"HENTIKAN, NANCY! AKU SEDANG TIDAK INGIN!" pekik Topan sambil menyingkirkan tangan Nancy dari dalam celananya.
Nancy langsung terdorong ke belakang, terkejut melihat mata Topan sengit menatap padanya, mukanya merah padam, dan napasnya tertahan.Jeremy langsung bangun dan menarik Nancy menjauh dari Topan, keluar dari area sofa tempat mereka duduk."Aku sudah bilang tinggalkan kami! Majikanku sedang ingin sendiri! Pergi!""Kau sangat kasar padaku, Jeremy!" geram Nancy dengan mata nyalang."Jangan ganggu kami, atau Tuan Topan bisa membuatmu ditendang dari bar ini!" balas Jeremy tak kalah sengit.Nancy pergi membawa dongkol dan muka masam, merasa dihina oleh Jeremy sebagai perempuan. Meski dia seorang pelacur, tetapi Nancy tidak terima diperlakukan kasar oleh laki-laki manapun. Bagi Nancy, itu menginjak harga dirinya.Saat Jeremy berbalik untuk kembali ke sofa, Topan sedang meneguk Vodkanya hingga tandas."Tambahkan lagi!" teriak Topan dari sofanya sambil mengangkat gelas, lalu menaruhnya dengan cukup keras.Jeremy buru-buru ke sofa agar Topan tidak berulah. Topan punya kebiasaan tidak mabuk, tetapi meninggalkan masalah dalam keadaan sadar ketika kepalanya buntu."Bawakan wine satu botol," kata Topan lagi, ketika pelayan datang."Pak, lebih baik kita pulang. Bapak bisa minum sepuasnya di rumah."Topan mendenguskan napasnya keras-keras. "Apa kamu lupa kakek saya tidak mengizinkan mabuk di rumah?"Pelayan kembali dengan satu botol wine mahal, menaruhnya di meja lalu pergi sesuai arahan Jeremy.Topan gegas membuka tutup botol dan menuangnya ke dalam gelas. "Kakek akan marah besar melihat saya mabuk di rumah.""Pak Alex tidak suka melihat Bapak mabuk," bantah Jeremy. Namun, tidak diacuhkan Topan.Lelaki itu sibuk dengan wine putih, minuman kesukaannya yang terasa nikmat di lidahnya."Pak, Bapak menikahi Nona Emma untuk mendapatkan bayi pewaris. Kalau Bapak di sini mencari hiburan, Bapak merusak rencana bapak sendiri," bisik Jeremy hati-hati.Topan bisa menghajarnya jika Jeremy salah memilih kosakata dalam penggunaan diksi untuk menasehatinya.Topan tidak peduli dengan Emma, sebab Laura lebih penting baginya. Kekasih yang dicintainya harus berpisah karena koma dan jarak.Dia lebih banyak menghabiskan waktu di Indonesia hingga berbulan-bulan, karena bisnis perusahaan dan datang ke Berlin hanya satu hingga dua bulan di sana. Dua tahun menunggu, Topan mendapat berita mengejutkan.Hidup Topan tidak akan berbeda seperti ketika Laura semasa koma. Kini dia harus menghadapi emosi Laura dan reaksinya yang pasti menolak kenyataan.Saat kenangan Laura menghiasi kepala Topan, ponselnya berdering. Panggilan telepon dari Alex membuat napas Topan tertahan setelah melihatnya.Dada Topan kembali sesak, suaranya tercekat, terasa sulit bisa bernapas. Alex–orang terdekat tempat Topan berbagi kisah, seperti sedang menodongnya dengan celurit untuk merampok.Dering telepon terus berbunyi. Topan memejam mata sebelum menjawab telepon."Kakek, Laura … lumpuh permanen.""Jangan bercanda kamu, Topan! Bagaimana mungkin dia bisa lumpuh seumur hidup? Kita mengobatinya di rumah sakit mahal dengan pengobatan canggih. Mustahil dia lumpuh!""Tidak, Kek. Dokter Baren mengatakannya tadi. Tolong, Kek. Carikan dokter dan rumah sakit bagus lainnya. Aku ingin Laura sembuh. Aku tidak mau melihat dia sedih karena cacat.""Kakek akan mencarinya. Sekarang pulanglah, istrimu Emma sendirian di kamar. Apa kamu lupa untuk apa kamu menikahinya?"Panggilan telepon langsung terputus sebelum Topan menjawab perintah Alex. Terlebih ketika mendengar nama Emma disebutkan, membuat Topan mendengus semakin keras."ARGGHHH!"Jeremy bukan tidak mencegah atau menghalangi Topan dari mabuk. Peringatannya berulang kali diabaikan Topan, bahkan tangan Jeremy ditepis Topan ketika mengambil gelas atau menjauhkan botol wine."LETAKKAN BOTOL ITU, JEREMY!""Pak, pikirkan Nyonya Laura. Dia pasti akan sedih kalau tahu Bapak selemah ini.""SUDAHLAH, JEREMY. TINGGALKAN SAYA SENDIRI. MALAM INI SAYA INGIN TENANG!"Namun, Jeremy tidak bergerak dari sofa. Dia punya tugas ganda dari Alex untuk menjaga Topan selain menjadi asisten pribadi Topan. Dia tetap memangku botol, menatap Topan dengan tatapan rumit, sementara bar semakin ramai dari pengunjung kelas atas.Kondisi Topan sudah kacau dari gerakan tubuh yang tidak bisa lagi diseimbangkan. Dia bersandar dengan kepala menatap plafon bar dan bicara tidak jelas, membuat kening Jeremy mengerut menatapnya prihatin."Laura itu hidupku, pelangiku, dia membuat hidupku berwarna dan membuatku bahagia, melakukan apa saja untukku seperti Kakek." Topan meracau, sesekali diselingi cegukan.Jeremy menarik napas dalam-dalam mendengar igauan Topan. Tulus, jujur dari hati terdalam, luka terpendam yang tak pernah Jeremy dengar sebelumnya."Sekarang dia sudah tidak koma lagi, tapi kenapa dia menjadi lumpuh?" katanya lagi dengan mata sayu. "Kenapa harus dia, Jeremy? Dia sudah tidur dua tahun, apa tidak bisa dia bersenang-senang lagi menikmati hidupnya seperti dulu?"Tiba-tiba suara Topan melemah, terasa bergetar lalu dia terisak. Sudut matanya mengalir air hingga pipinya basah. Topan benar menangis kali ini di luar kesadarannya. Suara tangisnya keluar, didengar Jeremy yang terdiam memperhatikan Topan.Jeremy menaruh botol wine ke meja sebelum memapah Topan untuk duduk tegak. "Bapak sudah mabuk berat, sebaiknya kita pulang, Pak. Pak Alex—""Heh … mana pernah saya mabuk? Apalagi mabuk berat," sanggah Topan. "Saya sedang ngantuk, Jeremy.""Besok banyak masalah yang harus dihadapi. Nyonya Laura dan Nyonya Emma.""ARGGHHH!"BRUKJeremy memejam mata dengan napas tertahan, karena Topan meninggalkan masalah baru–memukul meja hingga retak, membuat tangannya terluka dan berdarah.Jeremy menegakkan punggung Topan dengan susah payah. Lengan kiri Topan dilingkarkan ke lehernyaTubuh Topan yang sempoyongan menjadi lebih berat, memaksa Jeremy mengeluarkan energi lebih besar ketika menariknya untuk berdiri.***Karena air minum di gelas sudah habis, Emma keluar kamar untuk mengambil air minum. Dia menemukan bagian-bagian rumah besar itu terlihat sepi di bawah terang lampu.Setelah pernikahan selesai, Emma langsung dibawa ke kamar untuk membersihkan diri dan istirahat. Di kamar tamu yang besar, Emma tidak beristirahat. Hiasan sederhana, indah, dan mewah kamar pengantin membuat Emma sesak napas.Emma diserang gugup luar biasa, seolah-olah malam itu juga dia memulai semuanya seperti tak ada hari esok. Selama di kamar, Emma tidak menemukan Topan setelah terakhir kali melihatnya sebelum masuk ke kamar pengantin."Nyonya."Emma tersentak ketika mendengar suara panggilan. Dia melihat pelayan tua–Dagna–yang mengurusnya sejak tadi, ketika menoleh padanya."Bibi Dagna … saya …""Nyonya ingin minum air? Biar saya ambilkan," ujar Dagna berbahasa Indonesia yang cukup luwes.Pelayan tua itu mengambil gelas dari tangan Emma yang mengenakan piyama. Tubuhnya sedikit tambun karena tinggi badan rata-rata perempuan Eropa.Emma berdiri kikuk, serba salah, sebab Emma terbiasa melakukan sendiri dan mengurus orang lain.Malam pertamanya menjadi Nyonya Marselait, membuat dirinya tampak seperti seorang bodoh. Bahkan dia merasa lebih buruk dari pelayan yang bekerja di mansion tersebut."Ini air minumnya, Nyonya." Dagna menyerahkan gelas tersebut, lantas berbalik. "Saya akan siapkan satu ceret air untuk persediaan di kamar."Dagna membuat Emma semakin merasa sungkan. Karena Emma tidak pernah dilayani sebelumnya, membuat Emma merasa seperti tamu tidak tahu diri."Bibi Dagna, ambilkan segelas air untuk Tuan Topan!" ujar Jeremy tiba-tiba muncul di dapur dengan tergopoh-gopoh.Dagna baru saja selesai menutup ceret saat Jeremy bicara. Ketika dia menoleh, gerak-gerik Jeremy tampak gelisah. Dagna berdiri tertegun melihat Jeremy langsung mengambil baskom dan air."Apa yang terjadi?" Raut muka Dagna tampak bingung saat bertanya."Tuan Muda mabuk dan dia terluka. Cepat bantu aku mengatasinya sebelum Tuan Alex mengetahuinya!"Jeremy setengah memekik, lantas berlalu cepat.Dagna lekas menyerahkan teko kepada Emma. "Ini, bawalah dan segera kembali ke kamar, Nyonya."Dagna lantas berbalik mengambil gelas dan lainnya yang dibutuhkan. Dia bergerak cepat, kemudian meninggalkan Emma sendiri di dapur.Emma yang sedari tadi berdiri dan bingung melihat Jeremy dan Dagna panik, mengikuti Dagna dari jarak beberapa meter. Lidah Emma entah kenapa mendadak kelu untuk bertanya 'siapa Tuan Muda' yang tadi dia dengar dari Jeremy.Rasa penasaran Emma terjawab ketika melihat Dagna masuk ke kamar pengantinnya. Mereka menutup pintu rapat-rapat. Emma terdiam di balik pintu dengan satu ceret air, melihat Topan Di kasur bicara tak karuan.Jeremy memandangi Topan dengan kerumitan di kepala. Dia cemas mulut Topan yang lepas akan merusak rencananya sendiri karena menyebut nama Laura.Emma beralih ke Dagna. Pelayan tua itu mengusap wajah dan kepala Topan menggunakan kain basah. Penuh kasih sayang seorang ibu dan juga kelembutan."Nyonya Emma," panggil Jeremy tiba-tiba saat teringat, Emma.Jeremy menoleh ke pintu, datang padanya dengan setengah yakin. Dia harus mengendalikan beberapa hal di waktu yang sama. Dan semua bersifat rahasia.Jeremy tak bisa meminta Emma tidur di kamar lain, sebab Alex mungkin saja akan mengetahuinya. Namun, membiarkan Emma dan Topan dalam satu kamar akan lebih berisiko jika Topan mengoceh tentang pernikahan barunya dan Laura."Ada apa? Kenapa dia mabuk?" Emma berjalan mendekat ke kasur, menaruh ceret. Matanya tertegun melihat tangan Topan yang diperban. "Kenapa tangannya terluka?""Tidak apa-apa, hanya tersenggol. Sudah saya obati," jawab Jeremy tergagap. "Uhm, Nyonya ...Dagna langsung menoleh pada Jeremy dengan muka dingin dan lirikan tajam."Nyonya akan tidur di sini. Mengurus suaminya."Komentar Dagna menekan napas Emma, mendorong kelopak matanya tertutup agar dadanya terasa sedikit longgar.Usai menaruh kain ke dalam baskom, Dagna mengeringkan tangan, dan membereskan perlengkapan."Nyonya, waktunya istirahat. Tuan tidak pernah mabuk sebelumnya, karena Tuan Alex sangat menjaganya. Mungkin dia akan bangun dan sakit kepala juga muntah-muntah. Tolong berikan obat ini padanya dan urut bagian leher belakang kalau Tuan muntah-muntah," jelas Dagna tegas dan berwibawa. "Tolong, rahasiakan ini dari Tuan Alex. Dia pasti akan marah besar jika tahu Tuan Topan mabuk.""Baik, Bibi Dagna." Emma tidak bertanya lagi, meski rasa ingin tahunya hampir mencekik leher karena suaranya tercekat.Setelah Dagna dan Jeremy keluar dari kamar, Emma mengambil bantal dan selimut dari kasur. Dia memilih tidur di lantai, sebab di kamar itu tidak ada sofa besar untuk tidur.Selimut tebal sudah dibentang, Emma sudah berbaring di lantai kamar berselimut udara dingin. Kedua tangannya terlipat dan saling mengusap karena menggigil.Emma lekas bangun untuk mengambil sweater tebal agar lebih hangat di penghujung musim gugur. Suhu di musim gugur yang hampir berakhir, mulai turun perlahan jelang masuknya musim dingin.Tak lama Emma terlelap, Topan menggeliat di balik selimut tebal yang Dagna selimutkan. Dia meringis karena kepalanya sakit, berdenyut dan pusing.Saat merasakan perutnya mual, Topan bangun dan turun dari tempat tidur ke kamar mandi. Di sana dia muntah-muntah hingga merasa perutnya membaik.Topan tertegun sejenak mengingat kembali insiden sebelumnya hingga dia harus muntah-muntah dan berada di kamar tamu. Topan juga melepas pakaian karena gerah dan memutuskan mandi.Namun, setelah keluar dari kamar mandi, kaki Topan mendadak berhenti saat menuju lamari pakaian. Sesuatu di lantai mengejutkan Topan dan membuatnya terdiam menelaah.Jantung Topan seperti diserang anak panah melihat dengan seksama, setumpuk kain di lantai menjadi alas seseorang untuk tidur. Lampu kamar sedang remang, menyuruh Topan agar memperhatikan dari jarak dekat.Karena Dagna mematikan lampu sesaat sebelum keluar."Laura?"Topan berjongkok di samping perempuan itu. Rambutnya menutup sebagian kecil wajah dengan helaian."Laura? Kamu sudah kembali? Kapan kamu pulang, Sayang? Kenapa kamu tidak bilang? Aku bisa menjemput kamu di rumah sakit. Kenapa kamu tidur di sini?"Tangan Topan menggeser helaian rambut, lalu mengusap pelan kepala dan seluruh wajah Emma. Debar bahagia dan jantungnya yang tidak menentu mengubah Topan menjadi orang lupa ingatan."Kamu sudah sembuh, Sayang. Kamu tidak cacat, itu bohong. Dokter Baren hanya bercanda denganku." Topan berbisik.Dia tersenyum dan tertawa kecil, menatap Emma seperti bidadari atau bunga tidur yang membuatnya gemas. Topan membaringkan tubuhnya di samping Emma, mengambil tangan Emma kemudian diletakkan di pinggangnya.Namun, Topan melupakan satu hal. Alat kelaminnya mulai bangun dan menegang dalam keadaannya yang sedang telanjang bulat saat keluar dari kamar mandi.Emma menggeliat antara sadar dan tidak sadar. Dia merasa tubuhnya seperti terhalang sesuatu, gerak tangannya tidak leluasa, dan ada benda berat di atas perut dan kakinya., Saat sedang membalik badan, Emma terkejut karena kepalanya terantuk benda keras. Dia berulang kali mengedipkan mata lalu mendelik melihat laki-laki memeluknya sangat erat. "Astaga! Siapa dia?" Emma sontak bangun dengan susah payah, matanya semakin mendelik seperti akan keluar saat melihat pria di sampingnya.Udara dingin, tidak berselimut, pria itu malah telanjang bulat tanpa merasa tulangnya ditusuk nyeri dingin. "Hei, lepaskan aku, kenapa kamu ada di sini? Siapa kamu?" Emma berusaha melepaskan tangan dan kaki dari belenggu pria itu, memukul-mukul bahu Topan di posisi duduk yang sulit. Topan tak bereaksi sama sekali. Suara parau Emma yang perlahan menghilang, dibalut ketakutan dan panik, tergambar jelas di dini hari. Rasa bingung Emma tak bisa dikatakan. Bersama lelaki tidak dikenal, telanjang, satu alas, memak
Dua hari lalu saat bangun dari koma, Laura menghabiskan beberapa jam untuk mengingat kisah yang menjadi sejarah dalam hidupnya. Dia ingat Topan dan suaranya yang berkata cinta serta memberinya semangat, orang tuanya dan kejadian sebelum kecelakaan. "Aku ingat tentang kecelakaan itu setelah Papa mengatakannya," sahut Laura bersuara serak dan sesegukan. Dia mengusap air mata dan mengelap ingus dalam kondisi berbaring. Binar mata Topan dan Laura sirna karena histeria Laura yang terkejut. Pertemuan mereka seharusnya disertai tangis haru bahagia. Namun, perasaan mereka bercampur sedih dan senang, bahkan tidak satu pun dari mereka ada yang bisa mengungkapkan rasa itu. Dua tahun menanti dalam rindu, ketidakpastian dan harap-harap cemas, Topan seperti kapal yang hilang arah. Dia terpuruk hingga berbulan-bulan tak punya semangat hidup. Waktu yang terasa hampa bagi Topan karena kehilangan belahan jiwa. "Bagaimana kabar kamu?" Emma bertanya lagi, kali ini dengan sorot mata yang berubah binar.
Jeremy berdecih kecewa, berkacak pinggang melihat ke pintu ruang utama dengan harap-harap cemas. Tak lama berselang, mobil mewah Topan berhenti di depan pintu utama. Jeremy menutup mata, mengutuk keadaan yang tidak mendukungnya. Lantas, segera menuju teras untuk menyambut Topan."Semua sudah siap?" Topan bertanya sambil lalu, menaiki anak tangga dengan tergesa-gesa. "Saya tidak menemukan Bibi Dagna di rumah, sejak tadi mencarinya. Pelayan juga tidak ada yang tahu ….""Apa maksud kamu Bibi Dagna tidak ditemukan?" Topan mendadak berhenti. Suaranya keras ketika mengklarifikasi kata-kata Jeremy.Asisten pribadi Topan itu menundukkan kepala sedikit. Intonasi Topan menunjukkan kemarahan dan keterkejutan karena Dagna yang dipikirnya menghilang. "Maksud saya, perintah Bapak belum saya sampaikan karena Bibi Dagna tidak ada di rumah sejak tadi. Saya sudah mencarinya kemana-mana, tapi Bibi tidak juga ditemukan," sahut Jeremy hati-hati saat menatap Topan. Topan hanya diam sambil menatap tanpa a
"Selamat datang kembali di rumah kita, Sayang," kata Topan sumringah sambil mendorong kursi roda. Para pelayan sudah berdiri menyambut Laura sesuai perintah Topan. Mereka menundukkan kepala sambil mengucapkan sambutan selamat datang dan lainnya. "Senang sekali Nyonya pulang lagi ke rumah ini. Saya sangat sedih Nyonya mengalami hal buruk itu dan selama Nyonya tidak ada di sini, rumah ini rasanya sangat sepi," tutur Dagna dengan tulus, lalu memeluk Laura. "Terima kasih, Dagna. Aku juga merindukanmu. Semua baik-baik saja selama aku tidak di rumah, kan?" Laura melepas pelukan, berbinar sekaligus tersenyum getir menatap Dagna."Semua baik-baik saja selama Bibi Dagna yang mengurus rumah ini," sela Topan tak ingin ada pertanyaan lebih banyak. "Ayo, kita masuk.""Aku senang mendengarnya," balas Laura mengangguk dan bermuka sedih, ketika Topan mendorong kursi rodanya. "Selamat datang cucuku, akhirnya kamu pulang lagi ke rumah ini," sambut Alex merentangkan tangan. Di ruang tamu, dia menungg
Emma tertegun melihat pasangan itu. Emosi yang terlihat, mereka seperti sudah mengenal satu sama lain sejak lama. Laki-laki itu–dari jarak tempatnya berdiri–bisa Emma lihat adalah Topan. Bersikap manis dan perhatian, penuh kasih sayang. Sementara perempuan itu duduk di kursi roda, menikmati sandaran dan belaian Topan. Namun, Emma tidak bisa melihat bagaimana ekspresi wajah perempuan tak dikenal itu. Emma teringat igauan Topan malam itu yang berulang kali menyebut nama Laura. Apakah perempuan itu yang bernama Laura? Hubungan apa dia dan Topan? Emma hendak melanjutkan perjalanannya berkeliling, tetapi kakinya tertahan ketika adegan tak terduga terlihat oleh matanya. Perempuan tak dikenal itu mencium bibir Topan. Kini mereka bahkan berciuman. Dugaan Emma yang sempat berpikir perempuan itu saudara kandung Topan ternyata salah. Dari cara mereka berciuman mengatakan mereka adalah pasangan kekasih."Siapa perempuan itu? Apa hubungan asmaranya dengan Topan? Siapa pula Laura yang Topan se
Emma menghabiskan waktu dengan melakukan banyak hal selama Topan tidak di rumah. Dia sering pergi ke taman untuk berjalan-jalan, membaca buku di teras, atau menghabiskan waktu bersama Alex dan Dagna.Dalam kesempatan yang jarang, Emma juga menggunakan waktu tersebut untuk merawat dirinya sendiri. Dia menghabiskan waktu di spa, melakukan perawatan wajah, dan berolahraga untuk menjaga kesehatan dan kebugarannya melalui video di internet. Topan melarangnya memanggil instruktur pribadi ke rumah, karena kebanyakan instruktur senam di Berlin adalah laki-laki. Itu hanya alasan Topan. Selain itu, Emma juga mengambil kesempatan untuk mencari tahu segala sesuatu tentang Topan dan keluarganya di rumah itu. Kamar besar itu tidak pernah terbuka lagi sejak dia melihatnya siang itu. Setiap hari dia bertandang ke mansion dari pagi hingga malam. Berulang kali Emma mencuri kesempatan untuk menyelinap masuk ke kamar, tetapi gagal. Dia juga mengakrabkan diri dengan para pelayan di rumah utama untuk m
"Aku akan ke kamar," kata Laura menekan tombol kursi roda. Dia memilih mengakhiri pertengkaran tanpa ada penyesaian. Hatinya sangat sakit, dicintai saat sehat dan cantik, dibuang saat sakit dan lumpuh. Topan menggeram sambil menendang sofa hingga barang mahal itu bergeser beberapa meter ke depan. Rasanya kepala Topan mau pecah, cenat-cenut karena banyaknya beban psikis yang menjadi tanggungan. Topan duduk kembali di ruang tamu. Kepala Topan baru saja menyandar ketika teleponnya berdering."Ya, Kakek." Topan mendengar perkataan Alex dengan seksama selama pria tua itu bicara dan tanpa menyela."Saran Dagna ada benarnya. Bagaimana menurutmu?" "Akan kupikirkan. Kakek tenang saja. Jangan banyak pikiran. Sampai jumpa." Topan memutus panggilan telepon. Tak lama berselang, Jeremy masuk dan menatap pintu kamar tidur yang tertutup. Dia menemukan Topan bermata merah ketika berpaling pada Topan, karena mendengar suara isak pelan dari Topan. Topan melihat pandangan mata Jeremy yang terlihat r
Sementara sopir mengeluarkan kursi roda yang terlipat dari dalam bagasi, Topan menggendong perempuan itu ke dalam rumah. Emma memperhatikan semua gerakan itu dengan seksama hingga tersentak karena terdorong ke belakang, saat tangannya ditarik oleh Dagna agar menjauh dari sana. "Cepat kembali ke rumah, sebelum dia marah besar karena melihatmu di luar!" bentak Dagna menyeret Emma dengan kasar. Emma menarik tangannya dengan cara yang juga kasar. "Benar 'kan kata saya? Dia berbohong pada saya dan kalian menyembunyikannya dari saya! Kalian semua bersekongkol!""Tidak usah banyak bicara, cepat kembali ke rumahmu. Sebelum Topan melakukan sesuatu padamu!""Dia tidak akan melukai saya, Bibi, karena saya mengand—""Karena itulah kau dilarang keluar demi kesehatanmu dan jan—""Jawab pertanyaan saya, Bibi Dagna. Siapa perempuan itu? Apa dia istri Topan? Katakan saja, ya atau bukan!"
Mereka turun di restoran mahal. Topan memesan menu-menu barat yang belum pernah Emma rasakan. Sambil menunggu pelayan mengantarkan makanan, Topan lanjut berbincang. Memperkenalkan banyak hal pada Emma tentang kehidupan orang-orang kaya, kebiasaan mereka dan lainnya."Aku sering melihatnya di tv. Kalian suka membuang-buang uang untuk barang-barang tidak penting. Sandal untuk ke WC saja harganya tiga juta Rupiah." Topan tidak terima dikatakan buang-buang uang hanya untuk sandal WC. Itu bukan buang-buang uang melainkan kualitas hidup dan prestige. "Emma, karena kamu bicara denganku maka aku masih mengerti. Tapi kalau kamu bicara dengan orang lain seperti tadi kamu akan ditertawakan. Tidak tahu apa-apa tentagn kehidupan orang kaya, kenapa membeli produk mahal hanya untuk dipakai di kamar mandi, kenapa beli tas mahal sampai satu milyar untuk satu tas."Topan mendekatkan dirinya lagi pada Emma. Dia ingin Emma memahami tentang gaya hidup dan cara pandang orang kaya dalam memaknai sesuatu b
"Kamu pernah ke sini?" Topan bertanya ketika mobil menginjak rem di Kota Tua. "Belum pernah, hanya sering mendengarnya. Katanya Kota Tua tempat wisata yang banyak nilai sejarah," kata Emma, terpana memandang pemandangan Kota Tua yang menakjubkan. Dengan menggendong Kia, Topan menggandeng tangan Emma masuk ke Kota Tua. Dia terlhat sangat keren dan menjadi pusat perhatian pengunjung di sana. Topan menggunakan kaca mata gelap, memakai pakaian kasual yang sederhana tetapi terlihat mahal.Emma awalnya tidak peduli dengan perhatian para perempuan di sana. Namun, dia menjadi risih pada akhirnya karena mereka turut meliriknya.Aroma parfum Topan juga sangat menggoda. Dia sangat wangi dan membuat perempuan semakin tidak bisa berpaling darinya. Emma tahu risiko menjadi istri orang ganteng dan kaya. Namun, apa mereka tidak bisa menjaga matanya sebentar saja?Entah apa yang membuat Emma mengeratkan jarinya di genggaman Topan, tetapi hatinya tidak suka melihat yang matanya lihat.Topan membawa
"Kamu tahu apa yang paling diinginkan seseorang yang mencinta?" Emma menoleh ketika pertanyaan Topan terdengar menggelikan di telinganya. Entah kenapa Topan terdengar seperti seorang pujangga kali ini."Aku tidak tahu. Aku tidak mengharapkan mencintai lagi karena itu menyakitkan," sahut Emma membuat Topan tertegun. "Aku hanya ingin bebas dan tenang, bahagia bersama Kia dan mewujudkan cita-citaku." Topan mendadak merasa kecil hati karena tidak dilibatkan dalam hidup Emma. Dia lalu bertanya, "Apa kamu tidak ingin bahagia bersamaku?" Emma menoleh padanya. Hati Emma berdesir dan dia merasa melambung ke awan. Emma merasa gugup dan kikuk, salah tingkah karena emosinya seketika berubah. "Apa aku salah kalau berkata 'mungkin' karena tidak mau terburu-buru?" "Kalau aku tidak mau menerima kata mungkin, bagaimana?" Topan malah membuat Emma terjun ke dasar jurang, tidak memiliki jalan keluar untuk naik lagi ke tebing. Kenapa dia suka sekali membingungkan Emma? Apa itu hobinya, membuat orang
Laura mengulur waktu untuk menjawab pertanyaan Topan agar mantan suaminya itu terpancing amarah dan keceplosan mengatakan kebenaran tentang Erica."Saat dia disekap, aku juga ada di sana 'kan? Apa kamu lupa itu,Topan? Jadi sudah pasti aku tahu apa yang terjadi padanya.""Apa yang terjadi padanya?" serang Topan mulai mengikuti alur permainan Laura."Kamu suruh dia keluar menemui seseorang."Topan sempat menegang saat Laura mengatakan tentang perjanjiannya dengan Erica pada hari itu. Ekspresi itu sempat tertangkap oleh Laura meski sekilas. Perempuan itu tersenyum miring dan sinis melihat Topan masuk dalam permainannya. "Kamu dengar sendiri apa yang kukatakan padanya, lalu dia tewas bunuh diri meninggalkan surat permintaan maaf. Siapa yang menduga dia akan berakhir seperti itu? Mengenaskan. Aku tidak menyangka nekat yang dia miliki bisa sejauh itu."Laura memerhatikan Topan dengan ekspresi tajam. Mimik muka Topan ketika berbicara tampak sangat serius dan meyakinkan. Gerakan tubuhnya da
Topan terdiam kaku di depan ranjang Alex dengan perasaan sakit entah bagaimana mengatakannya. Dia menangis diam, tetapi tangannya menggenggam erat dan geram ketika memegang ujung besi ranjang tersebut. Setelah dokter mengatakan yang terjadi dan penyebab terjadinya penyakit tersebut, Topan sontak dihantui rasa takut. Dia bahkan melupakan Emma dan Kia yang menunggunya di luar. Dia ditemani Dagna menemui Alex. Topan tidak mempunyai kata-kata untuk dikatakan. Namun, di kepalanya bergelayut banyak hal yang membuat sesak dan penat. Satu-satunya orang yang dia miliki, temannya bermain, dan tempatnya berkeluh kesah, Alex akan menjadi mimpi buruk bagi Topan jika pria tua itu pergi. "Kita hanya bisa berdoa buat kakekmu," ujar Dagna mengusap punggung Topan untuk menenangkannya. "Maafkan Bibi karena lalai menjaga kakekmu."Dagna mengatakannya dengan suara dan bibir bergetar. Matanya belum berhenti meneteskan air matas sejak Topan mengajaknya masuk ke kamar Alex. "Kakek tidak boleh mati. Tid
"Tidak perlu, aku tahu kamu mengambil kesempatan." Emma memalingkan muka. Entah apa yang membuatnya kikuk dan pipinya merona.Emma juga tidak bisa menjabarkan bagaimana jantungnya berdetak tidak karuan dan sekujut tubuhnya mulai terasa gemetar."Kenapa kamu bilang begitu? Aku punya hak untuk melakukan itu. Kita suami istri. Jadi, apanya yang salah?"Emma tidak menggubris komentar Topan, melainkan beranjak menuju ke kasur, mengambil posisi di sebelah Kia. Topan juga melakukan hal serupa. Sebelumnya, dia mengirim pesan pada Jeremy untuk mengabarinya bila pesawat sudah tiba di bandara.Topan membelai pipi Kia. Dia merasa penat dan beban di bahu luruh ketika jarinya yang kasar dan besar menyentuh kulit Kia yang halus. Lelahnya pun menjadi hilang melihat Kia tidur lelap dengan polosnya."Ceritakan padaku, bagaimana masa kecilmu? Aku ingat kita tidak pernah membahas topik ini sebelumnya," kata Topan memandang Emma."Aku suka bermain layangan. Dulu aku sering bermain di lapangan dekat rumah
"Wahhh … ini indah sekali." Emma terkagum-kagum melihat keindahan Kahlenberg. Salah satu wisata paling populer di Wina. Pengunjung bisa menikmati keindahan kota dan alam Wina dari atas bukit. Topan membawa Emma ke bukit tersebut, sekaligus untuk bersenang-senang di alam terbuka yang lebih bebas. "Kamu suka?" Topan bertanya dengan senyum semringah. Usahanya membawa Emma dan Kia jalan-jalan dan berlibur membuatnya senang. "Tentu saja aku suka. Semuanya sangat indah. Ah, aku tidak bisa mengatakannya seperti apa. Tapi ini benar-benar luar biasa," ujar Emma terkesima memandangi kota dari atas bukit. Topan mengusap kepala Emma ketika angin menerbangkan rambut Emma yang panjang. Dia memindahkan segumpal rambut yang jatuh di wajah Emma dengan tatap terpana. Emma terlihat sangat cantik dan menawan. Entah kenapa. Namun, Topan sulit memindahkan tatap matanya dari Emma. Perempuan itu sedang sangat gembira menikmati pemandangan ditembus angin Kohlenberg. Topan memberi Emma waktu untuk menik
"Dari mana kalian? Aku mencari-cari sejak tadi. Kamu bahkan tidak membawa ponsel," kata Topan ketika melihat Emma dan Kia dari lorong kamar lantai satu. "Aku baru saja bertemu Nyonya Laura." "Apa? Laura? Sedang apa dia di sini?" Kening Topan samar-samar mengerut. "Katanya ada pertemuan bisnis denganmu." Emma berkata tanpa menghentikan langkah. "Ada-ada saja, tidak ada pertemuan di hotel ini. Jeremy harus ikut denganku jika menyangkut bisnis." Topan terkekeh. "Dia menginap di hotel sini juga?" "Dia mengatakan itu padaku. Aku tidak peduli karena aku tidak mengerti bisnis." "Dan kamu percaya?" Topan mengikuti Emma berjalan menuju lift. "Aku tidak peduli kalaupun itu benar. Setahuku bisnis bisa dilakukan di mana saja." Topan menaruh curiga pada kedatangan Laura di hotel itu. Dia mengambil ponsel dan menghubungi Jeremy untuk mencari informasi tentang Laura. "Tunggu!" Topan menahan pintu lift, ketika Emma akan masuk. "Mau ke mana?" "Kembali ke kamar," sahut Emma bermuka datar. Ent
Entah kenapa Topan menanyakan hal itu di situasi bahagia seperti ini. Dia seperti tidak memiliki waktu lain dan kesempatan untuk mengetahui jawaban Emma yang terakhir. Topan ingin mencuci otak Emma untuk tetap bersamanya dan Kia."Tidak, tidak, anggap saja aku tidak pernah bertanya. Lupakan."Emma mengerutkan kening ketika tipan mengatakan hal itu. Dia tidak mengerti apa yang Topan katakan, sebab saat itu terjadi Emma sedang menyesuaikan posisi berdiri Kia. Dia tidak mendengar apa yang Topan katakan. Topan jadi salah tingkah sekarang. Dia menyandarkan kepala sambil menarik napas agar bisa lega. "Kamu bicara sesuatu?" tanya Emma heran melihat Topan seperti maling tertangkap basah. Topan langsung menoleh dan terdiam memandangi Emma. "Tadi kamu ada mengatakan sesuatu atau tidak?" ulang emma melihat Topan tidak juga menjawab pertanyaannya. Bingung Emma semakin bertambah ketika menemukan ekspresi bingung juga muncul di wajah suaminya."E-tidak-tidak, aku hanya bilang jangan terlalu lam