Sarah mengerjapkan matanya. Dia kesiangan bangun! Ini gara-gara semalam dia tidak bisa tidur. Dimas sudah tidak ada di sebelahnya. Pasti dia sudah ke masjid. Tapi, kenapa Dimas tidak membangunkannya? Bukannya tiap habis dari masjid pria itu selalu membangunkannya. Ah, Sarah jadi malu jika nanti ketauan bangun kesiangan di rumah Aditya ini. Sarah segera bangkit. Menyisir rambutnya yang berantakan, lalu mengendap-endap ke kamar mandi. Dalam hati, dia berharap tidak ada yang melihat muka bantalnya. Saat tiba di depan pintu kamar mandi. Sial! Terkunci. Sebenarnya di lantai bawah ada kamar mandi juga. Namun, Sarah sudah mendengar suara ramai dari lantai satu. Artinya semua penghuni di rumah ini Sudah bangun, kecuali dia. Padahal waktu baru menunjukkan pukul setengah enam pagi! Clek, Sarah yang masih berdiri di depan pintu, menahan napasnya. Seorang pemuda berwajah dingin yang memak
Meski Aditya pernah bertutur kalau Intan adalah anak sahabat mamanya, tapi entah kenapa, di benak Sarah lebih terpatri kalau Intan adalah anak teman mamanya Aditya yang disekolahkan oleh keluarga itu, asal, mau membantu pekerjaan rumah. Sarah sebenarnya tak terlalu menikmati acara sarapan bersama. Batinnya tertekan karena tak dapat menjadi dirinya sendiri. Dia ragu untuk ikut berbicara. Ada kecemasan jika ucapannya tak ada yang menanggapi. Usai sarapan, Sarah bergegas ke kamar setelah Intan mendapatkan persetujuan Dimas. “Lebih baik, Mbak Sarah siap-siap saja. Sebentar lagi, Mas Danang datang,” ucap Intan tatkala Sarah hendak menawarkan diri membantunya. Lagi pula, perkakas sarapan tidak sebanyak kalau makan malam. Usai mandi, Sarah bersiap-siap akan ber-make up saat Dimas masuk kamar. “Kamu tidak tertarik untuk memakai jilbab, Dik?” tanya Dimas hati-hati. Sarah menatap Dimas penuh tanya. Pi
Intan memang tidak ingin segera membuka status pernikahannya di hadapan teman-temannya. Ia bingung mau mengawalinya bagaimana.Pernikahan ini terlalu mendadak baginya. Kalau sampai teman-temannya tahu, dan dia tidak mengundang temannya hadir, bisa-bisa dia menjadi musuh bersama di kampus. Huff. Intan mendengus. Tapi, tak ada pilihan lain. Jangankan mengundang teman-temannya. Dia sendiri saja tak menyangka akan menikah secepat itu. Semua tak pernah diduga. Bahkan, dia saja kaget kalau ternyata mempelainya adalah Aditya, orang serumahnya. Ditambah tahu-tahu sudah ada penghulu di rumah tanpa pembahasan pendahuluan. Padahal malamnya, Ayahnya cuma bilang mau dilamar. Kenapa jadinya menikah. Bingung. Sungguh membingungkan. Bisa-bisanya ayahnya terhipnotis dengan pesona Aditya. Ya, dilihat dari mana pun, pasti banyak yang mendambakan sosok semacam Aditya jadi menantunya. Secara fisik, nggak mengecewakan. Secara otak, encer brilian, lulusan luar negeri. Secara pekerjaan, meski masih merin
Aditya, sudah berdiri di depannya. Pria itu baru selesai meeting di sekitar kampus Intan.“Kamu habis ngapain keluar ruangannya sampe kringetan kayak gitu?” tanya Aditya penuh kecurigaan.Intan mencoba mengendalikan diri. Tentu saja dia kaget. Baru semalam kena ceramah nggak boleh lihat lelaki lain kecuali dirinya. Sekarang malah tertangkap basah keluar dari ruangan dosen tergantengnya.“Lagian darimana Mas Aditya tahu kalau aku baru dari ruangan Pak Huda,” pikir Intan.“Lha emang nggak boleh kringetan?” kilah Intan sambil mendelik kesal.Aditya terdiam, namun bibirnya tersenyum mengejek.“Emang nggak ada AC-nya sampe kringetan?” tanya Aditya menyelidik.Belum selesai Aditya menginterograsi istrinya tiba-tiba ada suara datang menyapa.“Hai, Dit. Apa kabar?” tiba-tiba Bu Nurul, salah satu dosen yang satu kantor dengan Pak Hud
“Maaf, Intan sedang siap-siap. Kami mau ada acara,” ujar Aditya saat menemui Huda di ruang tamu.Sementara Intan sedang berganti baju di kamar.Intan tak habis pikir, dari mana dosennya itu tahu rumahnya? Mau apa dia datang? Apa dia benar-benar sedang mencari calon istri? Kenapa harus ke sini? Bukannya mahasiswinya yang cantik-cantik bejibun?“Ah, itu tak penting. Yang penting aku bisa jalan-jalan sama Mas Adit,” batin Intan sambil tersenyum penuh kemenangan.Akhirnya, apa yang dinanti selama ini pun jadi kenyataan. Jalan keluar dengan Aditya. Sudah beberapa hari menikah, tapi tak sekalipun mereka pacaran layaknya pasangan muda. Kali ini, Intan harus berterima kasih dengan Huda. Andaikan dia tidak tiba-tiba muncul di rumah ini, bisa jadi Aditya tak mau beranjak dari depan layar komputernya.Aditya segera memarkir motornya di parkiran mall itu. Kini, dia kembali terbiasa dengan debu ibukota. P
Intan menghentakkan kakinya di tanah dengan kesal. Gadis itu sudah satu jam menunggu Aditya yang berjanji menjemputnya di halte tempat dia berdiri sekarang. Namun, batang hidung lelaki itu tak jua muncul.Dikirimnya pesan pada Aditya. Sayangnya tak ada respon. Malah, aplikasi hijaunya hanya contreng satu. Ditelpon tidak diangkat. Orangnya seperti sudah hilang ditelan bumi.“Percuma saja punya hape bagus, kalau dihubungi kagak bisa!” gerutu Intan.Pagi itu, Intan baru saja pulang dari pengajian di rumah salah satu teman kuliahnya. Intan setiap weekend memang rutin ikut pengajian. Ada senior di kampusnya yang mengampu pengajian, sekaligus bisa jadi ajang curhat. Sayangnya, tetap saja Intan tak berani membuka jati dirinya. Status sebagai istri Aditya di usia yang sangat muda.Apa kata orang, kalau ketauan nggak ada angin nggak ada hujan sudah menikah. Apalagi, dia terlanjur memproklamirkan diri masuk tim anti nikah muda.
“Mana rekaman videonya?” tanya Aditya sambil merebut ponsel Intan.“Eh, Mas. Jangan dihapus!” seru Intan saat Aditya sudah membuka gallery rekaman videonya.Ada beberapa video sengaja dia simpan. Semuanya video tentang Huda. Tak satu pun video Aditya.Lelaki itu sontak semakin berang. Wajahnya memerah karena menahan kekesalan.“Ngapain kamu rekam dia? Ha?” tanya Aditya setengah berbisik. Dia masih ingat menjaga harga dirinya. Jangan sampai ada temannya yang menyadari kalau dia sedang terbakar api cemburu.“A—aku hanya mau kirim gambar itu ke temen aku.” Gagap Intan menjawab. Dia pun takut jika Aditya sudah marah seperti itu. Seperti harimau yang hendak menerkam mangsanya.Aditya menekan tombol tempat sampah. Lima video lenyap sudah.“Maaas---!” Suara Intan tertahan. Dia ragu, apakah harus marah, atau justru menerima kemarahan.
Intan akhirnya tidak jadi menunjukkan video hasil tangkapannya. Kalau dipikir-pikir, memang tak seharusnya dia menyebarkan video itu. Bukan karena kata-kata Aditya tentang menjaga pandangan. Tetapi, Intan fikir kalau dia menyebarkan video itu, malah teman-temannya curiga, kok bisa dia berada di turnamen basket? Pasti temannya akan mencecar kronologisnya. Bisa-bisa terbongkar hubungannya dengan Aditya.Oh, tidak!Pagi itu, Intan kembali diminta menghadap dosennya. Dasar modus! Rutuk Intan dalam hati.Dosen muda itu benar-benar jahat padanya. Memanfaatkan ketidakbisaannya dalam mengerjakan tugas untuk dapat sering-sering menghadapnya.Intan sudah duduk di hadapan Huda. Lelaki itu memberinya kertas tugas yang pernah dikumpulkan Intan. Banyak coretan di sana.“Coba kamu perbaiki lagi,” ujar Huda sambil memberinya kertas kosong.Intan menerima dua jenis kertas itu sambil menelan salivany