Kabar dari asisten pribadinya sangat mengejutkan hingga membuat Topan berada di dua sisi. Topan merasa senang dengan kabar itu, tetapi juga terkejut karena berita itu datang tepat di hari pernikahannya.
Sepanjang pesta berlangsung, Topan tidak bisa menaruh fokusnya seperti sedia kala. Pikiran Topan terpecah antara merahasiakan statusnya dan Laura dari Emma, bagaimana dan kapan mengunjungi Laura, bagaimana menghadapi mertua saat mereka tahu pernikahannya bersama Emma, dan pertanyaan apakah Laura sudah benar-benar bangun dari komanya atau belum.Terlebih, kedatangan mertuanya yang tiba-tiba mengubah suasana menjadi semakin pelik. Pesta sederhana yang mewah pun tidak dia nikmati, sebab Topan dipaksa berpikir keras untuk membuat situasi baik-baik saja, termasuk perasaannya."Kedatangan mereka untuk memberitahu kabar tentang Nyonya Laura. Tuan Besar sudah mengurusnya, Pak. Saya tidak tahu apa yang beliau katakan pada mereka," ujar asisten ketika memberitahunya. "Tuan Besar juga meminta Bapak tetap di sini dan tidak bertemu mereka."Setelah pesta selesai, Topan langsung berganti pakaian untuk pergi menjenguk istrinya. Di rumah sakit besar dan terkenal di Berlin, Topan terburu-buru masuk ke ruang rawat inap Laura.Dia berdiri di ujung ranjang pasien dengan perasaan bergejolak, memandang Laura yang diam tertidur seperti biasanya.Dada Topan terasa bergemuruh, karena perasaan yang bercampur aduk tidak bisa diungkapkan. Topan tidak tahu bagaimana untuk bersikap, karena gemuruh hatinya terasa meledak-ledak berlomba untuk keluar, hingga air matanya menetes karena haru yang bahagiaTanpa disadari, Topan sudah mendekat ke sisi Laura–memandanginya dari ujung kepala sampai ujung kaki, mencari gerakan Laura untuk dilihat dengan mata kepalanya sendiri, lalu menunduk."Dua tahun kamu koma, sekarang kamu mulai bergerak. Bangun, Laura. Ini aku, Topan, suamimu," lirih Topan sambil membelai pipi Laura, lalu membelai kepala dan menciumnya.Air mata Topan jatuh di pipi Laura ketika menciumnya. Senyum di bibir Topan yang bergetar tidak bisa menutupi kerinduannya pada Laura. Hari yang ditunggu dengan tidak sabar akhirnya datang. Laura bangun dari komanya."Laura, buka matamu, tunjukkan padaku kalau kamu sudah sadar. Gerakkan tanganmu, Laura."Di ruangan itu, Topan seorang diri tanpa asisten pribadi dan pengawal. Dia bicara pada Laura seperti orang tidak waras, mengusap punggung tangan Laura, menciumnya dengan perasaan dalam."Ayo, buka matamu, Sayang.""Pak, dokter ingin bicara dengan Bapak," kata Jeremy–asisten Topan tiba-tiba masuk dan bersuara pelan.Topan menoleh padanya. "Katakan saya ingin bicara di sini saja.""Dokter Baren sudah menunggu di luar, saya akan menyuruhnya masuk," ujar Jeremy lantas keluar.Dokter Baren masuk dan bicara setelah pintu ditutup oleh pengawal."Kami terpaksa menghubungi mertua Anda, karena Anda tidak bisa dihubungi."Topan memberi anggukan, tetapi kepalanya tidak dialihkan pada Dokter Baren."Kondisi Nyonya Laura menunjukkan kemajuan berarti meskipun kecil. Awalnya dia menunjukkan pergerakan yang signifikan dari jari tangannya, lalu pelan-pelan kembali seperti semula. Dan hasil pemeriksaan setelah dia sadar, Nyonya Laura mengalami lumpuh di kedua kaki dan tangan kiri secara permanen."Keterangan Dokter Baren membuat napas Topan tercekat. "Apa maksud Dokter?" tanya Topan bersuara parau, tertegun menatap dokter Baren dengan wajah pias.Dokter Baren diam sebentar untuk bernapas. "Nyonya Laura tidak akan bisa bergerak leluasa seperti dulu, karena saraf otot kaki dan tangannya sudah tidak berfungsi. Saya dan tim sudah berusah—""TIDAK MUNGKIN! DOKTER PASTI BOHONG. TIDAK MUNGKIN ISTRI SAYA CACAT!"Topan menarik kerah sneli Dokter Baren setelah memekik. Dokter itu terkejut hingga matanya mendelik dan wajahnya agak memucat melihat rona marah di muka Topan."Jangan bicara sembarangan, Dokter! Saya bisa membuat Anda menyesal," lanjut Topan mendesis dan menekan. "Rumah sakit ini punya alat yang canggih dan lengkap, kenapa istri saya tidak bisa disembuhkan?""Saraf ototnya sudah tidak berfungsi dan kami sudah mencoba dengan ragam metode, tapi saraf-saraf istri Anda tidak memberikan reaksi sama sekali." Dokter Baren menjawab dengan kaku, meski berusaha tenang."Itu tugas Anda sebagai dokter! Anda harus melakukan dan mencari penyembuhan untuk pasien." Topan semakin mengencangkan cengkeraman di sneli Dokter Baren."Maaf, Tuan Topan, saya sudah berusaha sebagai dokter. Ada hal-hal yang tidak bisa dipaksakan dan selalu ada faktor X yang mempengaruhi setiap peristiwa," jelas Dokter Baren menyentuh lengan Topan untuk melepaskannya. "Maaf … saya harap Anda bisa menerima kenyataan. Dia sekarang sedang tidur karena obat bius. Berikan dia semangat setelah bangun. Anda harus melakukan itu karena Anda suaminya."Dokter Baren berhasil melepas tangan Topan lepas dari snelinya."Saya masih harus memeriksa pasien lain. Selamat malam, Tuan," kata Dokter Baren lagi, lalu keluar setelah Topan mengizinkan.Perasaan Topan berkecamuk, ingin memukul dan berteriak. Perempuan yang dicintainya harus lumpuh seumur hidup setelah bangun dari koma.Mata Topan yang basah dibiarkan jatuh airnya hingga lehernya menjadi basah. Tangannya membentuk kepalan hingga urat nadi tampak jelas di sepanjang lengan, jidad, dan leher.Dia juga dibayang-bayangi oleh peristiwa hari itu. Hari kelam yang membuat istrinya luka parah dan tak bangun selama dua tahun.Dalam hati Topan juga terselip rasa bersalah, karena mengkhianati Laura. Janji suci mereka di altar pernikahan untuk saling setia, ternoda karena kebutuhan seorang pewaris dari klannya sendiri."Maafkan aku, Laura. Aku mencintaimu," lirih Topan lantas keluar.Lima orang penjaga ditugaskan untuk menjaga Laura di luar kamar VVIP. Melihat Topan keluar dengan wajah rumit, Jeremy mengikutinya tanpa bicara.Dari sorot mata dan tegangan rahang muka Topan, Jeremy melihat masalah besar sedang terjadi. Cara Topan berjalan dan membuka pintu kamar pasien, menjelaskan semuanya."Bapak baik-baik saja?" Jeremy hati-hati bertanya ketika mereka di dalam lift.Jeremy mencoba meminta Topan berbagi cerita, agar Topan tidak berbuat keliru yang membahayakan diri sendiri dan membuat masalah baru."EARRGHHH!"BRUKJeremy terkesiap melihat Topan meninju besi dinding bagian kanan lift. Punggung Topan bergetar, tangannya masih menempel di dinding dengan kepala menunduk.Namun, Jeremy tidak mendengar suara apa pun keluar dari seorang Topan."Apa ada masalah dengan Nyonya Laura, Pak?" Jeremy bertanya lagi dengan hati-hati.Perjalanan mereka ke lantai bawah masih panjang. Lampu-lampu tombol angka terus berpindah dari angka ke angka. Lift khusus tamu VVIP itu kebetulan tidak ada orang lain kecuali mereka."Laura lumpuh. Dia akan cacat seumur hidup," aku Topan dengan suara tercekat, parau dan bergetar.Jeremy tertegun entah untuk kejadian yang mana. Banyak peristiwa yang dialami bersama Topan, bahkan dua tahun lalu pertama kali Jeremy melihat Topan menangis dan bersikap seperti orang tak waras."Tidak mungkin, pasti ada pengobatan canggih yang bisa menyembuhkan Nyonya. Bapak bisa mencari dokter lain yang lebih hebat dari Dokter Baren."Topan tidak mengacuhkan protes dan saran Jeremy. Kepalanya berkecamuk karena bertubi-tubi masalah di waktu yang sama.Tangis Topan pecah sesegukan dan lirih. Dia menunduk menghadap dinding dan tangan yang ingin meninju serta menendang apa saja.Perjalanan lift lanjut ke lantai dasar. Topan keluar dari lift menuju pintu keluar gedung rumah sakit dengan langkah tegas dan marah serta mata merah.Mereka sudah di dalam mobil ketika permintaan Topan membungkam mulut Jeremy."Bawa saya ke bar!" kata Topan pada sopir."Apa Bapak akan membiarkan Nona Emma sendirian? Ini malam pernikahan Bapak." Jeremy mengingatkan dengan hati-hati, agar Topan tidak mengamuk karena menyinggung malam pengantinnya."Saya ingin tenang, Jeremy." Suara Topan terdengar ditekan dan geram.Bantahan Topan membuat Jeremy mendengus jengkel, karena alasan Topan bukanlah bantahan yang tepat. Sebab, mencari ketenangan bukan berada di bar, tetapi di rumah bersama istri yang baru dinikahi."Maaf, Pak, jangan lupakan misi Bapak menikah hari ini."Topan tidak terlihat terkejut pada peringatan Jeremy, seperti angin yang meniup wajahnya ketika energi itu berembus. Ketakutan justru menyerang Jeremy memikirkan Emma dan masalah berikutnya yang akan datang akibat ulah Topan.Mobil melaju di jalanan sesuai perintah, berhenti di bar elite langganan Topan."Vodka!" ujar Topan setelah duduk di sofa.Pelayan bar kembali ke meja bartender setelah menerima pesanan. Riuh suara musik disco dari lantai bawah sedikit terdengar karena alat kedap suara yang dipasang.Pelacur-pelacur kelas atas duduk di sofa seberang. Seorang diantaranya datang mendekat sambil tersenyum."Apa kabar, Tuan Topan? Lama tidak bertemu," kata Nancy, perempuan berdarah Eropa timur yang unik. "Kata manager hampir enam bulan Anda tidak datang ke ini."Dia langsung duduk di sebelah Topan. Tanpa sungkan bergelayut di dada Topan di depan Jeremy."Sepertinya Anda sedang banyak masalah. Apa Anda tidak mau menenangkan pikiran seperti biasanya dengan saya?" bisik Nancy menggoda. "Style baru yang belum dicoba.""Tinggalkan saya, Nancy. Saya ingin sendiri," tolak Topan yang bersandar ke sofa."Minuman Anda, Tuan Topan," kata pelayan datang dan menaruh pesanan, lantas pergi tanpa tanpa tanggapan dari Topan seperti biasanya.Tangan Jeremy segera menyuruh Nancy meninggalkan meja mereka. Namun, telunjuk Nancy malah bergerak di rahang Topan menyusuri jambang tipis yang belum lama tumbuh.Pengunjung bar kelas VVIP beberapa di antaranya ditemani perempuan untuk kebutuhan seksual atau sekadar bisnis. Mereka duduk di seberang Topan yang menyendiri.Lampu bar lumayan terang, wangi khas ruangan dan aroma minuman, serta lalu lalang pelayan, mendorong Nancy terus berusaha merangsang Topan.Karena tidak ada penolakan berarti dari Topan, tangan Nancy semakin liar menjelajah tubuh Topan.Jari lentik Nancy mengelus dan meremas kelamin Topan di dalam celana panjang yang dipakai. Resletingnya terbuka lebar dengan cara halus.Halo, pembaca Topan dan Emma, salam kenal. Saya penulis baru di Goodnovel. Cerita ini boleh ditambah ke library dan komen yang membangun. Saya akan sangat semangat mendapat dorongan dari pembaca Topan dan Emma di cerita ini. Boleh bantu saya untuk sub dan share cerita ini ke medsos teman-teman untuk dibaca juga oleh yang lain. Terima kasih banyak. Semoga kebaikan teman-teman dibalas Tuhan secepatnya.
"HENTIKAN, NANCY! AKU SEDANG TIDAK INGIN!" pekik Topan sambil menyingkirkan tangan Nancy dari dalam celananya. Nancy langsung terdorong ke belakang, terkejut melihat mata Topan sengit menatap padanya, mukanya merah padam, dan napasnya tertahan. Jeremy langsung bangun dan menarik Nancy menjauh dari Topan, keluar dari area sofa tempat mereka duduk. "Aku sudah bilang tinggalkan kami! Majikanku sedang ingin sendiri! Pergi!" "Kau sangat kasar padaku, Jeremy!" geram Nancy dengan mata nyalang. "Jangan ganggu kami, atau Tuan Topan bisa membuatmu ditendang dari bar ini!" balas Jeremy tak kalah sengit. Nancy pergi membawa dongkol dan muka masam, merasa dihina oleh Jeremy sebagai perempuan. Meski dia seorang pelacur, tetapi Nancy tidak terima diperlakukan kasar oleh laki-laki manapun. Bagi Nancy, itu menginjak harga dirinya. Saat Jeremy berbalik untuk kembali ke sofa, Topan sedang meneguk Vodkanya hingga tandas. "Tambahkan lagi!" teriak Topan dari sofanya sambil mengangkat gelas,
Emma menggeliat antara sadar dan tidak sadar. Dia merasa tubuhnya seperti terhalang sesuatu, gerak tangannya tidak leluasa, dan ada benda berat di atas perut dan kakinya., Saat sedang membalik badan, Emma terkejut karena kepalanya terantuk benda keras. Dia berulang kali mengedipkan mata lalu mendelik melihat laki-laki memeluknya sangat erat. "Astaga! Siapa dia?" Emma sontak bangun dengan susah payah, matanya semakin mendelik seperti akan keluar saat melihat pria di sampingnya.Udara dingin, tidak berselimut, pria itu malah telanjang bulat tanpa merasa tulangnya ditusuk nyeri dingin. "Hei, lepaskan aku, kenapa kamu ada di sini? Siapa kamu?" Emma berusaha melepaskan tangan dan kaki dari belenggu pria itu, memukul-mukul bahu Topan di posisi duduk yang sulit. Topan tak bereaksi sama sekali. Suara parau Emma yang perlahan menghilang, dibalut ketakutan dan panik, tergambar jelas di dini hari. Rasa bingung Emma tak bisa dikatakan. Bersama lelaki tidak dikenal, telanjang, satu alas, memak
Dua hari lalu saat bangun dari koma, Laura menghabiskan beberapa jam untuk mengingat kisah yang menjadi sejarah dalam hidupnya. Dia ingat Topan dan suaranya yang berkata cinta serta memberinya semangat, orang tuanya dan kejadian sebelum kecelakaan. "Aku ingat tentang kecelakaan itu setelah Papa mengatakannya," sahut Laura bersuara serak dan sesegukan. Dia mengusap air mata dan mengelap ingus dalam kondisi berbaring. Binar mata Topan dan Laura sirna karena histeria Laura yang terkejut. Pertemuan mereka seharusnya disertai tangis haru bahagia. Namun, perasaan mereka bercampur sedih dan senang, bahkan tidak satu pun dari mereka ada yang bisa mengungkapkan rasa itu. Dua tahun menanti dalam rindu, ketidakpastian dan harap-harap cemas, Topan seperti kapal yang hilang arah. Dia terpuruk hingga berbulan-bulan tak punya semangat hidup. Waktu yang terasa hampa bagi Topan karena kehilangan belahan jiwa. "Bagaimana kabar kamu?" Emma bertanya lagi, kali ini dengan sorot mata yang berubah binar.
Jeremy berdecih kecewa, berkacak pinggang melihat ke pintu ruang utama dengan harap-harap cemas. Tak lama berselang, mobil mewah Topan berhenti di depan pintu utama. Jeremy menutup mata, mengutuk keadaan yang tidak mendukungnya. Lantas, segera menuju teras untuk menyambut Topan."Semua sudah siap?" Topan bertanya sambil lalu, menaiki anak tangga dengan tergesa-gesa. "Saya tidak menemukan Bibi Dagna di rumah, sejak tadi mencarinya. Pelayan juga tidak ada yang tahu ….""Apa maksud kamu Bibi Dagna tidak ditemukan?" Topan mendadak berhenti. Suaranya keras ketika mengklarifikasi kata-kata Jeremy.Asisten pribadi Topan itu menundukkan kepala sedikit. Intonasi Topan menunjukkan kemarahan dan keterkejutan karena Dagna yang dipikirnya menghilang. "Maksud saya, perintah Bapak belum saya sampaikan karena Bibi Dagna tidak ada di rumah sejak tadi. Saya sudah mencarinya kemana-mana, tapi Bibi tidak juga ditemukan," sahut Jeremy hati-hati saat menatap Topan. Topan hanya diam sambil menatap tanpa a
"Selamat datang kembali di rumah kita, Sayang," kata Topan sumringah sambil mendorong kursi roda. Para pelayan sudah berdiri menyambut Laura sesuai perintah Topan. Mereka menundukkan kepala sambil mengucapkan sambutan selamat datang dan lainnya. "Senang sekali Nyonya pulang lagi ke rumah ini. Saya sangat sedih Nyonya mengalami hal buruk itu dan selama Nyonya tidak ada di sini, rumah ini rasanya sangat sepi," tutur Dagna dengan tulus, lalu memeluk Laura. "Terima kasih, Dagna. Aku juga merindukanmu. Semua baik-baik saja selama aku tidak di rumah, kan?" Laura melepas pelukan, berbinar sekaligus tersenyum getir menatap Dagna."Semua baik-baik saja selama Bibi Dagna yang mengurus rumah ini," sela Topan tak ingin ada pertanyaan lebih banyak. "Ayo, kita masuk.""Aku senang mendengarnya," balas Laura mengangguk dan bermuka sedih, ketika Topan mendorong kursi rodanya. "Selamat datang cucuku, akhirnya kamu pulang lagi ke rumah ini," sambut Alex merentangkan tangan. Di ruang tamu, dia menungg
Emma tertegun melihat pasangan itu. Emosi yang terlihat, mereka seperti sudah mengenal satu sama lain sejak lama. Laki-laki itu–dari jarak tempatnya berdiri–bisa Emma lihat adalah Topan. Bersikap manis dan perhatian, penuh kasih sayang. Sementara perempuan itu duduk di kursi roda, menikmati sandaran dan belaian Topan. Namun, Emma tidak bisa melihat bagaimana ekspresi wajah perempuan tak dikenal itu. Emma teringat igauan Topan malam itu yang berulang kali menyebut nama Laura. Apakah perempuan itu yang bernama Laura? Hubungan apa dia dan Topan? Emma hendak melanjutkan perjalanannya berkeliling, tetapi kakinya tertahan ketika adegan tak terduga terlihat oleh matanya. Perempuan tak dikenal itu mencium bibir Topan. Kini mereka bahkan berciuman. Dugaan Emma yang sempat berpikir perempuan itu saudara kandung Topan ternyata salah. Dari cara mereka berciuman mengatakan mereka adalah pasangan kekasih."Siapa perempuan itu? Apa hubungan asmaranya dengan Topan? Siapa pula Laura yang Topan se
Emma menghabiskan waktu dengan melakukan banyak hal selama Topan tidak di rumah. Dia sering pergi ke taman untuk berjalan-jalan, membaca buku di teras, atau menghabiskan waktu bersama Alex dan Dagna.Dalam kesempatan yang jarang, Emma juga menggunakan waktu tersebut untuk merawat dirinya sendiri. Dia menghabiskan waktu di spa, melakukan perawatan wajah, dan berolahraga untuk menjaga kesehatan dan kebugarannya melalui video di internet. Topan melarangnya memanggil instruktur pribadi ke rumah, karena kebanyakan instruktur senam di Berlin adalah laki-laki. Itu hanya alasan Topan. Selain itu, Emma juga mengambil kesempatan untuk mencari tahu segala sesuatu tentang Topan dan keluarganya di rumah itu. Kamar besar itu tidak pernah terbuka lagi sejak dia melihatnya siang itu. Setiap hari dia bertandang ke mansion dari pagi hingga malam. Berulang kali Emma mencuri kesempatan untuk menyelinap masuk ke kamar, tetapi gagal. Dia juga mengakrabkan diri dengan para pelayan di rumah utama untuk m
"Aku akan ke kamar," kata Laura menekan tombol kursi roda. Dia memilih mengakhiri pertengkaran tanpa ada penyesaian. Hatinya sangat sakit, dicintai saat sehat dan cantik, dibuang saat sakit dan lumpuh. Topan menggeram sambil menendang sofa hingga barang mahal itu bergeser beberapa meter ke depan. Rasanya kepala Topan mau pecah, cenat-cenut karena banyaknya beban psikis yang menjadi tanggungan. Topan duduk kembali di ruang tamu. Kepala Topan baru saja menyandar ketika teleponnya berdering."Ya, Kakek." Topan mendengar perkataan Alex dengan seksama selama pria tua itu bicara dan tanpa menyela."Saran Dagna ada benarnya. Bagaimana menurutmu?" "Akan kupikirkan. Kakek tenang saja. Jangan banyak pikiran. Sampai jumpa." Topan memutus panggilan telepon. Tak lama berselang, Jeremy masuk dan menatap pintu kamar tidur yang tertutup. Dia menemukan Topan bermata merah ketika berpaling pada Topan, karena mendengar suara isak pelan dari Topan. Topan melihat pandangan mata Jeremy yang terlihat r
Mereka turun di restoran mahal. Topan memesan menu-menu barat yang belum pernah Emma rasakan. Sambil menunggu pelayan mengantarkan makanan, Topan lanjut berbincang. Memperkenalkan banyak hal pada Emma tentang kehidupan orang-orang kaya, kebiasaan mereka dan lainnya."Aku sering melihatnya di tv. Kalian suka membuang-buang uang untuk barang-barang tidak penting. Sandal untuk ke WC saja harganya tiga juta Rupiah." Topan tidak terima dikatakan buang-buang uang hanya untuk sandal WC. Itu bukan buang-buang uang melainkan kualitas hidup dan prestige. "Emma, karena kamu bicara denganku maka aku masih mengerti. Tapi kalau kamu bicara dengan orang lain seperti tadi kamu akan ditertawakan. Tidak tahu apa-apa tentagn kehidupan orang kaya, kenapa membeli produk mahal hanya untuk dipakai di kamar mandi, kenapa beli tas mahal sampai satu milyar untuk satu tas."Topan mendekatkan dirinya lagi pada Emma. Dia ingin Emma memahami tentang gaya hidup dan cara pandang orang kaya dalam memaknai sesuatu b
"Kamu pernah ke sini?" Topan bertanya ketika mobil menginjak rem di Kota Tua. "Belum pernah, hanya sering mendengarnya. Katanya Kota Tua tempat wisata yang banyak nilai sejarah," kata Emma, terpana memandang pemandangan Kota Tua yang menakjubkan. Dengan menggendong Kia, Topan menggandeng tangan Emma masuk ke Kota Tua. Dia terlhat sangat keren dan menjadi pusat perhatian pengunjung di sana. Topan menggunakan kaca mata gelap, memakai pakaian kasual yang sederhana tetapi terlihat mahal.Emma awalnya tidak peduli dengan perhatian para perempuan di sana. Namun, dia menjadi risih pada akhirnya karena mereka turut meliriknya.Aroma parfum Topan juga sangat menggoda. Dia sangat wangi dan membuat perempuan semakin tidak bisa berpaling darinya. Emma tahu risiko menjadi istri orang ganteng dan kaya. Namun, apa mereka tidak bisa menjaga matanya sebentar saja?Entah apa yang membuat Emma mengeratkan jarinya di genggaman Topan, tetapi hatinya tidak suka melihat yang matanya lihat.Topan membawa
"Kamu tahu apa yang paling diinginkan seseorang yang mencinta?" Emma menoleh ketika pertanyaan Topan terdengar menggelikan di telinganya. Entah kenapa Topan terdengar seperti seorang pujangga kali ini."Aku tidak tahu. Aku tidak mengharapkan mencintai lagi karena itu menyakitkan," sahut Emma membuat Topan tertegun. "Aku hanya ingin bebas dan tenang, bahagia bersama Kia dan mewujudkan cita-citaku." Topan mendadak merasa kecil hati karena tidak dilibatkan dalam hidup Emma. Dia lalu bertanya, "Apa kamu tidak ingin bahagia bersamaku?" Emma menoleh padanya. Hati Emma berdesir dan dia merasa melambung ke awan. Emma merasa gugup dan kikuk, salah tingkah karena emosinya seketika berubah. "Apa aku salah kalau berkata 'mungkin' karena tidak mau terburu-buru?" "Kalau aku tidak mau menerima kata mungkin, bagaimana?" Topan malah membuat Emma terjun ke dasar jurang, tidak memiliki jalan keluar untuk naik lagi ke tebing. Kenapa dia suka sekali membingungkan Emma? Apa itu hobinya, membuat orang
Laura mengulur waktu untuk menjawab pertanyaan Topan agar mantan suaminya itu terpancing amarah dan keceplosan mengatakan kebenaran tentang Erica."Saat dia disekap, aku juga ada di sana 'kan? Apa kamu lupa itu,Topan? Jadi sudah pasti aku tahu apa yang terjadi padanya.""Apa yang terjadi padanya?" serang Topan mulai mengikuti alur permainan Laura."Kamu suruh dia keluar menemui seseorang."Topan sempat menegang saat Laura mengatakan tentang perjanjiannya dengan Erica pada hari itu. Ekspresi itu sempat tertangkap oleh Laura meski sekilas. Perempuan itu tersenyum miring dan sinis melihat Topan masuk dalam permainannya. "Kamu dengar sendiri apa yang kukatakan padanya, lalu dia tewas bunuh diri meninggalkan surat permintaan maaf. Siapa yang menduga dia akan berakhir seperti itu? Mengenaskan. Aku tidak menyangka nekat yang dia miliki bisa sejauh itu."Laura memerhatikan Topan dengan ekspresi tajam. Mimik muka Topan ketika berbicara tampak sangat serius dan meyakinkan. Gerakan tubuhnya da
Topan terdiam kaku di depan ranjang Alex dengan perasaan sakit entah bagaimana mengatakannya. Dia menangis diam, tetapi tangannya menggenggam erat dan geram ketika memegang ujung besi ranjang tersebut. Setelah dokter mengatakan yang terjadi dan penyebab terjadinya penyakit tersebut, Topan sontak dihantui rasa takut. Dia bahkan melupakan Emma dan Kia yang menunggunya di luar. Dia ditemani Dagna menemui Alex. Topan tidak mempunyai kata-kata untuk dikatakan. Namun, di kepalanya bergelayut banyak hal yang membuat sesak dan penat. Satu-satunya orang yang dia miliki, temannya bermain, dan tempatnya berkeluh kesah, Alex akan menjadi mimpi buruk bagi Topan jika pria tua itu pergi. "Kita hanya bisa berdoa buat kakekmu," ujar Dagna mengusap punggung Topan untuk menenangkannya. "Maafkan Bibi karena lalai menjaga kakekmu."Dagna mengatakannya dengan suara dan bibir bergetar. Matanya belum berhenti meneteskan air matas sejak Topan mengajaknya masuk ke kamar Alex. "Kakek tidak boleh mati. Tid
"Tidak perlu, aku tahu kamu mengambil kesempatan." Emma memalingkan muka. Entah apa yang membuatnya kikuk dan pipinya merona.Emma juga tidak bisa menjabarkan bagaimana jantungnya berdetak tidak karuan dan sekujut tubuhnya mulai terasa gemetar."Kenapa kamu bilang begitu? Aku punya hak untuk melakukan itu. Kita suami istri. Jadi, apanya yang salah?"Emma tidak menggubris komentar Topan, melainkan beranjak menuju ke kasur, mengambil posisi di sebelah Kia. Topan juga melakukan hal serupa. Sebelumnya, dia mengirim pesan pada Jeremy untuk mengabarinya bila pesawat sudah tiba di bandara.Topan membelai pipi Kia. Dia merasa penat dan beban di bahu luruh ketika jarinya yang kasar dan besar menyentuh kulit Kia yang halus. Lelahnya pun menjadi hilang melihat Kia tidur lelap dengan polosnya."Ceritakan padaku, bagaimana masa kecilmu? Aku ingat kita tidak pernah membahas topik ini sebelumnya," kata Topan memandang Emma."Aku suka bermain layangan. Dulu aku sering bermain di lapangan dekat rumah
"Wahhh … ini indah sekali." Emma terkagum-kagum melihat keindahan Kahlenberg. Salah satu wisata paling populer di Wina. Pengunjung bisa menikmati keindahan kota dan alam Wina dari atas bukit. Topan membawa Emma ke bukit tersebut, sekaligus untuk bersenang-senang di alam terbuka yang lebih bebas. "Kamu suka?" Topan bertanya dengan senyum semringah. Usahanya membawa Emma dan Kia jalan-jalan dan berlibur membuatnya senang. "Tentu saja aku suka. Semuanya sangat indah. Ah, aku tidak bisa mengatakannya seperti apa. Tapi ini benar-benar luar biasa," ujar Emma terkesima memandangi kota dari atas bukit. Topan mengusap kepala Emma ketika angin menerbangkan rambut Emma yang panjang. Dia memindahkan segumpal rambut yang jatuh di wajah Emma dengan tatap terpana. Emma terlihat sangat cantik dan menawan. Entah kenapa. Namun, Topan sulit memindahkan tatap matanya dari Emma. Perempuan itu sedang sangat gembira menikmati pemandangan ditembus angin Kohlenberg. Topan memberi Emma waktu untuk menik
"Dari mana kalian? Aku mencari-cari sejak tadi. Kamu bahkan tidak membawa ponsel," kata Topan ketika melihat Emma dan Kia dari lorong kamar lantai satu. "Aku baru saja bertemu Nyonya Laura." "Apa? Laura? Sedang apa dia di sini?" Kening Topan samar-samar mengerut. "Katanya ada pertemuan bisnis denganmu." Emma berkata tanpa menghentikan langkah. "Ada-ada saja, tidak ada pertemuan di hotel ini. Jeremy harus ikut denganku jika menyangkut bisnis." Topan terkekeh. "Dia menginap di hotel sini juga?" "Dia mengatakan itu padaku. Aku tidak peduli karena aku tidak mengerti bisnis." "Dan kamu percaya?" Topan mengikuti Emma berjalan menuju lift. "Aku tidak peduli kalaupun itu benar. Setahuku bisnis bisa dilakukan di mana saja." Topan menaruh curiga pada kedatangan Laura di hotel itu. Dia mengambil ponsel dan menghubungi Jeremy untuk mencari informasi tentang Laura. "Tunggu!" Topan menahan pintu lift, ketika Emma akan masuk. "Mau ke mana?" "Kembali ke kamar," sahut Emma bermuka datar. Ent
Entah kenapa Topan menanyakan hal itu di situasi bahagia seperti ini. Dia seperti tidak memiliki waktu lain dan kesempatan untuk mengetahui jawaban Emma yang terakhir. Topan ingin mencuci otak Emma untuk tetap bersamanya dan Kia."Tidak, tidak, anggap saja aku tidak pernah bertanya. Lupakan."Emma mengerutkan kening ketika tipan mengatakan hal itu. Dia tidak mengerti apa yang Topan katakan, sebab saat itu terjadi Emma sedang menyesuaikan posisi berdiri Kia. Dia tidak mendengar apa yang Topan katakan. Topan jadi salah tingkah sekarang. Dia menyandarkan kepala sambil menarik napas agar bisa lega. "Kamu bicara sesuatu?" tanya Emma heran melihat Topan seperti maling tertangkap basah. Topan langsung menoleh dan terdiam memandangi Emma. "Tadi kamu ada mengatakan sesuatu atau tidak?" ulang emma melihat Topan tidak juga menjawab pertanyaannya. Bingung Emma semakin bertambah ketika menemukan ekspresi bingung juga muncul di wajah suaminya."E-tidak-tidak, aku hanya bilang jangan terlalu lam