Setelah kejadian semalam. Akhirnya kami semua memutuskan untuk menginap di kediaman Kak Sarah. Ridwan dan Hanif tidur di ruang tamu, dan kami para wanita tidur di kamar Kak Sarah. Kamar Kak Sarah lumayan besar, sehingga bisa menampung kami semua. Untungnya Kak Sarah tidak menggunakan ranjang pada kasurnya. Kasur springbed ia letakan di lantai atau lesehan. Kak Sarah bilang, ia takut jika menggunakan ranjang kasur. Takut di bawahnya ada penampakan. Dan subuh ini kami para wanita salat jama'ah di rumah. Sedangkan para lelaki berjama'ah di musala desa.
"Mel ... ambil wudhunya barengan, gue takut!""Ya Allah, Tan. Udah subuh kali, setan juga kaga ada subuh-subuh mah," ucapku kesal pada Intan."Bodo amat! Pokoknya bareng. Kalau nggak bareng gue nggak jadi salat!" cetusnya."Hilih, semprul! Mau jadi titisan setan lu nggak salat? Ya udah ayo bareng."Kemudian aku dan Intan berbarengan ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Salat pun dipimpin oleh ibunya Kak Sarah."Assalamu'alaikum Warahmatullah ....""Assalamu'alaikum Warahmatullah ...."Setelah selesai salat dan berdoa, tak lupa kami berzikir dan mendoakan untuk arwah-arwah tetangga yang meninggal secara tak wajar. Kami pun membereskan mukena dan sajadah ke tempat semula."Laper aku. Nggak ada yang jual nasi uduk kah di sini," tanya Intan sambil memegangi perutnya."Nggak ada, Nduk. Kita bikin sarapan sendiri aja ya di dapur. Bikin mendoan sama nasi goreng aja dan teh manis hangat," ucap Ibu Kak Sarah.Kami semua membagi tugas di dapur. Ada yang memotong tempe dan tahu untuk mendoan. Ada yang mengulek bumbu untuk nasi goreng. Dan aku kebagian untuk membuatkan teh hangat dan menggoreng kerupuk. Sedangkan Intan kebagian untuk mencuci piring bekas makan semalam hahaha."Owalaah, nasib ... nasib ... cantik-cantik gini kebagian nyuci piring," keluhnya sambil mengubek-ngubek sabun cuci piring."Nggak usah ngedumel. Wong di rumahmu aja sering jadi Inem kan? Sok cantiikkk," ledekku yang membuat Intan tambah kesal.Para lelaki belum kembali dari musala desa. Mungkin sedang berdoa atau mengobrol di sana, membicarakan teror di desa ini. Oiya, aku sampai lupa kalau Paklik, Nenek dan Kakek akan pulang pagi ini. Lebih baik aku telepon Paklik dulu."Yun, tolong gantiin sebentar dong. Aku mau telepon Paklik-ku dulu," "Hokey, dah sana telepon!" Yuni kemudian mengambil alih tugasku sebentar. Aku lalu mengambil ponselku di kamar Kak Sarah.Aku mencari kontak nomor Paklik di ponselku, kemudian menghubunginya.Tut ....Tut ....Tut ....[Halo, Assalamu'alaikum, Paklik. Paklik pulang jam berapa?] tanyaku pada Paklik di sebrang telepon.[W*'alaikumsalam. Jam 6-an kami berangkat dari sini. Gimana keadaan kalian? Ini Kakek sama Nenek mau ngomong. Paklik loudspeaker saja ya!] Kemudian Paklik men-loundspeaker ponselnya agar Kakek dan nenekku pun mendengar.[Mel, kamu lagi di mana sekarang?] Tanya Kakek dan Nenek.[Di rumah Kak Sarah sama teman-temanku. Ada Ridwan dan Hanif juga, Kek, Nek. Untung semalam ada dua cowok itu. Coba kalau tidak? Kami semua cewek akan lebih kalang kabut. Benar-benar diteror lho kami,] ucapku menjelaskan.[Semalam hujan deras begitu, kamu nekat keluar rumah?][Lah, iya, Kek. Bisa mati berdiri aku kalau diam terus di rumah. Ya sudah kalau Kakek sudah mau pulang kabari aku. Biar aku pulang juga. Kakek bawa kunci serepnya, Kan? Takutnya pas Kakek udah sampai aku belum di rumah.][Iya Kakek bawa. Ya sudah nanti Kakek kabarin lagi. Assalamu'alaikum,][W*'alaikumsalam.] Telepon pun terputus.Aku kembali ke dapur untuk meneruskan pekerjaanku tadi."Sini biar gue goreng lagi," ucapku pada Yuni."Dah kelar. Udah sana siapin teh hangat aja!" suruhnya padaku. Aku langsung membuat teh manis di dalam termos. Rata-rata di kampung ini, teh manis akan dibuat dan ditaruh di dalam termos agar mudah menyajikannya jika ada tamu. Tak perlu repot-repot lagi membuatnya, tinggal tuang saja, beres deh.Setelah selesai membuat teh, aku pun ke depan rumah melihat-lihat suasana pagi di desa ini. Aku menghirup udara pagi yang masih segar dan asri. Ah, andai saja Jakarta seperti di desa terbebas dari polusi. Tapi mana mungkin Jakarta bebas dari polusi, Jakarta kan kota Metropolitan banyak sekali lalu lalang kendaraan."Assalamu'alaikum ...," ucap Pak Teguh dan lainnya sehabis dari musala."W*'alaikumsalam," jawabku."Jangan melamun. Tulang iga-mu itu jarang-jarang, gampang dirasukin setan." Pak Teguh menepuk bahuku."Tapi tubuhku sudah dipagari oleh Kakek, jika setan masuk ke tubuhku maka mereka akan langsung terbakar dengan sendirinya," sahutku.Pak Teguh hanya tersenyum simpul mendengar penuturanku. Lalu beliau masuk ke dalam rumah."Gue juga mau dong dipagarin badannya sama Kakek lu, Mel!" ujar Hanif sambil duduk di bangku kayu panjang atau bale-bale."Sini gue panggerin. Ambil bambunya atau kayu gitu, sekalian bawa paku sama palu," sahutku menjawab omongannya."Hilih, malah ngeledek!""Bidi imit!" cetusku."Yuk, makan. Udah mateng nih makanannya," ajak ibunya Kak Sarah.Aku dan juga Hanif langsung masuk ke dalam ikut duduk lesehan dan menyendok nasi goreng di sangku.Kami semua sibuk dengan makanan masing-masing. Tidak ada pembicaraan yang keluar dari mulut kami. Semuanya sibuk mengunyah, hanya suara sendok saja yang terdengar beradu dengan piring.Setelah makan aku pun dan lainnya membereskan piring-piring kotor ini, lalu mencucinya dengan perabotan bekas memasak tadi."Kamu habis ini mau langsung pulang, Mel?" tanya Ibu Kak Sarah."Iya, Bu. Kakek sebentar lagi mau pulang ke rumah.""Ya sudah hati-hati ya bawa motornya nanti. Jangan ngebut lagi takut jatuh kaya semalam. Sudah bilang belum sama Kakek Nenek-mu kalau kamu jatuh?" tanyanya sambil memakan kerupuk."Belum, Bu, nanti saja kalau sudah di rumah baru aku bicara sama mereka." Ibu Kak Sarah hanya tersenyum mendengar jawabanku.Setelah selesai mencuci piring dan menata piring pada tempatnya, aku pun langsung mandi. Di desa ini rata-rata setiap rumah itu memiliki sumur masing-masing. Kalau di rumah Nenek sumurnya ada dua. Air di sumur ini sangat jernih dan menyegarkan. Walaupun ada sumur. Tapi warga desa tetap memiliki kran air. Jadi tergantung kita, mau menimba air langsung dari sumur atau menggunakan kran.Saat sedang mengucuri kepalaku dengan air, seperti ada yang mengawasiku. Tengkuk leherku meremang. Bau kembang melati menguar. Padahal di sini tidak ada yang menanam pohon melati."Sakittt ...," lirih sekali suara itu. Suara wanita yang sepertinya benar-benar menahan sakit.Setelah suara tanpa wujud itu mengatakan sakit. Kini terdengar suara tangisan pilu yang menyayat hati bagi siapa saja yang mendengarkannya. Aku yang mendengarnya pun ikut terbawa suasana. Seakan begitu sakit atas apa yang terjadi pada sosok tanpa wujud ini. Cepat-cepat aku melanjutkan mandiku. Tak tahan jika terus mendengarkan rintihan kesakitan itu."Kamu kenapa, Dek?" tanya Kak Sarah saat aku keluar dari kamar mandi. Ternyata Kak Sarah sedang menunggu giliran untuk mandi."Nggak papa, Kak. Cuma kedinginan aja. Ya udah aku masuk ke kamar Kakak dulu ya buat ganti baju yang Kakak pinjamin." Aku langsung pergi ke kamar Kak Sarah, sekilas aku melihat Kak Sarah menatapku dengan senyum menyeringai dan setelah itu ia masuk ke dalam kamar mandi. Di kamar Kak Sarah ternyata ada Irma, Yuni dan juga Intan yang sedang menonton drakor."Lu udahan mandinya, Mel?" tanya Intan."Udahlah, kalau belum ngapaim gue keluar?" sahutku sambil memakai baju."Terus kamar mandi kosong dong? Gue mau mandi ah." Intan langsung mengambil handuk di atas kepalaku."Ada Kak Sarah lagi mandi,""Hah? Kak Sarah mandi? Orang Kak Sarah ada di depan, lagi duduk di bale sama bapaknya," ucap Intan lagi.Deg!Kalau Kak Sarah ada di luar. Lalu siapa yang tadi masuk ke kamar mandi? Seketika aku langsung merinding mendengar penuturan Intan."Seriusan lu?" tanyaku tak percaya."Coba aja lu liat di depan sana!"Aku langsung menuju ke luar untuk melihat apa yang dibilang Intan barusan. Ah, ternyata benar. Kak Sarah ada di luar sedang mengobrol dengan yang lainnya. Lalu siapa tadi yang masuk ke kamar mandi?Puk!Bahuku ditepuk oleh Intan."Bener kan ada di depan?" ujarnya sambil menengok ke arah Kak Sarah."I--iyaaa, ya udah sana mandi. Cepetan, abis itu kita pulang," ucapku mengalihkan pembicaraan.Intan langsung menuju kamar mandi. Ah, aku memijit pelipisku yang tiba-tiba saja sakit. Aneh sekali, bagaimana bisa Kak Sarah ada di luar sedangkan tadi aku melihatnya masuk ke dalam kamar mandi. Diam-diam aku membuntuti Intan ke kamar mandi. Aku ingin melihat, apakah di kamar mandi itu kosong tidak ada orang.Saat Intan baru menginjakkan kakinya ke dalam kamar mandi. Intan diam mematung di sana. Aku langsung buru-buru menghampirinya.Pasir? Kenapa banyak pasir di dalam kamar mandi? Intan menoleh ke arahku dan langsung merangsek ke belakang badanku. Aku coba mengambil pasir itu. "Darah! Ada tetesan darah, Tan," ucapku sambil memperlihatkan pasir yang kuambil.Intan mengendus-ngendus pasir yang ada ditanganku."Bener ini darah. Hanyir banget, Mel, siapa yang naruh pasir dan tetesan darah di kamar mandi?" ucap Intan."Entah, gue juga nggak tahu. Apa kita panggil yang lain aja buat liat ini juga?" ujar Intan menyarankan."Ya udah, ayo, kita panggil yang lainnya." Aku langsung menuju ke depan untuk memanggil yang lain. Tapi saat aku dan Intan baru beberapa langkah menuju depan. Ada bayangan hitam yang melintas, serta bau singkong terbakar.Aku langsung menoleh ke belakang dan mengikuti bayangan hitam itu. Bayangan itu masuk ke kamar mandi."Lho, Mel, kok pasirnya tiba-tiba ngilang gitu aja sih?" Aku dan Intan sangat bingung dengan apa yang terjadi. Seolah-olah ada yang mengerjai kami. Tapi siapa?"Gue nggak jadi mandi. Serem, takut."Intan langsung berlari ke depan dan tak jadi untuk mandi. Aku langsung menyusul Intan ke depan."Nggak jadi mandi, Tan?" tanya Irma dan Yuni."Nggak! Ada setannya," oceh Intan sambil bergidik ngeri.Yuni dan Irma saling menatap satu sama lain. Lalu mereka menaikkan satu alisnya menatapku.Aku langsung menjelaskan dengan apa yang terjadi barusan. Yuni dan Irma ikut bergidik, mendengarkan ceritaku."Gue juga nggak mau mandi ah. Ayo kita prepare untuk pulang!" ucap Intan sambil menyisir rambutnya.Kami semua langsung prepare untuk pulang hari ini. Setelah cewek-cewek sudah bersiap dan rapih. Kami pun menuju ke depan, berkumpul bersama keluarga Kak Sarah."Udah pada rapih aja nih," ucap Ridwan."Iya, prepare sana. Udah jam 06.10, Kakek gue balik hari ini," jawabku."Oke, tungguin!"Hanif dan Ridwan langsung buru-buru ke dalam untuk prepare. Apakah mereka akan mandi? Hiii, jika membayangkan tadi aku kembali merinding."Sudah pada mau pulang, Nduk?" tanya ibunya Kak Sarah."Iya, Bu, Kakek hari ini pulang. Jam 6 berangkat dari rumah Bule,"Kami semua mengobrol ngalur ngidur sambil menunggu Hanif dan juga Ridwan. Setelah beberapa menunggu, mereka pun keluar dan sudah rapih."Yuk, pulang!" ajak Hanif sambil memakai sandalnya.Aku dan lainnya langsung berpamitan untuk pulang pada Kak Sarah dan juga keluarganya. Lagi-lagi Pak Teguh memandang aneh ke arahku. Aku sedikit risih dipandang seperti itu pada Pak Teguh."Ya sudah, kami pamit pulang dulu ya semuanya," ucapku berpamitan. Setelah itu kami semua mencium punggung tangan ibu dan ayahnya Kak Sarah."Assalamu'alaikum ...," ucap kami semua."W*'alaikumsalam," sahut mereka.Aku langsung menstater motorku setelah memakai helm. Tak lupa sebelum pergi kupanjatkan doa dulu pada Allah. Agar di jalan baik-baik saja. Setelah itu kami semua langsung melajukan motor masing-masing.Hanif, Ridwan, Irma, Yuni. Mereka semua ikut ke rumah Nenek untuk meminta izin pada Kakek, Nenek dan Paklik Mulyono tentang perencanaan kami memata-matai Pak Cipto. Semoga saja di perbolehkan sama mereka. Untuk menuju ke rumah Nenek kami harus melewati banyaknya pohon bambu yang berjejer di jalan. Dua puluh menit perjalanan kami sampai di depan rumah. Ternyata Kakek dan lainnya belum sampai di rumah.Kami menunggu di depan rumah saja. Tidak berani untuk masuk ke dalam. Masih parno dengan kejadian semalam.Dari depan rumah kami bisa langsung melihat ke arah rumah Pak Cipto.Tunggu!Seperti ada yang berjalan tertatih-tatih di belakang rumah Pak Cipto. Tapi siapa?Apakah itu Mbak Anggun yang menggunakan baju warna merah."Ngeliat apa, Mel?" tanya Ridwan yang memperhatikan ku."Itu di belakang rumah Pak Cipto kaya ada cewek jalan pakai baju merah. Ah, lebih tepatnya daster merah polos. Tapi jalan pincang gitu. Apa itu Mbak Anggun?" ucapku sambil terus melihat ke arah belakang rumah Pak Cipto.Bersambung ....Selamat membaca🤗🤗❤️❤️Mataku masih menatap ke arah belakang rumah Pak Cipto. Siapakah wanita berbaju merah itu? Jalannya tertatih-tatih, seperti merasakan sakit yang luar biasa. Bukan, bukan Mbak Anggun. Aku tau bagaimana postur tubuh Mbak Anggun.Mbak Anggun tinggi semampai, dan yang aku lihat ini berperawakan kecil mungil. Mungkin tingginya hanya 155 centimeter saja.Teman-temanku yang lainnya pun ikut menengok ke belakang rumah Pak Cipto."Mm--Mba Wuri," ucap Hanif terbata.Hah, Mba Wuri? Bukankah katanya Mbak Wuri sudah meninggal. Aku memang jarang sekali melihat Mba Wuri jika liburan ke desa ini, satu atau dua kali aku pernah bertemu dengan Mba Wuri. Wajahnya cantik dengan kulit putih bersih."Nggak usah bercanda deh. Lu bilang Mbak Wuri udah meninggal kan? Bagaimana bisa orang itu adalah Mbak Wuri," ucap Intan panik."Tapi itu beneran Mbak Wuri, gue hafal banget sama postur tubuhnya." Hanif tetap pada pendiriannya kalau itu Mbak Wuri."Udah pada nggak usah ngaco! Nggak usah dilihatin. Pura-pura ngga
Setelah Nenek masuk ke dalam kamar. Kini di ruang tamu hanya ada aku, Intan dan teman-temanku saja."Masih mau diterusin, Mel?" tanya Intan."Masih, emang lu mau desa ini di teror terus tiap hari. Entar lama-lama nama desa ini bukannya desa Indah Permai lagi. Tapi desa sarang hantu," sahutku."Hiihhh ... serem amat itu omongan." Intan bergidik ngeri."Ya udah, lebih baik kita coba omongin lagi sama Kakek baik-baik. Semoga Kakek izinin, atau kalau nggak kita selidiki bareng-bareng sama Kakek dan Paklik Mulyono," ucap Ridwan memberi ide."Nah, ide yang bagus tuh, Mel," ujar Hanif menimpali dan disetujui oleh teman-teman lainnya.Aku masih diam tak merespon, tapi ide yang dibilang Ridwan boleh juga sih. Kenapa tidak kami selidiki saja bersama Kakek dan Paklik. Setelah nanti ketahuan siapa yang bersekutu dengan iblis, barulah kami akan panggil Ustaz Fiqih."Ya udah nanti gue pikirin dulu ide dari lu, Wan," ujarnya."Nah, gitu dong. Ya udah kita balik dulu ya, lu coba ngomongnya baik-baik
"Ora usah ngeganggu, wong mati iku ngegone wis udu neng dunyo maneh.Opo kowe mati digawe tumbal?" tanya Kakek.(Nggak usah mengganggu, orang mati tempatnya bukan di bumi lagi. Apa kamu mati karna dijadikan tumbal?)Aku, Intan, Irma saling merangkul karena ketakutan. Kakek, Paklik, menjagaku dari depan sedangkan Hanif dan Ridwan menjaga di belakang. "Kowe podo weruh sirahku ora, hah?" Lagi suara lirih dari sosok tanpa wujud itu menanyakan di mana kepalanya.Grookk ....Bug!Seperti suara orang yang digorok lehernya sampai kepalanya putus. Allah ... kenapa banyak sekali gangguannya ketika kami ingin tahu siapa orang yang ke sungai itu.Kami semua langsung berdoa membaca ayat kursi dan surah-surah lainnya. Intan membaca ayat kursi dengan suara yang bergetar dan menahan tangis.Arrggghh ....Teriak-teriakan itu menggema di kebun tebu ini, teriakan kesakitan serta rintihan yang menyayat hati."Sepertinya kita tidak bisa meneruskan untuk memata-matai sekarang. Apalagi turun hujan rintik-
Setelah Ustaz mengusapkan air ke wajahku, aku jadi sedikit lebih tenang. Nenek langsung mendekapku dan mengusap rambut hitamku yang dikuncir kuda.Hoeeekk ....Hoeeekk ....Tuti kembali memuntahkan darah segarnya, kali ini ia muntah lebih banyak. Matanya kini sendu setengah terpejam.Grookkk!Grookkk!Tuti menggelepar seperti ikan yang kehabisan air, serta menyuarkan seperti lehernya tengah di gorok seseorang."Aarrrghh ... sakit, Bu," teriak Tuti. Matanya masih mendelik ke atas, napasnya mulai sesak. Tuti menghembuskan napas terakhirnya dengan mulut menganga, serta mata yang melotot menatap ke atas langi-langit rumah."Innalillahi wainnalilahirojiun ...," lirih suara Pak Ustaz sambil mengusap mata Tuti yang mendelik ke atas."Maksud Pak Ustaz apa ngomong kaya gitu?" ucap Pak Guntur dengan suara bergetar."Tuti sudah pergi, Pak Guntur. Mohon untuk di ikhlaskan kepergiannya." Pak Ustaz berkata sambil mengusap bahu Pak Guntur."Nggak mungkin anakku mati." Pak Guntur langsung mendekap tu
Seminggu sudah kematian Tuti, kini desa kembali sepi. Jika malam-malam kemarin ramai. Itu karena warga mengadakan tahlilan selama seminggu untuk tuti.Suara burung Gagak terdengar jelas di luar rumah. Bau kembali melati menguar kembali.Kakek dan Paklik sedang berada di ruang tamu. Mereka sedang asyik menyesap masing-masing kopinya."Pertanda apa lagi ini, Pak?" tanya Paklik pada Kakek."Semoga aja nggak terjadi apa-apa lagi," jawab Kakek sambil menyesap kopinya."Burung Gagak rupanya daritadi selalu bolak-balik, perasaanku jadi nggak tenang.""Berdoa saja semoga hal yang buruk tidak terjadi!"Aku dan Intan mendengarkan pembicaraan mereka di ruang tv. Ruang tamu dan tv itu jaraknya sangat dekat. Jadi aku bisa mendengarkan semuanya pembicaraan Kakek dan Paklik."Mel, tinggal di sini kaya uji nyali ya kita?" kata Intan."Hemm ... begitulah,""Aku gregetan lho siapa dalang dibalik semua ini!" sungut Intan."Lho, aku pun sama!""Kepalaku rasanya mau meledak ini, aku banyak yang aku curiga
Suara sirine ambulance datang ke TKP serta beberapa mobil polisi pun datang.Orang tua Yuni tak hentinya menangis, apalagi ibunya Yuni yang jatuh pingsan berkali-kali.Saat tubuh Yuni diangkat dan ditaruh di pembungkus mayat berwarna orange, ada bagian anggota tubuh yang jatuh. Ternyata mata Yuni yang jatuh.Astagfirullah ... begitu tragis sekali kematianmu, Yun. Aku masih nggak nyangka kalau kamu bakalan pergi secepat ini."Ayo kita pulang!" ajak Kakek.Kakek membantuku untuk berdiri, rupanya Kakek dan Paklik datang mengendarai mobil temannya tempo hari."Kok pakai mobil, Kek?" tanya Intan."Ada teman Paklik mu datang, jadi kami pinjam."Kami pun langsung masuk ke dalam mobil, aku dan Intan duduk di belakang. Lalu Paklik pun mengendarai mobilnya. Motorku dititipkan di rumah ibu-ibu yang kutumpangi, nanti akan diambil lagi sama Paklik."Kok bisa Yuni tertabrak?" Paklik membuka pembicaraan."Nggak ngerti aku. Tau-tau dari arah belakang bunyi dentuman dan Yuni langsung terkapar di dekat
Nanti malam adalah malam tahlilan ke tiga Yuni. Karena dua hari lalu aku dan Intan tidak datang ke sana di karenakan aku masih belum sehat. Maka malam ini aku memutuskan untuk menghadiri tahlilan ke 3 hari Yuni. Aku dan Intan juga akan datang dengan Ayah kami dan juga Kakek dan Paklik."Badan kalian udah benar-benar enakan belum, Nduk? Kalau belum sebaiknya nggak usah ikut," saran Kakek."Udah sehat, Kek. Aku juga ingin bertemu ibunya Yuni. Aku ingin menguatkan beliau," ucapku."Ya udah kalau gitu, ayo kita siap-siap!"Aku dan Intan langsung ke kamar untuk berganti pakaian dan memakai hijab instan.Setelah selesai berganti baju, kami pun kembali ke ruang tamu."Ayo, kami udah siap!" ujar Intan.Kami pun langsung masuk ke mobil ayahku, dan menuju ke rumah Yuni.***Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 15 menit, kami pun sampai di pelataran rumah Yuni.Setelah Ayah memarkirkan mobilnya, kami pun turun bersamaan."Assalamu'alaikum," ucap kami."Wa'alaikumsalam,"Kakek, Paklik, Ayah l
Pagi ini ponselku terus bergetar, ternyata banyak pesan di WAG yang masuk. Mereka telah merencanakan apa-apa saja untuk nanti malam. Ya, nanti malam adalah malam jum'at. Sesuai kesepakatan, kami akan bermain Jelangkung untuk memanggil para arwah korban tumbal.Hanif sudah mempersiapkan semuanya untuk nanti malam. Mulai dari boneka yang dibuat dari batok kelapa serta bambu, dibuat sedemikian rupa hingga menjadi boneka Jelangkung. Hanif juga sudah mengirim lokasi untuk nanti malam.Aku bingung mencari alasan apa untuk keluar nanti malam. Apalagi keadaan kampung lagi genting seperti ini. Apakah aku dan Intan dibolehkan untuk keluar."Tan ... ki ngoncekno brambang!" pinta ibunya.(Tan ... ini kupasin bawang!)"Nggih, Bu!" jawab Intan.Intan langsung mengupas bawang merah, dan mengirisnya tipis-tipis untuk dijadikan taburan sup ayam nanti. Sedangkan aku sibuk memotong sayurannya.Tring!Tring!Ponselku berdering. Hanif mengirimkan hasil boneka Jelangkung yang ia bikin."Bagaimana?" tanya H
ARWAH PENASARAN MBAK ASIH extra part 2Ridwan langsung membalas WA dari Melly dan mengiyakan untuk mencarikan yang disuruh oleh MellySebelumnya Ridwan terlebih dahulu bertanya pada kakek dan ayah Tasya. Setelah mendapatkan informasi di mana ia bisa mendapatkan barang-barang yang diperlukan Melly, lantas Ridwan dan Hanif pergi untuk mencarinya.Mereka mencari di dekat hutan lokasi tempat kejadian semalam, tak butuh waktu lama Ridwan dan Hanif menemukan yang disuruh oleh Melly.Saat Ridwan dan Hanif ingin pergi tiba-tiba Hanif menunjuk ke arah rumput yang berwarna merah sepertinya itu darah Luna namun ada perasan jeruk nipis di sekitar darah tersebut."Siapa yang ngucurin jeruk nipis ke darah ya?" tanya Hanif pada Ridwan"Ini bekas darahnya si Luna kan sama Bram, bukannya darah kalau dikucurin jeruk nipis arwahnya kesakitan ya?" tanyanya lagi"Udahlah ayo langsung balik aja Melly pasti udah nunggu kita di rumah!" ajak Ridwan.Ridwan tak mau ambil pusing apa yang ditunjukkan oleh Hanif,
ARWAH PENASARAN MBAK ASIH extra partSelesai Ustaz mengajak salat taubatan nasuha warga pun kembali pulang ke rumah masing-masing.Melly dan yang lainnya menginap di rumah Thasya, Ridwan dan Hanif akan tidur bersama dengan kakek Thasya di ruang televisi.Berkali-kali Melly mengembuskan napasnya kasar dan memijit keningnya. Raut wajahnya terlihat cemas memikirkan sesuatu hal."Kenapa, Mel?" tanya Dinda mendekati Melly."Nggak papa," kilah Melly tersenyum simpul.Hanya Melly dan Dinda yang masih terjaga sampai larut malam, yang lainnya sudah tertidur dengan sangat pulas karena kelelahan dengan kejadian yang menggemparkan desa."Tapi mukamu tidak menujukkan kamu sedang baik-baik aja, Mel. Cerita aja sama aku, kali aja bisa sedikit lebih plong hatimu," bujuk Dinda."Huh!" Lagi Melly membuat napasnya."Teror Mbak Asih udah nggak ada, tapi sekarang rasanya ada sosok lain yang dendamnya masih membuat dirinya gentayangan sekarang," keluh Melly."Siapa? Apa si Luna dan Bram itu?" sahut Dinda m
ARWAH PENASARAN MBAK ASIH part 18"Allahu Akbar. Mas Riski!" teriak Asih menangis.Asih mencoba untuk memberontak dari tahanan warga, tetapi tak bisa. Tangannya dicekal dengan sangat kuat.Plak!"Diam kamu pencuri!" bentak Luna menampar pipi Asih dengan keras.Asih terhuyung--tubuhnya terperosot ke bawah. Air matanya terus membasahi pipinya. Kini matanya mulai sembab, wajahnya memerah menahan sakit di pipi juga di hati."Demi Allah, aku nggak mencuri kotak amal. Aku tau dosa, aku masih takut siksa kubur," lirihnya."Halaah, maling mana ada yang mau ngaku! Bakar aja, bakar! Jangan sampai kampung kita dikotori oleh pencuri seperti dia!" tunjuk Ucup mempropokasi warga."Hei! Jangan main hakim sendiri, kamu kira Asih apaan main bakar-bakar aja. Dijaga ucapanmu!" bentak Ayah dan kakeknya Thasya saat tiba di rumah Asih.Banyak sudah warga yang termakan dengan hasutan setan Ucup, Luna dan juga Bram.Warga tak mau mendengar ocehan siapapun, hasutan setan sudah ditelan mentah-mentah. Asih dia
ARWAH PENASARAN MBAK ASIH part 17Luna tak hanya membual, ia benar-benar memikirkan bagaimana caranya menghancurkan hubungan Asih dan Riski. Luna tak ingin Riski bahagia dengan Asih. Rencana licik Luna tersusun rapih. Ia sudah memikirkan segala resikonya. Dan jelas ia meminta bantuan pada Bram dan Mbak Sumarno."Kalau kamu benar-benar cinta sama aku. Turuti segala kemauan dan perintahku. Aku tak ikhlas jika Riski bahagia dengan Asih, biar bagaimanapun aku pernah mencintainya," tegasnya. Dalam hati terdalamnya, rasa cinta itu masih ada sampai sekarang. Luna wanita rakus, ia pintar memutar balikkan fakta dan bersilat lidah."Apa rencanamu untuk menghancurkan mereka?" tanya Bram serius."Fitnah Asih! Buat dia sampai mati dihabisin massa!" geramnya."Maksudmu?"Luna menjelaskan tentang rencana jahatnya pada Bram. Luna menyediakan satu lelaki suruhan untuk berpura-pura menjadi simpanan Asih agar Riski benci dengan Asih, setelahnya Luna menyuruh Bram mengambil kotak amal di musala secara di
ARWAH PENASARAN MBAK ASIH part 16Melly mengambil alih menggendong Denia dalam gendongan Intan. Suara lolongan anjing terdengar memekakkan telinga."Ayo pergi. Ada hal yang nggak beres akan terjadi lagi!" titah Melly.Intan dan Thasya menganggukkan kepalanya tanda mengerti. Mereka gegas berjalan meninggalkan daerah hutan.Setiap mereka berjalan seakan dipantau oleh seseorang dari tempat lain.Mata Melly dan Thasya terus mengawasi sekitar, takut jika ada serangan dari makhluk jahat itu lagi."Nggak habis pikir gue sama yang bawa Denia ke dekat hutan! Nggak ada otaknya!" maki Intan sambil terus mempercepat jalannya."Sampai gue tau siapa orangnya, gue patah*n tulangnya!" ocehnya lagi."Udah nggak usah ngedumel, ngedumelnya nanti kalau udah ketahuan siapa orangnya!" tegas Melly.Mereka bertiga semakin mempercepat langkah kakinya menuju ke desa.Dalam gendongan Melly--Denia tertidur dengan tenang.Selama berjalan mereka terus melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an.Tung! Tung!Bunyi pukulan
ARWAH PENASARAN MBAK ASIH part 15Intan yang melihat Melly gemetar segera membuat teh manis hangat untuknya. Ia juga sangat terkejut dengan apa yang diucapkan Melly.Siapa orang yang tega mengambil jasad Mbak Asih dan nemfitnah Mbak Asih."Nih, Mel, minum dulu biar tenang. Eh, gue lupa cuma bikin satu doang, Tha, hehe. Maaf, ya, lu kalau mau bikin sendiri aja. Lagian ini kan rumah lu," celetoh Intan."Iya, santai aja. Aku kalau mau nanti bikin sendiri kok. Ya udah mending sekarang kita masuk ke kamar, nanti anak-anak nyariin dan curiga terus malah jadi heboh malam-malam gini," ujar Thasya.Sebelum masuk ke kamar mereka bertiga mengatur napasnya dulu agar Dinda dan Dea tak curiga dan panik."Jangan diceritain dulu ya, Tha. Takutnya nanti malah mereka pada ketakutan," jelas Melly."Siap," sahut Thasya dan bergegas ke kamarnya.Baru saja mau masuk ke dalam kamar, diluar rumah terdengar suara teriakan orang yang tengah ketakutan.Belum lagi suara pentungan pos ronda yang sangat nyaring un
ARWAH PENASARAN MBAK ASIH part 14"Hati-hati, Mel, jangan ngebut." Intan meneriaki Melly."Iya, tenang aja!" sahut Melly berteriak juga.Buluk kuduknya meremang saat melewati sosok Mbak Asih yang melayang di udara."Astaghfirullah." Melly menepuk dadanya pelan dan berhenti mendadak di dekat kebun singkong.Begitupun dengan Intan yang ikut memberhentikan laju motornya. Ia paham apa yang dilakukan Melly, karena sekarang Intan pun peka dan sensitif dengan ghaib. Perlahan batinnya terbuka dengan sendiri."Pasti kamu abis melihat Mbak Asih di sekitar sini, ya?" bisik Thasya pada Melly.Mau tak mau Melly pun menganggukan kepalanya dan membenarkan pertanyaan Thasya. Thasya langsung merapat, memeluk tubuh Melly."Tenang. Bantu doa aja, sekarang gue mau fokus lagi bawa motor," ujarnya dengan membuang napas kasar."Bismillah ya Allah ... lindungi kami semua." Doa Thasya memejamkan matanya.Melly dan Intan kembali melajukan motornya, Dea tertidur diboncengan Intan. Dea berada di tengah antara In
ARWAH PENASARAN MBAK ASIH part 13"Mbak A--Asih." Mereka begitu gemetar menyebutkan nama Mbak Asih yang kini tepat berada di hadapannya.Tubuh Dea merosot ke tanah, ia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Sementara Dinda dan Thasya diam di tempat, tubuhnya tak bisa digerakkan. Hanya lelehan air matanya saja yang keluar dari matanya."Thasya!" teriak seorang wanita.Perlahan sosok Mbak Asih menghilang dari hadapan mereka. Tubuh Thasya limbung, ia juga terjatuh ke tanah."Lu nggak apa-apa?" Ternyata yang memanggil dirinya adalah Melly, Melly datang bersama dengan Intan. Melly langsung memeluk Thasya dan mencoba menenangkannya. Sementara Intan mengambil sebotol air minum dari dalam tas gembloknya."Ini minum dulu." Intan menyodorkan sebotol air pada Thasya.Thasya meminumnya setelah itu ia berikan air minum itu pada teman-temannya. Melly dan Intan membantu Thasya dan Dea untuk berdiri."Kok kamu tau aku ada di sini?" Thasya heran dengan Melly dan Intan yang tahu keberadaannya
ARWAH PENASARAN MBAK ASIH part 12💞💞💞POV Author"Maaf nih, Bu, Pak. Kami nggak bisa lama-lama mainnya. Soalnya abis ini mau ketemu sama teman," ujar Dinda pada semuanya. Dinda merasa suasana sudah tak kondusif lagi maka ia mencari alasan untuk segera pulang."Owalah, ya sudah kalau begitu. Padahal Denia masih mau main kayanya, anteng dia digendong sama Thasya," jawab Pak Yahya."Ayo kita pulang!" ajak Dinda pada teman-temannya.Sedangkan rawut wajah Riski terlihat kecewa dengan ajakan Dinda mengajak Thasya untuk pulang."Ya udah kalau gitu, kami pamit pulang ya. Assalamualaikum." Dinda--Dea--Thasya mencium tangan orang tua Mbak Asih dan berpamitan pada Sekar serta Riski.Saat berpamitan pada Sekar ia hanya menujukkan wajah datarnya saja, tak ada senyuman menghiasi kepergian mereka.Dinda buru-buru menarik tangan Thasya dan juga Dea untuk menuju ke motornya.***"Keluar nggak bilang-bilang dulu sama orang tua, bikin panik aja!" omel Ibu dan Ayah berbarengan saat Thasya memarkirkan