jantungnya berdetak kencang saat mencoba mencerna implikasi dari apa yang mereka temukan. Rencana kelompok okultisme itu lebih jahat dari yang bisa mereka bayangkan – mereka tidak hanya berusaha membangkitkan roh jahat dari Desa Tumbal, tetapi menggunakan seluruh kota sebagai media untuk kembalinya roh tersebut.Di sampingnya, Sari mencengkeram lengannya lebih erat, buku jarinya memutih. "Kita harus menghentikan mereka, Danu. Kita tidak bisa membiarkan makhluk itu menguasai kota ini."Danu mengangguk, pandangannya berpindah dari sosok berjubah itu ke altar rumit di tengah ruangan. "Kamu benar, Sari. Tapi
Udara di dalam gudang yang terbengkalai itu tebal dengan ketegangan, bayangan yang tercipta dari cahaya lilin yang berkedip-kedip seolah menekan tim yang dengan hati-hati bergerak maju. Danu bisa merasakan beban kegelapan yang menimpa mereka, seolah-olah dinding bangunan itu hidup dan mengawasi setiap gerakan mereka.Di sampingnya, wajah Sari menunjukkan tekad yang kuat, matanya mengamati ruang yang remang-remang untuk mencari tanda-tanda kehadiran kelompok okultisme. Arif dan tim petugas yang dipilihnya dengan hati-hati bergerak dengan presisi, senjata mereka terhunus dan indera mereka dalam keadaan siaga tinggi.Saat mereka berbelok di sudut, suara nyanyian terdengar, kata-kata yang mengerikan dan gutural membuat Danu merinding. Dia bertukar pandang dengan Sari, pikirannya berpacu dengan implikasi dari apa yang akan mereka hadapi."Inilah saatnya," bisik Arif, suaranya nyaris tak terdengar. "Semua, sebarkan diri dan amankan perimeter. Danu, Sari, kalian ikut denganku."Tim segera be
Udara di dalam ruangan ritual yang hancur masih dipenuhi ketegangan dari konfrontasi sengit. Danu dan Sari, terluka tapi teguh, berdiri di antara bentuk-bentuk runtuh dari sosok berjubah, mata mereka mengawasi bayangan untuk tanda-tanda roh yang sulit ditangkap yang ingin mereka kalahkan.Arif dan timnya bergerak dengan hati-hati, senjata mereka masih terhunus saat mereka mengamankan perimeter dan mulai mencatat bukti-bukti. Ekspresi sang komisaris campuran antara kagum dan takut, matanya terus tertuju pada simbol-simbol rumit dan artefak okultis yang menghiasi altar yang sekarang sudah ternodai."Saya bahkan tidak tahu harus mulai dari mana," gumam Arif, menggelengkan kepala. "Apa yang kita temukan di sini... ini di luar bayangan saya."Danu meletakkan tangan yang menenangkan di bahu sang komisaris, ekspresinya juga serius. "Saya tahu, Pak. Tapi kita tidak bisa lengah, belum. Roh itu, kegelapan yang kita hadapi – masih ada di luar sana, dan belum selesai dengan kita."Sari mengangguk
Cakrawala kota berkilauan dengan semangat baru saat cahaya fajar pertama muncul di atas cakrawala. Danu berdiri di balkon apartemennya, menatap jalan-jalan yang sibuk di bawah, perasaan bangga yang tenang memenuhi hatinya.Pertempuran yang panjang dan melelahkan telah selesai, dan pada akhirnya, cahaya telah menang melawan kegelapan. Penduduk kota, yang dulu dilanda ketakutan dan ketidakpastian, telah bangkit menghadapi tantangan, semangat kolektif mereka menjadi kekuatan yang tangguh melawan entitas jahat yang mengancam untuk menguasai mereka semua.Pikiran Danu melayang ke peristiwa malam sebelumnya, konfrontasi klimaks di gudang tua masih segar dalam ingatannya. Dia ingat tatapan penuh tekad di wajah Sari saat dia berdiri melawan pemimpin kelompok okultis, benturan kekuatan kuno yang mengguncang fondasi gedung.Dan kemudian, saat di mana dia akhirnya mengganggu ritual, memutuskan koneksi energi gelap ke dunia fisik. Sosok berjubah itu runtuh, jeritan mereka yang tidak manusiawi ber
Danu melangkah perlahan di jalan setapak yang mengarah ke rumah masa kecilnya di desa. Udara sore yang sejuk disertai angin lembut yang berhembus membawa aroma tanah basah dan bunga-bunga liar, mengingatkannya pada hari-hari yang ia habiskan bermain di sekitar rumah itu. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gemuruh emosinya. Sudah bertahun-tahun sejak dia terakhir kali menginjakkan kaki di sini. Kini, sebagai jurnalis yang sukses, dia kembali bukan hanya untuk mengunjungi, tetapi juga untuk menghadapi masa lalu yang terus menghantuinya."Sudah lama sekali," bisik Danu pada dirinya sendiri ketika pandangannya tertuju pada rumah tua di ujung jalan. Rumah itu masih berdiri kokoh, meskipun catnya sudah mulai mengelupas dan atapnya tampak membutuhkan perbaikan.Saat dia mendekati pintu, seorang wanita tua dengan wajah ramah muncul dari pintu samping. "Danu! Apa kabar, Nak? Sudah lama sekali tidak melihatmu!" kata Bu Siti, tetangga yang selalu memperlakukannya seperti cucu sen
Matahari pagi menyinari kamar Danu dengan lembut. Setelah semalaman membaca, matanya masih terasa berat, tetapi keinginannya untuk mengungkap kebenaran mendorongnya untuk tetap terjaga. Danu membuka halaman berikutnya dari buku harian ibunya, berharap menemukan lebih banyak petunjuk.“10 Mei 1990. Hari ini Danu bertanya lagi tentang ayahnya. Aku tidak tahu sampai kapan bisa terus menyembunyikan kebenaran darinya. Setiap kali dia menatapku dengan mata penuh harapan, hatiku hancur. Bagaimana mungkin aku memberitahunya bahwa ayahnya terlibat dalam sesuatu yang begitu kelam?”Danu membaca catatan itu berulang kali. Ibunya jelas berusaha melindunginya dari sesuatu yang besar. Dia merasakan beban dan rasa sakit yang ibunya alami, dan itu membuat tekadnya semakin kuat.Saat Danu tenggelam dalam pikirannya, Bu Siti datang membawakan sarapan. "Danu, kamu sudah sarapan belum? Aku bawakan nasi kuning kesukaanmu."Danu tersenyum hangat. "Terima kasih, Bu Siti. Anda selalu tahu apa yang saya butuh
Setelah berminggu-minggu tenggelam dalam buku harian ibunya dan terjebak dalam kenangan masa kecil, Danu memutuskan untuk keluar dan menghirup udara segar. Ia melangkahkan kaki menuju warung kecil di ujung desa, tempat ia sering membeli permen saat kecil. Warung itu masih sama seperti dulu, dengan catnya yang mulai mengelupas dan aroma kopi yang khas."Danu! Kamu balik lagi?" Sapaan hangat dari Pak Budi, tetangga sebelah rumah, mengagetkan Danu. Pak Budi duduk di bangku kayu di depan warung, menyeruput kopi hitam.Danu tersenyum dan menghampiri. "Iya, Pak Budi. Sudah lama tidak pulang, banyak yang berubah di desa ini."Pak Budi mengangguk. "Memang banyak yang berubah, tapi kenangan tetap tinggal, kan?"Mereka duduk bersama dan berbincang tentang banyak hal, dari masa kecil Danu hingga kesibukannya sebagai jurnalis. Pak Budi adalah sosok yang selalu tenang dan bijaksana, membuat Danu merasa nyaman. Di sela-sela obrolan, Danu tak bisa menahan rasa penasaran yang menggelayuti pikirannya.
Pagi itu, sinar matahari menerobos masuk melalui jendela kecil di kamar Danu, membangunkannya dari tidur yang gelisah. Setelah semalam merenung dan membaca kembali buku harian ibunya, ia memutuskan untuk mulai penyelidikan. Mengikuti saran Pak Budi, Danu mengenakan pakaian yang nyaman dan membawa notebook serta perekam suara. Hatinya berdebar, penuh semangat dan ketegangan.Danu berjalan menuju rumah Pak Budi, yang hanya berjarak beberapa langkah dari rumahnya. Pak Budi sudah menunggu di beranda, mengenakan kemeja lusuh dan topi jerami, wajahnya penuh ketenangan seperti biasa."Pagi, Pak Budi," sapa Danu sambil tersenyum."Pagi, Danu. Siap untuk mulai?" tanya Pak Budi sambil menyodorkan secangkir kopi.Danu mengangguk dan menerima kopi itu. "Siap, Pak. Dari mana kita mulai?"Pak Budi meneguk kopinya sebelum menjawab. "Kita mulai dari tempat-tempat yang sering dikunjungi ayahmu. Tempat pertama adalah gudang tua di pinggir desa. Tempat itu sering jadi markas sementara bagi kelompok yang