"Aku temani sampai selesai, nanti aku antar kamu pulang sampai rumah!" ucapnya.
"Tapi, Mas, ... "
"Ini perintah bukan pilihan!" pangkasnya sebelum aku menyelesaikan ucapanku.
Aku hanya mengangguk kecil.
Setelah pesanan datang, aku dan Mas Tama menyantapnya tanpa banyak bicara.
Sebenarnya, perasaan Mas Tama kepada Pricilia gimana sih sekarang? Aku takut jika Mas Tama hanya berpura-pura saja di hadapanku.
Mendekati suapan terakhir, aku termenung memikirkan kehidupan yang tengah aku jalani ini.
Apakah aku beruntung memiliki suami yang mapan dan tak terlalu buruk tabiatnya ini? Atau justru saat ini aku sedang terbelenggu dalam drama yang mereka semua sedang perankan?
Entahlah ... Semoga Allah senantiasa memberikan jalan terbaik untukku.
"Cepat habiskan makanannya! Kita harus segera kembali untuk mengantre!"
Aku tersadar dari lamunanku, dan segera menyapu bersih piring berisi nasi dan ayam goreng sepaket dengan sambal terasi. Wah nikmat sekali.
Setelah Mas Tama melakukan transaksi pembayaran atas apa yang telah kami makan, kami pun kembali ke ruang tunggu. Semoga tidak terlewat nomor antre-nya.Baru lima menit kami menunggu, akhirnya suara Suster pemanggil nomor antre pasien pun menyebut angka lima belas, Mas Tama bergegas mendorong kursi rodaku memasuki ruangan yang terdapat Dokter spesialis dan dua Suster pendamping.
"Silakan Bapak tunggu di luar ya!" pinta salah satu Suster."Baik, Sus,"
Setelah diperiksa, Dokter meminta persetujuan Mas Tama untuk melakukan rontgen guna mengetahui keadaan tulang belulang kakiku.
Setelah disetujui oleh Mas Tama, Dokter pun segera melakukan rontgen itu dibantu oleh Suster-Suster yang cekatan.
Setelah selesai, Mas Tama dipanggil masuk ke ruangan."Bagaimana keadaan kaki istri saya, Dok?" tanya Mas Tama.
"Untuk hasil rontgen-nya, besok sudah bisa Bapak ambil ya, ini saya resepkan obat anti nyeri dulu untuk mengurangi rasa sakitnya," jelas Dokter itu.
"Jangan dipakai banyak bergerak dulu ya, Bu Hani! Biarkan pulih dulu, semoga saja hasil rontgen menunjukkan hasil yang baik, agar tak perlu dilakukan tindakan pembedahan," lanjutnya.
"Baik, Dok, terima kasih banyak," ucapku.
Aku dan Mas Tama bersalaman dan pamit undur diri.
"Mas, aku pulang sendiri aja, Mas berangkat ke kantor aja sekarang, mending telat dari pada tidak berangkat sama sekali,"
"Sudah, buruan masuk mobil!"Aku menggeleng kecil karena keras kepala suamiku sulit sekali dibantah.
Lega rasanya tidak bertemu lagi dengan Pricilia, bertemu dengannya hanya membuatku darah tinggi saja.Sesampainya di pelataran rumah, Mas Tama menuntunku masuk.
Rumah terlihat lenggang, sepi. Entah kemana Mama, kalau Papa sudah pasti ke kantor. Kami duduk di sofa ruang tamu.Mas Tama masuk ke ruang makan, meninggalkanku sendiri, dan saat kembali ia membawa segelas air."Ini minum dulu obatnya, Han!"
Ia menyodorkan segelas air dan 3 tablet pil berbeda warna yang sebelumnya sudah ditebus di apotek sebelum pulang tadi."Terima kasih, Mas." Aku menerimanya dan langsung menengguk satu persatu pil yang lumayan besar itu.
"Kok sepi ya, Mas, Mama kemana?" tanyaku hanya sekedar memulai obrolan.
"Mungkin Mama lagi ada perlu di luar," ujarnya.
"Mas beneran nggak berangkat kerja aja?!" tanyaku meyakinkan.
"Memangnya kamu tidak suka ya kalau aku di rumah?" jawabnya salah tanggap.
"Eh ... Bukan begitu, Mas, aku hanya takut merepotkan dan justru mengganggu pekerjaanmu, Mas," terangku.
"Di kantor sudah ada sekretaris yang meng-handle pekerjaan," ujarnya.
"Oh begitu, Mas mau aku buatin makan siang apa?"
"Tidak usah, Han. Dokter 'kan sudah bilang jangan dipakai banyak bergerak dulu. Biar nanti aku pesan makanan via online saja."
Aku mengangguk tanda setuju.
Mas Tama menyalakan televisi tepat di hadapan kami, baru kali pertama aku melihat televisi sebesar ini.
Entah berapa inci ukurannya, aku tak dapat menerka.Jujur saja terkadang aku masih merasa kikuk saat berduaan dengan suamiku ini.
Bahkan saat tidur berdua pun kami lebih sering beradu punggung.Kulirik Mas Tama yang tengah sibuk memainkan gawainya. Jemarinya begitu piawai menari-nari diatas benda pipih itu.
Dia hanya duduk menemaniku menonton televisi, namun matanya fokus kepada benda pipih digenggamannya itu.
Setelah merasa bosan, aku hendak naik ke lantai atas. Sebenarnya saat masih gadis, aku sering melakukan pekerjaan rumah dan menyiapkan makanan untuk keluargaku. Namun, saat ini kamarlah tempat ternyaman bagiku, lagi pula kakiku memang belum pulih betul. Semoga saja hasil rontgen besok menunjukkan keadaan kakiku baik-baik saja. "Mas, aku ke kamar ya!""Ayo aku bantu!" tawarnya.
"Tidak usah, Mas, aku bisa sendiri,"
"Baiklah."
Aku pun berjalan pelan, saat berada di pangkal tangga, aku menelan salivaku saat menatap tangga yang tiba-tiba terlihat menjulang tinggi.Anak tangga pertama, kedua, ketiga, keempat, kelima, aman.
Namun, saat berada di pertengahan, aku mulai kelelahan karena tubuhku bertumpu hanya pada satu kaki.Aku mengaduh karena rasa nyeri saat kakiku yang cedera terpentok anak tangga karena aku kurang tinggi mengangkatnya.
"Keras kepala!" ucap Mas Tama yang lebih terdengar menggumam.Ia beranjak dari duduknya dan menghampiriku, lalu tanpa babibu, ia merengkuh bobotku dalam pelukannya.
Dibopongnya aku hingga sampai ke peraduan."Terima kasih, Mas," ucapku.
Mas Tama hanya tersenyum.
Manis sekali rupanya suamiku ini.Senyuman yang jarang terukir di bibir suamiku itu selalu berhasil membuat degup jantungku bertalu-talu."Aku sudah pesan makanannya, aku ke bawah dulu ya, nanti aku bawakan makanannya ke sini kalau sudah sampai, sekarang istirahatlah!" ucapnya.
"Baik, Mas."
Mas Tama pun keluar dari kamar.
Kuambil gawaiku, kubuka media sosial berwarna biru berlogo F, guna mengusir kejenuhanku. Cukup lama berseluncur di sana, tiba-tiba tak sengaja aku melihat postingan dari salah satu teman yang membagikan artikel yang cukup membuatku tersentil.Judulnya saja cukup membuatku tergelitik, namun sangat menarik perhatianku.
"MINTA DULUAN ADALAH PAHALA BAGI ISTRI"
Begitulah judul dari tajuk yang mungkin akan terlihat tabu jika dibaca seseorang yang belum berkeluarga.
Kubaca paragraf awal dari artike itu yang berisi,
[Wahai para istri, berpenampilan menariklah saat berada di hadapan suamimu.
Godalah suamimu, dan "mintalah duluan" itu dapat menjadi ladang pahala bagimu.Bangun dan teruslah pupuk cinta agar senantiasa tumbuh subur di hati.Karena sesungguhnya pernikahan adalah ibadah yang paling menyenangkan.]Tiba-tiba aku seperti mendapat pencerahan.Sepertinya aku tahu harus berbuat apa.Aku tersenyum geli membayangkan apa yang akan kulakukan kepada suami cuekku itu.
sepuluh lewat empat puluh lima menit, angka itulah yang tertera pada layar ponselku saat Mas Tama melenggang masuk ke kamar dengan dua bingkisan di tangannya.Ia mengulurkan satu bingkisan itu kepadaku saat telah tepat berada di hadapanku."Ini makanannya sudah sampai, makanlah!" ucapnya."Terima kasih, Mas. Mas Tama temani aku makan di sini ya!" rengekku."Iya, makanya aku bawa juga makananku ke sini, Han,"Aku tersenyum mendengarnya, syukurlah ia mempunyai inisiatif untuk itu.Semoga saja ini awal yang baik untuk rumah tanggaku.Kubuka bingkisan yang telah mendarat di genggamanku itu, terdapat boks berisi nasi, dan beberapa bungkus lauk pauk seperti udang balado, daging rendang dan beberapa potong timun dan selada.Kubuka satu persatu lauk pauk itu dengan gerakan seribu bayangan, agar aku selesai terlebih dahulu dari pada suamiku.Lalu kuserahkan kepada Mas Tama,
Mas Tama segera memapahku untuk membantuku berdiri,"Hebat kamu, Cil, kamu berhasil mendoktrin Mamaku," pekik Mas Tama kepada Pricilia."Kamu yang sudah kemakan sama hasutan Hani, Tam, sekarang jadi berani teriak-teriak depan Mama," sahut Mama."Ma, apa sih yang sebenarnya ada dalam pikiran Mama, salah Hani apa? Sampai Mama berbuat demikian dan justru lebih membela 'orang lain' itu dari pada menantu Mama sendiri," tukas Mas Tama."Dia itu kampungan, Tam, lihatlah penampilannya, sangat berbanding terbalik dengan Pricil, Mama malu, Tam," ujar Mama."Pricil juga sudah cerita semuanya ke Mama, kalau tadi kamu bentak-bentak Pricil di Rumah Sakit karena hasutan Hani." Mama beralih memandangku."Hani, seharusnya kamu itu tau diri, kamu datang diantara Tama dan Pricilia, tetapi kamu sok mau menguasai Tama, Tama itu terpaksa menikahi kamu, Han, tidak lama lagi, pasti juga kamu akan segera di ceraikan oleh put
Di meja makan sudah ada Papa, Mama, dan satu wanita paruh baya sedang menyiapkan makanan. Mungkin beliau yang sering bantu-bantu di rumah ini.Tapi bukankah Bibi sedang pulang kampung? Kapan ia kembali?.Sampai lupa, ada satu lagi makhluk halus berada di samping Mama Anita, siapa lagi kalau bukan Pricilia.Memang betul 'kan kalau aku sebut dia makhluk halus, halus dan glowing."Ayo, Han!" Bisik Mas Tama, ia menyenggol lenganku pelan."Iya, Mas," sahutku.Aku dan Mas Tama duduk bersebelahan, dan aku berhadapan langsung dengan Pricilia, sedangkan Mas Tama berhadapan dengan Mas Tama, dan Papa
Lagi-lagi tangan Mas Tama menumpang di atas perutku.Tapi entah mengapa, rasa risi yang biasa kurasakan kini berubah menjadi rasa nyaman.Seketika teringat artikel yang pernah kubaca, bukankah aku dan Mas Tama telah halal?Tidak berdosa 'kan jika aku membalas pelukan suamiku sendiri. Aku tersipu malu.Dengan ragu, kurapatkan tubuhku, memangkas jarak di antara aku dan Mas Tama.Perlahan kujulurkan tanganku di atas tubuh suamiku, kutahan menggantung di udara, karena aku ragu melakukannya.Dapat kuhidu aroma khas parfum yang telah bersatu dengan keringatnya, membuat darahku seakan berdesir lebih cepat.
"Ini, Han." Segera kuserahkan barang keramat itu kepada Hani.Ia menerimanya dan segera masuk ke toilet."Han, aku berangkat ya, takut telat," pekikku agar terdengar olehnya."Iya, Mas, hati-hati," balasnya dari dalam toilet.*****Aku masih tak percaya, kenapa Mas Tama mau membelikan barang yang aku sendiri pun terkadang malu membelinya.Aku membersihkan diri dan sekalian mandi.Syukurlah, kakiku sudah membaik, dan sudah tak terlalu sakit.
Duduk di bawah pohon adalah solusi terbaik saat ini.Seingatku, aku tak membawa uang sepeserpun.Aku menepuk jidatku, saat ingat kalau uang pulsa milik Mama tadi masih ada kembaliannya, empat puluh lima ribu.Aku segera menuju penjual minuman tak jauh dari tempatku berteduh."Bu, beli es kelapa muda satu, ya,""Iya, Neng, silakan duduk dulu!" jawab Ibu penjual es itu, ramah."Kok, hanya jalan kaki, Neng, memangnya dari mana, mau kemana?" tanyanya."Saya di sini baru beberapa hari, Bu, ikut suami. Tadi saya pergi ke konter tap
Seseorang yang entah aku pun tak mengetahui siapa itu menjadi bulan-bulanan dua preman hingga babak belur."Halo, Pak, Pak Polisi sudah dekat? Oke, langsung ke sini saja,Pak." Aku menempelkan tanganku ke telinga.Dua preman itu lari kocar-kacir setelah sebelumnya saling pandang beberapa saat.Aku hanya mendekat ke lelaki itu tanpa menolongnya berdiri."Terima kasih sudah menolongku,"Ia mengulurkan tangannya hendak bersalaman denganku, sembari mengucap namanya."Guntur ... "Aku segera mengatupkan kedua tanganku di hadapanku."Hani ... "Ia menarik kembali tangannya dengan ekspresi tak enak hati."Kenapa sendirian malam-malam begin
" Kamu kemana saja, Hani. Aku khawatir banget sama kamu." Mas Dirga mengatupkan kedua tangannya di pipiku, sembari menatapku dengan mata yang berkaca."Maaf, Pak. Istri anda tersesat dan melapor ke Kantor kami. Kami dapat melacak alamat rumah ini dari nomor ponsel yang Ibu Hani berikan kepada kami," ucap Pak Polisi."Terima kasih banyak, Pak. Sudah mengantar istri saya sampai rumah dengan selamat." ucap Mas Tama."Sudah tugas kami untuk membantu, Pak. Kami permisi, selamat siang.""Siang, Pak. Sekali lagi terima kasih banyak,"Setelah mobil Polisi menjauh, aku kembali menatap Mas Tama.Ada yang merembes dari sudut mataku.Kupeluk erat tubuh suamiku, dan menumpahkan ketakutan serta kerinduanku.Ia membalas peluka
"Kalian lanjutkan makannya, ya! Papa sudah selesai, mau lanjutkan kerjaan kantor yang tadi belum kelar, " ucap Papa."Iya, Pa," jawab Mas Tama.Setelah Papa meninggalkan meja makan, Mas Tama menatapku lagi dengan senyuman yang berhasil membuatku tersepona dengan ketampanannya. Eh ... Terpesona."Rupanya istriku ini pandai masak, ya!"Aku tersipu mendengar pujian dari suamiku itu."Ah, Mas Tama bisa saja. Di kampung, aku sudah biasa masak, Mas,""Berarti lain kali boleh dong kalau aku minta kamu masakin aku setiap hari, khusus untukku!" ucapnya, sambil mengerlingkan."Tentu boleh dong, Mas."&nb
Aku segera bangkit dengan tubuh polos yang hanya berbalut selimut.Aku tidak bisa berjalan seperti biasanya karena organ kewanitaanku terasa semakin sakit saat melangkah.Aku melangkah perlahan, kakiku seperti tidak menapak di lantai, aku berjalan seperti habis sunat.Sesekali aku menengok Mas Tama.Rupanya ia tengah asyik menertawaiku, dipikir sedang nonton lawak apa."Mas, kok malah ketawa, sakit, nih!""Jalanmu lucu, Han. Kayak habis sunat." Mas Tama melanjutkan tawanya.Meskipun terasa sakit, aku tetap berjalan sewot, menuju kamar mandi.Aku berdiri di bawah deraian air dari shower.Membuat tubuhku terasa rileks.Masih menari-nari dalam ingatanku, bagaimana Mas Tama membawak
"Hani, kamu tidak apa-apa, kan?!""Tidak, Mas." Aku bergegas meninggalkan Mas Tama.Ada rasa nyeri pada ulu hati saat mengingat Mas Tama berduaan dengan Pricilia.Dengan alasan apapun, mengapa Mas Tama sampai mau diajaknya ke taman belakang?Tujuan utamaku adalah kamar.Tempat paling nyaman di rumah ini bagiku.Derap kaki mengikutiku dari belakang, "Hani, dengarkan penjelasanku dulu!"Aku mencoba meredam amarah yang berkecamuk dibagian dalam tubuhku.Namun sulit, gemuruh kian meraja lela di dalam sana.Kupercepat langkahku, kaki yang terasa nyeri seolah tak terasa, kalah oleh nyerinya hatiku.Bahkan, aku istri sahnya belum berani semesra itu menggandeng tangannya, menyandarkan kepala ini di bahunya.Air mata
"Hani, maafkan aku jika selama ini bersikap dingin kepadamu, bukannya aku menolak perjodohan kita, aku hanya merasa pernikahan ini terlalu cepat," "Aku pun merasakan hal yang sama, Mas, tapi aku yakin bahwa jalan yang Allah beri ini adalah yang terbaik," " Aku baru sadar, setelah kamu hilang, ada separuh jiwa aku yang kamu bawa, aku merasa hampa, kosong, dan linglung saat aku pulang tapi kamu sudah tidak ada di rumah," "Maafin Hani, Mas, Hani kurang hati-hati sehingga membuat Mas Tama khawatir," "Lain kali jangan pergi jauh-jauh lagi ya, untung saja kamu bertemu dengan orang-orang baik," Aku mengangguk, masih tak menyangka kalau saat ini aku suda
" Kamu kemana saja, Hani. Aku khawatir banget sama kamu." Mas Dirga mengatupkan kedua tangannya di pipiku, sembari menatapku dengan mata yang berkaca."Maaf, Pak. Istri anda tersesat dan melapor ke Kantor kami. Kami dapat melacak alamat rumah ini dari nomor ponsel yang Ibu Hani berikan kepada kami," ucap Pak Polisi."Terima kasih banyak, Pak. Sudah mengantar istri saya sampai rumah dengan selamat." ucap Mas Tama."Sudah tugas kami untuk membantu, Pak. Kami permisi, selamat siang.""Siang, Pak. Sekali lagi terima kasih banyak,"Setelah mobil Polisi menjauh, aku kembali menatap Mas Tama.Ada yang merembes dari sudut mataku.Kupeluk erat tubuh suamiku, dan menumpahkan ketakutan serta kerinduanku.Ia membalas peluka
Seseorang yang entah aku pun tak mengetahui siapa itu menjadi bulan-bulanan dua preman hingga babak belur."Halo, Pak, Pak Polisi sudah dekat? Oke, langsung ke sini saja,Pak." Aku menempelkan tanganku ke telinga.Dua preman itu lari kocar-kacir setelah sebelumnya saling pandang beberapa saat.Aku hanya mendekat ke lelaki itu tanpa menolongnya berdiri."Terima kasih sudah menolongku,"Ia mengulurkan tangannya hendak bersalaman denganku, sembari mengucap namanya."Guntur ... "Aku segera mengatupkan kedua tanganku di hadapanku."Hani ... "Ia menarik kembali tangannya dengan ekspresi tak enak hati."Kenapa sendirian malam-malam begin
Duduk di bawah pohon adalah solusi terbaik saat ini.Seingatku, aku tak membawa uang sepeserpun.Aku menepuk jidatku, saat ingat kalau uang pulsa milik Mama tadi masih ada kembaliannya, empat puluh lima ribu.Aku segera menuju penjual minuman tak jauh dari tempatku berteduh."Bu, beli es kelapa muda satu, ya,""Iya, Neng, silakan duduk dulu!" jawab Ibu penjual es itu, ramah."Kok, hanya jalan kaki, Neng, memangnya dari mana, mau kemana?" tanyanya."Saya di sini baru beberapa hari, Bu, ikut suami. Tadi saya pergi ke konter tap
"Ini, Han." Segera kuserahkan barang keramat itu kepada Hani.Ia menerimanya dan segera masuk ke toilet."Han, aku berangkat ya, takut telat," pekikku agar terdengar olehnya."Iya, Mas, hati-hati," balasnya dari dalam toilet.*****Aku masih tak percaya, kenapa Mas Tama mau membelikan barang yang aku sendiri pun terkadang malu membelinya.Aku membersihkan diri dan sekalian mandi.Syukurlah, kakiku sudah membaik, dan sudah tak terlalu sakit.
Lagi-lagi tangan Mas Tama menumpang di atas perutku.Tapi entah mengapa, rasa risi yang biasa kurasakan kini berubah menjadi rasa nyaman.Seketika teringat artikel yang pernah kubaca, bukankah aku dan Mas Tama telah halal?Tidak berdosa 'kan jika aku membalas pelukan suamiku sendiri. Aku tersipu malu.Dengan ragu, kurapatkan tubuhku, memangkas jarak di antara aku dan Mas Tama.Perlahan kujulurkan tanganku di atas tubuh suamiku, kutahan menggantung di udara, karena aku ragu melakukannya.Dapat kuhidu aroma khas parfum yang telah bersatu dengan keringatnya, membuat darahku seakan berdesir lebih cepat.