Cakrawala kota berkilauan dengan semangat baru saat cahaya fajar pertama muncul di atas cakrawala. Danu berdiri di balkon apartemennya, menatap jalan-jalan yang sibuk di bawah, perasaan bangga yang tenang memenuhi hatinya.Pertempuran yang panjang dan melelahkan telah selesai, dan pada akhirnya, cahaya telah menang melawan kegelapan. Penduduk kota, yang dulu dilanda ketakutan dan ketidakpastian, telah bangkit menghadapi tantangan, semangat kolektif mereka menjadi kekuatan yang tangguh melawan entitas jahat yang mengancam untuk menguasai mereka semua.Pikiran Danu melayang ke peristiwa malam sebelumnya, konfrontasi klimaks di gudang tua masih segar dalam ingatannya. Dia ingat tatapan penuh tekad di wajah Sari saat dia berdiri melawan pemimpin kelompok okultis, benturan kekuatan kuno yang mengguncang fondasi gedung.Dan kemudian, saat di mana dia akhirnya mengganggu ritual, memutuskan koneksi energi gelap ke dunia fisik. Sosok berjubah itu runtuh, jeritan mereka yang tidak manusiawi ber
Danu melangkah perlahan di jalan setapak yang mengarah ke rumah masa kecilnya di desa. Udara sore yang sejuk disertai angin lembut yang berhembus membawa aroma tanah basah dan bunga-bunga liar, mengingatkannya pada hari-hari yang ia habiskan bermain di sekitar rumah itu. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gemuruh emosinya. Sudah bertahun-tahun sejak dia terakhir kali menginjakkan kaki di sini. Kini, sebagai jurnalis yang sukses, dia kembali bukan hanya untuk mengunjungi, tetapi juga untuk menghadapi masa lalu yang terus menghantuinya."Sudah lama sekali," bisik Danu pada dirinya sendiri ketika pandangannya tertuju pada rumah tua di ujung jalan. Rumah itu masih berdiri kokoh, meskipun catnya sudah mulai mengelupas dan atapnya tampak membutuhkan perbaikan.Saat dia mendekati pintu, seorang wanita tua dengan wajah ramah muncul dari pintu samping. "Danu! Apa kabar, Nak? Sudah lama sekali tidak melihatmu!" kata Bu Siti, tetangga yang selalu memperlakukannya seperti cucu sen
Matahari pagi menyinari kamar Danu dengan lembut. Setelah semalaman membaca, matanya masih terasa berat, tetapi keinginannya untuk mengungkap kebenaran mendorongnya untuk tetap terjaga. Danu membuka halaman berikutnya dari buku harian ibunya, berharap menemukan lebih banyak petunjuk.“10 Mei 1990. Hari ini Danu bertanya lagi tentang ayahnya. Aku tidak tahu sampai kapan bisa terus menyembunyikan kebenaran darinya. Setiap kali dia menatapku dengan mata penuh harapan, hatiku hancur. Bagaimana mungkin aku memberitahunya bahwa ayahnya terlibat dalam sesuatu yang begitu kelam?”Danu membaca catatan itu berulang kali. Ibunya jelas berusaha melindunginya dari sesuatu yang besar. Dia merasakan beban dan rasa sakit yang ibunya alami, dan itu membuat tekadnya semakin kuat.Saat Danu tenggelam dalam pikirannya, Bu Siti datang membawakan sarapan. "Danu, kamu sudah sarapan belum? Aku bawakan nasi kuning kesukaanmu."Danu tersenyum hangat. "Terima kasih, Bu Siti. Anda selalu tahu apa yang saya butuh
Setelah berminggu-minggu tenggelam dalam buku harian ibunya dan terjebak dalam kenangan masa kecil, Danu memutuskan untuk keluar dan menghirup udara segar. Ia melangkahkan kaki menuju warung kecil di ujung desa, tempat ia sering membeli permen saat kecil. Warung itu masih sama seperti dulu, dengan catnya yang mulai mengelupas dan aroma kopi yang khas."Danu! Kamu balik lagi?" Sapaan hangat dari Pak Budi, tetangga sebelah rumah, mengagetkan Danu. Pak Budi duduk di bangku kayu di depan warung, menyeruput kopi hitam.Danu tersenyum dan menghampiri. "Iya, Pak Budi. Sudah lama tidak pulang, banyak yang berubah di desa ini."Pak Budi mengangguk. "Memang banyak yang berubah, tapi kenangan tetap tinggal, kan?"Mereka duduk bersama dan berbincang tentang banyak hal, dari masa kecil Danu hingga kesibukannya sebagai jurnalis. Pak Budi adalah sosok yang selalu tenang dan bijaksana, membuat Danu merasa nyaman. Di sela-sela obrolan, Danu tak bisa menahan rasa penasaran yang menggelayuti pikirannya.
Pagi itu, sinar matahari menerobos masuk melalui jendela kecil di kamar Danu, membangunkannya dari tidur yang gelisah. Setelah semalam merenung dan membaca kembali buku harian ibunya, ia memutuskan untuk mulai penyelidikan. Mengikuti saran Pak Budi, Danu mengenakan pakaian yang nyaman dan membawa notebook serta perekam suara. Hatinya berdebar, penuh semangat dan ketegangan.Danu berjalan menuju rumah Pak Budi, yang hanya berjarak beberapa langkah dari rumahnya. Pak Budi sudah menunggu di beranda, mengenakan kemeja lusuh dan topi jerami, wajahnya penuh ketenangan seperti biasa."Pagi, Pak Budi," sapa Danu sambil tersenyum."Pagi, Danu. Siap untuk mulai?" tanya Pak Budi sambil menyodorkan secangkir kopi.Danu mengangguk dan menerima kopi itu. "Siap, Pak. Dari mana kita mulai?"Pak Budi meneguk kopinya sebelum menjawab. "Kita mulai dari tempat-tempat yang sering dikunjungi ayahmu. Tempat pertama adalah gudang tua di pinggir desa. Tempat itu sering jadi markas sementara bagi kelompok yang
Langit di atas Desa Tumbal mulai beranjak gelap saat Danu dan Pak Budi kembali ke rumah Pak Budi setelah seharian menyelidiki berbagai lokasi yang pernah dikunjungi ayah Danu. Danu merasa letih namun semangatnya tidak padam. Dia tahu bahwa dia semakin dekat dengan jawaban yang telah lama dia cari."Sekarang saatnya kita membuka berkas-berkas ini dan melihat lebih jauh," kata Pak Budi sembari menyusun dokumen-dokumen yang mereka temukan di Lingkaran Batu.Danu mengangguk, mengambil posisi duduk di samping meja kerja Pak Budi. Mereka mulai membaca setiap lembar kertas dengan seksama. Salah satu dokumen yang menarik perhatian Danu adalah catatan yang ditulis dalam bahasa yang agak kuno, hampir seperti bahasa Jawa kuno, dengan banyak istilah mistis dan diagram yang aneh."Pak Budi, lihat ini," kata Danu sambil menunjuk sebuah simbol yang aneh di salah satu dokumen. "Apa menurut Bapak ini?"Pak Budi memperhatikan simbol itu dengan seksama, mengerutkan dahinya. "Ini sepertinya simbol dari s
Pagi itu, sinar matahari menyusup melalui celah-celah jendela kamar Danu, memberikan kehangatan yang tak mampu menghapus rasa dingin yang menghantui pikirannya. Dia membuka buku harian ibunya sekali lagi, membaca setiap kata dengan hati-hati. Setiap halaman seperti membuka lapisan-lapisan rahasia yang selama ini tersembunyi. Ibunya menulis dengan penuh cinta dan kecemasan, berusaha melindungi Danu dari kebenaran yang menakutkan.Danu tahu bahwa ada lebih banyak yang harus dia ketahui. Banyak orang di desa yang sepertinya tahu lebih banyak tentang hilangnya ayahnya daripada yang mereka akui. Hari ini, Danu bertekad untuk mencari kebenaran dari mereka, meskipun hatinya berdebar keras membayangkan apa yang akan dia temukan.Dia memutuskan untuk memulai penyelidikannya dengan mengunjungi rumah lama sahabat masa kecilnya, Roni. Saat mereka kecil, Roni selalu ada di sisinya, dan Danu berharap Roni masih setia seperti dulu.Ketika Danu tiba di rumah Roni, dia disambut oleh ibu Roni yang tamp
Malam semakin larut ketika Danu duduk di ruang tamu rumah masa kecilnya, memandangi buku harian ibunya yang tergeletak di atas meja kayu tua. Dia baru saja membaca bagian yang mengungkapkan sekilas tentang keterlibatan keluarganya dalam peristiwa-peristiwa gelap di desa mereka. Hatinya berat, dipenuhi oleh perasaan campur aduk antara rasa takut dan keingintahuan. Lembar demi lembar buku harian itu penuh dengan tulisan tangan ibunya, yang mencerminkan kecemasan dan kepedihan yang selama ini disembunyikan.Danu mencoba mengingat masa-masa kecilnya, momen-momen ketika dia merasakan ada sesuatu yang tidak beres namun tidak pernah benar-benar memahami apa itu. Ibunya, dengan senyumnya yang selalu hadir namun penuh dengan kesedihan yang tersembunyi, selalu berusaha mengalihkan perhatiannya ketika dia bertanya tentang ayahnya yang hilang. "Nanti, jika kamu sudah besar, kamu akan mengerti," begitu jawaban yang sering ia terima. Kini, dengan membaca buku harian ini, Danu mulai melihat potongan