"Karmika, karmika!" Teriak Pangeran Balaputeradewa. Ada kemarahan dalam suaranya."Hamba menghadap tuanku." Kata Karmika"Prajurit sandi macam apa kau ini? Menemukan Mpu Panukuh dan Mpu Kumbhayoni saja tidak becus. Malah Mpu Kumbhayoni dan anak buahnya datang dan menyusup untuk menyakiti putri Ganika, kau malah tidak tahu. Sungguh memalukan. Pada saat Jentra Kenanga memimpin tidak seperti ini kerja kalian. Mengapa sekarang tidak ada disiplin dan koordinasi yang jelas diantara pasukan sandi. Meskipun secara kedinasan aku memegang Walaing. Tetapi tidak berarti aku kehilangan kewenanganku di pasukan Sanditaraparan."Pangeran Balaputeradewa memarahi Karmika sebagai devisi sandi pengamanan Kerakyanan Walaing.Devisi Pengamanan Walaing tidak hanya bertugas mengamankan wilayah tersebut dari kemungkinan di serang musuh tetapi sekaligus juga sebagai pasukan kawal rahasia keluarga Rakai yang memimpin. Karmika sendiri sungguh merasa malu karena ia bisa kebobolan."Apa saja kerjamu dengan teman-tem
Wiku Magha mencari jalan memutar untuk menghindari para anggota pasukan sandi yang disebar oleh Pangeran Balaputeradewa. Ia mencium niat yang lain dari Mahamentri I Halu untuk meraih kekuasaan dan menekan kedudukan Maharaja. Wiku Magha juga mengerti bahwa satu-satunya senjata yang dapat dipakai untuk menekan Maharaja adalah Mpu Panukuh. Jika Mahamentri I Halu mampu menangkap Mpu Panukuh hidup-hidup maka ia bisa menggunakan calon Rakai muda wangsa Sanjaya itu sebagai bonekanya. Atau sebagai sandera untuk meraih dukungan."Gusti ayu!" Wiku Magha mengetuk pintu pelan.Lintang Sotya abdi dari Dyah Meitala-pun membuka pintu."Ah Lintang, apakah Gusti Ayu Meitala belum tidur?" Tanya Wiku Magha."Belum Wiku, namun sedang melakukan puja." Kata Lintang Sotya."Bisakah kau minta beliau untuk menemuiku sekarang. Ini sangat penting dan mendesak Lintang."kata Sang Wiku."Siapa yang datang, Lintang?" Terdengar suara yang sangat lembut dari dalam bilik."Hamba Gusti ayu. Wiku Magha." Jawab MaghaDyah
"Apa? Mereka membakar Tuk Mas."Teriak Wiku Sasodara tidak percaya."Gusti Panukuh...." Kelwang seketika jatuh terduduk."Apakah berita itu bisa dipercaya kakang Jentra?" Tanya Candrakanti"Gananendra mengirimkan pesan kepadaku. Perintah langsung turun dari Maharaja Samarattungga karena Maharaja mencurigai ada gerakan dari Walaing yang menyokong Tuk Mas berupa uang emas yang katanya untuk membeli senjata. Keberadaan Tuk Mas sendiri telah diberitahukan oleh seorang sandi yang langsung memberikan laporan kepada Maharaja." Jawab Jentra.Sasodara menahan amarah yang teramat sangat. Wajahnya memerah dan mata yang menyala. Jentra Kenanga sangat khawatir jika nanti Sang wiku mencapai puncak amarahnya, ia akan mengeluarkan seluruh kesaktiannya untuk meluluh lantakan Medang. "Sabarlah guru. Semua belumlah pasti benar. Para sandi yang bertugas di lapangan pasti hanya akan melaporkan keberhasilan mereka, karena mereka pasti berharap tidak dihukum. Namun saya tidak yakin Wiku Magha gagal menyelam
Rukma dan Gaurika mengelap keringat mereka yang becucuran saat membolak-balikan mayat yang terbakar baik hanya sebagian maupun seluruhnya. Namun tidak ada tanda-tanda itu Mpu Panukuh ataupun Dyah Meitala. Sementara Kelwang mencoba mengenali juga orang-orang dari Kelasa yang dikenalinya, namun tidak satu-pun ditemuinya. Begitu juga tanda-tanda Mpu Kumbhayoni dan guru-gurunya yang dari Walaing."Di sebelah sana tidak ada."Kata Rukma"Di sisi sebelah sini-pun aku tidak menemukan siapapun. Aku akan mencoba melihat yang ada di sebelah sana. Mungkin aku bisa menemukan tanda-tanda kehidupan."Jawab Gaurika. Rukma mengangguk."Kau menemukan teman-temanmu Kelwang?" Tanya Rukma"Belum Kakang. Tapi aku menemukan kelat bahu Munding. Apa mungkin mereka ditawan?"Tanya Kelwang."DI mana kau menemukannya?" Rukma memeriksa kelat bahu atau gelang lengan yang ditemukan Kelwang."Aku menemukan di sana kakang." Kata Kelwang sambil menunjuk hutan yang cukup lebat."Kalau ditawan, pasti akan mengarah ke Poh
"Mengapa ke Gunung Gora?" Tanya Rukma saat mereka berjalan beriringan menuju tempat persembunyian Mpu Panukuh. "Karena Gora adalah benteng pertahanan terkuat wangsa Sanjaya. Di tempat itu masih ada Rakai Gejahlewa yang merupakan abdi setia wangsa Sanjaya. Hhmm....seharusnya saya tidak mengatakan ini kepada Sanditaraparan Medang." Kata Bahuwirya sambil tersenyum."Meskipun aku perwira Sanditaraparan, namun aku tidak mengabdi pada kekuasaan. Aku mengabdi pada kebenaran yang didasarkan pada undang-undang negara. Benar kami dilantik oleh seorang Raja, tetapi bahkan Raja-pun harus tunduk pada ketentuan negara berupa undang-undang yang disepakati Dewan kerajaan." Jawab Rukma."Jadi menurut Anda, apakah Maharaja Samarattungga tidak sedang menyimpang dari undang-undang itu?" Tanya Diraya"Jika menurut pengamatanku, Maharaja Samarattungga tidak melakukan kesalahan ini sendirian namun seluruh anggota Dewan kerajaan turut andil di dalam kekacauan ini, terutama wangsa Sanjaya yang tidak murni, a
"Sial. Mengapa bisa lolos?" Teriak Sriti lirih, namun meskipun lirih tetap terdengar oleh Candrakanti yang sedang meninggikan radarnya sejak Rukma, Gaurika dan Kelwang turun.Candrakanti terus memperhatikan dan mengawasi pergerakan Sriti, bukan hanya supaya Sriti tidak membahayakan anggota kelompoknya namun sekaligus supaya Sriti tidak mendekati Jentra Kenanga. Hanya saja ia juga terikat oleh tugas yang diberikan Maharaja Samarattungga. Kegelisahan Candrakanti-pun sempat terbaca oleh Jentra Kenanga, yang bukan tidak tahu berkaitan dengan tugas yang diterima istrinya dari Maharaja Samarattungga sendiri. Namun Jentra tetap berpura-pura seperti tidak tahu apa-apa. Termasuk saat ini, ketika perburuan Mustika telah masuk ke tahap-tahap paling rumit karena yang mereka hadapi bukan hanya manusia saja, namun juga penunggu-penunggu Gunung yang memiliki kesaktian diluar nalar yang hanya bisa dikalahkan dengan olah spiritual."Malam ini kita akan memasuki demensi yang berbeda dari perjalanan ki
Jentra dan Amasu menggiring Sriti menuju ke perkemahan Nagarjuna di perut Gunung, agak jauh dari tempat dimana Jentra dan Amasu mendirikan perlindungan mereka dari dingin dan kabut. Sriti menangis sepanjang jalan dan menghiba untuk dikasihani."Ayolah Kakang Jentra. Jangan lakukan ini padaku. Aku sungguh menyesalinya. Aku....aku melakukan ini karena aku ingin bisa mendapatkan perhatianmu. Kakang....tolonglah, bagaimana aku menjalani hariku tanpamu." Tangis Sriti sambil merayu Jentra yang terus menarik tangan Sriti tanpa bicara apa-apa.Amasu sebenarnya ingin sekali menggoda Jentra. Namun ia tidak sampai hati melihat sahabatnya yang begitu serius menangani kasus ini. Pada perburuan mustika yang pertama dan memasuki demensi berbeda, Jentra sempat hampir mendapatkan mustika Kalimaya jika saja Sriti tidak membuyarkan meditasinya. Sehingga akhirnya ia hanya mendapatkan tiga buah permata Biduri yang dikirimkan kepada calon menantunya Mpu Panukuh.Kali ini Jentra sepertinya tidak ingin kebob
"Mengapa kau bawa ia kembali?" Tanya Candrakanti dengan marah."Kau tidak melihat? Tombak Nagarjuna menembus punggungnya Kanti. Ia terluka parah." Kata Jentra sambil mengambil obat-obatan yang diperlukan untuk menghentikan pendarahan pada luka Sriti."Nagarjuna ternyata sangatlah kejam. Tidak ada belas kasihan sedikit-pun pada wanita yang selama ini membantunya. Lepas Sriti telah mengkhianati kita, namun kita wajib menolongnya Kanti." Kata Wiku Sasodara yang masih berusaha menghentikan pendarahan Sriti dengan menggunakan ilmu pengendalian airnya. "Benar. Senjata Nagarjuna itu sangat berbahaya, ia tidak hanya menusuk tetapi juga bisa mengembang seperti payung sehingga akan mengupas jaringan atau organ jika benar sampai masuk ke perut Jentra. Sriti menyelamatkannya Kanti. Jadi kumohon, berbelas kasihanlah. Hilangkanlah kebencianmu dan rasa cemburu itu." Kata Amasu.Jentra dan Sasodara mengunci beberapa titik pembuluh darah Sriti dengan ilmu kanuragan mereka. Lalu Sasodara menjahit luka
Balaputerdewa dihadapkan pada majelis Pamgat yang dipimpin oleh Maharaja sendiri.Jentra, Rukma, Amasu dan Sasodara yang hadir di situ terpekur dengan sedihnya. Sebagai Mahamentri, kedatangan Balaputeradewa dikawal dan dijaga ketat oleh pasukan kawal istana maupun para Sanditaraparan. Namun kehadirannya dalam majelis itu masih diperkenankan memakai pakaian kebesarannya.Wiku Wirathu membuka sidang dengan pembacaan sutera dan segera setelahnya, para Pamgat yang terdiri dari pangeran-pangeran sepuh dan para Wiku duduk baik sebagai penuntut maupun sebagai pembela. Banyak Pangeran sepuh wangsa Syailendra yang berdiri dibelakang Sang Mahamentri I Halu. Tapi yang muda lebih banyak menentangnya karena fanatisme wangsa dianggap sebagai pemahaman kuno yang sudah tidak relevan dengan perkembangan jaman. Sementara hakim yang mengadili adalah Maharaja sendiri di dampingi, Mahamentri I Hino yang dalam hal ini diwakili Rakai Pikatan, Wiku Wirathu dan Wiku Sasodara.Semua tuntutan dibacakan untuk m
Ternyata kekuatan tentara Walaing, benar-benar tidak dapat dibandingkan dengan kekuatan pasukan Medang. Mereka menggulung kekuatan tentara Walaing seperti badai menelan segala yang dilewatinya, meskipun pesan Sang Rakai adalah tidak membunuh tapi hanya melumpuhkan saja. Welas asih dan dhamma yang diajarkan para Wiku ternyata begitu merasuk dalam hati Sang Pikatan sehingga peperangan yang dilakukan-pun seminimal mungkin membawa korban jiwa.Sementara Jentra menyusup memasuki kedaton Walaing yang telah mulai terbakar api. Rupanya Sang Balaputeradewa-pun telah bertekad untuk melakukan puputan yang artinya bahwa jika ia kalah maka ia akan menghadapi mahapralaya itu dengan kematiannya sendiri. Saat Balaputeradewa melihat pasukan belakangnya telah mencapai ambang kehancuran dan tentara musuh mulai menjejakan kaki ke halaman istananya. Ia telah mulai mencabut pedang dan kerisnya siap menjemput maut sebagai seorang ksatria dan Mahamentri wangsa besar yang dibanggakannya."Berhenti tuanku. Dul
"Gusti, apa Gusti akan yakin akan melakukan perang Puputan. Sekali lagi hamba mohon Gusti, jangan gegabah memutuskan untuk perang puputan. Gusti harus ingat bahwa di Walaing, bukan hanya peninggalan Walaing saja yang harus tuanku jaga. Tetapi di Walaing ada Abhaya Giri Wihara peninggalan Syailendra Wangsa Tilaka yang lainnya yaitu Sri Maharaja Rakai Panangkaran. Apa Gusti akan membiarkan putera wangsa Sanjaya menghancurkannya hingga rata dengan tanah." Aswin menyembah hingga hidungnya menempel ke tanah."Tetapi ini adalah masalah harga diri dan kehormatan Aswin. Apa kau rela kita akan hidup sebagai orang yang kalah dan dicemoohkan setiap kali? Itu-pun kalau Sri Maharaja Samarattungga tidak menghukum mati kita juga. Jadi apa bedanya Aswin?" Sahut Balaputeradewa saat bersiap untuk kembali ke Walaing."Permohonan saya, Iswari dan Karmika tetap sama Gusti. Lebih baik kita kehilangan harga diri dan kehormatan daripada kita berdosa kepada leluhur wangsa Syailendra. Apalagi putra tuanku masi
Pangeran Balaputeradewa menembus kabut tebal dan dinginnya malam untuk menyambut kedua buah hatinya. Bersama Aswin ia berkuda tanpa atribut sebagai seorang Mahamentri. Pengawal yang menyertainya juga hanya enam sampai tujuh orang saja, juga tanpa atribut sebagai perajurit tapi menyamar sebagai warga biasa."Apakah tempat itu sangat jauh Aswin?" Tanya Pangeran Balaputeradewa."Ya tuanku. Tapi dengan berkuda cepat seperti ini saya memperkirakan tengah malam kita akan sampai." Jawab Aswin."Aku tidak bisa meninggalkan Walain terlalu lama, karena kakak iparku Samarattungga pasti sudah tidak sabar untuk memotong kepalaku ini." Jawab pangeran Balaputeradewa."Jangan berpikir yang buruk tuanku. Apalagi di saat tuanku memiliki putra. Anggaplah keduanya hadiah dari Yang Maha Agung sehingga kelak akan menjadi permata wangsa Syailendra. Saya rasa tuanku Samarattungga tidak akan segera menyerang saat fajar menyingsing karena mengerahkan puluhan ribu pasukan bukanlah hal mudah." Aswin mencoba mene
Aswin mengikuti Pangeran Balaputeradewa ke bangsal agung Perdikan Walaing. Seluruh pasukan telah dimobilisasi, namun warga asli Walaing memilih untuk menyembunyikan diri di gua-gua yang tersebar di pesisir Walaing. Mereka ketakutan jika peristiwa pembantaian beberapa tahun lalu terjadi lagi."Atreya! Atreya!" Teriak Pangeran Balaputeradewa memanggil orang kepercayaan untuk menghadap. Atreya tergopoh-gopoh datang dan menyembah."Sembah hamba paduka Mahamentri I halu. Tuanku sudah kembali. Apa yang bisa hamba lakukan untuk tuanku?" Tanya Atreya. "Perkuat pertahanan dan tutup semua jalan menuju Walaing. Siagakan semua tentara cadangan, pasukan gajah dan pasukan berkuda." Kata Sang pangeran."Baik paduka. Tapi siapa musuh kita kali ini hingga semua sumber daya dikerahkan?"TanyaAtreya."Apa pedulimu lakukan saja. Kita akan berperang melawan orang-orang Kedu. Orang-orang Samarattungga." Jawab Pangeran Balaputeradewa tanpa rasa hormat.Atreya seketika bersujud di bawah kaki Sang pangeran, b
Rukma memacu kudanya menuju rumah Sriti, namun di dalam perjalanan ia harus berhadapan dengan sisa-sisa pasukan Pangeran Balaputeradewa. Mereka mencegat Rukma dan menghentikan kudanya."Berhenti ki sanak. Kau orang dari Kedu mau melintas ke mana?" tanya salah seorang prajurit."Aku hendak masuk ke dalam kota, apa pedulimu?" Rukma balik bertanya."Apakah kau tidak tahu bahwa kekacauan sedang terjadi sehingga tidak seorang-pun boleh melintas wilayah ini." Kata prajurit yang lain lagi."Istriku hendak melahirkan, jadi kau ijinkan atau tidak kau ijinkan aku akan tetap lewat wilayah ini. Lagipula wilayah ini masih merupakan wilayah Kedu jadi mengapa kau menghalangiku." Kata Rukma sambil menarik tali kekang kudanya sehingga kudanya berdiri dengan dua kaki naik ke atas dan hendak menendang prajurit di hadapannya. Prajurit itu-pun mundur, dan saat ada jalan Rukma langsung menghela kudanya."Dia lari, kejar!" teriak prajurit-prajurit itu, sambil melemparkan tombak ke arah Rukma. Namun Rukma be
Jentra Kenanga dan Kunara Sancaka mulai kewalahan menghadapi ribuan anak panah yang dilepaskan pasukan Mahamentri I Halu. Tembok air yang mereka gunakan untuk menahan panah-panah itu mulai tergerus dan panah-panah mulai menembusi tubuh mereka. Melihat keadaan semakin genting, Rakai pikatan tidak tinggal diam, Ia merapalkan mantra kekuatan pengendalian tanahnya."Rana bantala!" Teriaknya. Seketika tanah di bawah panggung di mana pasukan pemanah Mahamentri I Halu terangkat dan memutar. Pasukan panah itu-pun mulai panik. Namun Mahamentri I Halu memerintahkan untuk terus menghujani mereka dengan panah-panah itu.Rakai Pikatan meningkatkan kapasitas energinya hingga akhirnya tidak hanya tanah tempat pijakan mereka yang bergerak dan memutar, namun batu-batu besar yang terpendam mulai melayang ke permukaan. Batu-batu besar itu mulai menyerang pasukan-pasukan panah itu seperti peluru yang ditembakan. Wiku Sasodara yang ada disitu juga tidak tinggal diam, ia-pun mulai juga bergerak untuk men
Perkawinan Agung antara Rakai Pikatan dengan Mahamentri I Hino benar-benar diselenggarakan dengan meriah. Banyak tamu yang hadir dalam perhelatan yang diselenggarakan selama hampir satu bulan. Rakyat-pun ikut menikmati kemeriahan pesta yang diselenggarakan istana dan mereka bisa menikmati aneka makanan serta jajanan gratis."Aku senang seluruh rakyat dapat menikmati pesta yang menyenangkan ini. Hanya semua pasti ada akhirnya bukan? Tidak selamanya kita akan berpesta. " Kata Andaka pada Kelwang, Munding dan Rukma."Benar. Tapi puncak acara yang sangat ditunggu adalah pemberian berkat bagi pengantin dari para Wiku. Aku jadi penasaran saja apa yang akan menjadi hadiah Wiku Wirathu dan Sasodara nanti bagi kedua mempelai." Rukma memang sedang bertanya-tanya apakah Wiku Sasodara benar-benar akan memberikan mustika Udarati pada kerajaan Medang atau justru menyimpannya untuk Pangeran Balaputeradewa."Kau benar Kakang Rukma. Aku juga sangat penasaran dan jika tidak salah. Puncaknya adalah mala
Bangunan suci di Bhumi Sambhara telah diresmikan. Semua orang berbahagia terutama para Wiku karena Bhumi Sambhara akan menarik banyak orang untuk datang dan bersembahyang di tempat suci itu. Sehingga persembahyangan itu tidak hanya mendatangkan berkat dari doa-doa mereka yang berziarah namun sekaligus akan menjadi pemicu peningkatan ekonomi Medang dari perdagangan dan wisatanya."Wiku Sasodara sekarang sampailah kita pada pemberian hadiah pada Silpin Agung yang telah menyelesaikan pembangunan Bhumi Sambhara Budura. Aku akan menganugerahkan gelar Rakai dan akan kuberikan wilayah Kailasa kepadanya." Maharaja Samarattungga bertitah. Mendengar berita itu Sang putri Dyah Meitala dan putranya Pikatan langsung berlutut. Warisan ayah mereka akhirnya kembali lagi kepadanya. "Mulai hari ini silpin Agung Medang akan bergelar Rakai, dan akan disebut sebagai Rakai Pikatan Dyah Saladu yang akan menguasai Keilasa dan sekitarnya di wilayah Kewu. Kami semua warga Medang berterima kasih kepadanya atas