Terdengar deritan pintu, itu berarti Mas Tama memang ingin menemui Pricilia.
"Dasar lelaki, padahal aku hanya ingin mengetes dia, kok malah ditemui beneran," cebikku.
Ku raih ponselku yang tergeletak di samping lampu tidur, di layar ponsel tertera jam digital yang menunjukkan pukul sembilan malam.
Aku hubungi Ibu dan Bapak aja lah, baru satu hari aku berada di sini, tetapi rasa rindu sudah sangat menggebu.
Ku tekan tombol hijau dan tertera nomor ponsel bertuliskan nama Bapak.
Bapak dan Ibu memang bukan tergolong orang berada, namun jika hanya sekadar ponsel yang hanya dapat menerima panggilan dan pesan pun beliau memilikinya.[Tuut ... Tuut ... Tuut]
"Hallo assalamu'alaikum, Nduk," seketika terdengar suara setelah panggilan terhubung.
"Wa'alaikum salam, Bu, Ibu belum tidur ya? " tanyaku basa-basi.
"Belum, Nduk, jam segini kok telpon kemari, Nduk? Apakah suamimu sudah tidur? " tanya Ibu keheranan.
"Belum, Bu. Mas Tama sedang keluar barusan, Bu"
"Gimana, Nduk, betah disana? " tanya Ibu.
" Insya Allah betah, Bu, doakan saja. Palingan yang buat tidak betah karena Hani rindu Ibu sama Bapak." Seketika air mata meleleh, baru satu hari berpisah sudah serindu ini.
"Ya, nanti kalau suamimu libur kerja, ajak dia pulang kemari, Nduk. Sekarang kamu harus terbiasa seperti ini ya, sebagai wujud baktimu kepada suamimu, Nduk," suara Ibu terdengar parau, seperti menahan rasa yang sama seperti yang tengah aku rasakan.
"Iya, Bu. Ibu sehat selalu ya di sana, nanti kapan-kapan Hani ajak Mas Tama pulang," kataku.
"Ya sudah, sekarang kamu istirahat ya, Nduk. Oh iya, besok bangun pagi ya, Nduk, terus ke dapur bantu-bantu, yang rajin kalau tinggal di rumah mertua ya,"
"Baik, Bu " jawabku singkat.
"Assalamu'alaikum, Bu "
"Wa'alaikumsalam, Nduk"
Panggilan pun terputus.
Sebenarnya aku berniat memberitahu perihal kakiku kepada Ibu, tapi ku rasa tidak perlu, aku tak mau jika Ibu khawatir kepadaku.
Apakah harus selama ini menemui wanita yang pernah singgah dalam hatinya?Siapa yang bisa menjamin jika perasaan mereka masih saling terpaut satu sama lain. Aku berniat keluar kamar untuk mencoba mencari tahu di mana keberadaan Mas Tama, walau hanya sekadar memastikan dari puncuk tangga.Aku berjalan perlahan, rupanya setelah diurut Mas Tama tadi, kakiku sudah sedikit membaik dan bisa digerakkan meskipun masih sakit.
Tak kudapati Mas Tama di sofa ruang tamu, aku sangat penasaran sebenarnya di mana suamiku.Aku kembali masuk ke kamar, mengambil ponsel lalu menghubungi nomor kontak milik Mas Tama.
Berdering, namun tak diangkat olehnya.Dadaku terasa sesak, aku terus merutuki nasib yang kujalani.
Ku kira perjodohan ini akan membawa kebahagiaan, mengingat perilaku Mas Tama yang perhatian, meskipun ku akui, ia bersikap cukup dingin kepadaku.Lima belas menit kemudian, aku memutuskan kembali keluar kamar, berharap dapat menjumpai suamiku.
Aku masih sungkan untuk berkeliling mencari Mas Tama sampai ke bawah, terlebih aku belum paham letak ruangan di rumah ini.Saat aku keluar dari kamar, aku mendengar suara keras yang berasal dari ruangan sebelah.
Seperti suara meja yang digebrak.Aku tak mengetahui apakah itu kamar, atau ruangan lainnya. Aku berjalan mengendap-endap mendekati ruangan tersebut, pintu tertutup rapat, namun dapat ku dengar lamat-lamat suara sepasang manusia yang sedang berbincang di dalam sana.Ku tempelkan daun telingaku ke daun pintu, sebenarnya bukan sifatku suka menguping seperti ini, namun entah mengapa perasaanku mengatakan Mas Tama lah yang sedang berada di dalam sana.
Belum ku dapati jawaban dari firasatku, aku dikejutkan oleh tepukan cukup kuat pada bahuku.
Seketika ku balikkan tubuhku menghadap seorang wanita paruh baya memiliki kulit putih terawat, dengan tersenyum sinis kepadaku.Mataku membulat, aku terkejut bukan main, rasa malu berkecamuk dalam kalbu, kepergok seperti ini sangat memalukan sekali.
"Ngapain kamu disini, kamu masuk kamar aja, jangan ganggu Tama dan Pricilia." Mama menunjuk ruangan tersebut dengan menggunakan dagunya.
Jantungku seperti berhenti berdetak, aku berusaha keras menahan mataku agar tak mengeluarkan cairan di depan Mama Anita.
"Mengapa mereka berdua berada di dalam ruangan ini, Ma?" Ku beranikan diri angkat suara.
"Begini ya, Han. Kamu tahu sendiri 'kan, mereka itu berpacaran sudah lama, tapi Tama terpaksa menikahimu karena ia tak mau membuat Papanya kecewa, sebagai wanita dewasa kamu pasti tahu apa yang mereka perbuat di dalam sana, " ucapnya sembari berjalan meninggalkanku yang masih mematung di ambang pintu.
Ku lihat Mama Anita berjalan menuruni anak tangga, air mata yang sedari tadi ku tahan, akhirnya tumpah ruah tak terkendali.
Aku masuk ke kamar lalu menghempaskan bobotku di atas kasur. Tak ku pedulikan lagi kaki ku yang masih sakit ini.
Ruangan yang kedap udara ini ku pastikan dapat menyembunyikan isak tangisku yang cukup keras.Setelah lelah dengan adegan penuh bawang tersebut, aku beranjak ke kamar mandi untuk buang air kecil dan mencuci muka demi menghilangkan jejak pada pipiku.
Untung saja, kamar ini didesain mencakup kamar mandi di dalamnya. Jadi, aku tak perlu repot-repot keluar dari ruangan ini. Cukup lama aku di dalam kamar mandi, bercakap-cakap dengan diriku sendiri di depan cermin, mengajukan pertanyaan seputar perjodohan ini, lalu menjawabnya sendiri.Setelah puas berbincang dengan diri sendiri, aku keluar dari kamar mandi.
Kulihat Mas Tama dalam posisi membelakangiku sedang mengatupkan daun pintu ke kerangkanya.Aku bersikap tak acuh kepadanya, dan langsung merebahkan tubuhku.
"Loh, belum tidur, Han?" tanyanya.
"Belum," jawabku singkat.
"Istirahatlah! Sudah jam sepuluh, besok juga aku sudah mulai kerja, Han,"
"Iya." Aku memiringkan tubuhku membelakangi tubuh suamiku itu.
Rasa kantuk sudah sangat mendera, namun mataku enggan terpejam.
Apa yang dilakukan sepasang insan di dalam ruangan tertutup? Terlebih mereka bukan mahram. Pertanyaan itu terus saja menari-nari dalam pikiranku. Kulihat waktu menunjukkan tepat pukul dua belas.Aku mengalihkan pandanganku kepada lelaki di sampingku, terdengar dengkuran halus yang menandakan ia sudah berada di alam bawah sadar.Mengapa harus serumit ini? mengapa aku yang harus menerima kenyataan ini?
Netraku kembali memuntahkan lahar bening yang menganak sungai bak banjir bandang.
Setelah terasa lelah, rupanya mataku mulai mau untuk terpejam.***
Saat aku mulai terjaga, namun belum membuka mata, tubuhku terasa agak berat, seperti ada yang menimpa, ku buka mata, seketika mataku terbelalak mendapati lengan lelaki di sampingku yang melingkar pada bagian perutku.
Ada perasaan aneh yang seketika menjalar ke seluruh tubuhku. Mas Tama memperlakukanku layaknya guling yang ia peluk cukup erat. Ku lirik ke arah jendela, keadaan di luar masih pekat. Aku tak berani bergerak sedikit pun. Untuk sekedar bernafas saja aku benar-benar meminimalisir pemasukan dan pengeluaran oksigen dari tubuhku agar tidak menimbulkan gerakan yang signifikan.Sebenarnya, aku merasa sedikit risih, hal ini sangatlah baru bagiku. Namun, aku sadar, hal seperti ini bahkan terhitung pahala dalam kehalalan suatu pasangan.Aku membiarkannya dan tak merubah sedikit pun posisi kami.
Aku masih mencari solusi apa yang harus ku perbuat saat ini. Entah mengapa aku tak ingin beranjak, aku terpaku dalam keadaan hati yang bergejolak hebat. Rasa kesal yang semalam ku rasakan pun seketika sirna, lenyap terhapus perasaan yang entah, sulit untuk dijelaskan.Ku putuskan kembali memejamkan mataku, hingga aku terlelap kembali.
Terdengar muazin mengumandangkan azan, aku pun berniat melaksanakan kewajibanku, karena merasa berdosa meninggalkannya selama perjalanan menuju kemari.
Tak ku dapati suamiku berada di sampingku. Ah, aku jadi penasaran bagaimana reaksinya dengan apa yang ia lakukan tadi.Aku jadi malu sendiri membayangkannya. Aku terkekeh kecil."Pagi buta begini sudah senyum-senyum sendiri," ucapnya, sembari menggelar sajadah tanpa menolehku lagi.
Aku gugup, hendak menjawab namun mulutku mengatup.
"Buruan wudu,lalu kita salat berjemaah," ucapnya.
"I-iya," jawabku terbata.
"Kalau masih sakit, sini aku bantu, " tawar Mas Tama.
"Tidak usah, Mas, nanti kamu batal," kataku polos.
"Hani, sekarang kita sudah menjadi suami istri, jadi tak mengapa jika aku hanya sekadar membantumu ke kamar mandi, selama tidak melewati batasan yang telah ditentukan," bebernya panjang lebar.
"Oh, begitu ya, Mas, " jawabku faham.
Mas Tama berusaha meraih lenganku untuk membantuku berjalan, tapi justru peristiwa semalam kembali hadir dalam fikiranku, membuatku merasa enggan disentuh olehnya.
Kutepis tangan suamiku, lalu berkata "Aku bisa sendiri, Mas"
Aku berjalan perlahan menuju kamar mandi.
Sebenarnya aku merasa tak enak hati atas perlakuan ku kepada Mas Tama barusan. Tak ku pedulikan Mas Tama yang menatapku heran. Tapi ... Ah, biarlah, dasar sok alim, semalam saja berduaan sama wanita lain, gumamku.Setelah selesai berwudu, aku memakai mukena dan Mas Tama membantuku menggelar sajadah.
Dan kami melaksanakan salat dengan khusyuk.Meskipun aku melakukannya dalam posisi duduk.Setelah selesai salat, aku mengadukan keluh kesahku kepada sang khalik.
Ku tumpahkan segala emosi yang tertahan sejak semalam, bulir bening lolos satu persatu. Setelah usai, Mas Tama menjulurkan tangannya. Aku meraih ragu tangan suamiku. Mas Tama menghapus airmata di pipiku lalu, mencium keningku setelah sebelumnya ku cium takzim punggung tangan suamiku, yang berhasil membuat mataku membulat sempurna."Hani ... " Panggilan dan sentuhan lembut di bahuku, menyadarkanku. "Eh... Iya, Mas, ada apa?" "Nanti aku sudah mulai kerja, kalau kakimu masih sakit, biar aku beritahu mama agar antarkan makanan ke kamar," ucapnya dengan ekspresi wajah datar. "Tidak usah, Mas, kakiku sudah mendingan, nanti biar aku turun saja," ujarku. Ia hanya mengangguk menanggapi ucapanku. Melihat ekspresinya begitu, ingin sekali kugoda dirinya.Suka perhatian tapi cuek, dasar MMTP alias malu malu tapi mau. Aku terkekeh sembari berceloteh dalam hati.Tapi entah mengapa aku menyukai perlakuan suamiku, apakah aku mulai menyukainya? "Kamu 'tu aneh ya, Han. Kadang bengong, kadang senyum-senyum sendiri, kesambet baru tau rasa." Mas Tama beranjak dari hadapanku. Kupandangi lelaki yang kini sudah resmi menjadi imamku tersebut, bukan hanya pekerja keras, ternyata ia juga cu
Mas Tama menatapku lekat.Entah tatapan yang berarti apa, akupun tak mengerti.Ketika tatapan kami bersirobok, aku terpaku beberapa detik.Tatapan mata yang tajam itu seolah mengisyaratkan ketidaksukaannya atas apa yang baru saja kuucapkan.Meskipun Mas Tama cenderung bersikap dingin, tapi ia tak pernah menatapku semarah itu.Aku lantas memalingkan wajah ke arah depan."Kamar sebelah? Maksud kamu apa, Han? ""Semalam kamu dan Pricilia kan yang di kamar sebelah? "Mataku mulai berkaca-kaca.Entah rasa macam apa ini, apakah ini cemburu?Atau aku seperti ini hanya karena merasa tak dihargai sebagai istri?Mataku memanas, rasanya tak perlu aku menangis di depan Mas Tama.Namun, mataku justru tak mau diajak kompromi.Seenaknya sendiri cairan bening itu lolos begitu saja."Itu tidak seperti yang kamu fikirkan, Han," sergahnya."La
"Aku temani sampai selesai, nanti aku antar kamu pulang sampai rumah!" ucapnya."Tapi, Mas, ... ""Ini perintah bukan pilihan!" pangkasnya sebelum aku menyelesaikan ucapanku.Aku hanya mengangguk kecil.Setelah pesanan datang, aku dan Mas Tama menyantapnya tanpa banyak bicara.Sebenarnya, perasaan Mas Tama kepada Pricilia gimana sih sekarang? Aku takut jika Mas Tama hanya berpura-pura saja di hadapanku.Mendekati suapan terakhir, aku termenung memikirkan kehidupan yang tengah aku jalani ini.Apakah aku beruntung memiliki suami yang mapan dan tak terlalu buruk tabiatnya ini? Atau justru saat ini aku sedang terbelenggu dalam drama yang mereka semua sedang perankan?Entahlah ... Semoga Allah senantiasa memberikan jalan terbaik untukku."Cepat habiskan makanannya! Kita harus segera kembali untuk mengantre!"Aku tersadar dari lamunanku, dan segera menyapu bers
sepuluh lewat empat puluh lima menit, angka itulah yang tertera pada layar ponselku saat Mas Tama melenggang masuk ke kamar dengan dua bingkisan di tangannya.Ia mengulurkan satu bingkisan itu kepadaku saat telah tepat berada di hadapanku."Ini makanannya sudah sampai, makanlah!" ucapnya."Terima kasih, Mas. Mas Tama temani aku makan di sini ya!" rengekku."Iya, makanya aku bawa juga makananku ke sini, Han,"Aku tersenyum mendengarnya, syukurlah ia mempunyai inisiatif untuk itu.Semoga saja ini awal yang baik untuk rumah tanggaku.Kubuka bingkisan yang telah mendarat di genggamanku itu, terdapat boks berisi nasi, dan beberapa bungkus lauk pauk seperti udang balado, daging rendang dan beberapa potong timun dan selada.Kubuka satu persatu lauk pauk itu dengan gerakan seribu bayangan, agar aku selesai terlebih dahulu dari pada suamiku.Lalu kuserahkan kepada Mas Tama,
Mas Tama segera memapahku untuk membantuku berdiri,"Hebat kamu, Cil, kamu berhasil mendoktrin Mamaku," pekik Mas Tama kepada Pricilia."Kamu yang sudah kemakan sama hasutan Hani, Tam, sekarang jadi berani teriak-teriak depan Mama," sahut Mama."Ma, apa sih yang sebenarnya ada dalam pikiran Mama, salah Hani apa? Sampai Mama berbuat demikian dan justru lebih membela 'orang lain' itu dari pada menantu Mama sendiri," tukas Mas Tama."Dia itu kampungan, Tam, lihatlah penampilannya, sangat berbanding terbalik dengan Pricil, Mama malu, Tam," ujar Mama."Pricil juga sudah cerita semuanya ke Mama, kalau tadi kamu bentak-bentak Pricil di Rumah Sakit karena hasutan Hani." Mama beralih memandangku."Hani, seharusnya kamu itu tau diri, kamu datang diantara Tama dan Pricilia, tetapi kamu sok mau menguasai Tama, Tama itu terpaksa menikahi kamu, Han, tidak lama lagi, pasti juga kamu akan segera di ceraikan oleh put
Di meja makan sudah ada Papa, Mama, dan satu wanita paruh baya sedang menyiapkan makanan. Mungkin beliau yang sering bantu-bantu di rumah ini.Tapi bukankah Bibi sedang pulang kampung? Kapan ia kembali?.Sampai lupa, ada satu lagi makhluk halus berada di samping Mama Anita, siapa lagi kalau bukan Pricilia.Memang betul 'kan kalau aku sebut dia makhluk halus, halus dan glowing."Ayo, Han!" Bisik Mas Tama, ia menyenggol lenganku pelan."Iya, Mas," sahutku.Aku dan Mas Tama duduk bersebelahan, dan aku berhadapan langsung dengan Pricilia, sedangkan Mas Tama berhadapan dengan Mas Tama, dan Papa
Lagi-lagi tangan Mas Tama menumpang di atas perutku.Tapi entah mengapa, rasa risi yang biasa kurasakan kini berubah menjadi rasa nyaman.Seketika teringat artikel yang pernah kubaca, bukankah aku dan Mas Tama telah halal?Tidak berdosa 'kan jika aku membalas pelukan suamiku sendiri. Aku tersipu malu.Dengan ragu, kurapatkan tubuhku, memangkas jarak di antara aku dan Mas Tama.Perlahan kujulurkan tanganku di atas tubuh suamiku, kutahan menggantung di udara, karena aku ragu melakukannya.Dapat kuhidu aroma khas parfum yang telah bersatu dengan keringatnya, membuat darahku seakan berdesir lebih cepat.
"Ini, Han." Segera kuserahkan barang keramat itu kepada Hani.Ia menerimanya dan segera masuk ke toilet."Han, aku berangkat ya, takut telat," pekikku agar terdengar olehnya."Iya, Mas, hati-hati," balasnya dari dalam toilet.*****Aku masih tak percaya, kenapa Mas Tama mau membelikan barang yang aku sendiri pun terkadang malu membelinya.Aku membersihkan diri dan sekalian mandi.Syukurlah, kakiku sudah membaik, dan sudah tak terlalu sakit.
"Kalian lanjutkan makannya, ya! Papa sudah selesai, mau lanjutkan kerjaan kantor yang tadi belum kelar, " ucap Papa."Iya, Pa," jawab Mas Tama.Setelah Papa meninggalkan meja makan, Mas Tama menatapku lagi dengan senyuman yang berhasil membuatku tersepona dengan ketampanannya. Eh ... Terpesona."Rupanya istriku ini pandai masak, ya!"Aku tersipu mendengar pujian dari suamiku itu."Ah, Mas Tama bisa saja. Di kampung, aku sudah biasa masak, Mas,""Berarti lain kali boleh dong kalau aku minta kamu masakin aku setiap hari, khusus untukku!" ucapnya, sambil mengerlingkan."Tentu boleh dong, Mas."&nb
Aku segera bangkit dengan tubuh polos yang hanya berbalut selimut.Aku tidak bisa berjalan seperti biasanya karena organ kewanitaanku terasa semakin sakit saat melangkah.Aku melangkah perlahan, kakiku seperti tidak menapak di lantai, aku berjalan seperti habis sunat.Sesekali aku menengok Mas Tama.Rupanya ia tengah asyik menertawaiku, dipikir sedang nonton lawak apa."Mas, kok malah ketawa, sakit, nih!""Jalanmu lucu, Han. Kayak habis sunat." Mas Tama melanjutkan tawanya.Meskipun terasa sakit, aku tetap berjalan sewot, menuju kamar mandi.Aku berdiri di bawah deraian air dari shower.Membuat tubuhku terasa rileks.Masih menari-nari dalam ingatanku, bagaimana Mas Tama membawak
"Hani, kamu tidak apa-apa, kan?!""Tidak, Mas." Aku bergegas meninggalkan Mas Tama.Ada rasa nyeri pada ulu hati saat mengingat Mas Tama berduaan dengan Pricilia.Dengan alasan apapun, mengapa Mas Tama sampai mau diajaknya ke taman belakang?Tujuan utamaku adalah kamar.Tempat paling nyaman di rumah ini bagiku.Derap kaki mengikutiku dari belakang, "Hani, dengarkan penjelasanku dulu!"Aku mencoba meredam amarah yang berkecamuk dibagian dalam tubuhku.Namun sulit, gemuruh kian meraja lela di dalam sana.Kupercepat langkahku, kaki yang terasa nyeri seolah tak terasa, kalah oleh nyerinya hatiku.Bahkan, aku istri sahnya belum berani semesra itu menggandeng tangannya, menyandarkan kepala ini di bahunya.Air mata
"Hani, maafkan aku jika selama ini bersikap dingin kepadamu, bukannya aku menolak perjodohan kita, aku hanya merasa pernikahan ini terlalu cepat," "Aku pun merasakan hal yang sama, Mas, tapi aku yakin bahwa jalan yang Allah beri ini adalah yang terbaik," " Aku baru sadar, setelah kamu hilang, ada separuh jiwa aku yang kamu bawa, aku merasa hampa, kosong, dan linglung saat aku pulang tapi kamu sudah tidak ada di rumah," "Maafin Hani, Mas, Hani kurang hati-hati sehingga membuat Mas Tama khawatir," "Lain kali jangan pergi jauh-jauh lagi ya, untung saja kamu bertemu dengan orang-orang baik," Aku mengangguk, masih tak menyangka kalau saat ini aku suda
" Kamu kemana saja, Hani. Aku khawatir banget sama kamu." Mas Dirga mengatupkan kedua tangannya di pipiku, sembari menatapku dengan mata yang berkaca."Maaf, Pak. Istri anda tersesat dan melapor ke Kantor kami. Kami dapat melacak alamat rumah ini dari nomor ponsel yang Ibu Hani berikan kepada kami," ucap Pak Polisi."Terima kasih banyak, Pak. Sudah mengantar istri saya sampai rumah dengan selamat." ucap Mas Tama."Sudah tugas kami untuk membantu, Pak. Kami permisi, selamat siang.""Siang, Pak. Sekali lagi terima kasih banyak,"Setelah mobil Polisi menjauh, aku kembali menatap Mas Tama.Ada yang merembes dari sudut mataku.Kupeluk erat tubuh suamiku, dan menumpahkan ketakutan serta kerinduanku.Ia membalas peluka
Seseorang yang entah aku pun tak mengetahui siapa itu menjadi bulan-bulanan dua preman hingga babak belur."Halo, Pak, Pak Polisi sudah dekat? Oke, langsung ke sini saja,Pak." Aku menempelkan tanganku ke telinga.Dua preman itu lari kocar-kacir setelah sebelumnya saling pandang beberapa saat.Aku hanya mendekat ke lelaki itu tanpa menolongnya berdiri."Terima kasih sudah menolongku,"Ia mengulurkan tangannya hendak bersalaman denganku, sembari mengucap namanya."Guntur ... "Aku segera mengatupkan kedua tanganku di hadapanku."Hani ... "Ia menarik kembali tangannya dengan ekspresi tak enak hati."Kenapa sendirian malam-malam begin
Duduk di bawah pohon adalah solusi terbaik saat ini.Seingatku, aku tak membawa uang sepeserpun.Aku menepuk jidatku, saat ingat kalau uang pulsa milik Mama tadi masih ada kembaliannya, empat puluh lima ribu.Aku segera menuju penjual minuman tak jauh dari tempatku berteduh."Bu, beli es kelapa muda satu, ya,""Iya, Neng, silakan duduk dulu!" jawab Ibu penjual es itu, ramah."Kok, hanya jalan kaki, Neng, memangnya dari mana, mau kemana?" tanyanya."Saya di sini baru beberapa hari, Bu, ikut suami. Tadi saya pergi ke konter tap
"Ini, Han." Segera kuserahkan barang keramat itu kepada Hani.Ia menerimanya dan segera masuk ke toilet."Han, aku berangkat ya, takut telat," pekikku agar terdengar olehnya."Iya, Mas, hati-hati," balasnya dari dalam toilet.*****Aku masih tak percaya, kenapa Mas Tama mau membelikan barang yang aku sendiri pun terkadang malu membelinya.Aku membersihkan diri dan sekalian mandi.Syukurlah, kakiku sudah membaik, dan sudah tak terlalu sakit.
Lagi-lagi tangan Mas Tama menumpang di atas perutku.Tapi entah mengapa, rasa risi yang biasa kurasakan kini berubah menjadi rasa nyaman.Seketika teringat artikel yang pernah kubaca, bukankah aku dan Mas Tama telah halal?Tidak berdosa 'kan jika aku membalas pelukan suamiku sendiri. Aku tersipu malu.Dengan ragu, kurapatkan tubuhku, memangkas jarak di antara aku dan Mas Tama.Perlahan kujulurkan tanganku di atas tubuh suamiku, kutahan menggantung di udara, karena aku ragu melakukannya.Dapat kuhidu aroma khas parfum yang telah bersatu dengan keringatnya, membuat darahku seakan berdesir lebih cepat.