Pintu kamar tamu itu mengayun terbuka.Aku masih berharap ini semua halusinasiku–kehadiran Pras maksudnya. Tapi ketika aku menampar pipiku, rasa sakitnya menjalar.“Aaa!” Aku berteriak kencang begitu Pras menangkap basah diriku yang berbaring di atas tempat tidur tanpa sehelai benang.“Astaga, Andini??” Bola mata Pras membulat kaget. “Ka-kamu lagi ngapain?”Cepat-cepat aku menarik selimut untuk membungkus diriku. Astaga, padahal kan Pras suamiku?!“Bu-bukannya Mas Pras baru pulang besok malam?” Suaraku bergetar hebat.“Ada masalah di kantor pusat. Jadi terpaksa aku pulang malam ini. Aku sudah mengabarimu melalui pesan singkat, Ndin.”Hah, karena aku mabuk pasti aku terlewat membaca pesan itu. Dasar Andini bodoh!Kening Pras mengernyit saat berjalan ke arahku. Matanya menyipit curiga.“Kamu mabuk? Aku lihat ada dua gelas kosong serta sebotol wine di ruang makan.”“Itu…Maafkan aku, Mas. Tadi Jihan datang dan kami minum bersama. Dia curhat soal masalah percintaannya sampai larut malam.”
“Uh…iya, Sayang…” Pras melenguh. “Ah, i-iya begitu. Hm…”Di atas tubuh pria itu Ratih menjulang tanpa busana. Dia meliukkan tubuhnya dengan sensual. Gerakan Ratih semakin cepat, membuat milik Pras menegang. Dan tidak butuh waktu lama, Pras menyelesaikan permainannya.Pras mengerang lega sementara wanita simpanannya itu menjatuhkan tubuhnya ke dekapan Pras.Ratih sudah terbiasa dengan permainan Pras yang cepat. Bagi Ratih, itu bukan masalah besar karena dia sangat mencintai pria ini.“Mas, jujur, aku merasa bersalah karena kita bercinta di atas ranjang keluargamu.” Ratih melirik sekilas ke foto keluarga Pras yang ada di atas nakas.“Enggak perlu merasa seperti itu, Tih. Toh, kita kan sudah menikah siri. Jadi, otomatis kamu istriku juga.”“Aku tahu, tapi istri Mas kan belum tahu soal hubungan kita,” ujar Ratih lirih.Pras membelai rambut panjang Ratih yang halus. “Kita kan sudah sepakat untuk tetap merahasiakan hubungan ini, Sayang. Kalau keluarga besarku tahu, mereka bakal marah besar.
Pras sudah menungguku di ruang tengah. Dari raut wajahnya, aku tahu dia memendam amarah yang besar.“Kenapa ponselmu enggak aktif?” Tanya Pras, melesatkan tatapan tajam padaku.“Low batt, Mas,” jawabku dengan suara yang agak parau. Napasku tertahan saat Pras bangkit. Aku langsung mundur selangkah, seolah sudah memprediksi akan ada bahaya yang mengancam.“Kenapa kamu berbohong, Ndin?” Tanya Pras dingin.Tubuhku gemetar seiring tubuh Pras yang semakin mendekatiku.“A-aku punya alasannya, Mas…” Aku tidak percaya bisa menyelesaikan kalimatku tanpa pingsan.“Sama siapa kamu di sana, hah?” Dagu Pras mendongak ke atas.“A-aku…dengan…” Oke, kurasa sekarang aku bakalan pingsan!“DENGAN SIAPA?!” Aku hampir melonjak mendengar suara Pras yang lantang. “Aaa!” Aku bergidik begitu Pras mengayunkan kakinya dan menendang guci antik di dekatku. “Ma-Mas…dengarkan aku dulu…” pundakku mengguncang hebat dan air mataku langsung meleleh.PRANG! Pajangan angsa yang terbuat dari kaca itu kini hancur lebur di
“Sebaiknya, kita break dulu…” aku berujar lirih, menatap keluar jendela di ruangan pribadinya Andreas yang ada di studionya.“Maksudmu kita putus?? Hah, dengan mudahnya kamu mengakhiri hubungan kita setelah banyak rintangan yang kita lalui.” tukas Andreas sinis.Aku menghela napas panjang. “Bukan begitu maksudku. Kurasa kita jangan bertemu dulu dalam beberapa minggu ini. Jujur, kejadian terakhir itu membuatku trauma. Aku enggak bisa membayangkan kalau rencananya gagal dan Pras curiga. Tamatlah kita…”“Tapi rencananya enggak gagal kan? Suamimu bahkan enggak curiga sama sekali,” tekan Andreas. Lantas, dia menggenggam kedua bahuku erat. “Ndin, aku enggak mau melepasmu begitu saja. Aku mencintaimu lebih dari apapun. Bahkan hampir setiap malam aku mengharapkan kamu bercerai dengan suamimu itu.”“Andreas, sudah kubilang, aku enggak mau anak-anakku jadi broken home. Lagian kita sudah sepakat akan menjalani hubungan rahasia ini selamanya.”“Tapi kamu enggak bahagia bersama Pras. Untuk apa sih
Wanita itu berjalan mendekat. Oh plis…kumohon sesuatu terjadi. Gempa bumi kek, atau apa saja yang bisa menghentikan pertemuan ini?!“Perkenalkan, ini Alena, Account Executive baru di Star Television. Dia ini lulusan universitas di Belanda lho…” terang Pras tanpa menyadari sama sekali keterkejutanku.Perempuan itu memiringkan kepalanya seraya menatapku lekat-lekat. “Dia…”“Ah, dia istri tercintaku, Lena,” balas Pras. Aku menelan ludah dalam-dalam. “Ah, dia istrinya Pak Pras?” perempuan itu melebarkan pupil matanya. Namun sedetik kemudian senyum sinisnya muncul. “Andini…” dia bergumam.“Wow, bagaimana kamu bisa tahu nama istriku, Len?” Pras terkejut.‘Brengsek!’ Rutukku sambil ketar-ketir.“Aku hanya menebaknya. Wanita secantik ini cocok dengan nama Andini,” dia masih menatapku dengan sinis.“Tapi tebakanmu itu benar-benar tepat. Kurasa kamu punya bakat jadi peramal!” Pras masih terperangah.“Ah, Pak Pras, bisa saja. Oh, sampai lupa. Kenalkan aku Alena,” dia menjulurkan tangannya di de
“Aaa!” Aku memekik ketakutan. Seseorang menarik pergelangan tanganku ketika aku melintasi basement yang sepi. Punggungku kini bersandar pada pilar beton yang keras. Pupil mataku sontak melebar, mendapati Andreas yang menghimpit tubuhku.“Aku merindukanku, Andini,” bisiknya di telingaku. Mendengar suaranya yang rendah seperti itu otomatis membuat bulu kudukku meremang.“Kamu sudah gila,” desisku, mendorong tubuh kekarnya. “Pras sedang menunggu di mobil!”“Persetan.” Bibir Andreas seketika melumat bibirku dengan ganas. Selama beberapa detik aku menikmatinya. Ini ciuman yang selalu kurindukan. Otomatis tubuhku mendekap tubuh hangatnya. Aku menggeliat dan membiarkan tas tanganku jatuh begitu saja.“Su-suamiku…a-aku takut dia memergoki ki-kita, Sa-sayang…aahhh…” erangan melesat dari mulutku begitu jemari Andreas menggerayangi tubuhku dengan lihai. Aku menjambak rambut ikal brondong itu, menjauhkan bibirnya dari dadaku.“Dia enggak akan tahu, Ndin…” Andreas menatapku dengan liar. Napasnya m
“Apa maumu?” Tanya Andreas tajam. Kedua matanya memicing sinis ke arah Bianca.Perempuan itu mendengus pelan sambil memutar kedua bola matanya. Satu bahunya bersandar di ambang pintu unit apartemennya.“Astaga, Andreas. Ini kali pertama kamu mengunjungiku lagi setelah kita putus. Kenapa kamu jutek begitu sih?” Bianca mengedikkan bahunya. “Ayo,” tiba-tiba dia menarik lengan Andreas ke dalam.“Kamu mau minum apa?” Tawar Bianca. Sementara Andreas bersedekap di depan jendela apartemen yang besar. Sinar matahari pagi masuk, membias di permukaan kulit Andreas yang kecoklatan.Bianca melirik sekilas. Dia selalu terpana dengan ketampanan Andreas apalagi dengan kulit eksotisnya itu. ‘Selalu menggoda,’ pikir Bianca.“Aku tahu kamu memeras Andini,” tukas Andreas dingin.“Memeras?” ulang Bianca sambil menuangkan kopi hitam ke cangkir. “Memangnya aku minta tebusan apa ke pacarmu yang sudah bersuami itu, hah?”“Kalau kamu berani macam-macam dengan Andini, aku enggak akan segan-segan memberimu pela
Pras berusaha mencerna kalimat Bianca barusan. Sementara itu, Bianca menatapnya dengan penuh keyakinan.Lantas, tawa Pras berderai. Sambil geleng-geleng kepala, dia berujar, “Dari mana kamu tahu kalau istri saya berselingkuh, Alena?”“Pak, ini bukan lelucon.” Bianca merasa tersinggung karena nampaknya Pras meremehkan ucapannya tadi. “Istri Bapak, yang Bapak anggap setia itu, sudah mengkhianati Bapak.”“Ya, ya. Kamu sudah bilang tadi,” Pras masih terkekeh. “Lagian istri saya selingkuh sama siapa, hah?”“Sama tetangga Bapak, Andreas. Dia seorang pelukis kan?”Tawa Pras mendadak lenyap. Wajahnya berubah serius. “Bagaimana kamu bisa tahu soal Andreas?”Seringai muncul di wajah Bianca. “Tentu saya tahu, karena Andreas itu mantan saya. Dan saya pernah memergoki istri Bapak berciuman dengan Andreas di sebuah pesta yang diadakan di pulau pribadi.”Pras menelan ludahnya dalam-dalam. “Kamu pasti salah lihat.”Bianca mendengus pelan. “Mata saya belum rabun, Pak Pras. Saya putus dengan Andreas ga
“Mas Pras?!”“Ratih?!” Pras melonjak kaget ketika melihat sosok Ratih yang muncul dari balik pundaknya. “Se-sedang apa kamu di sini?!”Pandangan Ratih melirik sekilas ke arah Andini serta Andreas yang tertawan di tengah pondok. Matanya terbelalak kaget. Apalagi Ratih bisa mencium bau bensin yang menyengat.“Mas, jangan bertindak gila. Ayo, kita pulang sekarang,” Ratih bergerak mendekat, memandang Pras dengan memohon. Kedua tangan dingin wanita itu meraih tangan Pras.Namun Pras langsung menepisnya. “Pulang? Sudah kubilang, aku akan menghabisi mereka dulu, Tih. Setelah itu, baru kita bisa berbahagia.”“Tidak, Mas,” sergah Ratih cepat, menghalau gerakan tangan Pras yang hendak menyalakan korek. “A-Aku enggak ingin memiliki suami seorang pembunuh. Lagian, kita juga salah.”“Halah, persetan! Jangan ikut campur urusanku atau aku akan membunuhmu juga,” Pras memicingkan matanya yang sontak membuat Ratih bergidik ngeri.“Aku mencintaimu, Mas…sungguh…jadi, tolong jangan lakukan ini. Lepaskan me
Telinga Andreas berdengung begitu keras saat dia kembali mendapatkan kesadarannya. Penglihatannya yang kabur kini berangsur pulih.“A-Andini?” Pria itu menoleh dan mendapati Andini yang tergolek lemah di sampingnya. Andreas berusaha menggerak-gerakkan bagian-bagian tubuhnya yang terikat erat. “Andini?” bisiknya lagi.Kedua kelopak mata wanita itu perlahan membuka. Ada sedikit kelegaan di hati Andreas melihat Andini yang menggeliat pelan.“Andreas!” Wanita itu terkesiap lemah. “Syukurlah…kamu masih hidup. Dia akan membunuh kita…”“Tidak. Kita akan keluar dari sini,” Andreas berusaha meyakinkan Andini, walau dia sendiri sebenarnya sangsi.Mata Andreas menjelajahi pondok tempat mereka disekap. Dari jendela itu, terlihat hari sudah malam. Embusan angin kencang membawa dedaunan yang jatuh menghantam permukaan jendela.Tubuh Andreas terikat erat di kursi kayu. Usahanya melonggarkan ikatan di kaki dan kedua tangannya sepertinya gagal.Di dekatnya tidak ada alat-alat tajam yang bisa dia raih.
Andini mengerang pelan. Begitu kedua kelopak matanya membuka, perlahan dia mendapati penglihatannya kembali. Kepalanya terasa begitu sakit, seperti ada ribuan paku yang memukul dari dalam.“Ugh…” Dia coba menggerak-gerakkan tubuhnya yang diikat dengan tali di atas kursi kayu. Namun, sekuat apapun usahanya, ikatan yang melilit di sekujur tubuhnya itu sangat kuat.Napas Andini terengah. Udara dingin masuk melalui celah-celah kayu. Dia memandangi sekitar, begitu senyap dengan perabotan-perabotan usang. Lampu bohlam kuning memendar, mengedarkan cahaya temaram.“Tolong! Tolong!” Andini berusaha berteriak, walau suara yang keluar dari mulutnya terdengar lemah. Seketika pintu dihadapannya berderit terbuka. Napas Andini tertahan. Jantungnya kembali berdebar kencang begitu sosok Pras muncul di depannya.Pras mengendus keras, sambil menyipitkan matanya ke arah Andini. Tawanya berderai, memantul ke setiap sudut ruangan di pondok kayu yang kecil ini.“Andini…” Pras berkacak pinggang, menatap bol
Andreas menyusuri selasar kamar hotel dengan jantung yang berdegup lebih cepat dari biasanya. Wajar pria itu gugup karena sebentar lagi dia akan bertemu dengan calon istrinya, lalu menuntunnya hingga ke tempat acara dan pada akhirnya hubungan mereka disahkan di mata negara.Membayangkannya saja sudah membuat perut Andreas bergejolak. Dia tidak menyangka hubungannya dengan Andini akan berakhir manis seperti ini.Andreas menekan bel kamar Andini, setelah menghela napas pendek. Sesekali dia membenarkan posisi dasi kupu-kupunya serta jas yang dikenakannya.Namun, Andini belum juga membukakan pintu untuknya. Setelah menekan bel yang terakhir dan pintu tetap bergeming, tangan Andreas menarik turun gagang pintu kamar. Dahinya mengernyit karena ternyata kamar itu tidak terkunci.“Ndin?” Andreas mendorong pintu perlahan. “Sayang?” Andreas mengetuk pintu kamar mandi, tapi tidak ada jawaban.Dia lantas melempar pandangannya ke sekitar kamar. Mata Andreas pun tertuju ke ponsel Andini yang ada di
“Argh…” Andini merintih begitu tubuhnya menghantam lantai kamarnya yang keras dan dingin. Napasnya menderu dengan kencang disertai dengan jantungnya yang berdetak begitu cepat.Andini beringsut, menyandarkan dirinya di pinggiran ranjang. Tangannya langsung meraba lehernya. “Astaga, semuanya terasa begitu nyata…” pikir Andini. Pras hadir dalam mimpinya, berusaha mencekiknya dan menyeretnya ke dalam neraka. Benar-benar mimpi yang buruk.Petir kembali menggelegar di luar sana. Andini bergidik dan seketika lampu kamarnya padam. Mimpi buruk itu belum sirna dari benaknya dan sekarang dia malah dikungkung kegelapan.Seketika, ketakutan merayapi dirinya. “Tidak,” Andini menggeleng. “Tidak mungkin pria itu muncul. Dia sudah mati. Lagian itu cuma mimpi.” Lantas, Andini mengambil ponselnya yang ada di atas nakas. Cepat-cepat dia menyalakan senter lalu bangkit. Dia melangkah sedikit tertatih, mengecek keadaan Eva yang tidur di boks bayi. Bayi itu terlelap dengan damai.Saat Andini menyibakkan t
Senja perlahan menelan langit biru, menggantinya dengan semburat jingga yang menyerbak di atas sana. Angin sore yang sepoi-sepoi menyapu dahi Andini, menggerakkan helaian poninya.Sambil mendesah pelan, Andini menatap rumah tingkat dua di hadapannya. Rumah yang sudah ditempatinya selama sepuluh tahun, yang banyak memberinya kenangan indah maupun buruk.Truk pengangkut barang yang terakhir belum lama pergi. Sekarang giliran dirinya serta ketiga anaknya yang akan meninggalkan rumah ini.Pandangan Andini beralih ke spanduk yang terbentang di depan pagar rumahnya. Tulisan ‘Dikontrakan’ terpampang jelas.Akhirnya, Andini memutuskan untuk keluar dari rumah itu dan mengontrak untuk sementara waktu, sebelum akhirnya pindah ke Bali tahun depan.Andreas tidak ingin menempati rumah yang dibeli oleh Pras, begitupula Andini. Lagi pula, itu adalah rumah anak-anaknya.“Yuk,” Andreas menepuk pundak Andini. “Sudah sore, kita masih harus merapikan barang-barang di rumah baru.”Andini mengangguk, mening
Ratih dihantam syok yang luar biasa sehingga membuat wanita itu pingsan selama beberapa saat.Seketika Ratih mengerang, membuka kedua kelopak matanya. Dadanya masih berdebar begitu melihat Pras yang ada di samping ranjang.“Ma-Mas Pras?” Dirinya masih belum bisa mencerna semua ini. Bagaimana bisa Pras hidup kembali? Jelas-jelas dia dinyatakan tewas dalam kecelakaan pesawat tempo lalu.“Akhirnya kamu sadar juga,” raut wajah Pras terlihat sedikit cemas. “Tenang, Tih. Aku bukan hantu.”Ratih beringsut, menyandarkan punggungnya di sandaran ranjang. “Ta-tapi, bagaimana bisa? Mas Pras sudah mati…”Pras mendengus. “Kenyataannya aku masih hidup.”Ratih menjulurkan tangannya, meraba lengan Pras yang kini lebih berotot. “Astaga, jadi ini bukan mimpi?”Pras bangkit dari kursinya. Dia berjalan ke arah jendela, memandangi langit biru yang membentang di luar.“Selama ini, aku memalsukan kematianku,” tandas Pras.“Tapi, untuk apa, Mas?” Ratih terdengar penasaran.Kedua tangan Pras tenggelam di saku
Tubuh Ratih seakan membeku. Degupan jantungnya kini berdebar begitu hebat.‘Tidak. Ini enggak mungkin! Mas Pras sudah tewas dalam kecelakaan pesawat itu!’ Pekik Ratih dalam hati.Namun, sebesar apapun usahanya untuk mengindahkan pikiran itu, tetap saja Pras berdiri di depannya, dengan tubuh yang jauh berbeda seperti sebelumnya.Otot-otot tangan Pras menonjol dengan dada yang lebar.“Hai, Ratih,” Suara itu jelas suara Pras. Dia tidak meragukannya sedikit pun! Mata Ratih mengerjap cepat, berharap semua ini mimpi.Namun, wangi aroma bunga yang menyebar di tokonya terasa begitu nyata. Bayangan Pras yang mendekat pun juga nyata.Tubuh Ratih gemetar hebat dan sentuhan tangan besar di bahunya semakin menekankan bahwa Pras belum mati. Tapi bagaimana mungkin?!“Ma-Mas Pras?” Suara Ratih terdengar parau kali ini. Bola mata Pras menatapnya tajam. “Kenapa kamu terlihat begitu ketakutan, hah? Aku bukan hantu.”“Ta-Tapi…bu-bukanya Mas…”“Tewas dalam kecelakaan pesawat itu?” Pras melanjutkan kalima
“Tinggalkan putraku,” ucap Brenda saat mereka duduk berhadapan di ruang tengah.Kedua bola mata Andini langsung membelalak lebar. “A-Apa?” Bibirnya bergetar dengan pernyataan Brenda yang bagai petir di siang bolong itu.Brenda menghela napas pelan, seiring dengan kedua bahunya yang merosot. “Itu mungkin ucapan dari orangtua yang egois,” tukas Brenda lagi. “Tapi aku bukan tipe orangtua yang egois, Andini.”Kedua alis Andini bertautan. Dia masih belum menangkap maksud ucapan Brenda.“Aku enggak mungkin menyuruh Andreas untuk meninggalkanmu. Aku tahu, dari tatapan dia melihat dirimu, Andreas pasti sangat mencintaimu,” pandangan Brenda beralih ke Andini yang masih nampak tegang.Brenda lantas menggeleng. “Tidak, aku enggak akan menyuruhmu untuk meninggalkan putraku. Dan soal perbincangan semalam…”“Maafkan aku,” sela Andini cepat. “Enggak seharusnya aku mencuri dengar percakapan kalian. Aku tahu aku kelewatan, Tante.”Brenda bersedekap. “Semalam kami agak dipengaruhi alkohol. Jadi, perasa