JERITAN MALAM PENGANTIN part 2
Allahu Akbar ... Allahu Akbar ....Suara azan Subuh menggema di musala desa.Aku dan Intan segera beranjak dari tempat tidur, untuk menunaikan salat subuh."Lu mau mandi dulu, Mel?" tanya Intan yang masih memejamkan matanya, sambil bersandar di pintu dapur."Nggak, nanti aja. Airnya dingin banget, bisa beku gue mandi gini hari,""Ya udah cuci muka sama gosok gigi aja, abis itu ambil wudu. Nenek udah nungguin tuh buat jama'ah."Lalu aku dan Intan pun mencuci muka serta gosok gigi. Kemudian kami bergantian untuk mengambil wudu."Kakek ke mana, Nek?" tanyaku sambil memakai mukena."Jama'ah di musala sama Paklik Mulyono."Kemudian kamipun menunaikan salat Subuh berjama'ah."Assalamu'alaikum Warahmatullah ....""Assalamu'alaikum Warahmatullah ...."Setelah salat subuh, kamipun beralih ke dapur untuk membantu Nenek membuat sarapan.Nenek masih memasak menggunakan tungku kayu, padahal kompor gas ada. Tapi Nenek lebih suka memasak menggunakan kayu. Katanya, kalau masak pakai kayu rasanya lebih sedap daripada pakai kompor gas."Mel ... coba kamu petik daun singkong yang masih muda di kebun samping rumah," perintah Nenek, aku langsung bangkit dan mengambil baskom untuk wadah manaruh daun singkong.Segar sekali udara di kampung jika pagi hari seperti ini. Aku menghirup dalam-dalam aroma embun yang menempel di dedaunan.Berbeda dengan di Jakarta. Pagi-pagi saja sudah ada polusi mencemari udara.Aku pun membuka pintu dapur samping, yang langsung terhubung dengan kebun yang berada di samping, serta dari sini aku juga bisa melihat rumah Pak Cipto.Keadaan rumahnya sangat gelap, bahkan lampu di teras rumahnya saja mati. Padahal ini masih subuh, masih jam lima kurang sepuluh menit.'Apakah orang-orang di sini pada menghemat listrik?' batinku berkataSaat aku beranjak ke kebun untuk mengambil daun singkong. Seperti ada seseorang di belakangku yang membuntuti.Sreeekk ....Sreeekk ....Seperti seseorang yang berjalan dengan menyeret kakinya.Wangi hanyir darah pun tercium, membuatku mual dan pusing. Tengkuk leherku meremang, untuk menoleh ke belakang saja badanku terasa kaku.Sreeekk ....Sreeekkk ....Perlahan-lahan, langkah kaki itu semakin mendekat ke arahku. Tubuhku semakin menegang. Suasana di kampung jika Subuh pun masih terlihat gelap."Tooolooongg ...!"Seperti ada suara yang membisikan kata tersebut di telingaku dengan lirih."Allah ... aku nggak mau melihat yang aneh-aneh lagi," lirihku bergumam sambil memejamkan mata."Woii, Mel, lu lama banget petik daun singkong aja setahun." Intan menepuk pundakku, seketika itu juga badanku langsung bisa digerakkan.Aku mengembuskan napasku dengan kasar. Keringat membanjiri keningku, padahal cuaca di sini begitu dingin tadi. Entah, setelah mendengar suara langkah dan rintihan minta tolong tadi. Tiba-tiba saja suhu tubuhku memanas."Kaya abis ngeliat setan aja lu ngos-ngosan gitu," oceh Intan sambil memetik daun singkong muda.Aku masih mencoba mengatur napas, tak aku hiraukan ucapan Intan yang terus saja mengoceh."Hhuuu!""Lah, lu kenapa Maliiiihh ...?" ujarnya sambil menempelkan punggung tangannya ke keningku."Kalau udah selesai metiknya, ayo balik ke rumah. Badan gue nggak enak."Intan terlihat bingung dengan sikapku. Berkali-kali ia menanyakan ada apa dengan diriku. Tapi aku masih tetap bungkam tak menjawab pertanyaannya.Intan terlalu bawel. Tapi juga terlalu penakut, rasa penasarannya begitu besar."Kok lama petik daunnya?" tanya Nenek sambil mencuci bumbu-bumbu yang sudah dikupas."Iya tadi cari udara segar dulu, Nek di kebun," ujarku berbohong lagi.Kemudian aku dan Intan membantu Nenek kembali untuk memasak.****Pukul 09.10 aku duduk lesehan di teras rumah Nenek sambil minum teh hangat."Cucunya Mbah Murti dan Mbah Sugeng sudah besar ya, cantik lagi seperti Mama-mu waktu masih muda dulu," sapa tetangga yang ingin pergi ke kebun jagung.Aku hanya tersenyum saja menanggapinya."Iya sudah besar. Sudah lulus sekolah. Sekarang sedang liburan di sini," jawab Nenek.Kemudian tetangga tersebut pun pergi ke kebun jagung."Nek, aku sama Melly mau lihat-lihat kebun jagung dan tebu ya?""Mau ngapain ke sana?" tanya Kakek yang tiba-tiba muncul dari pintu samping dapur."Mau cari udara segaaaarr ...," jawab Intan semringah.Dari teras Nenek aku masih terus melihat ke arah rumah Pak Cipto. Sepi, sunyi, senyap.Seperti tidak ada manusia di dalamnya. Apakah mereka semua sedang pergi? Tetapi kenapa ada mobil dan motornya terparkir di halaman rumah?Baru saja diomongin orangnya keluar dari rumah. Pak Cipto keluar dengan menggunakan pakaian serba hitam. Kemudian disusul dengan keluarnya Bu Desi istri Pak Cipto. Mereka semua menggunakan pakaian serba hitam.Hanya suami istri itu saja yang keluar, pengantin baru tidak terlihat sejak tadi. Kemudian Pak Cipto dan Bu Desi memasuki mobilnya, lalu pergi tanpa menegur kami yang berada di teras."Sombong banget!" Omel Intan sambil melipatkan tangannya di dada.Sedangkan aku terus memperhatikan laju mobil Pak Cipto.'Kenapa ada bayangan hitam yang mengikuti mobil itu?' lirihku.Tak berapa lama keluarlah Mas Arif dari dalam rumahnya. Wajahnya begitu kusut, matanya cekung serta lingkaran hitam di bawah matanya begitu kentara sekali.'Bukankah seharusnya pengantin baru wajahnya semringah?' lagi-lagi aku terus menebak.Sadar aku perhatikan buru-buru Mas Arif kembali ke dalam rumahnya. Ia menutup rapat-rapat pintu dan juga gordennya."Buseh ... pengantin baru tancap gas terooss!!"Intan terkikik melihat Mas Arif yang terburu-buru menutup pintunya. Lain denganku yang merasa heran dengan tingkah Mas Arif."Jangan ngeledek mulu, Tan, nggak enak kalau sampai orangnya dengar. Apalagi keluarga mereka terkesan misterius gitu," ucapku mencoba menasehati Intan."Yaelah, Mel, Mel, lu kaku banget sih nggak bisa diajak bercanda!""Bukan nggak bisa diajak bercanda, kita kan emang nggak akrab sama keluarga mereka. Tolong ngerti, jangan lu samain mereka sama lu yang langsung sok kenal sok dekat sama orang!!" ketusku.Intan langsung terdiam setelah aku marahi. Entah, feelingku tidak bagus dan tidak enak pada keluarga Pak Cipto. Apalagi aku melihat bayangan hitam selalu saja mengikuti mereka.****"Melly, Intan. Kalian baru sampai kah di sini?" tanya Irma, Yuni, Hanif dan juga Ridwan berbarengan."Sudah lima hari kami di sini. Aku lupa mau kabarin kalian," ujar tertawa kecil."Halaaahh, masih muda sudah pikun," sahut Ridwan meledek.Di kampung Nenek aku memang sudah mempunyai teman di sini. Itu karena ketika liburan aku sering berkunjung ke rumah Nenek dan Kakek.Mereka semua sangat baik padaku dan juga Intan. Tak jarang kami sering ngebolang bersama."Kalau udah kumpul gini jadi kangen deh nyoba main jelangkung lagi," ujar Irma terkekeh."Hiihhh ... aku sih wedi, Ir, sampean saja yang main sendiri. Kapok aku diteror hantunya Pakde Susanto!" jawab Yuni sambil mencebikkan bibirnya.Dulu kami memang pernah bermain jelangkung. Padahal niatnya hanya iseng-iseng saja, tetapi hantu yang datang malah neror beneran. Untungnya ada Ustadz Abdul yang membantu untuk mengusir arwah penasaran tersebut."Jangan gila! Emang kamu mau diteror lagi? Kami yang berada di Jakarta saja sampai diteror!" omel Intan pada Irma.Irma melihat Intan dan juga Yuni yang sedang mengomel malah terkekeh."Sudah jangan pada ribut. Malu sama orang yang lihat noh," ucap Ridwan sambil menunjuk ke arah jalan."Ngaco, nggak ada orang barang sepotong pun yang lewat!!" ketus Yuni kesal."Emang kamu mau melihat orang cuma sepotong?" ledek Hanif.Yuni menjepret Hanif dengan karet gelang yang ia bawa di kantong celananya. Anak ini ke mana-mana memang selalu bawa karet gelang. Entah apa gunanya."Kalian tahu tidak? Semalam suasana di sini mencekam banget, istrinya Mas Arif masa teriak-teriak minta tolong," ucap Intan menceritakan dengan serius."Teriak-teriak gimana? Eh, tapi wajar sih, kan pengantin baru hehehe." Hanif terkikih dengan muka menyebalkannya.Sementara Ridwan, Yuni dan juga Irman begitu serius mendengarkan Intan bercerita."Gue serius, Mbak Anggun ngerintih kesakitan gitu. Nggak wajar kalau malam pertama ngerintihnya sampai pesakitan begitu. Ini tuh kaya menderita banget, tadi juga Mas Arif keluar dengan muka kusut kaya panik gitu."'Ah rupanya Intan memperhatikan juga rawut wajah Mas Arif tadi," batinku."Dengerin gue, lu semua mending nggak usah kepo dan cari tahu ada apa dengan keluarga Pak Cipto. Jangan!!" ujar Ridwan memberi peringatan pada kami.Aku yang mendengarkan larangannya jadi tambah penasaran dengan keluarga Pak Cipto.Bersambung ....JERITAN MALAM PENGANTIN part 3Nenek, Kakek juga Paklik Mulyono sudah bersiap-siap akan pergi menghadiri acara khitanan cucu Bude Tiwi di desa sebelah.Mungkin juga mereka akan menginap di sana sampai acara selesai. Bude Tiwi ini masih saudara jauh Kakek, aku dan Intan memilih untuk di rumah saja. "Jangan lupa pintu dan jendela dikunci ya!" titah Nenek sambil memakai hijab."Iya, Nek. Kalau bisa jangan menginap ya?!" pinta Intan."Nggak enak kalau nggak nginep, pasti di sana bantu-bantu juga. Kamu disuruh ikut malah nggak mau.""Sempit, Nek, di sana. Mau tidur di kebun? Mending aku di rumah," jawab Intan.Aku hanya menatap Nenek saja yang dari tadi sibuk merapihkan hijabnya. Kadang aku lucu melihat tingkah Nenek, sudah benar-benar aku pakaikan hijab dengan rapih. Tetapi Nenek malah merubahnya lagi."Mel, kamu juga nggak mau ikut?" tanya Kakek."Kalau aku ikut si Intan sendirian dong di rumah,""Ya sudah kalian baik-baik di rumah. Jangan keluyuran malam-malam. Kalau tidak, ajak teman-
JERITAN MALAM PENGANTIN part 4Sementara Intan jatuh pingsan, kini aku yang diam mematung di hadapan sosok tanpa kepala tersebut.Kenapa aku tidak ikut pingsan saja seperti Intan? Kenapa malah diam di tempat seperti ini. Badanku sama sekali tidak bisa digerakan, seolah terhipnotis dengan sosok tanpa kepala.Batinku menjerit, berkata ingin pergi. Tapi tubuhku tetap mematung. Keringat sebesar biji jagung telah membanjiri tubuhku. Gelegar petir serta hujan yang masih turun menambah keseraman ini. Aku di hadapkan dengan wujud yang sangat mengerikan. Sementara itu, tepat di samping sosok wujud tanpa kepala itu, ada sosok lain yang menatapku tajam. Badannya berbulu, besar, serta mempunyai mata merah dan taring yang panjang.Allah ... napasku tercekat, seperti dicekik oleh seseorang.Sebisa mungkin aku terus membaca ayat-ayat Al-Qur'an di dalam hati, agar tubuhku tidak terkunci seperti ini.Perlahan, wujud tanpa kepala itu berjalan terseok-seok. Aku baru menyadari, bahwa sepertinya ini tubu
JERITAN MALAM PENGANTIN part 5"Janc*k!" teriak Hanif berlari sambil memegangi handuk yang melingkari pinggangnya."Kalian pada kenapa sih? Kenapa pada lari-larian gitu?" tanya Kak Sarah panik."Demit sial. Tuh, ada di dapur.""Panik sih panik, itu celana dipakai dulu sana," ujar Irma melihat Hanif dengan pandangan aneh."Gue lupa. Ya udah gue pakai di pojokan aja, jangan pada ngintip lu semua!""Rugi gue liatin lu pakai celana, menodai mata gue aja!" ketus Irma sambil menutup wajahnya dengan tangan.Cetlek!Tiba-tiba lampu padam. Di dalam rumah tampak gelap gulita. Ka Sarah langsung mengintip ke jendela, ternyata bukan hanya rumah Nenek yang lampunya mati. Tapi semuanya padam.Teror, lampu mati. Lengkap sudah kini penderitaan kami.Dug ....Dug ....Dug ...."Siapa yang malam-malam dan mati lampu gini main bola sih? Kurang kerjaan banget, udah gitu hujan deras lagi. Gila apa ya, tuh, orang!" maki Hanif."Entah, coba lu tengok, Nif!" ucapku sambil menyinari ruang dengan lampu ponselku
Setelah kurang lebih dua puluh menit perjalanan menuju rumah Kak Sarah. Akhirnya kami sampai juga, kami disambut oleh keluarga Kak Sarah. Keluarga Kak Sarah nampak sangat panik. Terutama ayahnya Kak Sarah."Ayo kalian masuk. Langsung mandi dan ganti baju, setelah selesai mandi kumpul di ruang tamu!" tegas ayahnya Kak Sarah.Kami semua masuk ke dalam rumah Kak Sarah dan bergantian untuk mandi.Kepalaku terasa nyeri akibat benturan tadi, sedangkan Intan terlihat masih syok atas kejadian yang menimpa kita semua.Benar-benar malam yang sangat menyeramkan. Ketika kita panik, otak tak mampu berpikir dengan jernih. Segala sesuatu pasti dilakukan terburu-buru dan gegabah."Gue, mau pulang aja ke Jakarta," ucap Intan tiba-tiba dengan terisak."Sabar, Tan. Kalau kita pulang, terus siapa yang bakal mengungkap misteri ini? Bukankah sebelumnya kita juga pernah seperti ini?" jawabku sambil memegangi kepala yang masih nyeri."Dulu kita pulang ke Jakarta. Terus apa? Arwah itu meneror kita juga kan sa
Setelah kejadian semalam. Akhirnya kami semua memutuskan untuk menginap di kediaman Kak Sarah. Ridwan dan Hanif tidur di ruang tamu, dan kami para wanita tidur di kamar Kak Sarah. Kamar Kak Sarah lumayan besar, sehingga bisa menampung kami semua. Untungnya Kak Sarah tidak menggunakan ranjang pada kasurnya. Kasur springbed ia letakan di lantai atau lesehan. Kak Sarah bilang, ia takut jika menggunakan ranjang kasur. Takut di bawahnya ada penampakan. Dan subuh ini kami para wanita salat jama'ah di rumah. Sedangkan para lelaki berjama'ah di musala desa."Mel ... ambil wudhunya barengan, gue takut!""Ya Allah, Tan. Udah subuh kali, setan juga kaga ada subuh-subuh mah," ucapku kesal pada Intan."Bodo amat! Pokoknya bareng. Kalau nggak bareng gue nggak jadi salat!" cetusnya."Hilih, semprul! Mau jadi titisan setan lu nggak salat? Ya udah ayo bareng."Kemudian aku dan Intan berbarengan ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Salat pun dipimpin oleh ibunya Kak Sarah."Assalamu'alaikum Warahmatul
Mataku masih menatap ke arah belakang rumah Pak Cipto. Siapakah wanita berbaju merah itu? Jalannya tertatih-tatih, seperti merasakan sakit yang luar biasa. Bukan, bukan Mbak Anggun. Aku tau bagaimana postur tubuh Mbak Anggun.Mbak Anggun tinggi semampai, dan yang aku lihat ini berperawakan kecil mungil. Mungkin tingginya hanya 155 centimeter saja.Teman-temanku yang lainnya pun ikut menengok ke belakang rumah Pak Cipto."Mm--Mba Wuri," ucap Hanif terbata.Hah, Mba Wuri? Bukankah katanya Mbak Wuri sudah meninggal. Aku memang jarang sekali melihat Mba Wuri jika liburan ke desa ini, satu atau dua kali aku pernah bertemu dengan Mba Wuri. Wajahnya cantik dengan kulit putih bersih."Nggak usah bercanda deh. Lu bilang Mbak Wuri udah meninggal kan? Bagaimana bisa orang itu adalah Mbak Wuri," ucap Intan panik."Tapi itu beneran Mbak Wuri, gue hafal banget sama postur tubuhnya." Hanif tetap pada pendiriannya kalau itu Mbak Wuri."Udah pada nggak usah ngaco! Nggak usah dilihatin. Pura-pura ngga
Setelah Nenek masuk ke dalam kamar. Kini di ruang tamu hanya ada aku, Intan dan teman-temanku saja."Masih mau diterusin, Mel?" tanya Intan."Masih, emang lu mau desa ini di teror terus tiap hari. Entar lama-lama nama desa ini bukannya desa Indah Permai lagi. Tapi desa sarang hantu," sahutku."Hiihhh ... serem amat itu omongan." Intan bergidik ngeri."Ya udah, lebih baik kita coba omongin lagi sama Kakek baik-baik. Semoga Kakek izinin, atau kalau nggak kita selidiki bareng-bareng sama Kakek dan Paklik Mulyono," ucap Ridwan memberi ide."Nah, ide yang bagus tuh, Mel," ujar Hanif menimpali dan disetujui oleh teman-teman lainnya.Aku masih diam tak merespon, tapi ide yang dibilang Ridwan boleh juga sih. Kenapa tidak kami selidiki saja bersama Kakek dan Paklik. Setelah nanti ketahuan siapa yang bersekutu dengan iblis, barulah kami akan panggil Ustaz Fiqih."Ya udah nanti gue pikirin dulu ide dari lu, Wan," ujarnya."Nah, gitu dong. Ya udah kita balik dulu ya, lu coba ngomongnya baik-baik
"Ora usah ngeganggu, wong mati iku ngegone wis udu neng dunyo maneh.Opo kowe mati digawe tumbal?" tanya Kakek.(Nggak usah mengganggu, orang mati tempatnya bukan di bumi lagi. Apa kamu mati karna dijadikan tumbal?)Aku, Intan, Irma saling merangkul karena ketakutan. Kakek, Paklik, menjagaku dari depan sedangkan Hanif dan Ridwan menjaga di belakang. "Kowe podo weruh sirahku ora, hah?" Lagi suara lirih dari sosok tanpa wujud itu menanyakan di mana kepalanya.Grookk ....Bug!Seperti suara orang yang digorok lehernya sampai kepalanya putus. Allah ... kenapa banyak sekali gangguannya ketika kami ingin tahu siapa orang yang ke sungai itu.Kami semua langsung berdoa membaca ayat kursi dan surah-surah lainnya. Intan membaca ayat kursi dengan suara yang bergetar dan menahan tangis.Arrggghh ....Teriak-teriakan itu menggema di kebun tebu ini, teriakan kesakitan serta rintihan yang menyayat hati."Sepertinya kita tidak bisa meneruskan untuk memata-matai sekarang. Apalagi turun hujan rintik-
ARWAH PENASARAN MBAK ASIH extra part 2Ridwan langsung membalas WA dari Melly dan mengiyakan untuk mencarikan yang disuruh oleh MellySebelumnya Ridwan terlebih dahulu bertanya pada kakek dan ayah Tasya. Setelah mendapatkan informasi di mana ia bisa mendapatkan barang-barang yang diperlukan Melly, lantas Ridwan dan Hanif pergi untuk mencarinya.Mereka mencari di dekat hutan lokasi tempat kejadian semalam, tak butuh waktu lama Ridwan dan Hanif menemukan yang disuruh oleh Melly.Saat Ridwan dan Hanif ingin pergi tiba-tiba Hanif menunjuk ke arah rumput yang berwarna merah sepertinya itu darah Luna namun ada perasan jeruk nipis di sekitar darah tersebut."Siapa yang ngucurin jeruk nipis ke darah ya?" tanya Hanif pada Ridwan"Ini bekas darahnya si Luna kan sama Bram, bukannya darah kalau dikucurin jeruk nipis arwahnya kesakitan ya?" tanyanya lagi"Udahlah ayo langsung balik aja Melly pasti udah nunggu kita di rumah!" ajak Ridwan.Ridwan tak mau ambil pusing apa yang ditunjukkan oleh Hanif,
ARWAH PENASARAN MBAK ASIH extra partSelesai Ustaz mengajak salat taubatan nasuha warga pun kembali pulang ke rumah masing-masing.Melly dan yang lainnya menginap di rumah Thasya, Ridwan dan Hanif akan tidur bersama dengan kakek Thasya di ruang televisi.Berkali-kali Melly mengembuskan napasnya kasar dan memijit keningnya. Raut wajahnya terlihat cemas memikirkan sesuatu hal."Kenapa, Mel?" tanya Dinda mendekati Melly."Nggak papa," kilah Melly tersenyum simpul.Hanya Melly dan Dinda yang masih terjaga sampai larut malam, yang lainnya sudah tertidur dengan sangat pulas karena kelelahan dengan kejadian yang menggemparkan desa."Tapi mukamu tidak menujukkan kamu sedang baik-baik aja, Mel. Cerita aja sama aku, kali aja bisa sedikit lebih plong hatimu," bujuk Dinda."Huh!" Lagi Melly membuat napasnya."Teror Mbak Asih udah nggak ada, tapi sekarang rasanya ada sosok lain yang dendamnya masih membuat dirinya gentayangan sekarang," keluh Melly."Siapa? Apa si Luna dan Bram itu?" sahut Dinda m
ARWAH PENASARAN MBAK ASIH part 18"Allahu Akbar. Mas Riski!" teriak Asih menangis.Asih mencoba untuk memberontak dari tahanan warga, tetapi tak bisa. Tangannya dicekal dengan sangat kuat.Plak!"Diam kamu pencuri!" bentak Luna menampar pipi Asih dengan keras.Asih terhuyung--tubuhnya terperosot ke bawah. Air matanya terus membasahi pipinya. Kini matanya mulai sembab, wajahnya memerah menahan sakit di pipi juga di hati."Demi Allah, aku nggak mencuri kotak amal. Aku tau dosa, aku masih takut siksa kubur," lirihnya."Halaah, maling mana ada yang mau ngaku! Bakar aja, bakar! Jangan sampai kampung kita dikotori oleh pencuri seperti dia!" tunjuk Ucup mempropokasi warga."Hei! Jangan main hakim sendiri, kamu kira Asih apaan main bakar-bakar aja. Dijaga ucapanmu!" bentak Ayah dan kakeknya Thasya saat tiba di rumah Asih.Banyak sudah warga yang termakan dengan hasutan setan Ucup, Luna dan juga Bram.Warga tak mau mendengar ocehan siapapun, hasutan setan sudah ditelan mentah-mentah. Asih dia
ARWAH PENASARAN MBAK ASIH part 17Luna tak hanya membual, ia benar-benar memikirkan bagaimana caranya menghancurkan hubungan Asih dan Riski. Luna tak ingin Riski bahagia dengan Asih. Rencana licik Luna tersusun rapih. Ia sudah memikirkan segala resikonya. Dan jelas ia meminta bantuan pada Bram dan Mbak Sumarno."Kalau kamu benar-benar cinta sama aku. Turuti segala kemauan dan perintahku. Aku tak ikhlas jika Riski bahagia dengan Asih, biar bagaimanapun aku pernah mencintainya," tegasnya. Dalam hati terdalamnya, rasa cinta itu masih ada sampai sekarang. Luna wanita rakus, ia pintar memutar balikkan fakta dan bersilat lidah."Apa rencanamu untuk menghancurkan mereka?" tanya Bram serius."Fitnah Asih! Buat dia sampai mati dihabisin massa!" geramnya."Maksudmu?"Luna menjelaskan tentang rencana jahatnya pada Bram. Luna menyediakan satu lelaki suruhan untuk berpura-pura menjadi simpanan Asih agar Riski benci dengan Asih, setelahnya Luna menyuruh Bram mengambil kotak amal di musala secara di
ARWAH PENASARAN MBAK ASIH part 16Melly mengambil alih menggendong Denia dalam gendongan Intan. Suara lolongan anjing terdengar memekakkan telinga."Ayo pergi. Ada hal yang nggak beres akan terjadi lagi!" titah Melly.Intan dan Thasya menganggukkan kepalanya tanda mengerti. Mereka gegas berjalan meninggalkan daerah hutan.Setiap mereka berjalan seakan dipantau oleh seseorang dari tempat lain.Mata Melly dan Thasya terus mengawasi sekitar, takut jika ada serangan dari makhluk jahat itu lagi."Nggak habis pikir gue sama yang bawa Denia ke dekat hutan! Nggak ada otaknya!" maki Intan sambil terus mempercepat jalannya."Sampai gue tau siapa orangnya, gue patah*n tulangnya!" ocehnya lagi."Udah nggak usah ngedumel, ngedumelnya nanti kalau udah ketahuan siapa orangnya!" tegas Melly.Mereka bertiga semakin mempercepat langkah kakinya menuju ke desa.Dalam gendongan Melly--Denia tertidur dengan tenang.Selama berjalan mereka terus melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an.Tung! Tung!Bunyi pukulan
ARWAH PENASARAN MBAK ASIH part 15Intan yang melihat Melly gemetar segera membuat teh manis hangat untuknya. Ia juga sangat terkejut dengan apa yang diucapkan Melly.Siapa orang yang tega mengambil jasad Mbak Asih dan nemfitnah Mbak Asih."Nih, Mel, minum dulu biar tenang. Eh, gue lupa cuma bikin satu doang, Tha, hehe. Maaf, ya, lu kalau mau bikin sendiri aja. Lagian ini kan rumah lu," celetoh Intan."Iya, santai aja. Aku kalau mau nanti bikin sendiri kok. Ya udah mending sekarang kita masuk ke kamar, nanti anak-anak nyariin dan curiga terus malah jadi heboh malam-malam gini," ujar Thasya.Sebelum masuk ke kamar mereka bertiga mengatur napasnya dulu agar Dinda dan Dea tak curiga dan panik."Jangan diceritain dulu ya, Tha. Takutnya nanti malah mereka pada ketakutan," jelas Melly."Siap," sahut Thasya dan bergegas ke kamarnya.Baru saja mau masuk ke dalam kamar, diluar rumah terdengar suara teriakan orang yang tengah ketakutan.Belum lagi suara pentungan pos ronda yang sangat nyaring un
ARWAH PENASARAN MBAK ASIH part 14"Hati-hati, Mel, jangan ngebut." Intan meneriaki Melly."Iya, tenang aja!" sahut Melly berteriak juga.Buluk kuduknya meremang saat melewati sosok Mbak Asih yang melayang di udara."Astaghfirullah." Melly menepuk dadanya pelan dan berhenti mendadak di dekat kebun singkong.Begitupun dengan Intan yang ikut memberhentikan laju motornya. Ia paham apa yang dilakukan Melly, karena sekarang Intan pun peka dan sensitif dengan ghaib. Perlahan batinnya terbuka dengan sendiri."Pasti kamu abis melihat Mbak Asih di sekitar sini, ya?" bisik Thasya pada Melly.Mau tak mau Melly pun menganggukan kepalanya dan membenarkan pertanyaan Thasya. Thasya langsung merapat, memeluk tubuh Melly."Tenang. Bantu doa aja, sekarang gue mau fokus lagi bawa motor," ujarnya dengan membuang napas kasar."Bismillah ya Allah ... lindungi kami semua." Doa Thasya memejamkan matanya.Melly dan Intan kembali melajukan motornya, Dea tertidur diboncengan Intan. Dea berada di tengah antara In
ARWAH PENASARAN MBAK ASIH part 13"Mbak A--Asih." Mereka begitu gemetar menyebutkan nama Mbak Asih yang kini tepat berada di hadapannya.Tubuh Dea merosot ke tanah, ia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Sementara Dinda dan Thasya diam di tempat, tubuhnya tak bisa digerakkan. Hanya lelehan air matanya saja yang keluar dari matanya."Thasya!" teriak seorang wanita.Perlahan sosok Mbak Asih menghilang dari hadapan mereka. Tubuh Thasya limbung, ia juga terjatuh ke tanah."Lu nggak apa-apa?" Ternyata yang memanggil dirinya adalah Melly, Melly datang bersama dengan Intan. Melly langsung memeluk Thasya dan mencoba menenangkannya. Sementara Intan mengambil sebotol air minum dari dalam tas gembloknya."Ini minum dulu." Intan menyodorkan sebotol air pada Thasya.Thasya meminumnya setelah itu ia berikan air minum itu pada teman-temannya. Melly dan Intan membantu Thasya dan Dea untuk berdiri."Kok kamu tau aku ada di sini?" Thasya heran dengan Melly dan Intan yang tahu keberadaannya
ARWAH PENASARAN MBAK ASIH part 12šššPOV Author"Maaf nih, Bu, Pak. Kami nggak bisa lama-lama mainnya. Soalnya abis ini mau ketemu sama teman," ujar Dinda pada semuanya. Dinda merasa suasana sudah tak kondusif lagi maka ia mencari alasan untuk segera pulang."Owalah, ya sudah kalau begitu. Padahal Denia masih mau main kayanya, anteng dia digendong sama Thasya," jawab Pak Yahya."Ayo kita pulang!" ajak Dinda pada teman-temannya.Sedangkan rawut wajah Riski terlihat kecewa dengan ajakan Dinda mengajak Thasya untuk pulang."Ya udah kalau gitu, kami pamit pulang ya. Assalamualaikum." Dinda--Dea--Thasya mencium tangan orang tua Mbak Asih dan berpamitan pada Sekar serta Riski.Saat berpamitan pada Sekar ia hanya menujukkan wajah datarnya saja, tak ada senyuman menghiasi kepergian mereka.Dinda buru-buru menarik tangan Thasya dan juga Dea untuk menuju ke motornya.***"Keluar nggak bilang-bilang dulu sama orang tua, bikin panik aja!" omel Ibu dan Ayah berbarengan saat Thasya memarkirkan