"Embun jangan gila!!" bentak Jevin takut dan panik."Aku memang sudah gila, Jevin. Gila karena selalu memikirkanmu. Tapi kamu sama sekali tidak peduli denganku." Nada suara Embun terdengar semakin dingin. "Kalo begitu lebih baik aku mati saja." Embun frustasi.Jevin meraup mukanya dengan kasar. Sungguh dia merasa amat tertekan. Di satu sisi ia ingin mengejar Safia sang istri. Di sisi lain dia juga amat takut mendengar ancaman dari mulut Embun. Jevin mengenal Embun begitu lama. Dia tahu watak gadis itu. Walau dulu Embun terkenal kalem, tetapi gadis itu juga mempunyai watak yang keras. Embun tidak pernah bermain-main dengan ucapannya. Dan Jevin tidak mau sesuatu hal buruk menimpa pada gadis yatim piatu itu. Akhirnya, dengan frustasi dia mengalah. "Oke-oke. Aku akan datang. Kamu tunggu saja di situ!" Jevin memutuskan sambungan telepon.Gegas pria itu memasukkan ponsel dan kunci mobil ke saku celana panjangnya. Selanjutnya ia langkahkan kaki cepat-cepat menuruni anak tangga. Berlari Jev
***"Jeviiin!"Jevin tidak menggubris teriakan histeris dari Embun. Pria itu tergesa masuk mobil. Sekarang yang di benakya adalah ke mana ia harus mencari istrinya itu. Dan rumah sang mertua adalah tempat pertama yang akan ia singgahi.Kembali Jevin menancap gas. Mobilnya melaju dengan mulus. Namun, ia harus terjebak macet di jalan protokol. Pria itu menggebrak keras klaksonnya.Sungguh Jevin merasa frustasi. Kenapa harus serumit ini kisah hidupnya? Di saat dirinya sudah mulai menerima Safia dalam hati, kenapa wanita itu justru malah lari meninggalkan dia. Jevin akui dirinya bersalah, tetapi kenapa Safia tidak mau mendengarkan penjelasannya terlebih dahulu.Lampu merah berganti hijau. Namun, laju mobilnya masih tersendat-sendat akibat padatnya mobil yang melintas. Jevin menghela napas panjang. Dia akan bersujud pada istrinya meminta maaf. Dan akan berjanji tidak akan menyebut nama Embun lagi di depan Safia.Jevin telah sadar bahwa cinta Safia begitu tulus padanya. Dan madu manis yang
Safia tengah tiduran di kamar kontrakan Tania. Saudara kembarnya Mania. Gadis itu juga teman sekantornya Safia dulu. Hanya saja dirinya sudah pindah kerja sejak tujuh bulan lalu. Safia sengaja memilih bersembunyi di tempatnya Tania agar susah dicari. Dan agar semakin sulit dilacak keberadaannya, Safia juga mematikan ponsel selama sehari semalam ini.Pagi itu Safia termenung seorang diri. Tania temannya sudah berangkat kerja dari sejam lalu. Safia tiba di hunian sempit ini kemarin siang. Wanita itu sempat terombang-ambing tidak jelas di taksi karena bingung menentukan arah kaki melangkah.Safia yang tengah berduka tidak mau pulang langsung ke rumah ibu. Wanita itu tidak mau ibunya tahu permasalahan yang sedang menimpa dirinya. Sehingga ia memutuskan untuk menepi sejenak di pinggiran kota ini.Ditinggal sendirian membuat Safia bosan. Acara televisi juga tidak ada yang menarik baginya. Wanita itu mendesah bingung. Akhirnya ia memutuskan untuk menyalakan kembali ponselnya.Ada banyak pang
"Semua yang dikatakan Embun itu fitnah."Sebuah suara lantang membuat Safia dan Embun refleks menoleh ke arah pintu. Jevin, Yuki, dan si empunya rumah Tania sudah berdiri di ambang pintu."Dia berdusta," sanggah Jevin tegas.Gegas pria itu melangkah masuk diikuti oleh Yuki dan Tania di belakang. Jevin lekas duduk di samping Safia."Aku memang kerap mengunjungi Embun di awal pernikahan kita." Jevin mengakui, "tapi kami belum pernah sekalipun melakukan hubungan suami istri," lanjut Jevin meyakinkan istrinya. "Percaya padaku, Fia." Jevin meraih jemari sang istri untuk digenggamnya.Safia menatap mata Embun dengan lekat. Wanita itu mencari jawaban atas kebenaran omongan Jevin pada diri Embun. Namun, sang kawan hanya mampu menuduk tanpa bisa membantah."Dengar, Embun!" Kali ini Yuki ikut bicara. Pemuda itu duduk tepat di hadapan Embun dan bersebelahan dengan Tania."Lo boleh mencintai Jevin, tapi jangan cinta buta seperti ini!" Yuki menatap lekat perempuan yang selalu hadir dalam mimpinya
"Safiaaa!" pekik Jevin dan Yuki bersamaan dengan panik.Jevin lantas berlari menangkap tubuh Safia yang ambruk ke lantai."Safia ... bertahanlah, Fia!" Jevin memeluk istrinya yang tengah meringis menahan sakit yang teramat pada perutnya. Pria itu mencium rambut Safia lama. Dia pikir cara itu bisa mengalihkan rasa sakit sang istri.Tapi Safia terus saja tersengal kesakitan. Wajahnya kini sepucat kapas. "Je-Je-Jevin," sebut Safia dengan mulut yang menahan rasa sakit."Aku ... aku akan membawamu ke rumah sakit secepatnya. Bertahanlah!" tekad Jevin meyakinkan Safia."Sa-sakit, Jevin," desis Safia. "Arghhh!" Safia kian mengerang kesakitan. Lalu napas wanita itu kembali tersengal. Pandangannya pun buram. Safia tidak sadarkan diri."Fia ... Fia bangun!" jerit Jevin sambil menepuk-nepuk pipi Safia. Pria itu amat takut jika harus kehilangan Safia untuk kedua kali dalam hidupnya. Jevin terus mengguncang bahu Safia berusaha membangunkan istrinya ituEmbun sendiri seketika mematung melihat ada ba
Jevin dan Yuki sudah diperbolehkan masuk ke ruang ICU untuk melihat kondisi Safia dan Embun. Kedua wanita itu berada dalam satu ruangan. Mereka hanya terpisah sekat korden hijau saja. Jevin gegas menuju ranjang tempat Safia terbaring, sedang Yuki hanya melihat keadaan sahabat kecilnya itu sebentar saja. Pemuda itu beralih melihat kondisi Embun.Jevin yang melihat Safia tergolek lemah dengan wajah pucat seketika membuat hatinya iba. Mulut dan hidung Safia tertutup selang oksigen. Tidak ada suara selain bunyi dari alat monitor jantung. Ruangan ICU memang menyeramkan. Mata Jevin turun beralih ke perut Safia. Kini wanita itu telah berganti dengan pakaian khusus. Pria itu meringis perih. Ia dapat merasakan kesakitan yang istrinya rasa.Jevin menghela napas panjang. Tidak dapat terbayangkan, jika Safia tidak menolong dirinya. Mungkin dia yang akan terbaring lemah seperti ini. Atau mungkin dia sudah meregang nyawa.Tiba-tiba mata Jevin terasa merebak. Tanpa bisa dicegah air matanya menetes
"Maksudnya apa ini?" tanya Vino kurang paham.Dia juga sedikit tidak rela istrinya dituduh seperti itu oleh Yuki. Pria itu menatap Yuki saksama. Sorot matanya menutup penjelasan pada Yuki.Yuki hanya melirik sekilas pada Vino yang masih menatapnya serius. "Lo tanya ke istri lo aja. Tanyakan apa yang ia hasutkan pada Embun." Akhirnya Yuki berujar dengan datar.Vino segera menatap istrinya. Pria itu menelisik manik cokelat Ghea. Sedangkan Ghea hanya mampu tertunduk. Wanita ber-blouse kuning kunyit itu merasa bersalah."Ghe ...." Vino meraih dagu istrinya agar kembali mendongak. Suami istri itu saling memandang. Kembali sorot mata Vino menuntut penjelasan.Ghea lantas membuang muka. Dirinya malu mengakui kesalahannya."Maafkan aku, Vin." Akhirnya, Ghea bersuara setelah beberapa menit membisu. "Aku telah meracuni pikiran Embun untuk membenci Safia." Ghea mengaku sembari menunduk."Kenapa? Apa yang membuatmu melakukan hal itu?" Vino kembali menuntut penjelasan."Itu ... ah ... Vino." Ghea
Jevin menatap Safia. Istri sudah dipindah ke ruang inap biasa sehabis magrib tadi, setelah mendapat transfusi darah darinya tadi siang. Jevin sengaja memilih ruang VIP. Kini dirinya seorang diri menjaga sang istri. Tadi dua jam lalu mamanya baru saja menjenguk Safia. Menggantikan tugas Bu Ratih yang telah seharian menunggui Safia.Sebenarnya Jevin dilarang oleh mertuanya untuk menunggui Safia seorang diri karena pria itu masih terlihat lemas sehabis transfusi. Tetap Jevin menolak. Bahkan pria itu menyuruh Sabiru pulang saja agar tidak usah menemaninya menunggui Safia.Jevin merasa kelelahan. Pikirannya tertuju pada Yuki. Pemuda sama sekali belum menginjakkan kaki ke rumah selama Embun ada di rumah sakit ini. Jevin menghela napas. Ia dapat merasakan jika perasaan Yuki pada mantannya sungguh tulus."Kalo kamu sadar, jangan pernah lagi menyia-nyiakan ketulusan hati Yuki, Bun." Jevin bicara sendiri. "Jangan sampai menyesal seperti aku yang mengabaikan Safia," lanjutnya sembari mengelus p
Resepsi pernikahan Yuki dan Embun dilaksanakan pada keesokan malam harinya. Masih bertempat di gedung yang sama. Gaun pengantin Embun dan tuxedo Yuki masih hasil dari endorse-nya Ibu Jenni.Sebagai sahabat yang baik dan setia, Safia tentu hadir di acara penting kawan kecilnya itu. Walau sebenarnya keadaan tubuhnya sudah tidak memungkinkan. Bahkan berungkali Jevin melarang, tetapi Safia bersikeras untuk datang. Apalagi di pesta tersebut dia akan berjumpa dengan teman-teman lamanya saat masih ngantor. Keras kepala Safia tidak bisa dibendung. Akhirnya, dengan berat hati Jevin mengizinkan dengan syarat tidak terlalu lama. Safia menyanggupi syarat itu dengan riang. Selama dalam perjalanan wanita itu bersenandung kecil.Ketika dia dengan suaminya sampai di gedung pernikahan Yuki, kedua mempelai menyambutnya dengan hangat. Suasana pesta sudah mulai ramai. Safia mengedarkan pandangan. Dekorasi pelaminan penuh dengan bunga-bunga mawar. Aroma bunga sedap malam mendominasi ruangan berkonsep ser
Hari ini adalah momen tersakral pada hidup Embun. Pasalnya hari ini ia akan menanggalkan status lajangnya. Tiga jam lagi dia akan duduk berdampingan dengan Yuki menghadap sang penghulu. Mereka berdua akan mengikrarkan janji suci di depan para wali dan saksi.Kini di kamarnya, Embun tengah dirias oleh MUA rekomendasi dari Safia. Karena Embun berasal dari daerah Jawa makan gadis itu akan mengenakan kebaya Jawa Solo. Sedangkan Yuki memakai beskap Jawa.Busana pengantin tersebut dibuat langsung oleh Ibu Jenni sebagai hadiah perkawinan mereka. Jadi baik Yuki maupun Embun tidak mengeluarkan rupiah sepersepun. Tentu saja kedua calon mempelai tersebut merasa amat bahagia.Terutama Embun. Karena kebaya yang akan membalut tubuh moleknya itu terlihat sangat indah dan mewah. Kebaya beludru hitam itu berpotongan leher V. Kombinasi brokat dan aksen yang serba keemasan membuat kebaya tersebut terlihat mewah. Sementara ekor panjangnya menambah kesan anggun.*"Cantik," puji sang MUA usai melukis waja
Safia tengah mematutkan diri di cermin. Siang ini dia akan pergi periksa kandungan. Usia kandungannya sudah memasuki minggu ketiga puluh lima.Detik-detik menanti kelahiran. Dirinya sudah harus cek kandungan seminggu sekali. Beruntung Jevin selalu bersedia menemaninya untuk check up. Sesibuk apapun dirinya tidak pernah absen.Ketika Safia baru saja memoles bibirnya dengan lipstik terdengar derit pintu kamar. Safia menoleh. Seraut wajah kusut datang. Jevin sang suami melangkah gontai, lalu melempar begitu saja tubuhnya ke ranjang dengan tengkurap. Wajah pria itu terbenam pada bantal bersarung warna putih tersebut. Mau tak mau Safia harus menghampiri Jevin."Ayang Mbep, ada apa ini?" tanya Safia lembut. Ia memegang pundak suaminya pelan. "Dateng-dateng kok mukanya ditekuk gitu?" tegur Safia perhatian.Jevin membalikkan badan. Wajah pria yang sehari-hari tampak tenang kini terlihat keruh. "Pak Budi hari ini banyak melakukan kesalahan, Fi," curhat Jevin lemah.Pria itu menyebut nama seker
Safia dan Jevin tengah jalan pagi mengitari komplek. Safia memang teratur melakukan olahraga tersebut semenjak hamil trimester pertama. Selain mudah, murah, juga kaya manfaat.Jevin sendiri berusaha menjadi suami siaga. Jadi setiap pagi sebelum berangkat kerja, dirinya menyempatkan diri menemani sang istri. Selain itu juga sekalian berolahraga untuk kebugaran tubuh.Jalan kaki dipilih karena dapat menjaga berat badan, menurunkan kadar kolesterol, serta menyeimbangkan tingkat tekanan darah. Sehingga mengurangi resiko kelahiran prematur.Satu jam berlalu. Safia merasa cukup berolahraga. Peluh juga mulai membanjiri badan. Wanita itu mengajak pulang suaminya.Di jalan Safia menyempatkan diri membeli bubur ayam. Kebetulan ada tukang bubur ayam lewat yang merupakan langganan. Tidak tanggung-tanggung, Safia memesan tiga porsi sekaligus."Yang satu buat siapa, Fi?" tanya Jevin sembari mengerutkan kening. Pasalnya di rumah cuma ada mereka berdua."Buat baby dong," sahut Safia seraya mengelus p
Enam bulan kemudianPukul empat sore. Embun telah menyelesaikan semua tugas dengan baik. Gadis itu lekas merapikan berkas-berkas. Usai merasa semua sudah beres, gadis yang tahun ini genap menginjak angka dua puluh lima tahun itu gegas menyangklong tas kecil bermerk Hermes itu.Sejak insiden berdarah beberapa waktu lalu Embun masih kerja di perusahaan yang sama. Namun, tidak dengan Safia. Wanita itu memilih resign dari perusahaan beberapa bulan lalu atas desakan sang suami. Kini dirinya sibuk membantu mertuanya mengelola bisnis."Aku cabut dulu ya, Genk," pamit Embun pada rekan-rekan kerjanya.Vani dan Mania yang duduk tidak jauh dari mejanya mengacungkan jempol pada Embun.Tersenyum semringah Embun melangkah kaki. Bersama rekan yang lain dia masuk lift untuk turun ke lobby. Matanya langsung menangkap bayangan Yuki yang tengah duduk santai di kursi lobby. Dengan penuh keanggunan dan senyum yang selalu tersunging, dara itu menderap mendekati sang bujang."Hai ... udah lama?" sapa Embun
❤️❤️Tujuh bulan kemudianTengah malam buta sekitar jam dua dini hari. Safia yang terbangun dari tidur. Wanita mungil berperut besar itu menggeliat pelan. Matanya melirik sosok lelaki yang tengah terlelap damai di samping. Jevin tidur dengan mulut yang sedikit terbuka. Menimbulkan bunyi dengkuran halus. Safia senang mendengarnya. Merasa gemas wanita itu mengecup lembut bibir bersih bebas nikotin itu.Padahal Safia hanya mengecup ringan bibir sang suami. Namun, Jevin yang sensitif segera sadar. Masih dengan memejam Jevin balas mencium Safia dengan ganas."Lagi, yuk!" ajak Jevin setelah mereka melepas ciuman untuk mengambil pasokan oksigen. Pria itu mengedipkan satu mata nakal. Ketika Safia menggeleng, Jevin justru menarik sang istri untuk didekap rapat."Tadi jam sepuluh waktu mo bobok kan udah," ujar Safia sembari melepas dekapan sang suami. "Kasihan dedek bayi ini kalo mamanya digoyang mulu," lanjut Safia mencubit gemas pipi suaminya."Salah sendiri malam-malam bangun terus nyiumin
Malam beranjak larut. Namun, Jevin masih saja berkutat dengan layar monitor. Pria itu membawa pekerjaan yang belum tuntas di kantor ke rumah. Sedari sejam lalu matanya tidak lepas dari layar laptopnya.Keadaan itu membuat Safia gusar. Ini malam Jumat. Wanita itu ingin bermanja-manja dengan suaminya. Tetapi sang suami seperti tidak peka. Membuat dirinya bergelung di ranjang seorang diri.Untuk membunuh waktu menunggu suaminya merampungkan pekerjaan, Safia memainkan ponselnya. Wanita itu memilih bermain dengan assiten google. Dirinya terkikik geli saat suara perempuan di ponselnya memberikan guyonan-guyonan ringan.Jevin yang duduk di meja kerja dalam ruangan itu merasa sedikit terganggu mendengar cekikikan Safia. Pria itu mengerutkan kening melihat Safia terpingkal-pingkal di ranjang seorang diri. Merasa penasaran lelaki itu lekas menutup laptopnya untuk kemudian mendekati istrinya."Lagi ngapain sih?" tanya Jevin penasaran. Pria itu duduk menempel pada sang istri."Lagi pacaran," sahu
Embun telah tiba di hunian sang bibi. Rumah tampak lenggang. Sepertinya para pegawai katering sang bibi telah pulang. Gadis itu sendiri lekas masuk kamar tanpa menghadap sang tante.Ia melemparkan begitu saja sling bag kepunyaan ke ranjang. Lalu disusul dengan pelemparan tubuh lelahnya. Mata Embun menerawang jauh. Pikirannya tidak terlepas dari kejadian seharian ini. Ghea yang culas seketika mendapatkan karmanya dengan dibayar tunai.Embun pun menilai diri sendiri. Gadis itu mulai mengingat semua. Dia sudah tahu siapa jati diri dan orang-orang terdekatnya. Ketika peristiwa insiden penusukan perut Safia mengulang di mata, Embun menangis. Dia merasa amat menyesal."Tidak akan pernah ada habisnya jika aku terus mengejar Jevin. Tidak!" Embun bergumam sendiri. "Aku lelah. Safia dan Jevin pun sama lelahnya dengan aku." Embun membesit hidungnya yang kini terasa mampat akibat isakannya. "Aku pasrah. Jevin bukanlah jodohku." Akhirnya Embun bertekad.Kini gadis itu bangkit dari duduk. Diraihny
"Arghhhh!"Ghea terus saja mengerang. Wanita itu merasakan sakit yang teramat pada perutnya. Seperti ada ribuan tangan yang meremas kencang perut ratanya.Mendengar itu spontan Safia dan Embun kian cemas. Apalagi darah terus saja mengalir dari diri Ghea. Safia berjalan menjauh. Suara riuh dari orang-orang yang merubung membuatnya susah mendengar. Safia kini tengah mencoba menghubungi Vino.Embun sendiri tiba-tiba merasa pusing melihat darah merah menggenang di lantai. Gadis itu merasa ngeri. Melihat darah banyak dan wajah-wajah panik membuat otaknya mengirim sinyal memori. Mendadak peristiwa penusukan perut Safia yang ia lakukan terbayang di mata. Sekelebat wajah panik dari Jevin, Yuki, dan juga Tania menghiasai matanya."Arghhhh!" Embun ikut mengerang.Gadis itu melepaskan begitu saja pangkuan Ghea padanya. Embun merasakan kepalanya berdenyut pening jika mencoba mengingat semua."Embun!"Safia yang mendengar Embun menjerit kesakitan refleks mendekati gadis itu."Kamu kenapa, Bun?" ta