Andreas nampak sibuk menumpuk beberapa lukisan di studio kecil yang ada di rumahnya.
Punggungnya bergerak-gerak memilah mana lukisan yang akan dia sumbangkan ke galeri, dia jual maupun disimpan.
Sampai akhirnya matanya tertuju pada sebuah lukisan yang berada di barisan belakang, yang tadinya tertumpuk oleh lukisan-lukisannya yang lain.
Lukisan tubuh Andini yang polos.
Liukan tubuh wanita itu serta sorot mata Andini yang sensual di atas kanvas membawa kembali kenangan mereka.
“Aaah, Sayang…” Lenguhan Andini kembali hadir di kupingnya.
Tubuhnya meremang seakan jemari-jemari Andini di lukisan itu bergerak, menjulur ke arahnya dan mulai menggerayangi tub
Tubuh Andreas lunglai dalam sekejap, merosot ke lantai saat penyusup itu melepaskan kunciannya.“Beres,” ucapnya, mengarah ke temannya yang muncul dari balik sofa.Mereka lalu menyeretnya ke arah sofa dan membaringkannya di atas sana. Satu orang lagi menumpahkan minyak dari arah dapur hingga mengelilingi ruang tengah.“Cepat, cek keadaan di luar,” titah satu di antara mereka.Setelah semua dirasa aman, salah satu dari penyusup itu menyalakan korek api. Matanya memicing begitu api muncul dari kepala korek itu.Jika dia menjatuhkan korek ke minyak yang berceceran di lantai, maka secepat kilat ruangan ini akan dikepung api, mengelilingi Andreas yang pingsan di atas sofa.
“Argh!!” Andini terus merintih. Dia bahkan kesulitan untuk berdiri. Perutnya sakit begitu pula dengan kakinya yang berdenyut-denyut nyeri.“Andini!” Pras bergegas turun, membantu istrinya berdiri. Tubuh Andini membungkuk sambil memegangi perutnya. “Pe-perutku sakit…” Andini menggigit bibirnya keras-keras.“Kita ke dokter sekarang!”“Ma-Mas, kebakaran…”“Apa?”“Ru-Rumahnya Andreas kebakaran,” satu tangan Andini menunjuk-nunjuk ke sembarang arah.Dari luar, terdengar suara riuh serta teriakan ‘kebakaran’. Cepat-cepat, Pras menuntun Andini ke bawah.“Aku harus bangunkan anak-anak!” Iyem pun terbangun, membantu Pras menggendong Evan dan Rico ke dalam mobil. Pras menganga saat dirinya melangkah ke luar. Kobaran api mulai menjilat dinding rumahnya Andreas.Warna oranye yang menyala memancar terang dengan asap yang membumbung tinggi. Dia tidak menyangka apinya akan se-dahsyat ini.Tapi Pras sudah mempersiapkan semuanya. Dia tentu tahu ini akan terjadi. Bahkan moncong mobilnya sudah menghad
Tubuh Andini berguncang pelan saat mobil yang mereka naiki melindas polisi tidur.Sorot mata wanita menyiratkan kehampaan. Bibirnya lurus tanpa senyum dengan bahu yang lunglai ke bawah.Nampak bekas luka tusukan jarum infus di pergelangan tangannya.“Dokter bilang, kamu harus banyak istirahat,” tandas Pras memutar mobilnya masuk ke dalam komplek perumahaan mereka. “Dan jangan berpikiran macam-macam. Penyakit itu kebanyakan datangnya dari pikiran.”Setelah membawa Andini ke RS, Pras akhirnya memutuskan untuk check out dari hotel hari ini juga dan membawa kedua putra mereka pulang. Kemudian, dia baru menjemput Andini di RS setelah mendapat perawatan.“Ndin, kamu dengerin aku enggak sih?” Pras terdengar jengkel. “Lagian, kamu tuh kenapa sih? Rumah kita baik-baik saja.”Bibir Andini hanya mengatup rapat. Lalu dia mendengar Pras yang berdecak sinis.“Kamu menangisi Andreas, sampai pingsan segala? Aneh, dia cuma tetangga kita, Ndin.”“Dia bukan cuma tetangga kita!” Andini seketika berujar l
Sinar matahari pagi yang hangat bersinar, diiringi dengan kicau burung-burung yang riang. Keluarga besar serta beberapa teman dekat Andini dan Pras sudah berkumpul di rumah mereka.Dekorasi bunga-bunga yang indah menghiasi ruang tengah. Di halaman belakang, sudah berjajar meja yang menyajikan berbagai macam hidangan dari mulai nasi tumpeng, puding hingga es buah yang segar.Lantunan doa mengalun, memohon kesehatan dan keselamatan bagi Andini serta anak di kandungannya.Suasana syukuran tujuh bulanan kali ini berjalan begitu hangat. Semua orang yang hadir nampak bahagia dengan kehamilan Andini.“Mudah-mudahan anaknya perempuan ya.”“Kalau anaknya perempuan, lengkap sudah keluarga kalian.”Mendengar semua itu, Andini hanya senyum-senyum sendiri.“Aku enggak sabar, Ndin,” ucap Pras yang berdiri di sebelahnya. Kini mereka berdiri di halaman belakang, bersiap untuk membuka kotak besar di hadapan mereka.Kalau balon yang keluar dari kotak itu berwarna biru, maka jenis kelamin anak mereka la
Tubuh Malinka terasa membeku saat mendengar ucapan Andreas tadi.“Maafkan aku, Malinka…” Andreas berujar lirih. Kepalanya tertunduk dalam.“Kamu pasti bohong kan?” Suara Malinka kini terdengar gemetar. “Kamu berkata begitu supaya aku meninggalkanmu, iya kan?”Andreas menggeleng lemah. “Aku berani bersumpah demi keluargaku bahwa selama ini aku berselingkuh di belakangmu, Malinka. Awalnya, aku memacarimu supaya aku bisa melupakan wanita itu, tapi ternyata hak itu enggak semudah membalikkan telapak tangan. Sampai akhirnya, aku kembali tidur dengannya saat kita pacaran. Dan sekarang dia…dia hamil anakku.”Perut Malinka seperti ditonjok sesuatu yang tajam. “Ke-kenapa kamu tega, Andreas? Kenapa?” Suara Malinka melemah. Rasanya dia ingin pingsan.“A-Aku benar-benar mencintai wanita itu…maafkan aku…”PLAK!Pupil mata Andreas melebar namun dia sadar dia pantas mendapat tamparan itu dari Malinka.Pipi Malinka memerah dengan bibir yang gemetar hebat. Sepertinya wanita itu benar-benar murka sekar
Ujung pisau itu berkilat-kilat saat bersinggungan dengan cahaya lampu dari dapur.“Ma-Mas?” Napas Andini tersengal. Cepat-cepat dia menarik tubuhnya ke ujung sofa, menjauh dari Pras. Seketika dia merasa ketakutan, melihat suaminya yang nampak seperti algojo.“Sepertinya kamu kelelahan ya?” Pras menyeringai. “Aku sudah siapkan makan malam untukmu,” seringai di wajah Pras memudar dan ekspresinya kini melunak.“Makan malam?” Andini baru menyadari aroma menggoda yang berasal dari meja makan. “Kamu menyiapkan makan malam?”“Jangan kaget begitu dong,” Pras menurunkan pisau yang digunakannya untuk memotong daging. “Sesekali aku pernah menyiapkan bekal untuk anak-anak kita. Kamu enggak ingat?”Jantung Andini kembali berdetak normal. “Aturan kamu bangunin aku aja, Mas.”“Kamu terlihat sangat lelah. Aku enggak tega.”Andini turun dari sofa dan berjalan menuju meja makan yang terbuat dari kayu jati yang kokoh. Di luar langit begitu gelap tanpa bintang. Pohon-pohon yang tinggi itu menari-nari dit
Udara dingin menyusup masuk melalui celah selimut tebal yang membungkus tubuh Andini.Pelan-pelan dia menggeliat, merentangkan kedua tangannya ke atas. Di luar kabut perlahan menipis, menyibak langit pagi yang indah.Butuh waktu beberapa detik bagi Andini untuk mengumpulkan nyawanya dan saat dia menoleh ke samping, Pras sudah tidak ada.Setelah mengenakan kardigan tebal, Andini menemui Pras yang ternyata sudah sibuk di dapur.Suaminya itu kini sedang sibuk mencuci buah segar di bak cuci piring.“Pagi, Mas…” sapa Andini. “Mau kubuatkan kopi?”“Enggak usah. Aku sudah buat sendiri kok,” dagu Pras mengarah ke meja makan. Ada secangkir kopi hangat di sana.“Airnya dingin ya?” Tanya Andini karena melihat tangan Pras yang gemetar saat mencuci apel-apel itu.Pras cengengesan. “Iya, enggak ada sarung tangan karet. Sayangnya pemanas air cuma ada di kamar mandi.”Tiba-tiba Pras tersentak begitu tangan istrinya melingkar di pinggulnya. Lantas, Andini memeluknya dari samping sambil merebahkan kepa
Pras menyalakan korek api dan menyulut sumbu lilin yang sengaja ditaruh di tengah meja makan.Api itu bergoyang-goyang ditiup angin malam yang menyusup masuk lewat celah-celah dinding kayu.Malam ini lebih dingin dari semalam. Hangatnya api di perapian bahkan tidak sampai ke ruang makan. Andini pun merapatkan kardigan tebalnya.Sepiring steak dengan bayam dihidangkan Pras untuk istrinya.“Minumlah. Aku tahu kamu pasti kedinginan,” Pras menyodorkan segelas wedang jahe yang uapnya masih mengepul.“Makasih, Mas,” balas Andini, segera menenggak wedang jahe itu. Rasanya sedikit pahit tapi langsung menghangatkan tubuhnya dari dalam.Pras kembali sibuk di dapur. Kali ini dia sedang menghias piring steak untuknya.Seharian, Andini hanya bersantai menonton televisi berlangganan dan bermain dengan ponselnya. Sementara Pras banyak menghabiskan waktu di luar. Dia membeli bahan-bahan untuk makan malam romantis kali ini.“Kamu di sini saja. Jalanan ke tengah kota hanya akan membuatmu pusing, Ndin,”
“Mas Pras?!”“Ratih?!” Pras melonjak kaget ketika melihat sosok Ratih yang muncul dari balik pundaknya. “Se-sedang apa kamu di sini?!”Pandangan Ratih melirik sekilas ke arah Andini serta Andreas yang tertawan di tengah pondok. Matanya terbelalak kaget. Apalagi Ratih bisa mencium bau bensin yang menyengat.“Mas, jangan bertindak gila. Ayo, kita pulang sekarang,” Ratih bergerak mendekat, memandang Pras dengan memohon. Kedua tangan dingin wanita itu meraih tangan Pras.Namun Pras langsung menepisnya. “Pulang? Sudah kubilang, aku akan menghabisi mereka dulu, Tih. Setelah itu, baru kita bisa berbahagia.”“Tidak, Mas,” sergah Ratih cepat, menghalau gerakan tangan Pras yang hendak menyalakan korek. “A-Aku enggak ingin memiliki suami seorang pembunuh. Lagian, kita juga salah.”“Halah, persetan! Jangan ikut campur urusanku atau aku akan membunuhmu juga,” Pras memicingkan matanya yang sontak membuat Ratih bergidik ngeri.“Aku mencintaimu, Mas…sungguh…jadi, tolong jangan lakukan ini. Lepaskan me
Telinga Andreas berdengung begitu keras saat dia kembali mendapatkan kesadarannya. Penglihatannya yang kabur kini berangsur pulih.“A-Andini?” Pria itu menoleh dan mendapati Andini yang tergolek lemah di sampingnya. Andreas berusaha menggerak-gerakkan bagian-bagian tubuhnya yang terikat erat. “Andini?” bisiknya lagi.Kedua kelopak mata wanita itu perlahan membuka. Ada sedikit kelegaan di hati Andreas melihat Andini yang menggeliat pelan.“Andreas!” Wanita itu terkesiap lemah. “Syukurlah…kamu masih hidup. Dia akan membunuh kita…”“Tidak. Kita akan keluar dari sini,” Andreas berusaha meyakinkan Andini, walau dia sendiri sebenarnya sangsi.Mata Andreas menjelajahi pondok tempat mereka disekap. Dari jendela itu, terlihat hari sudah malam. Embusan angin kencang membawa dedaunan yang jatuh menghantam permukaan jendela.Tubuh Andreas terikat erat di kursi kayu. Usahanya melonggarkan ikatan di kaki dan kedua tangannya sepertinya gagal.Di dekatnya tidak ada alat-alat tajam yang bisa dia raih.
Andini mengerang pelan. Begitu kedua kelopak matanya membuka, perlahan dia mendapati penglihatannya kembali. Kepalanya terasa begitu sakit, seperti ada ribuan paku yang memukul dari dalam.“Ugh…” Dia coba menggerak-gerakkan tubuhnya yang diikat dengan tali di atas kursi kayu. Namun, sekuat apapun usahanya, ikatan yang melilit di sekujur tubuhnya itu sangat kuat.Napas Andini terengah. Udara dingin masuk melalui celah-celah kayu. Dia memandangi sekitar, begitu senyap dengan perabotan-perabotan usang. Lampu bohlam kuning memendar, mengedarkan cahaya temaram.“Tolong! Tolong!” Andini berusaha berteriak, walau suara yang keluar dari mulutnya terdengar lemah. Seketika pintu dihadapannya berderit terbuka. Napas Andini tertahan. Jantungnya kembali berdebar kencang begitu sosok Pras muncul di depannya.Pras mengendus keras, sambil menyipitkan matanya ke arah Andini. Tawanya berderai, memantul ke setiap sudut ruangan di pondok kayu yang kecil ini.“Andini…” Pras berkacak pinggang, menatap bol
Andreas menyusuri selasar kamar hotel dengan jantung yang berdegup lebih cepat dari biasanya. Wajar pria itu gugup karena sebentar lagi dia akan bertemu dengan calon istrinya, lalu menuntunnya hingga ke tempat acara dan pada akhirnya hubungan mereka disahkan di mata negara.Membayangkannya saja sudah membuat perut Andreas bergejolak. Dia tidak menyangka hubungannya dengan Andini akan berakhir manis seperti ini.Andreas menekan bel kamar Andini, setelah menghela napas pendek. Sesekali dia membenarkan posisi dasi kupu-kupunya serta jas yang dikenakannya.Namun, Andini belum juga membukakan pintu untuknya. Setelah menekan bel yang terakhir dan pintu tetap bergeming, tangan Andreas menarik turun gagang pintu kamar. Dahinya mengernyit karena ternyata kamar itu tidak terkunci.“Ndin?” Andreas mendorong pintu perlahan. “Sayang?” Andreas mengetuk pintu kamar mandi, tapi tidak ada jawaban.Dia lantas melempar pandangannya ke sekitar kamar. Mata Andreas pun tertuju ke ponsel Andini yang ada di
“Argh…” Andini merintih begitu tubuhnya menghantam lantai kamarnya yang keras dan dingin. Napasnya menderu dengan kencang disertai dengan jantungnya yang berdetak begitu cepat.Andini beringsut, menyandarkan dirinya di pinggiran ranjang. Tangannya langsung meraba lehernya. “Astaga, semuanya terasa begitu nyata…” pikir Andini. Pras hadir dalam mimpinya, berusaha mencekiknya dan menyeretnya ke dalam neraka. Benar-benar mimpi yang buruk.Petir kembali menggelegar di luar sana. Andini bergidik dan seketika lampu kamarnya padam. Mimpi buruk itu belum sirna dari benaknya dan sekarang dia malah dikungkung kegelapan.Seketika, ketakutan merayapi dirinya. “Tidak,” Andini menggeleng. “Tidak mungkin pria itu muncul. Dia sudah mati. Lagian itu cuma mimpi.” Lantas, Andini mengambil ponselnya yang ada di atas nakas. Cepat-cepat dia menyalakan senter lalu bangkit. Dia melangkah sedikit tertatih, mengecek keadaan Eva yang tidur di boks bayi. Bayi itu terlelap dengan damai.Saat Andini menyibakkan t
Senja perlahan menelan langit biru, menggantinya dengan semburat jingga yang menyerbak di atas sana. Angin sore yang sepoi-sepoi menyapu dahi Andini, menggerakkan helaian poninya.Sambil mendesah pelan, Andini menatap rumah tingkat dua di hadapannya. Rumah yang sudah ditempatinya selama sepuluh tahun, yang banyak memberinya kenangan indah maupun buruk.Truk pengangkut barang yang terakhir belum lama pergi. Sekarang giliran dirinya serta ketiga anaknya yang akan meninggalkan rumah ini.Pandangan Andini beralih ke spanduk yang terbentang di depan pagar rumahnya. Tulisan ‘Dikontrakan’ terpampang jelas.Akhirnya, Andini memutuskan untuk keluar dari rumah itu dan mengontrak untuk sementara waktu, sebelum akhirnya pindah ke Bali tahun depan.Andreas tidak ingin menempati rumah yang dibeli oleh Pras, begitupula Andini. Lagi pula, itu adalah rumah anak-anaknya.“Yuk,” Andreas menepuk pundak Andini. “Sudah sore, kita masih harus merapikan barang-barang di rumah baru.”Andini mengangguk, mening
Ratih dihantam syok yang luar biasa sehingga membuat wanita itu pingsan selama beberapa saat.Seketika Ratih mengerang, membuka kedua kelopak matanya. Dadanya masih berdebar begitu melihat Pras yang ada di samping ranjang.“Ma-Mas Pras?” Dirinya masih belum bisa mencerna semua ini. Bagaimana bisa Pras hidup kembali? Jelas-jelas dia dinyatakan tewas dalam kecelakaan pesawat tempo lalu.“Akhirnya kamu sadar juga,” raut wajah Pras terlihat sedikit cemas. “Tenang, Tih. Aku bukan hantu.”Ratih beringsut, menyandarkan punggungnya di sandaran ranjang. “Ta-tapi, bagaimana bisa? Mas Pras sudah mati…”Pras mendengus. “Kenyataannya aku masih hidup.”Ratih menjulurkan tangannya, meraba lengan Pras yang kini lebih berotot. “Astaga, jadi ini bukan mimpi?”Pras bangkit dari kursinya. Dia berjalan ke arah jendela, memandangi langit biru yang membentang di luar.“Selama ini, aku memalsukan kematianku,” tandas Pras.“Tapi, untuk apa, Mas?” Ratih terdengar penasaran.Kedua tangan Pras tenggelam di saku
Tubuh Ratih seakan membeku. Degupan jantungnya kini berdebar begitu hebat.‘Tidak. Ini enggak mungkin! Mas Pras sudah tewas dalam kecelakaan pesawat itu!’ Pekik Ratih dalam hati.Namun, sebesar apapun usahanya untuk mengindahkan pikiran itu, tetap saja Pras berdiri di depannya, dengan tubuh yang jauh berbeda seperti sebelumnya.Otot-otot tangan Pras menonjol dengan dada yang lebar.“Hai, Ratih,” Suara itu jelas suara Pras. Dia tidak meragukannya sedikit pun! Mata Ratih mengerjap cepat, berharap semua ini mimpi.Namun, wangi aroma bunga yang menyebar di tokonya terasa begitu nyata. Bayangan Pras yang mendekat pun juga nyata.Tubuh Ratih gemetar hebat dan sentuhan tangan besar di bahunya semakin menekankan bahwa Pras belum mati. Tapi bagaimana mungkin?!“Ma-Mas Pras?” Suara Ratih terdengar parau kali ini. Bola mata Pras menatapnya tajam. “Kenapa kamu terlihat begitu ketakutan, hah? Aku bukan hantu.”“Ta-Tapi…bu-bukanya Mas…”“Tewas dalam kecelakaan pesawat itu?” Pras melanjutkan kalima
“Tinggalkan putraku,” ucap Brenda saat mereka duduk berhadapan di ruang tengah.Kedua bola mata Andini langsung membelalak lebar. “A-Apa?” Bibirnya bergetar dengan pernyataan Brenda yang bagai petir di siang bolong itu.Brenda menghela napas pelan, seiring dengan kedua bahunya yang merosot. “Itu mungkin ucapan dari orangtua yang egois,” tukas Brenda lagi. “Tapi aku bukan tipe orangtua yang egois, Andini.”Kedua alis Andini bertautan. Dia masih belum menangkap maksud ucapan Brenda.“Aku enggak mungkin menyuruh Andreas untuk meninggalkanmu. Aku tahu, dari tatapan dia melihat dirimu, Andreas pasti sangat mencintaimu,” pandangan Brenda beralih ke Andini yang masih nampak tegang.Brenda lantas menggeleng. “Tidak, aku enggak akan menyuruhmu untuk meninggalkan putraku. Dan soal perbincangan semalam…”“Maafkan aku,” sela Andini cepat. “Enggak seharusnya aku mencuri dengar percakapan kalian. Aku tahu aku kelewatan, Tante.”Brenda bersedekap. “Semalam kami agak dipengaruhi alkohol. Jadi, perasa