Sabtu pagi, Sarah sudah bersiap-siap berangkat ke rumah mertuanya.
“Mas, kalau aku nanti berubah pikiran nggak mau nginap, jangan dipaksa, ya?” kata Sarah sambil menutup resleting tas jinjing yang sudah diisi dengan baju ganti.
“Kenapa? Kamu belum sanggup ketemu Adit?” tanya Dimas sambil tersenyum. Dimas mengerti, tak banyak orang yang dengan cepat dapat move on dari sang mantan.
“Tenang, Adit itu sifatnya memang begitu. Dingin sama perempuan. Si Intan tuh, yang sudah kenal dari kecil saja, dia masih jutek. Apalagi kamu yang baru kemaren dikenalnya,” jelas Dimas.
“Intan?” guman Sarah. Keningnya berkerut mendengar nama itu lagi.
Sebegitu pentingkah dia di keluarga Handoyo? Bukankah dia hanya anak teman mamanya Dimas? Tapi Sarah segera menepis penasarannya. Nanti lama kelamaan juga akan tahu sendiri, rahasia di balik semua ini, gumannya dalam hati.
“Tapi, dulu awal-awal kenal aku, dia nggak begitu. Setelah tahu ma
Sarah sejak datang ke rumah keluarga Handoyo, hatinya diliputi keresahan. Ingin rasanya segera pulang dari rumah itu. Aditya yang berubah, membuatnya merasa tak nyaman. Mama mertuanya yang masih belum mengajaknya bicara, membuatnya menjadi canggung. Dia merasa tak dapat menjadi dirinya sendiri. Bahkan, memegang ponsel saja, dia tak berani. Dalam benak Sarah, dia sedikit heran. Mengapa tak ada penghuni rumah itu yang memegang ponsel selama dia di sana? Apakah karena dia sudah kecanduan ponsel, sehingga menjadi kebiasaannya setiap saat tak dapat meninggalkan benda pipih itu. Ada rasa keinginan yang kuat mengecek ponselnya, tapi rasa canggung membuatnya urung. Sejak resign dari kantor dan hanya mengurus papa dan mamanya yang belum sehat di rumah, Sarah memang banyak menghabiskan waktu dengan ponselnya. Dia merasa jenuh dengan hidupnya. Melihat benda pipih itu, membuatnya dapat menhilangkan kepenatan, meski sejenak. Baru beberapa jam saja, Sarah sudah mulai rindu dengan benda pipih it
Sarah mengerjapkan matanya. Dia kesiangan bangun! Ini gara-gara semalam dia tidak bisa tidur. Dimas sudah tidak ada di sebelahnya. Pasti dia sudah ke masjid. Tapi, kenapa Dimas tidak membangunkannya? Bukannya tiap habis dari masjid pria itu selalu membangunkannya. Ah, Sarah jadi malu jika nanti ketauan bangun kesiangan di rumah Aditya ini. Sarah segera bangkit. Menyisir rambutnya yang berantakan, lalu mengendap-endap ke kamar mandi. Dalam hati, dia berharap tidak ada yang melihat muka bantalnya. Saat tiba di depan pintu kamar mandi. Sial! Terkunci. Sebenarnya di lantai bawah ada kamar mandi juga. Namun, Sarah sudah mendengar suara ramai dari lantai satu. Artinya semua penghuni di rumah ini Sudah bangun, kecuali dia. Padahal waktu baru menunjukkan pukul setengah enam pagi! Clek, Sarah yang masih berdiri di depan pintu, menahan napasnya. Seorang pemuda berwajah dingin yang memak
Meski Aditya pernah bertutur kalau Intan adalah anak sahabat mamanya, tapi entah kenapa, di benak Sarah lebih terpatri kalau Intan adalah anak teman mamanya Aditya yang disekolahkan oleh keluarga itu, asal, mau membantu pekerjaan rumah. Sarah sebenarnya tak terlalu menikmati acara sarapan bersama. Batinnya tertekan karena tak dapat menjadi dirinya sendiri. Dia ragu untuk ikut berbicara. Ada kecemasan jika ucapannya tak ada yang menanggapi. Usai sarapan, Sarah bergegas ke kamar setelah Intan mendapatkan persetujuan Dimas. “Lebih baik, Mbak Sarah siap-siap saja. Sebentar lagi, Mas Danang datang,” ucap Intan tatkala Sarah hendak menawarkan diri membantunya. Lagi pula, perkakas sarapan tidak sebanyak kalau makan malam. Usai mandi, Sarah bersiap-siap akan ber-make up saat Dimas masuk kamar. “Kamu tidak tertarik untuk memakai jilbab, Dik?” tanya Dimas hati-hati. Sarah menatap Dimas penuh tanya. Pi
Intan memang tidak ingin segera membuka status pernikahannya di hadapan teman-temannya. Ia bingung mau mengawalinya bagaimana.Pernikahan ini terlalu mendadak baginya. Kalau sampai teman-temannya tahu, dan dia tidak mengundang temannya hadir, bisa-bisa dia menjadi musuh bersama di kampus. Huff. Intan mendengus. Tapi, tak ada pilihan lain. Jangankan mengundang teman-temannya. Dia sendiri saja tak menyangka akan menikah secepat itu. Semua tak pernah diduga. Bahkan, dia saja kaget kalau ternyata mempelainya adalah Aditya, orang serumahnya. Ditambah tahu-tahu sudah ada penghulu di rumah tanpa pembahasan pendahuluan. Padahal malamnya, Ayahnya cuma bilang mau dilamar. Kenapa jadinya menikah. Bingung. Sungguh membingungkan. Bisa-bisanya ayahnya terhipnotis dengan pesona Aditya. Ya, dilihat dari mana pun, pasti banyak yang mendambakan sosok semacam Aditya jadi menantunya. Secara fisik, nggak mengecewakan. Secara otak, encer brilian, lulusan luar negeri. Secara pekerjaan, meski masih merin
Aditya, sudah berdiri di depannya. Pria itu baru selesai meeting di sekitar kampus Intan.“Kamu habis ngapain keluar ruangannya sampe kringetan kayak gitu?” tanya Aditya penuh kecurigaan.Intan mencoba mengendalikan diri. Tentu saja dia kaget. Baru semalam kena ceramah nggak boleh lihat lelaki lain kecuali dirinya. Sekarang malah tertangkap basah keluar dari ruangan dosen tergantengnya.“Lagian darimana Mas Aditya tahu kalau aku baru dari ruangan Pak Huda,” pikir Intan.“Lha emang nggak boleh kringetan?” kilah Intan sambil mendelik kesal.Aditya terdiam, namun bibirnya tersenyum mengejek.“Emang nggak ada AC-nya sampe kringetan?” tanya Aditya menyelidik.Belum selesai Aditya menginterograsi istrinya tiba-tiba ada suara datang menyapa.“Hai, Dit. Apa kabar?” tiba-tiba Bu Nurul, salah satu dosen yang satu kantor dengan Pak Hud
“Maaf, Intan sedang siap-siap. Kami mau ada acara,” ujar Aditya saat menemui Huda di ruang tamu.Sementara Intan sedang berganti baju di kamar.Intan tak habis pikir, dari mana dosennya itu tahu rumahnya? Mau apa dia datang? Apa dia benar-benar sedang mencari calon istri? Kenapa harus ke sini? Bukannya mahasiswinya yang cantik-cantik bejibun?“Ah, itu tak penting. Yang penting aku bisa jalan-jalan sama Mas Adit,” batin Intan sambil tersenyum penuh kemenangan.Akhirnya, apa yang dinanti selama ini pun jadi kenyataan. Jalan keluar dengan Aditya. Sudah beberapa hari menikah, tapi tak sekalipun mereka pacaran layaknya pasangan muda. Kali ini, Intan harus berterima kasih dengan Huda. Andaikan dia tidak tiba-tiba muncul di rumah ini, bisa jadi Aditya tak mau beranjak dari depan layar komputernya.Aditya segera memarkir motornya di parkiran mall itu. Kini, dia kembali terbiasa dengan debu ibukota. P
Intan menghentakkan kakinya di tanah dengan kesal. Gadis itu sudah satu jam menunggu Aditya yang berjanji menjemputnya di halte tempat dia berdiri sekarang. Namun, batang hidung lelaki itu tak jua muncul.Dikirimnya pesan pada Aditya. Sayangnya tak ada respon. Malah, aplikasi hijaunya hanya contreng satu. Ditelpon tidak diangkat. Orangnya seperti sudah hilang ditelan bumi.“Percuma saja punya hape bagus, kalau dihubungi kagak bisa!” gerutu Intan.Pagi itu, Intan baru saja pulang dari pengajian di rumah salah satu teman kuliahnya. Intan setiap weekend memang rutin ikut pengajian. Ada senior di kampusnya yang mengampu pengajian, sekaligus bisa jadi ajang curhat. Sayangnya, tetap saja Intan tak berani membuka jati dirinya. Status sebagai istri Aditya di usia yang sangat muda.Apa kata orang, kalau ketauan nggak ada angin nggak ada hujan sudah menikah. Apalagi, dia terlanjur memproklamirkan diri masuk tim anti nikah muda.
“Mana rekaman videonya?” tanya Aditya sambil merebut ponsel Intan.“Eh, Mas. Jangan dihapus!” seru Intan saat Aditya sudah membuka gallery rekaman videonya.Ada beberapa video sengaja dia simpan. Semuanya video tentang Huda. Tak satu pun video Aditya.Lelaki itu sontak semakin berang. Wajahnya memerah karena menahan kekesalan.“Ngapain kamu rekam dia? Ha?” tanya Aditya setengah berbisik. Dia masih ingat menjaga harga dirinya. Jangan sampai ada temannya yang menyadari kalau dia sedang terbakar api cemburu.“A—aku hanya mau kirim gambar itu ke temen aku.” Gagap Intan menjawab. Dia pun takut jika Aditya sudah marah seperti itu. Seperti harimau yang hendak menerkam mangsanya.Aditya menekan tombol tempat sampah. Lima video lenyap sudah.“Maaas---!” Suara Intan tertahan. Dia ragu, apakah harus marah, atau justru menerima kemarahan.
Sementara, di belahan timur pulau jawab, Sarah sudah tiba di hotel. “Wi, jadi kan kita ketemu?” Sarah mengirim pesan singkat ke Dewi, teman kuliahnya dulu. Meski dulu tak akrab dengannya, namun kekuatan sosial media, membuat mereka menjadi dekat. Banyak nostalgia di grup kadang membuat dulunya berjarak, menjadi akrab. “Jadi, dong. Apa yang enggak buat kamu." Dewi mengirimkan nama sebuah cafe di salah satu mall terkenal di kota pahlawan itu. “Wah, ini sih deket sama hotelku. Sampe ketemu ya!” Balas Sarah dengan riang. “Nanti aku ke sana pulang kerja, ya. Lagi banyak orderan bos. Nggak enak klo izin.” Meski janjiannya masih lama, di mall, Sarah tidak mati gaya. Dia berniat jalan-jalan berkeliling dulu di mall itu sambil membunuh waktu. Hingga kemudian, dia mengecek kembali waktu. Saat sudah dekat waktu janjiian, Sarah segera bergegas ke cafe yang dijanjikan. Suasana cafe tid
“Mau kemana, Mas?” tanya Intan, sesaat sebelum Aditya menutup pintu itu. Lelaki itu tersenyum menatap istrinya yang raut wajahnya menampakkan wajah cemburu. Aditya menanggapi kemarahan Intan dengan santai. Jika selama ini yang banyak mengalah adalah Intan, kini dunia seolah terbalik. Intan sedang dirundung rasa kesal terhadap suaminya yang sudah terlalu memperlakukan temannya yang sedang jatuh cinta padanya. “Aku mau ke bawah. Kamu nitip apa?" tanya Aditya datar. Tak terlihat ada rasa bersalah. Aditya sudah tahu, biasanya amarah Intan akan sedikit reda jika ditawarkan makanan. “Martabak?” tawar Aditya dengan sedikit mencondongkan kepalanya. Alisnya pun satu diangkat ke atas, hendak menggoda Intan. “Serah!” ketus Intan menjawab seraya menutup pintu. Aditya hanya menanggapinya dengan senyum. Kepalanya menggeleng. Dia teringat mamanya kalau ngambek sama papanya, persis seperti itu. Nanti j
Di kompleks perkantoran tempat mereka magang tak hanya di gedung yang berisi banyak kantor. Namun, di sebelah gedungnya pun juga perkantoran lain. Belum diseberang jalan. Apalagi, saat jam pulang kerja begini, maka akan mudah ditemui pekerja yang pulang kantor dan berjalan menuju tempat tinggal masing-masing. Di kompleks pemukiman belakang kantor itu, ada berbagai macam tipe rumah tinggal. Dari yang apartemen, kos-kosan elit, kos-kosan tipe menengah, hingga kamar yang disewakan bersama dengan pemilik rumah. Mau tipe yang ada AC dan internet plus kamar mandi di dalam, atau tipe dengan kipas angin pun tersedia. Harganya bervariasi. “Intan!” panggil Runi ketika melihat temannya tak sengaja menoleh ke arahnya. Sebenarnya Runi ingin menghindar saja dan menunggu Intan masuk. Namun, kepalang basah. Intan sudah lebih dahulu melihatnya. Mau-tak mau Runi harus menyapanya. Suasana lorong apartemen yang sepi membuat suara Run
Sarah menatap nanar ke arah Dimas yang duduk di ruang tunggu bandara. Meskipun lelaki itu pamit hendak keluar kota alasan bisnis, Sarah tidak mempercayainya begitu saja. Sudah sebulan Sarah bekerja di kantor milik papanya yang kini dikelola Dimas. Semua pembukuan sudah diambil alih olehnya. Sesuai dengan keahliannya sebelum bekerja di kantor itu. Hana, staf lama, yang dicurigai memiliki kedekatan dengan Dimas pun sudah sebulan dipindahkan ke kantor cabang. Sarah sudah menyelidiki semua pembukuan kantor itu. Tak satu pun transaksi mencurigakan ditemukan. Bahkan, transaksi atas nama Dimas, tak satupun mencurigakan. Mungkin, itu pula yang membuat hidup Dimas tak banyak berubah, meski perusahaan makin menggeliat. Bahkan, rumah pun masih tinggal di tempat yang sama. Dimas pun masih setia dengan motornya, meski kadang-kadang membawa mobil operasional kantor. Namun, kesederhanaan itu justru yang membuat Sarah makin curiga. Jangan-jangan, ada belanja yang lain diluar untuk keluarganya, s
“Mas, bisa nggak sih kalo kerja nggak pake main mata?” tanya Intan sambil menggigit satenya. Meski seharian dibuat gusar oleh tingkah Runi dan juga Aditya yang sok bijak di depan Runi hingga membuat gadis itu makin blingsatan, Intan sudah mulai belajar mengendalikan diri. Berkali-kali dia meneguk air mineral agar melarutkan emosi dalam darahnya. Sore tadi, sepulang kerja, Intan berpesan ke Aditya agar membeli sate di warung tenda belakang. Dia kesal dengan Aditya dan itu membuatnya malas memasak, khusus hari itu saja. Dia ingin menunjukkan kalau dia tengah marah. Apalagi, sejak Aditya tahu kalau teman-teman Intan juga magang di kantornya, Aditya makin malas pergi keluar dengan Intan. Bahkan lelaki itu rela membeli makan sendiri, demi agar tidak diketahui kedekatannya dengan sang istri. Bahkan, mereka pun pulang dan pergi terpaksa melewati jalan dan waktu yang berbeda, agar tidak diketahui hubungan keduanya. “Siapa juga yang mai
Kebetulan Runi dan Mira tinggal di kosan yang sama. Sementara Intan beralasan ikut kakaknya. Jadi tidak gabung saat mencari kosan. Sedangkan Arfan, tentu tinggal di kosan khusus laki-laki. “Ehhh, maaf, Run. Nggak bisa. Kan aku sudah bilang, kalau aku tinggal sama kakakku cowo. Dia orangnya pemalu. Emang mau ngapain?” tanya Intan setelah menjelaskan alasannya.Selama ini, Intan selalu beralasan ikut di tempat kakak laki-lakinya. Jadi dia tak mengijinkan satu pun temannya untuk berkunjung. Bisa-bisa Aditya ngamuk kalau sampai ada yang berani datang. Lelaki itu sangat ketat terhadap privasi. “Nggak ada, sih. Cuma mau main aja. Habis dari magang, suka bengong di kontrakan,” kata Runi. Runi memang tidak terlalu cocok dengan Mira. Mira anaknya gaul, mudah dekat sama cowok. Sedangkan Runi cenderung pemalu. Mengobrol dengan Mira pun sering tidak nyambung. Karena keduanya berbeda selera. “Yaudah, aku saja yang main ke kosanmu ya,” kata Intan menawarkan diri. Kalau dengan Intan, Runi agak
“Tadi ada anak baru magang di kantorku,” kata Aditya sambil mengambil rawon ke mangkuknya. Biasanya makan nasi rawon, Intan selalu memisahkan rawon dengan nasinya.Intan sudah mencicil membeli perabot masak seadanya. Yang penting ada buat goreng, ngrebus, ngukus. Bahkan, kadang dia terpaksa menggunakan bumbu instan, karena tak memungkinkan bumbu lengkap. Ulekan atau blender belum dimilikinya. Lagi pula beli bumbu lengkap juga bakal busuk klo jarang-jarang masak.Intan hampir tersedak mendengar ucapan Aditya.“Minum dulu. Denger magang saja, kok kamu tersedak,” ucap Aditya datar.Lelaki itu sama sekali tak curiga. Malah dengan santainya menyendok telur asin yang sengaja digunakan untuk pendamping nasi rawon. Intan sengaja membawa telor asin dari rumah mertuanya. Praktis buat lauk. Tinggal membuat perkedel dan goreng emping saja buat pelengkap nasi rawon.“Ya maaf kalau aku nggak bantuin kam
Aditya masih sibuk dengan pekerjaannya, saat Hanafi, karyawan HRD masuk ke ruang kerjanya bersama seorang gadis dengan penampilan tertutup alias berjilbab rapi. “Dit, ini ada anak magang baru, ditempatkan di divisi ini. Kata Pak Bos, kamu yang akan pegang,” kata Hanafi sambil memperkenalkan gadis yang meskipun tampilannya tertutup namun, terlihat ramah. Sejenak Aditya terdiam. Namun kemudian dia teringat pesan atasannya yang sedang keluar kantor, kalau memang dia akan ditugaskan membimbing anak magang tiga bulan kedepan. “Oh Iya, Pak. Makasih ya,” sahut Aditya kemudian. “Runi, ini Pak Adit. Nanti Pak Adit yang akan membimbing kamu selama magang di sini.” Hanafi memberi pesan pada mahasiswi bernama Runi itu. Gadis itu menangguk takzim. Hanafi lalu meninggalkan ruangan Aditya. “Duduk dulu.” Aditya mempersilahkan Runi duduk. Mereka mengobrol di sofa yang biasa digunakan untuk menunggu tamu di ruangan itu. “Jadi nama kamu Runi?” Aditya membaca berkas dokumen yang diberikan Hanafi.
Intan bersikap biasa tatkala pagi hari, seolah tak pernah terjadi sesuatu tadi malam. Dia sengaja tak membahasnya hingga Aditya membuka percakapan. “Bener kamu nggak ingat semalam kamu ngapain?” ulang Aditya. Pagi itu Hari Minggu. Intan memasak nasi goreng untuk sarapan. Semalam, Intan sengaja memasak nasi agak lebih agar dapat dimasak untuk pagi hari. Dia sudah hafal kalau Aditya tak suka nasi kemarin, kecuali dibuat nasi goreng. Intan menggeleng. Dalam hati Intan berujar, “Aku nggak tahu kamu ngapain saja di sana, Mas.” Aditya menghela napas. Dia khawatir hal itu akan terjadi lagi saat malam hari dia tidak di rumah. “Mengerikan,” batinnya. “Kalau begitu, sebaiknya siang ini kita pulang. Rasanya lebih aman kamu di rumah dibanding di sini,” tambah Aditya. Di rumahnya, ada mamanya yang bisa mengawasi. Kalau di apartemen, saat dia pergi seperti semalam, siapa yang dapat menjamin Intan nggak kemana-mana.