Brak!Kedua tubuh itu berguling cepat ke pinggiran rel, membentur kerikil-kerikil yang menusuk kulit mereka.Tepat di samping mereka, kereta komuter melaju cepat. Tubuh Adrian membeku. Maut hampir saja menjemputnya. Untung saja dia bergerak cepat, mendekap tubuh Pras lalu berguling ke samping.“T-trims…” Pras terbata sambil tergeletak. “ Ka-kamu sudah menyelamatkanku.”Adrian menghela napas panjang. Seraya menyugar rambut ikalnya, pandangan Adrian mengarah ke langit yang gelap. Bulan sabit bersinar di atas sana. Mendadak keadaan di sekitar jadi senyap.“Tentu, aku enggak akan membiarkanmu mati begitu saja. Kamu masih harus bertanggung jawab untuk menjelaskan semua pada Andini.”“Baiklah. Aku mengakui kalau aku memang menjebakmu.”‘Ha, tepat dugaanku! Dasar orang sinting!’ Adrian terheran dalam hati.“Kamu tenang saja. Aku akan menebus kesalahanku. Aaargh…” Pras kembali meringis saat hendak bangkit.Adrian mengulurkan tangannya, membantu pria itu berdiri.Dengan susah payah, akhirnya m
Sinar matahari pagi menyorot hangat dari atas sana. Sepoi-sepoi angin menyapu dahi Andini. Dia duduk seorang diri di bangku taman rumah sakit.“Ndin,” Suara berat pria itu membuat Andini menoleh.Pras berdiri di sampingnya sambil membawa sebuket bunga lily dan parsel buah yang disusun menarik. Andini hanya melempar tatapan yang kosong, tanpa ada antusiasme di dalamnya.“Aku senang kamu berangsur pulih,” lanjut Pras, duduk di samping Andini. “Sekarang kamu sudah bisa turun dari ranjang dan jalan-jalan sendiri.”Pras mengamati wajah Andini dari samping. Wajah perempuan itu nampak tirus. Sorot matanya redup dan hampa.“Kudengar minggu depan kamu sudah boleh pulang,” tukas Pras lagi.Sudah dua bulan Andini dirawat di rumah sakit sejak dia ditemukan overdosis di kamarnya. Untungnya, nyawa Andini masih bisa diselamatkan walaupun jantungnya sempat berhenti beberapa detik. Setelah itu, Andini dilanda depresi dan harus dirawat lagi di rumah sakit.“Kuharap kamu suka bunga ini,” Pras menyodorka
“Mas Pras?” Ulang Andini, mengerjap-ngerjapkan matanya.Telapak tangan Pras mendadak berkeringat dan bibirnya terasa kelu. “Be-begini, Ndin…” ujung bibirnya kini berkedut hebat. “Ada hal penting yang ingin kusampaikan ke kamu.”“Oh ya? Apa?” Mimik wajah Andini berubah serius.“A-aku…aku juga sudah keterima kerja,” tandas Pras pada akhirnya.“Benarkah? Astaga, aku turut senang, Mas. Akhirnya kita sama-sama dapat pekerjaan!” Senyum mengembang di wajah cantik Andini.Pras menggaruk-garuk kepalanya. “Sebenarnya sudah dua hari yang lalu aku dikabari oleh HRD-nya. Aku keterima di bagian akuisisi program di perusahaan TV berlangganan. Aku akan bekerja keras, Ndin.”“Tentu, kita harus bekerja keras, Mas. Demi masa depan yang cerah!” Andini mengepalkan satu tangannya ke udara dengan penuh semangat.‘Tidak, aku akan bekerja keras demi kamu, Andini. Demi masa depan kita!’ Pras membatin.Pada akhirnya, untuk yang kesekian kali, dia harus memendam perasaannya. Dia begitu takut Andini menolak cinta
Andini menerobos kerumunan orang-orang yang tengah berjoget di lantai dansa. Langkah perempuan itu nampak tergesa menuju ke toilet.Dentuman musik di dalam kelab kini terdengar sayup saat Andini menyusuri lorong yang temaram. Namun, Andini langsung berhenti begitu dia berpapasan dengan Pras.Selama ini, Pras memang sering memaksa Andini untuk menerima bantuannya, mengantarnya kesana-kemari, walau sebenarnya Andini bisa melakukan semua sendirian. Setelah akhirnya mereka sama-sama dapat pekerjaan, Andini bisa bernapas lega karena intensitasnya bertemu tetangganya itu jadi berkurang.“Ndin, tunggu!” Sergah Pras setelah Andini menuduh pria itu sengaja membuntutinya.Dengan kesal, Andini menghempaskan tangan Pras yang membuat khayalan Pras sedang mendekap tubuh seksi Andini sembari melumat bibirnya jadi buyar.“Ndin, sumpah. Aku enggak membuntutimu,” lanjut Pras lagi.Andini mendengus keras sambil menyibakkan rambutnya. “Kalau begitu, sama siapa Mas Pras ke sini?” Tantangnya.“A-aku sendir
Andini duduk termangu di selasar rumah sakit. Dua hari setelah ulang tahunnya yang ke-25, dia diterpa kabar buruk. Ayahnya, Heryawan, harus dirawat di rumah sakit karena serangan jantung mendadak.Untungnya, kondisi Heryawan berangsur membaik dan sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Setelah menyisip kopi hitam di tangannya, Andini menoleh begitu dia mendengar derap kaki dari ujung selasar.“Andini, gimana kondisi ayahmu?” Ibunya Pras langsung memeluk Andini dengan cemas. “Kami ikut prihatin.”Andini tersenyum tipis. “Kondisi Bapak mulai stabil, Tante. Tapi sepertinya beliau masih lemah. Ibu ada di dalam kok.”“Ya udah, Tante masuk dulu ya.”Setelah ibunya Pras masuk ke ruang rawat inap, kini tinggal Andini dan Pras yang ada di selasar. Kecanggungan pun menguar di udara. Sudah empat tahun berlalu dan mereka sekarang seperti orang asing.Apalagi sudah tiga tahun Andini memutuskan untuk kos di dekat kantornya. Tapi yang Andini tidak tahu adalah Pras tahu di mana Andini tinggal. Pria it
Hujan di luar lambat laun mereda. Pandanganku masih mengarah ke wiper mobilnya Andreas yang kini bergerak lebih lambat.Aku menghela napas panjang, menyandarkan kepalaku di bantalan jok. Mengulang kisah masa laluku hanya membuat energiku terkuras.“Kamu masih mencintai pria itu–Adrian?” Tanya Andreas.Aku menoleh padanya, menjulurkan tanganku dan mengusap pipi Andreas yang dingin. Aku tidak kuasa untuk tersenyum.‘Astaga, kamu mirip sekali dengan Adrian…’ batinku. Lalu aku menggeleng. “Kejadian itu sudah lama sekali. Aku sudah move on kok.”Andreas mencondongkan tubuhnya ke arahku. Bola matanya menatapku dalam, sama seperti Adrian menatapku waktu itu.“Maaf ya, karena permintaanku, kamu jadi mengingat kejadian itu lagi,” satu kecupan hangat mendarat di bibirku. Setiap Andreas menciumku seperti ini, aku seperti terlempar ke masa lalu, di saat Adrian menciumku untuk yang pertama kali di sebuah taman di bawah ledakan kembang api yang indah.Saat sedang menikmati ciuman manis ini, tiba-t
Ting tong. Ting Tong.Sial! Kemana sih Andreas melempar pakaianku? Aku mencari-carinya dengan panik.“Ini, Yang,” Andreas menjulurkan pakaianku yang ternyata ada di bawah kolong meja kopi.“Sayang, cepat kamu sembunyi!” Desisku.Andreas memungut pakaiannya yang ada di samping sofa. “Aku tahu.”“Aduh, duh…” aku hampir saja tersangkut kakiku sendiri saat memakai celana jins. Tiba-tiba aku mendengar slot pintu pagar yang terbuka. ‘Gawat!’ Aku semakin panik sambil berusaha mengaitkan kancing celana.“Andini? Ndin?”Suara orang itu kini terdengar dari balik pintu depan. Lantas aku menoleh dan Andreas sudah menghilang. Entah di mana dia bersembunyi kali ini.“Ndin? Halooo…” Dia mengetuk-ngetuk pintu dengan tidak sabaran.“I-iya.”“Surprise!” Senyum Jihan mengembang saat aku membukakan pintu.Wajahku pun mendadak masam. ‘Dasar Jihan pengacau! Ngapain sih dia datang di saat seperti ini?’ Aku membatin dongkol.“Aku baru dari toko roti dekat sini. Jadi, aku sekalian mampir deh. Aku juga bawa ma
“Kenapa, Sayang?” Tanya Andreas tanpa suara.“Andini? Kamu masih di sana kan? Cepat video call,” cecar ibu mertuaku.“Mama!” Aku mendengar teriakan salah satu anakku. “Ma! Aku mau video call sama Mama sekarang! Aku mau tunjukkin dino baru yang dibeliin Nenek.”“Se-sebentar ya, Sayang. Mama nanti telepon kamu lagi, oke?”“Ih, Mama kenapa sih?” Evan terdengar kecewa. “Nek, Mama enggak mau ngomong sama aku!”“Bu-bukan begitu, Evan–”“Ndin, kamu tuh kenapa sih?” Ibu mertuaku kembali mengambil alih.“Aku…aku sakit perut, Bu. Aku harus ke kamar mandi sekarang.”“Oh, Mamamu sakit perut, Van,” tukas ibu mertuaku pada Evan. “Ya udah, Ndin. Setelah itu, hubungi Ibu ya?”“Ba-baik, Bu.”Setelah aku mendengar nada sambung yang terputus, aku pun bisa bernapas lega.“Ada masalah apa? Anak-anakmu minta pulang?” Tanya Andreas lagi.Aku menggeleng. “Mereka merengek minta video call denganku. Jadi…makan malam kita terpaksa batal. Aku harus segera kembali ke rumah.”Andreas merangkak ke arahku. “Enggak m
“Mas Pras?!”“Ratih?!” Pras melonjak kaget ketika melihat sosok Ratih yang muncul dari balik pundaknya. “Se-sedang apa kamu di sini?!”Pandangan Ratih melirik sekilas ke arah Andini serta Andreas yang tertawan di tengah pondok. Matanya terbelalak kaget. Apalagi Ratih bisa mencium bau bensin yang menyengat.“Mas, jangan bertindak gila. Ayo, kita pulang sekarang,” Ratih bergerak mendekat, memandang Pras dengan memohon. Kedua tangan dingin wanita itu meraih tangan Pras.Namun Pras langsung menepisnya. “Pulang? Sudah kubilang, aku akan menghabisi mereka dulu, Tih. Setelah itu, baru kita bisa berbahagia.”“Tidak, Mas,” sergah Ratih cepat, menghalau gerakan tangan Pras yang hendak menyalakan korek. “A-Aku enggak ingin memiliki suami seorang pembunuh. Lagian, kita juga salah.”“Halah, persetan! Jangan ikut campur urusanku atau aku akan membunuhmu juga,” Pras memicingkan matanya yang sontak membuat Ratih bergidik ngeri.“Aku mencintaimu, Mas…sungguh…jadi, tolong jangan lakukan ini. Lepaskan me
Telinga Andreas berdengung begitu keras saat dia kembali mendapatkan kesadarannya. Penglihatannya yang kabur kini berangsur pulih.“A-Andini?” Pria itu menoleh dan mendapati Andini yang tergolek lemah di sampingnya. Andreas berusaha menggerak-gerakkan bagian-bagian tubuhnya yang terikat erat. “Andini?” bisiknya lagi.Kedua kelopak mata wanita itu perlahan membuka. Ada sedikit kelegaan di hati Andreas melihat Andini yang menggeliat pelan.“Andreas!” Wanita itu terkesiap lemah. “Syukurlah…kamu masih hidup. Dia akan membunuh kita…”“Tidak. Kita akan keluar dari sini,” Andreas berusaha meyakinkan Andini, walau dia sendiri sebenarnya sangsi.Mata Andreas menjelajahi pondok tempat mereka disekap. Dari jendela itu, terlihat hari sudah malam. Embusan angin kencang membawa dedaunan yang jatuh menghantam permukaan jendela.Tubuh Andreas terikat erat di kursi kayu. Usahanya melonggarkan ikatan di kaki dan kedua tangannya sepertinya gagal.Di dekatnya tidak ada alat-alat tajam yang bisa dia raih.
Andini mengerang pelan. Begitu kedua kelopak matanya membuka, perlahan dia mendapati penglihatannya kembali. Kepalanya terasa begitu sakit, seperti ada ribuan paku yang memukul dari dalam.“Ugh…” Dia coba menggerak-gerakkan tubuhnya yang diikat dengan tali di atas kursi kayu. Namun, sekuat apapun usahanya, ikatan yang melilit di sekujur tubuhnya itu sangat kuat.Napas Andini terengah. Udara dingin masuk melalui celah-celah kayu. Dia memandangi sekitar, begitu senyap dengan perabotan-perabotan usang. Lampu bohlam kuning memendar, mengedarkan cahaya temaram.“Tolong! Tolong!” Andini berusaha berteriak, walau suara yang keluar dari mulutnya terdengar lemah. Seketika pintu dihadapannya berderit terbuka. Napas Andini tertahan. Jantungnya kembali berdebar kencang begitu sosok Pras muncul di depannya.Pras mengendus keras, sambil menyipitkan matanya ke arah Andini. Tawanya berderai, memantul ke setiap sudut ruangan di pondok kayu yang kecil ini.“Andini…” Pras berkacak pinggang, menatap bol
Andreas menyusuri selasar kamar hotel dengan jantung yang berdegup lebih cepat dari biasanya. Wajar pria itu gugup karena sebentar lagi dia akan bertemu dengan calon istrinya, lalu menuntunnya hingga ke tempat acara dan pada akhirnya hubungan mereka disahkan di mata negara.Membayangkannya saja sudah membuat perut Andreas bergejolak. Dia tidak menyangka hubungannya dengan Andini akan berakhir manis seperti ini.Andreas menekan bel kamar Andini, setelah menghela napas pendek. Sesekali dia membenarkan posisi dasi kupu-kupunya serta jas yang dikenakannya.Namun, Andini belum juga membukakan pintu untuknya. Setelah menekan bel yang terakhir dan pintu tetap bergeming, tangan Andreas menarik turun gagang pintu kamar. Dahinya mengernyit karena ternyata kamar itu tidak terkunci.“Ndin?” Andreas mendorong pintu perlahan. “Sayang?” Andreas mengetuk pintu kamar mandi, tapi tidak ada jawaban.Dia lantas melempar pandangannya ke sekitar kamar. Mata Andreas pun tertuju ke ponsel Andini yang ada di
“Argh…” Andini merintih begitu tubuhnya menghantam lantai kamarnya yang keras dan dingin. Napasnya menderu dengan kencang disertai dengan jantungnya yang berdetak begitu cepat.Andini beringsut, menyandarkan dirinya di pinggiran ranjang. Tangannya langsung meraba lehernya. “Astaga, semuanya terasa begitu nyata…” pikir Andini. Pras hadir dalam mimpinya, berusaha mencekiknya dan menyeretnya ke dalam neraka. Benar-benar mimpi yang buruk.Petir kembali menggelegar di luar sana. Andini bergidik dan seketika lampu kamarnya padam. Mimpi buruk itu belum sirna dari benaknya dan sekarang dia malah dikungkung kegelapan.Seketika, ketakutan merayapi dirinya. “Tidak,” Andini menggeleng. “Tidak mungkin pria itu muncul. Dia sudah mati. Lagian itu cuma mimpi.” Lantas, Andini mengambil ponselnya yang ada di atas nakas. Cepat-cepat dia menyalakan senter lalu bangkit. Dia melangkah sedikit tertatih, mengecek keadaan Eva yang tidur di boks bayi. Bayi itu terlelap dengan damai.Saat Andini menyibakkan t
Senja perlahan menelan langit biru, menggantinya dengan semburat jingga yang menyerbak di atas sana. Angin sore yang sepoi-sepoi menyapu dahi Andini, menggerakkan helaian poninya.Sambil mendesah pelan, Andini menatap rumah tingkat dua di hadapannya. Rumah yang sudah ditempatinya selama sepuluh tahun, yang banyak memberinya kenangan indah maupun buruk.Truk pengangkut barang yang terakhir belum lama pergi. Sekarang giliran dirinya serta ketiga anaknya yang akan meninggalkan rumah ini.Pandangan Andini beralih ke spanduk yang terbentang di depan pagar rumahnya. Tulisan ‘Dikontrakan’ terpampang jelas.Akhirnya, Andini memutuskan untuk keluar dari rumah itu dan mengontrak untuk sementara waktu, sebelum akhirnya pindah ke Bali tahun depan.Andreas tidak ingin menempati rumah yang dibeli oleh Pras, begitupula Andini. Lagi pula, itu adalah rumah anak-anaknya.“Yuk,” Andreas menepuk pundak Andini. “Sudah sore, kita masih harus merapikan barang-barang di rumah baru.”Andini mengangguk, mening
Ratih dihantam syok yang luar biasa sehingga membuat wanita itu pingsan selama beberapa saat.Seketika Ratih mengerang, membuka kedua kelopak matanya. Dadanya masih berdebar begitu melihat Pras yang ada di samping ranjang.“Ma-Mas Pras?” Dirinya masih belum bisa mencerna semua ini. Bagaimana bisa Pras hidup kembali? Jelas-jelas dia dinyatakan tewas dalam kecelakaan pesawat tempo lalu.“Akhirnya kamu sadar juga,” raut wajah Pras terlihat sedikit cemas. “Tenang, Tih. Aku bukan hantu.”Ratih beringsut, menyandarkan punggungnya di sandaran ranjang. “Ta-tapi, bagaimana bisa? Mas Pras sudah mati…”Pras mendengus. “Kenyataannya aku masih hidup.”Ratih menjulurkan tangannya, meraba lengan Pras yang kini lebih berotot. “Astaga, jadi ini bukan mimpi?”Pras bangkit dari kursinya. Dia berjalan ke arah jendela, memandangi langit biru yang membentang di luar.“Selama ini, aku memalsukan kematianku,” tandas Pras.“Tapi, untuk apa, Mas?” Ratih terdengar penasaran.Kedua tangan Pras tenggelam di saku
Tubuh Ratih seakan membeku. Degupan jantungnya kini berdebar begitu hebat.‘Tidak. Ini enggak mungkin! Mas Pras sudah tewas dalam kecelakaan pesawat itu!’ Pekik Ratih dalam hati.Namun, sebesar apapun usahanya untuk mengindahkan pikiran itu, tetap saja Pras berdiri di depannya, dengan tubuh yang jauh berbeda seperti sebelumnya.Otot-otot tangan Pras menonjol dengan dada yang lebar.“Hai, Ratih,” Suara itu jelas suara Pras. Dia tidak meragukannya sedikit pun! Mata Ratih mengerjap cepat, berharap semua ini mimpi.Namun, wangi aroma bunga yang menyebar di tokonya terasa begitu nyata. Bayangan Pras yang mendekat pun juga nyata.Tubuh Ratih gemetar hebat dan sentuhan tangan besar di bahunya semakin menekankan bahwa Pras belum mati. Tapi bagaimana mungkin?!“Ma-Mas Pras?” Suara Ratih terdengar parau kali ini. Bola mata Pras menatapnya tajam. “Kenapa kamu terlihat begitu ketakutan, hah? Aku bukan hantu.”“Ta-Tapi…bu-bukanya Mas…”“Tewas dalam kecelakaan pesawat itu?” Pras melanjutkan kalima
“Tinggalkan putraku,” ucap Brenda saat mereka duduk berhadapan di ruang tengah.Kedua bola mata Andini langsung membelalak lebar. “A-Apa?” Bibirnya bergetar dengan pernyataan Brenda yang bagai petir di siang bolong itu.Brenda menghela napas pelan, seiring dengan kedua bahunya yang merosot. “Itu mungkin ucapan dari orangtua yang egois,” tukas Brenda lagi. “Tapi aku bukan tipe orangtua yang egois, Andini.”Kedua alis Andini bertautan. Dia masih belum menangkap maksud ucapan Brenda.“Aku enggak mungkin menyuruh Andreas untuk meninggalkanmu. Aku tahu, dari tatapan dia melihat dirimu, Andreas pasti sangat mencintaimu,” pandangan Brenda beralih ke Andini yang masih nampak tegang.Brenda lantas menggeleng. “Tidak, aku enggak akan menyuruhmu untuk meninggalkan putraku. Dan soal perbincangan semalam…”“Maafkan aku,” sela Andini cepat. “Enggak seharusnya aku mencuri dengar percakapan kalian. Aku tahu aku kelewatan, Tante.”Brenda bersedekap. “Semalam kami agak dipengaruhi alkohol. Jadi, perasa