“Mana rekaman videonya?” tanya Aditya sambil merebut ponsel Intan.
“Eh, Mas. Jangan dihapus!” seru Intan saat Aditya sudah membuka gallery rekaman videonya.
Ada beberapa video sengaja dia simpan. Semuanya video tentang Huda. Tak satu pun video Aditya.
Lelaki itu sontak semakin berang. Wajahnya memerah karena menahan kekesalan.
“Ngapain kamu rekam dia? Ha?” tanya Aditya setengah berbisik. Dia masih ingat menjaga harga dirinya. Jangan sampai ada temannya yang menyadari kalau dia sedang terbakar api cemburu.
“A—aku hanya mau kirim gambar itu ke temen aku.” Gagap Intan menjawab. Dia pun takut jika Aditya sudah marah seperti itu. Seperti harimau yang hendak menerkam mangsanya.
Aditya menekan tombol tempat sampah. Lima video lenyap sudah.
“Maaas---!” Suara Intan tertahan. Dia ragu, apakah harus marah, atau justru menerima kemarahan.
Intan akhirnya tidak jadi menunjukkan video hasil tangkapannya. Kalau dipikir-pikir, memang tak seharusnya dia menyebarkan video itu. Bukan karena kata-kata Aditya tentang menjaga pandangan. Tetapi, Intan fikir kalau dia menyebarkan video itu, malah teman-temannya curiga, kok bisa dia berada di turnamen basket? Pasti temannya akan mencecar kronologisnya. Bisa-bisa terbongkar hubungannya dengan Aditya.Oh, tidak!Pagi itu, Intan kembali diminta menghadap dosennya. Dasar modus! Rutuk Intan dalam hati.Dosen muda itu benar-benar jahat padanya. Memanfaatkan ketidakbisaannya dalam mengerjakan tugas untuk dapat sering-sering menghadapnya.Intan sudah duduk di hadapan Huda. Lelaki itu memberinya kertas tugas yang pernah dikumpulkan Intan. Banyak coretan di sana.“Coba kamu perbaiki lagi,” ujar Huda sambil memberinya kertas kosong.Intan menerima dua jenis kertas itu sambil menelan salivany
“Pokoknya, kamu nggak boleh ke kampus kalau hanya nongkrong-nongkrong sama temanmu. Belajar!” ujar Aditya. Matanya tajam menatap istrinya yang hanya menunduk di depan meja belajarnya. Lelaki itu akhirnya mengikuti Intan yang sudah kabur dari kamar Aditya dan masuk ke kamarnya sendiri di lantai satu. “Aku nggak nongkrong, Mas. Aku belajar bareng temen-temenku. Kalau aku belajar sendiri aku nggak paham,” sahut Intan membela diri. Kepalanya masih terus menunduk sambil tangannya memainkan jari di atas meja. Perasaannya campur aduk antara kesal dan marah. Aditya, suaminya itu tak pernah merasakan apa yang dialaminya. Dia selalu menjadi mahasiswa yang pintar. Bahkan, mendapat beasiswa hingga S2 di luar negeri. Sementara dia? Untuk dapat melanjutkan kuliah saja, harus berjuang setengah mati. Jangankan memikirkan cum laude, memikirkan lulus tiap mata kuliah tanpa mengulang saja, rasanya sungguh berat. “Kamu itu nggak bisa, karena saat kuliah suka melamun. Nggak fokus. Nglihatin dosennya t
Pagi-pagi, Intan sudah rapi dengan tas punggungnya. Dia bertekad hendak keluar rumah, sekaligus mencicil mengambil buku-buku di kosan yang masih tertinggal. Dia hanya pamit sementara tinggal di rumah Bude-nya karena ingin peningkatan gizi menjelang ujian.“Mau kemana, kamu?”Intan menghentikan langkahnya, tatkala menyadari siapa yang bertanya padanya.“Kosan Santi, Mas. Mau belajar!” jawab Intan sambil memejamkan matanya. Mulutnya terkatup rapat. Dia tahu, sebentar lagi Aditya bakal memberinya ceramah panjang lebar.“Nggak bisa apa belajarnya dirumah? Belajar bersama kebanyakan ngobrol!” kata Aditya kesal. Kenapa Intan tak juga paham maksudnya. Dia minta gadis itu belajar di rumah, agar konsentrasi. Tidak kebanyakan bergosip yang tak penting dengan teman-temannya. Ujung-ujungnya, remidial.“Lho, justru jaman sekarang ini harus dipupuk rasa kebersamaan dan kerja sama. Kalau terb
Beruntung, tak lama petugas pengawas ujian yang di depan segera mendekat sambil membawakan lembar kertas lembar jawaban untuk Intan.Sayangnya, dosen muda itu bukannya beranjak dari hadapan Intan, namun malah masih terus berdiri di sana.Keringat di dahi Intan mulai bercucuran. Bukan karena tidak bisa mengerjakan soal ujian. Tetapi gara-gara dosen muda itu malah berdiri di depannya. Tatapan sesekali pura-pura ngawas. Namun tak jarang curi pandang pada Intan.Perlahan tapi pasti, konsetrasi Intan mulai terganggu. Dia tak dapat fokus lagi, meski hanya tinggal dua soal. Tatapan penuh senyum dari Huda, justru diartikan Intan sebagai tatapan intimidasi.Otak Intan sudah sulit untuk bekerja. Ingin rasanya menoleh ke kiri kanan untuk memastikan teman-temannya apakah bernasib sama, tapi tak ada nyali. Intan takut dikira berbuat curang.Soal nomer empat masih di depan mata. Telapak tangan Intan mulai basah dengan keringat. Diliriknya
Pagi ini Sarah kembali bekerja di kantornya yang lama. Beruntung dia punya dedikasi yang baik sebelumnya, sehingga begitu ada posisi, dia mendapatkan kesempatan pertama.Memang dia harus mengawali karir lagi dari nol. Tapi tak ada masalah. Yang penting baginya adalah keluar dari kebosanan di rumah.Menjadi pegawai baru, gajinya tak banyak. Hanya cukup untuk membayar ART yang bertugas mengawasi kedua orang tuanya, dan ART yang mengerjakan pekerjaan rumah tangga, sebagai konsekuensi yang diusulkannya ke Dimas, jika dia bekerja. Sisanya masih cukup untuk perawatan dan membeli kebutuhan pribadi. Sementara, kebutuhan sehari-hari, Dimas sudah menanggungnya.Meskipun satu kantor dengan Aditya, sang mantan, ruang kerja Sarah dan Aditya tidak berada dalam satu lantai. Sehingga intensitas pertemuan keduanya juga minim. Paling hanya saat jam makan siang.Jam makan siang kala itu, adalah waktu yang dinanti oleh Sarah. Dia ingin menunjukkan pad
Aditya sengaja mengajak makan siang Farhan, kepala divisi di tempat Sarah bekerja. Kebetulan Aditya mengenalnya cukup dekat karena beberapa projek yang mengharuskan mendapat persetujuan dari tempat Farhan.Aditya punya misi untuk mencari tahu informasi tentang pekerjaan Sarah, agar kakaknya sedikit tenang.“Wah, Bro, denger-denger baru pulang dari Bandung?” tanya Aditya membuka pembicaraan.Suasana kantin saat jam makan siang cukup ramai. Aditya memilih tempat duduk di pojok agar dapat mendengarkan dengan serius hal yang ingin dia dengar dari Farhan.“Tahu darimana? Sarah cerita?” tanya Farhan menampakkan senyum menggoda.Tak mudah memang memiliki mantan pacar satu kantor. Meski Aditya tak pernah mengakui Sarah sebagai pacarnya. Semua orang tahu kalau dia dan Sarah cukup dekat. Kemana pun berdua kala itu. Tapi, apa mau dikata jika takdir berkata lain. Ternyata dia tak berjodoh dengan Sarah.
Mereka berdua hanya terdiam. Bahkan nyaris seperti orang yang tak tak pernah saling kenal. “Aku duluan,” kata Aditya datar sembari keluar dari lift. Berulang kali Aditya menghembuskan napasnya setelah lelaki itu duduk di meja kerjanya. Masih tak habis mengerti dengan penampilan Sarah yang dia lihat barusan. Baju yang dikenakan terlihat baru. Begitu juga penampilan lainnya. Wajahnya terlihat lebih bercahaya dan tidak kusam. Pikirannya bertanya-tanya. Apakah perusahaan Dimas sudah membaik, sehingga sudah punya cukup uang untuk meningkatkan penampilan Sarah. Padahal, bulan lalu dia masih terlihat sederhana dan kusam. Karena penasaran, Aditya segera mengeluarkan ponsel dari saku celananya. [Kapan Sarah dinas lagi?] Aditya mengirimkan pesan ke kakaknya. Dia benar-benar harus menyelidiki. Kalau perubahan penampilan karena uang lebih dari Dimas, rasanya tak mungkin. Pasti Dimas pun akan ada perubahan. Buktinya ti
Sudah seminggu berlalu, Aditya masih memikirkan bagaimana cara mencari tahu apa yang terjadi dengan Sarah. Namun, Aditya belum punya nyali untuk menemui Sarah. Bertanya pada kolega yang lain jelas tak mungkin. Informasi dari Farhan memang cukup jelas, tapi dia tak mau berspekulasi dengan hal yang belum jelas.Hari itu, Aditya dan Intan berjalan memasuki lobi sebuah mall. Aditya sudah tidak tahan dengan rengekan Intan yang mengajaknya jalan-jalan sebagai hadiah lulus mata kuliahnya Huda, dosen yang sedang gencar mendekati Intan.“Mau kemana kita jadinya?” tanya Aditya dingin.“Nonton! Kan waktu itu belum jadi,” tagih Intan sambil tersenyum manja ke Aditya.Aditya membalasnya dengan tampak jijik. Ditariknya kedua sudut bibirnya ke samping.“Ih, kamu tuh ya, Mas! Nggak asyik!” Intan hendak memukul lengan Aditya.Serta merta Aditya menghindar, sehingga Intan hanya mampu memukul benda ko
Sementara, di belahan timur pulau jawab, Sarah sudah tiba di hotel. “Wi, jadi kan kita ketemu?” Sarah mengirim pesan singkat ke Dewi, teman kuliahnya dulu. Meski dulu tak akrab dengannya, namun kekuatan sosial media, membuat mereka menjadi dekat. Banyak nostalgia di grup kadang membuat dulunya berjarak, menjadi akrab. “Jadi, dong. Apa yang enggak buat kamu." Dewi mengirimkan nama sebuah cafe di salah satu mall terkenal di kota pahlawan itu. “Wah, ini sih deket sama hotelku. Sampe ketemu ya!” Balas Sarah dengan riang. “Nanti aku ke sana pulang kerja, ya. Lagi banyak orderan bos. Nggak enak klo izin.” Meski janjiannya masih lama, di mall, Sarah tidak mati gaya. Dia berniat jalan-jalan berkeliling dulu di mall itu sambil membunuh waktu. Hingga kemudian, dia mengecek kembali waktu. Saat sudah dekat waktu janjiian, Sarah segera bergegas ke cafe yang dijanjikan. Suasana cafe tid
“Mau kemana, Mas?” tanya Intan, sesaat sebelum Aditya menutup pintu itu. Lelaki itu tersenyum menatap istrinya yang raut wajahnya menampakkan wajah cemburu. Aditya menanggapi kemarahan Intan dengan santai. Jika selama ini yang banyak mengalah adalah Intan, kini dunia seolah terbalik. Intan sedang dirundung rasa kesal terhadap suaminya yang sudah terlalu memperlakukan temannya yang sedang jatuh cinta padanya. “Aku mau ke bawah. Kamu nitip apa?" tanya Aditya datar. Tak terlihat ada rasa bersalah. Aditya sudah tahu, biasanya amarah Intan akan sedikit reda jika ditawarkan makanan. “Martabak?” tawar Aditya dengan sedikit mencondongkan kepalanya. Alisnya pun satu diangkat ke atas, hendak menggoda Intan. “Serah!” ketus Intan menjawab seraya menutup pintu. Aditya hanya menanggapinya dengan senyum. Kepalanya menggeleng. Dia teringat mamanya kalau ngambek sama papanya, persis seperti itu. Nanti j
Di kompleks perkantoran tempat mereka magang tak hanya di gedung yang berisi banyak kantor. Namun, di sebelah gedungnya pun juga perkantoran lain. Belum diseberang jalan. Apalagi, saat jam pulang kerja begini, maka akan mudah ditemui pekerja yang pulang kantor dan berjalan menuju tempat tinggal masing-masing. Di kompleks pemukiman belakang kantor itu, ada berbagai macam tipe rumah tinggal. Dari yang apartemen, kos-kosan elit, kos-kosan tipe menengah, hingga kamar yang disewakan bersama dengan pemilik rumah. Mau tipe yang ada AC dan internet plus kamar mandi di dalam, atau tipe dengan kipas angin pun tersedia. Harganya bervariasi. “Intan!” panggil Runi ketika melihat temannya tak sengaja menoleh ke arahnya. Sebenarnya Runi ingin menghindar saja dan menunggu Intan masuk. Namun, kepalang basah. Intan sudah lebih dahulu melihatnya. Mau-tak mau Runi harus menyapanya. Suasana lorong apartemen yang sepi membuat suara Run
Sarah menatap nanar ke arah Dimas yang duduk di ruang tunggu bandara. Meskipun lelaki itu pamit hendak keluar kota alasan bisnis, Sarah tidak mempercayainya begitu saja. Sudah sebulan Sarah bekerja di kantor milik papanya yang kini dikelola Dimas. Semua pembukuan sudah diambil alih olehnya. Sesuai dengan keahliannya sebelum bekerja di kantor itu. Hana, staf lama, yang dicurigai memiliki kedekatan dengan Dimas pun sudah sebulan dipindahkan ke kantor cabang. Sarah sudah menyelidiki semua pembukuan kantor itu. Tak satu pun transaksi mencurigakan ditemukan. Bahkan, transaksi atas nama Dimas, tak satupun mencurigakan. Mungkin, itu pula yang membuat hidup Dimas tak banyak berubah, meski perusahaan makin menggeliat. Bahkan, rumah pun masih tinggal di tempat yang sama. Dimas pun masih setia dengan motornya, meski kadang-kadang membawa mobil operasional kantor. Namun, kesederhanaan itu justru yang membuat Sarah makin curiga. Jangan-jangan, ada belanja yang lain diluar untuk keluarganya, s
“Mas, bisa nggak sih kalo kerja nggak pake main mata?” tanya Intan sambil menggigit satenya. Meski seharian dibuat gusar oleh tingkah Runi dan juga Aditya yang sok bijak di depan Runi hingga membuat gadis itu makin blingsatan, Intan sudah mulai belajar mengendalikan diri. Berkali-kali dia meneguk air mineral agar melarutkan emosi dalam darahnya. Sore tadi, sepulang kerja, Intan berpesan ke Aditya agar membeli sate di warung tenda belakang. Dia kesal dengan Aditya dan itu membuatnya malas memasak, khusus hari itu saja. Dia ingin menunjukkan kalau dia tengah marah. Apalagi, sejak Aditya tahu kalau teman-teman Intan juga magang di kantornya, Aditya makin malas pergi keluar dengan Intan. Bahkan lelaki itu rela membeli makan sendiri, demi agar tidak diketahui kedekatannya dengan sang istri. Bahkan, mereka pun pulang dan pergi terpaksa melewati jalan dan waktu yang berbeda, agar tidak diketahui hubungan keduanya. “Siapa juga yang mai
Kebetulan Runi dan Mira tinggal di kosan yang sama. Sementara Intan beralasan ikut kakaknya. Jadi tidak gabung saat mencari kosan. Sedangkan Arfan, tentu tinggal di kosan khusus laki-laki. “Ehhh, maaf, Run. Nggak bisa. Kan aku sudah bilang, kalau aku tinggal sama kakakku cowo. Dia orangnya pemalu. Emang mau ngapain?” tanya Intan setelah menjelaskan alasannya.Selama ini, Intan selalu beralasan ikut di tempat kakak laki-lakinya. Jadi dia tak mengijinkan satu pun temannya untuk berkunjung. Bisa-bisa Aditya ngamuk kalau sampai ada yang berani datang. Lelaki itu sangat ketat terhadap privasi. “Nggak ada, sih. Cuma mau main aja. Habis dari magang, suka bengong di kontrakan,” kata Runi. Runi memang tidak terlalu cocok dengan Mira. Mira anaknya gaul, mudah dekat sama cowok. Sedangkan Runi cenderung pemalu. Mengobrol dengan Mira pun sering tidak nyambung. Karena keduanya berbeda selera. “Yaudah, aku saja yang main ke kosanmu ya,” kata Intan menawarkan diri. Kalau dengan Intan, Runi agak
“Tadi ada anak baru magang di kantorku,” kata Aditya sambil mengambil rawon ke mangkuknya. Biasanya makan nasi rawon, Intan selalu memisahkan rawon dengan nasinya.Intan sudah mencicil membeli perabot masak seadanya. Yang penting ada buat goreng, ngrebus, ngukus. Bahkan, kadang dia terpaksa menggunakan bumbu instan, karena tak memungkinkan bumbu lengkap. Ulekan atau blender belum dimilikinya. Lagi pula beli bumbu lengkap juga bakal busuk klo jarang-jarang masak.Intan hampir tersedak mendengar ucapan Aditya.“Minum dulu. Denger magang saja, kok kamu tersedak,” ucap Aditya datar.Lelaki itu sama sekali tak curiga. Malah dengan santainya menyendok telur asin yang sengaja digunakan untuk pendamping nasi rawon. Intan sengaja membawa telor asin dari rumah mertuanya. Praktis buat lauk. Tinggal membuat perkedel dan goreng emping saja buat pelengkap nasi rawon.“Ya maaf kalau aku nggak bantuin kam
Aditya masih sibuk dengan pekerjaannya, saat Hanafi, karyawan HRD masuk ke ruang kerjanya bersama seorang gadis dengan penampilan tertutup alias berjilbab rapi. “Dit, ini ada anak magang baru, ditempatkan di divisi ini. Kata Pak Bos, kamu yang akan pegang,” kata Hanafi sambil memperkenalkan gadis yang meskipun tampilannya tertutup namun, terlihat ramah. Sejenak Aditya terdiam. Namun kemudian dia teringat pesan atasannya yang sedang keluar kantor, kalau memang dia akan ditugaskan membimbing anak magang tiga bulan kedepan. “Oh Iya, Pak. Makasih ya,” sahut Aditya kemudian. “Runi, ini Pak Adit. Nanti Pak Adit yang akan membimbing kamu selama magang di sini.” Hanafi memberi pesan pada mahasiswi bernama Runi itu. Gadis itu menangguk takzim. Hanafi lalu meninggalkan ruangan Aditya. “Duduk dulu.” Aditya mempersilahkan Runi duduk. Mereka mengobrol di sofa yang biasa digunakan untuk menunggu tamu di ruangan itu. “Jadi nama kamu Runi?” Aditya membaca berkas dokumen yang diberikan Hanafi.
Intan bersikap biasa tatkala pagi hari, seolah tak pernah terjadi sesuatu tadi malam. Dia sengaja tak membahasnya hingga Aditya membuka percakapan. “Bener kamu nggak ingat semalam kamu ngapain?” ulang Aditya. Pagi itu Hari Minggu. Intan memasak nasi goreng untuk sarapan. Semalam, Intan sengaja memasak nasi agak lebih agar dapat dimasak untuk pagi hari. Dia sudah hafal kalau Aditya tak suka nasi kemarin, kecuali dibuat nasi goreng. Intan menggeleng. Dalam hati Intan berujar, “Aku nggak tahu kamu ngapain saja di sana, Mas.” Aditya menghela napas. Dia khawatir hal itu akan terjadi lagi saat malam hari dia tidak di rumah. “Mengerikan,” batinnya. “Kalau begitu, sebaiknya siang ini kita pulang. Rasanya lebih aman kamu di rumah dibanding di sini,” tambah Aditya. Di rumahnya, ada mamanya yang bisa mengawasi. Kalau di apartemen, saat dia pergi seperti semalam, siapa yang dapat menjamin Intan nggak kemana-mana.