BAB 8
Mendengar Angga membahas hal itu, membuat Arfan sedikit kesal pada sahabatnya itu, ia bahkan kembali mengecek Laptopnya lagi, ia tidak suka jika harus membahas hal yang bisa merubah harinya menjadi buruk.
Begitu juga dengan Angga, ingin sekali ia melempar sahabatnya itu dari atas gedung, bagaimana tidak, ia sudah bicara panjang lebar, tapi dia hanya diam saja. Dasar Arfan menyebalkan!“Kamu enggak mau tau siapa orangnya yang dipilih, Dea?” Angga menatap Arfan dengan tatapan tajam.“Untuk apa saya tau? Toh, bukan urusan saya juga 'kan?” ujar Arfan datar.Angga menatap tidak percaya dengan yang baru saja Arfan katakan, bagaimana bisa dia berkata seperti itu, Dea itu adiknya, harusnya dia ikut perduli, bukan acuh seperti itu.“Ini semua bakalan jadi urusan kamu, Arfan!” sarkas Angga.“Kenapa jadi urusan saya? Yang menikah ‘kan adik kamu, bukan saya!” sanggah Arfan.“Karena yang ada di mimpi Dea itu kamu, Arfan!” papar Angga dengan nada yang tinggi, membuat Arfan terkejut dan langsung beranjak dari duduknya.~~~
Setelah perdebatan antara Arfan dan Angga di ruangannya tadi, kini di sinilah Arfan berada, ia sedang mengendarai mobil Mercedes Benz E-Class E400 menuju Universcity Cakra International.
Ucapan Angga selalu terngiang-ngiang ditelinganya, itu yang membuatnya ingin cepat menemui Dea, ia ingin segera meluruskan masalah yang terjadi diantara mereka berdua yang sudah membuatnya menjauhi Dea.Hanya membutuhkan waktu sekitar empat puluh lima menit ia sudah sampai di kampus Dea, ia masih menunggu Dea di dalam mobilnya sambil memperhatikan orang-orang yang keluar masuk kampus.‘Apa saya masuk ke dalam saja ya, dari pada menunggu di sini,’ gumam Arfan.Setelah berpikir panjang, akhirnya Arfan memutuskan untuk masuk ke dalam, ia sudah tidak sabar untuk bertemu gadis yang akhir-akhir ini selalu mengganggu pikirannya.“Harusnya, tadi saya meminta nomor ponsel Dea pada Angga, agar bisa menghubunginya,” decak Arfan, ”kenapa otaknya yang cerdas ini mendadak tidak bisa berpikir apa-apa, sampai hal sepenting ini saja, saya bisa lupa,” racaunya.Arfan menelusuri koridor kampus untuk mencari keberadaan Dea, tapi ia belum juga bisa menemukannya.”Permisi!” sapa Arfan ketika ia berpapasan dengan mahasiswa yang name tagnya bernama Andi.”Iya, Pak! Ada apa, ya?” Andi menoleh pada Arfan.Arfan sedikit mencelos ketika Andi memanggilnya dengan sebutan bapak, padahal wajahnya masih seperti opa-opa korea berusia dua puluh tahun.”Kamu kenal Dea tidak, anak fakultas TI (Teknologi Informatika)?” tanya Arfan.”Dea Ashyfa?” Andi memastikannya, apa orang yang dimaksud adalah teman satu fakultasnya.“Iya, benar, Dea Ashyfa!” Arfan mengangguk, “kamu, kenal?” tanyanya lagi.”Kenal, Pak! Dia teman saya, memangnya ada apa Bapak mencarinya?” Andi menatap laki-laki yang ada di depanya.Sedikit kesal karena laki-laki di depannya ini terlalu banyak tanya, padahal Arfan sedang terburu-buru, ia takut tidak bisa bertemu dengan Dea hari ini, ia tidak mau melakukan kesalahan dan berakhir dengan penyesalan.”Saya ada urusan dengan dia, kamu tau dia ada di mana?” sarkas Arfan, berharap dia akan segera memberitahu keberadaan Dea.Andi menatap Arfan dengan tatapan curiga, mungkin dia mengira kalau ia adalah suggar daddy yang sedang mencari mangsa di kampusnya. Tapi, melihat dia yang kesal padanya, membuat ia takut.”Ta--Tadi saya melihat di--dia ada di kantin, sedang makan siang dengan temannya,” jawab Andi gugup.”Oke, terima kasih!” ucap Arfan, lalu ia pergi meninggalkan Andi menuju kantin untuk mencari keberadaan Dea.Suara dentingan sendok dan piring, terdengar di meja tempat Dea dan Tia yang sedang menikmati makan siangnya, keduanya sama-sama memesan semangkuk bakso kesukaan mereka.“Dea, baksonya dimakan, dong! Jangan hanya dipandangi saja, nanti dia baper ‘kan kasihan,” celetuk Tia, ketika ia melihat sahabatnya hanya mengaduk-aduk makanan yang ada di depannya.Mendengar sahabatnya membuat lelucon seperti itu, Dea langsung menoleh dan tersenyum sekilas, hatinya sedikit terhibur dengan apa yang Tia katakan padanya.Sejak tadi pagi, Dea memang tidak bersemangat untuk pergi ke kampus, bahkan di kelas ia tidak fokus mengikuti pelajaran seperti biasanya berhubung ia ada janji dengan dosen pembimbingnya, ia terpaksa harus datang ke kampusnya.“Ini aku lagi makan,” ujar Dea, sambil memakan bakso miliknya.“Kamu ada masalah ya, Dea?” tanya Tia khawatir.“Kenapa kamu bertanya seperti itu? Apa wajahku terlihat banyak masalah ya?” Dea menatap sahabatnya.Tia ikut menatap Dea, ia merasa ada sesuatu yang terjadi pada sahabatnya, biasanya dia selalu ceria, tidak seperti hari ini, yang terlihat murung dan tidak banyak bicara.“Kamu itu enggak berbakat untuk berbohong, Dea! Di dahimu itu tertulis, kalau kamu sedang ada masalah,” Tia menunjuk dahi sahabatnya, “apa ini ada hubungannya dengan tiga pejantan tangguh yang melamarmu itu?” sambung Tia, menatap Dea yang masih terdiam di tempatnya.Dea memegang dahinya, ia ingin memastikan apa yang dikatakan oleh sahabatnya, tapi Tia malah menertawakannya, membuatnya tersadar kalau ia sedang dikerjai oleh sahabatnya.“Ish, aku pikir benar ada tulisan di dahiku,” desis Dea, membuat Tia semakin menertawakannya.“Maaf, maaf! Aku hanya bercanda,” ucap Tia menghentikan tawanya.Dea kembali menatap makanannya yang ada di meja, ia masih kesal pada sahabatnya. Tapi, tebakan Tia memang benar, ia memang sedang tidak baik-baik saja.‘Apa aku cerita pada Tia saja ya, siapa tau dia bisa membantuku menyelesaikan masalahnya,’ batin Dea.“Kenapa diam? Bingung ya mau cerita apa?” tebak Tia.Dea menggeleng, menatap sahabatnya yang sedang menunggunya mengatakan sesuatu.“Kalau tentang Naufal, Bayu, dan Bisma, aku sudah menyelesaikan semuanya dan mereka semua menerima keputusanku, walaupun Bisma sempat tidak terima, tapi setelah dijelaskan, akhirnya dia mau mengerti,” jelas Dea.”Nah! Kalau sudah beres, kenapa kamu masih terlihat gelisah?” tanyq Tia penasaran.Dea menghela napasnya, meletakan sendok yang ia pegang, lalu ia juga menatap Tia.“Aku bingung, Tia! Bagaimana caranya memberitahu Bang Arfan tentang mimpi itu, aku takut dia menganggapku hanya menghalu,” papar Dea.“Kenapa harus bingung sih, Dea! Kamu tinggal bilang aja kalau mau ta’arufan sama dia, gampang ‘kan!” saran Tia, ”jangan berpikir yang aneh-aneh dulu, positif thinking aja dulu,” sambungnya memberi semangat pada Dea.”Enggak semudah itu, Tia! Kalau Bang Arfannya enggak mau, gimana? ‘Kan aku malu,” Dea menutup wajahnya dengan kedua tangannya.Mendengar sahabatnya mengatakan itu, membuat Tia merasa kasihan, ternyata problema yang dialami oleh sahabatnya sangat rumit, ia yang tidak mengalaminya saja pusing mendengarnya, apalagi Dea yang menjalaninya, pasti kepala sudah seperti mau pecah.“SIAPA YANG BILANG SAYA ENGGAK MAU?” terdengar suara seseorang yang sangat familiar tepat di belakang Dea.Dengan cepat Dea menoleh, melihat siapa sosok yang baru saja mengatakan hal itu padanya. 'Bang Arfan! Kok bisa ada dia di sini?' batin Dea.Dea menatap orang yang sedang berjalan menghampirinya, dia adalah sosok laki-laki tampan yang sejak kemarin membuat hatinya gelisah dan risau seperti ini. “Sedang apa Abang di sini?” tanya Dea heran, ketika Arfan sudah ada di depannya.“Saya mau jemput CALON ISTRI!” pungkas Arfan.***
BAB 9“Saya mau jemput CALON ISTRI!” pungkas Arfan.Deg …!‘Bang Arfan sudah ada calon istri! Siapa? Kenapa Bang Angga tidak pernah cerita padanya,’ batin Dea.Mendengar Arfan mengatakan itu, ada rasa yang mengganjal di hatinya, tapi Dea mencoba bersikap biasa saja, menyembunyikan rasa perih yang kini ia rasakan.“Memangnya, siapa calon istri Abang?” Dea menatap wajah Arfan yang sejak tadi selalu tersenyum.Wajah Arfan terlihat sangat bahagia karena ia akan bertemu dengan calon istrinya, itu semua terlihat jelas oleh Dea.“Orangnya ada di depan saya, sedang berdiri menatap saya,” papar Arfan.Dea mencari siapa orang yang dimaksud oleh laki-laki di depannya, tapi ia tidak melihat orang lain yang ada di depan dia, selain Tia dan dirinya.“Memangnya siapa? Orang yang ada di depan Abang hanya ada Tia dan ak--” ucapan Dea terhenti, ketika ingatannya tiba-tiba terpikir sesuatu
BAB 10“Will You Merry Me?” ucap Arfan, mengeluarkan sebuah cincin berlian dari saku celananya.Antara terkejut dan juga senang, Dea benar-benar dibuat syok untuk kesekian kalinya.“A—Aku, bingung harus jawab apa,” ucap Dea gugup.“Nanti malam saya akan datang ke rumah kamu dengan orang tua saya, kamu bisa persiapkan apa yang akan kamu katakan," Arfan tersenyum, lalu ia memberikan cincin tadi kepada Dea.Dea menyernyitkan dahinya, ia bingung kenapa Arfan memberikan cincin ini padanya, sedangkan ia belum menjawab lamarannya.“Kenapa ini diberikan kepadaku, Bang?” akhirnya Dea benar-benar menanyakannya.“Kamu pakai saja di jari manismu, saya tau kamu pasti akan menerima lamaran saya,” dengan penuh percaya diri Arfan mengatakan itu semua.Dea menatapnya tidak percaya, tidak habis pikir pada laki-laki yang kini sedang duduk di sampingnya, dia bisa percaya diri tingkat tinggi seperti ini
BAB 11Hari pernikahan yang ditentukan oleh Arfan tiba. Acara dilaksanakan secara sederhana dan berlangsung di rumah Dea, itu semua atas permintaan Dea karena menyetujui keinginan Arfan untuk menyelenggarakan pernikahan secepatnya. Tidak ada resepsi mewah seperti yang Arfan inginkan, bahkan Arfan hanya boleh mengundang teman-teman dekatnya saja yang menghadiri resepsi pernikahan mereka.Dea menatap pantulan dirinya di cermin yang ada di kamarnya, hari ini ia terlihat sangat berbeda dari biasanya, kebaya putih yang dihiasai payet mutiara membuatnya terlihat sangat anggun dan cantik.“Kamu terlihat sangat cantik, Dek! Arfan pasti langsung terpesona jika melihatmu seperti ini,” Angga menatap takjub adiknya, dilihat dari sisi manapun Dea terlihat sangat cantik dan mempesona.“Terima kasih atas pujiannya, Abang!” Dea menoleh pada Angga, ”baru sadar ya, punya adik yang cantiknya maksimal sepertiku?” Dea menaik turunkan alisnya sambil tersenyum.Angga memutar
BAB 12Dea mendorong tubuh Arfan hingga membuat dia terhempas ke lantai, ia benar-benar tidak ada pilihan lain selain melakukan itu.Arfan menahan rasa sakit di bokongnya, lalu ia beranjak dan duduk kembali di sisi ranjang. Arfan baru tahu satu hal, ternyata tenaga istrinya kuat juga, bisa mendorongnya sampai terjatuh ke lantai.“Abang mau ngapain lagi?” Dea memundurkan dirinya dan menjauh dari Arfan.“Kenapa mendorong saya, Dea?” bukannya menjawab pertanyaan istrinya, Arfan malah menanyakan hal lain.Dea menatap suaminya dengan tatapan waspada, sejak tadi dia selalu membuatnya spot jantung, beruntung ia tidak memiliki riwayat penyakit jantung.“Salah Abang, kenapa melakukan itu padaku,” papar Dea kesal.“Memangnya saya melakukan apa?” tanya Arfan tidak mengerti dengan apa yang istrinya katakan.“Tadi Abang mau--” Dea tidak melanjutkan ucapannya.Arfan menyipitkan matanya, menatap istrinya yang diam dan tidak melanjutkan ucapannya.
BAB 13“Maksud Abang apa? Kenapa melakukan ini semua?” Dea memberikan paket yang tadi sudah ia buka pada Arfan.“Kenapa dikembalikan? Kamu tidak suka dengan hadiah yang saya berikan padamu?” tanya Arfan.Bukannya menjawab pertanyaan suaminya, Dea malah beranjak dan pergi, dengan cepat Arfan menarik pergelangan tangan istrinya, hingga membuat dia jatuh di atas pangkuannya.“Jangan pernah pergi dalam keadaan marah, selesaikan dulu, Dea!” Arfan melingkarkan tangannya di pinggang Dea.“Lepas, Bang! Jangan seperti ini,” Dea mencoba melepaskan tangan Arfan.“Jelaskan dulu, kenapa kamu mengembalikan barang pemberian saya? Apa kamu tidak menyukainya?” tanya Arfan lagi.Dea menghela napasnya, menyentuh tangan suaminya yang masih berada di pingganggnya.“Aku lebih suka Abang memberikannya sendiri tanpa melalui orang lain. Itu akan lebih berkesan untukku,” papar Dea.Arfan melepaskan tangannya, lalu meminta Dea berbalik menatapnya. Dengan perl
BAB 14 “Cie… Cie… Sekarang sudah panggil sayang-sayang ya?” goda Angga. “Apa sih, Abang! Jangan mulai deh!” kesal Dea. Kini wajah Dea sudah memerah karena menahan marah dan malu. Bagaimana tidak, ini pertama kalinya ada laki-laki yang memanggil sayang di depan keluarganya. “Abang, jangan digoda terus adiknya,” tegur Bunda Ana,”nanti kamu juga akan seperti Arfan jika sudah menikah, itu adalah hal yang wajar, Nak!” tambahnya. “Iya, Bunda! Maaf,” ucap Angga sambil terkekeh, lalu ia melanjutkan sarapannya kembali, begitu juga dengan semua yang ada di sana kecuali Dea. Rasa laparnya tiba-tiba hilang, tapi jika tidak makan pasti bunda akan menegurnya, mubajir juga kalau makanannya dibuang, terpaksa Dea menghabiskan makanan yang sudah ada di piringnya. Setelah menyelesaikan sarapannya, Dea pamit pergi ke kamarnya, ia akan berkemas dan merapikan baju-baju yang dibawa ke rumah barunya. Melihat istrinya pergi, Arfan ikut menyusulnya ke kamar, tapi
BAB 15 “Siapa yang mencariku, Bi?” tanya Arfan. “Saya tidak tau, Pak! Dia tidak menyebutkan namanya,” sahut Mbok Surti. Arfan berjalan menuruni tangga menuju ruang tamu, ia ingin tahu siapa orang yang mencarinya di jam-jam kerja seperti ini. Sedangkan Dea melanjutkan masuk ke kamar ditemani Mbok Surti Sampai di bawah, Arfan menghampiri tamunya dan ternyata dia adalah salah satu karyawan di perusahaannya. “Selamat siang, Pak! Maaf karena saya telah mengganggu waktu istirahat bapak,” ucap karyawan Arfan yang bernama Danu. “Ada perlu apa kamu ke sini?” Arfan menatap Danu, kini dia sedang menundukan wajahnya. “Sa—Saya mau minta tolong, Pak! Saya butuh pinjaman, sepuluh juta saja, Pak!” terang Danu. Sebenarnya, Danu merasa segan mengatakan ini pada Arfan, tapi hanya Arfan satu satunya harapannya, ia sudah mencari pinjaman ke tempat lain dan tidak ada satu pun orang yang membantunya. “Kalau boleh tau, untuk apa uang sebanyak itu?” tanya Arfan. Bagai
BAB 16Sesuai keinginan Dea, kini mereka sudah berada di sebuah pasar raya yang ada di belakang komplek perumahannya.Awalnya, Arfan ingin mengajak istrinya makan malam di restauran mewah yang ada di Jakarta Utara. Tapi, semuanya gagal total karena tiba-tiba Dea meminta berhenti di tempat ini.“Kenapa baksonya enggak dimakan, Bang? Abang enggak suka ya?” Dea menatap mangkok bakso milik Arfan yang masih terisi penuh.“Suka!” jawab Arfan datar.“Kalau suka dimakan dong, apa mau aku suapi?” tutur Dea basa-basi, mana mungkin ia berani melakukan itu di tempat umum seperti ini.Berbeda dengan Arfan, ia justru tersenyum senang setelah mendengar istrinya mengatakan itu, dengan cepat ia mengangguk dan memberikan mangkok bakso miliknya pada Dea.“Kenapa ini diberikan kepadaku? Abang enggak suka baksonya ya?” Dea menatap suaminya dengan tatapan bingung.“Suapi!” pinta Arfan sambil menaik turunkan alisnya.“Hah? Maksudnya?” bukannya tidak menge
BAB 16Sesuai keinginan Dea, kini mereka sudah berada di sebuah pasar raya yang ada di belakang komplek perumahannya.Awalnya, Arfan ingin mengajak istrinya makan malam di restauran mewah yang ada di Jakarta Utara. Tapi, semuanya gagal total karena tiba-tiba Dea meminta berhenti di tempat ini.“Kenapa baksonya enggak dimakan, Bang? Abang enggak suka ya?” Dea menatap mangkok bakso milik Arfan yang masih terisi penuh.“Suka!” jawab Arfan datar.“Kalau suka dimakan dong, apa mau aku suapi?” tutur Dea basa-basi, mana mungkin ia berani melakukan itu di tempat umum seperti ini.Berbeda dengan Arfan, ia justru tersenyum senang setelah mendengar istrinya mengatakan itu, dengan cepat ia mengangguk dan memberikan mangkok bakso miliknya pada Dea.“Kenapa ini diberikan kepadaku? Abang enggak suka baksonya ya?” Dea menatap suaminya dengan tatapan bingung.“Suapi!” pinta Arfan sambil menaik turunkan alisnya.“Hah? Maksudnya?” bukannya tidak menge
BAB 15 “Siapa yang mencariku, Bi?” tanya Arfan. “Saya tidak tau, Pak! Dia tidak menyebutkan namanya,” sahut Mbok Surti. Arfan berjalan menuruni tangga menuju ruang tamu, ia ingin tahu siapa orang yang mencarinya di jam-jam kerja seperti ini. Sedangkan Dea melanjutkan masuk ke kamar ditemani Mbok Surti Sampai di bawah, Arfan menghampiri tamunya dan ternyata dia adalah salah satu karyawan di perusahaannya. “Selamat siang, Pak! Maaf karena saya telah mengganggu waktu istirahat bapak,” ucap karyawan Arfan yang bernama Danu. “Ada perlu apa kamu ke sini?” Arfan menatap Danu, kini dia sedang menundukan wajahnya. “Sa—Saya mau minta tolong, Pak! Saya butuh pinjaman, sepuluh juta saja, Pak!” terang Danu. Sebenarnya, Danu merasa segan mengatakan ini pada Arfan, tapi hanya Arfan satu satunya harapannya, ia sudah mencari pinjaman ke tempat lain dan tidak ada satu pun orang yang membantunya. “Kalau boleh tau, untuk apa uang sebanyak itu?” tanya Arfan. Bagai
BAB 14 “Cie… Cie… Sekarang sudah panggil sayang-sayang ya?” goda Angga. “Apa sih, Abang! Jangan mulai deh!” kesal Dea. Kini wajah Dea sudah memerah karena menahan marah dan malu. Bagaimana tidak, ini pertama kalinya ada laki-laki yang memanggil sayang di depan keluarganya. “Abang, jangan digoda terus adiknya,” tegur Bunda Ana,”nanti kamu juga akan seperti Arfan jika sudah menikah, itu adalah hal yang wajar, Nak!” tambahnya. “Iya, Bunda! Maaf,” ucap Angga sambil terkekeh, lalu ia melanjutkan sarapannya kembali, begitu juga dengan semua yang ada di sana kecuali Dea. Rasa laparnya tiba-tiba hilang, tapi jika tidak makan pasti bunda akan menegurnya, mubajir juga kalau makanannya dibuang, terpaksa Dea menghabiskan makanan yang sudah ada di piringnya. Setelah menyelesaikan sarapannya, Dea pamit pergi ke kamarnya, ia akan berkemas dan merapikan baju-baju yang dibawa ke rumah barunya. Melihat istrinya pergi, Arfan ikut menyusulnya ke kamar, tapi
BAB 13“Maksud Abang apa? Kenapa melakukan ini semua?” Dea memberikan paket yang tadi sudah ia buka pada Arfan.“Kenapa dikembalikan? Kamu tidak suka dengan hadiah yang saya berikan padamu?” tanya Arfan.Bukannya menjawab pertanyaan suaminya, Dea malah beranjak dan pergi, dengan cepat Arfan menarik pergelangan tangan istrinya, hingga membuat dia jatuh di atas pangkuannya.“Jangan pernah pergi dalam keadaan marah, selesaikan dulu, Dea!” Arfan melingkarkan tangannya di pinggang Dea.“Lepas, Bang! Jangan seperti ini,” Dea mencoba melepaskan tangan Arfan.“Jelaskan dulu, kenapa kamu mengembalikan barang pemberian saya? Apa kamu tidak menyukainya?” tanya Arfan lagi.Dea menghela napasnya, menyentuh tangan suaminya yang masih berada di pingganggnya.“Aku lebih suka Abang memberikannya sendiri tanpa melalui orang lain. Itu akan lebih berkesan untukku,” papar Dea.Arfan melepaskan tangannya, lalu meminta Dea berbalik menatapnya. Dengan perl
BAB 12Dea mendorong tubuh Arfan hingga membuat dia terhempas ke lantai, ia benar-benar tidak ada pilihan lain selain melakukan itu.Arfan menahan rasa sakit di bokongnya, lalu ia beranjak dan duduk kembali di sisi ranjang. Arfan baru tahu satu hal, ternyata tenaga istrinya kuat juga, bisa mendorongnya sampai terjatuh ke lantai.“Abang mau ngapain lagi?” Dea memundurkan dirinya dan menjauh dari Arfan.“Kenapa mendorong saya, Dea?” bukannya menjawab pertanyaan istrinya, Arfan malah menanyakan hal lain.Dea menatap suaminya dengan tatapan waspada, sejak tadi dia selalu membuatnya spot jantung, beruntung ia tidak memiliki riwayat penyakit jantung.“Salah Abang, kenapa melakukan itu padaku,” papar Dea kesal.“Memangnya saya melakukan apa?” tanya Arfan tidak mengerti dengan apa yang istrinya katakan.“Tadi Abang mau--” Dea tidak melanjutkan ucapannya.Arfan menyipitkan matanya, menatap istrinya yang diam dan tidak melanjutkan ucapannya.
BAB 11Hari pernikahan yang ditentukan oleh Arfan tiba. Acara dilaksanakan secara sederhana dan berlangsung di rumah Dea, itu semua atas permintaan Dea karena menyetujui keinginan Arfan untuk menyelenggarakan pernikahan secepatnya. Tidak ada resepsi mewah seperti yang Arfan inginkan, bahkan Arfan hanya boleh mengundang teman-teman dekatnya saja yang menghadiri resepsi pernikahan mereka.Dea menatap pantulan dirinya di cermin yang ada di kamarnya, hari ini ia terlihat sangat berbeda dari biasanya, kebaya putih yang dihiasai payet mutiara membuatnya terlihat sangat anggun dan cantik.“Kamu terlihat sangat cantik, Dek! Arfan pasti langsung terpesona jika melihatmu seperti ini,” Angga menatap takjub adiknya, dilihat dari sisi manapun Dea terlihat sangat cantik dan mempesona.“Terima kasih atas pujiannya, Abang!” Dea menoleh pada Angga, ”baru sadar ya, punya adik yang cantiknya maksimal sepertiku?” Dea menaik turunkan alisnya sambil tersenyum.Angga memutar
BAB 10“Will You Merry Me?” ucap Arfan, mengeluarkan sebuah cincin berlian dari saku celananya.Antara terkejut dan juga senang, Dea benar-benar dibuat syok untuk kesekian kalinya.“A—Aku, bingung harus jawab apa,” ucap Dea gugup.“Nanti malam saya akan datang ke rumah kamu dengan orang tua saya, kamu bisa persiapkan apa yang akan kamu katakan," Arfan tersenyum, lalu ia memberikan cincin tadi kepada Dea.Dea menyernyitkan dahinya, ia bingung kenapa Arfan memberikan cincin ini padanya, sedangkan ia belum menjawab lamarannya.“Kenapa ini diberikan kepadaku, Bang?” akhirnya Dea benar-benar menanyakannya.“Kamu pakai saja di jari manismu, saya tau kamu pasti akan menerima lamaran saya,” dengan penuh percaya diri Arfan mengatakan itu semua.Dea menatapnya tidak percaya, tidak habis pikir pada laki-laki yang kini sedang duduk di sampingnya, dia bisa percaya diri tingkat tinggi seperti ini
BAB 9“Saya mau jemput CALON ISTRI!” pungkas Arfan.Deg …!‘Bang Arfan sudah ada calon istri! Siapa? Kenapa Bang Angga tidak pernah cerita padanya,’ batin Dea.Mendengar Arfan mengatakan itu, ada rasa yang mengganjal di hatinya, tapi Dea mencoba bersikap biasa saja, menyembunyikan rasa perih yang kini ia rasakan.“Memangnya, siapa calon istri Abang?” Dea menatap wajah Arfan yang sejak tadi selalu tersenyum.Wajah Arfan terlihat sangat bahagia karena ia akan bertemu dengan calon istrinya, itu semua terlihat jelas oleh Dea.“Orangnya ada di depan saya, sedang berdiri menatap saya,” papar Arfan.Dea mencari siapa orang yang dimaksud oleh laki-laki di depannya, tapi ia tidak melihat orang lain yang ada di depan dia, selain Tia dan dirinya.“Memangnya siapa? Orang yang ada di depan Abang hanya ada Tia dan ak--” ucapan Dea terhenti, ketika ingatannya tiba-tiba terpikir sesuatu
BAB 8Mendengar Angga membahas hal itu, membuat Arfan sedikit kesal pada sahabatnya itu, ia bahkan kembali mengecek Laptopnya lagi, ia tidak suka jika harus membahas hal yang bisa merubah harinya menjadi buruk.Begitu juga dengan Angga, ingin sekali ia melempar sahabatnya itu dari atas gedung, bagaimana tidak, ia sudah bicara panjang lebar, tapi dia hanya diam saja. Dasar Arfan menyebalkan!“Kamu enggak mau tau siapa orangnya yang dipilih, Dea?” Angga menatap Arfan dengan tatapan tajam.“Untuk apa saya tau? Toh, bukan urusan saya juga 'kan?” ujar Arfan datar.Angga menatap tidak percaya dengan yang baru saja Arfan katakan, bagaimana bisa dia berkata seperti itu, Dea itu adiknya, harusnya dia ikut perduli, bukan acuh seperti itu.“Ini semua bakalan jadi urusan kamu, Arfan!” sarkas Angga.“Kenapa jadi urusan saya? Yang menikah ‘kan adik kamu, bukan saya!” sanggah Arfan.“Karena yang a