"Mengapa ke Gunung Gora?" Tanya Rukma saat mereka berjalan beriringan menuju tempat persembunyian Mpu Panukuh. "Karena Gora adalah benteng pertahanan terkuat wangsa Sanjaya. Di tempat itu masih ada Rakai Gejahlewa yang merupakan abdi setia wangsa Sanjaya. Hhmm....seharusnya saya tidak mengatakan ini kepada Sanditaraparan Medang." Kata Bahuwirya sambil tersenyum."Meskipun aku perwira Sanditaraparan, namun aku tidak mengabdi pada kekuasaan. Aku mengabdi pada kebenaran yang didasarkan pada undang-undang negara. Benar kami dilantik oleh seorang Raja, tetapi bahkan Raja-pun harus tunduk pada ketentuan negara berupa undang-undang yang disepakati Dewan kerajaan." Jawab Rukma."Jadi menurut Anda, apakah Maharaja Samarattungga tidak sedang menyimpang dari undang-undang itu?" Tanya Diraya"Jika menurut pengamatanku, Maharaja Samarattungga tidak melakukan kesalahan ini sendirian namun seluruh anggota Dewan kerajaan turut andil di dalam kekacauan ini, terutama wangsa Sanjaya yang tidak murni, a
"Sial. Mengapa bisa lolos?" Teriak Sriti lirih, namun meskipun lirih tetap terdengar oleh Candrakanti yang sedang meninggikan radarnya sejak Rukma, Gaurika dan Kelwang turun.Candrakanti terus memperhatikan dan mengawasi pergerakan Sriti, bukan hanya supaya Sriti tidak membahayakan anggota kelompoknya namun sekaligus supaya Sriti tidak mendekati Jentra Kenanga. Hanya saja ia juga terikat oleh tugas yang diberikan Maharaja Samarattungga. Kegelisahan Candrakanti-pun sempat terbaca oleh Jentra Kenanga, yang bukan tidak tahu berkaitan dengan tugas yang diterima istrinya dari Maharaja Samarattungga sendiri. Namun Jentra tetap berpura-pura seperti tidak tahu apa-apa. Termasuk saat ini, ketika perburuan Mustika telah masuk ke tahap-tahap paling rumit karena yang mereka hadapi bukan hanya manusia saja, namun juga penunggu-penunggu Gunung yang memiliki kesaktian diluar nalar yang hanya bisa dikalahkan dengan olah spiritual."Malam ini kita akan memasuki demensi yang berbeda dari perjalanan ki
Jentra dan Amasu menggiring Sriti menuju ke perkemahan Nagarjuna di perut Gunung, agak jauh dari tempat dimana Jentra dan Amasu mendirikan perlindungan mereka dari dingin dan kabut. Sriti menangis sepanjang jalan dan menghiba untuk dikasihani."Ayolah Kakang Jentra. Jangan lakukan ini padaku. Aku sungguh menyesalinya. Aku....aku melakukan ini karena aku ingin bisa mendapatkan perhatianmu. Kakang....tolonglah, bagaimana aku menjalani hariku tanpamu." Tangis Sriti sambil merayu Jentra yang terus menarik tangan Sriti tanpa bicara apa-apa.Amasu sebenarnya ingin sekali menggoda Jentra. Namun ia tidak sampai hati melihat sahabatnya yang begitu serius menangani kasus ini. Pada perburuan mustika yang pertama dan memasuki demensi berbeda, Jentra sempat hampir mendapatkan mustika Kalimaya jika saja Sriti tidak membuyarkan meditasinya. Sehingga akhirnya ia hanya mendapatkan tiga buah permata Biduri yang dikirimkan kepada calon menantunya Mpu Panukuh.Kali ini Jentra sepertinya tidak ingin kebob
"Mengapa kau bawa ia kembali?" Tanya Candrakanti dengan marah."Kau tidak melihat? Tombak Nagarjuna menembus punggungnya Kanti. Ia terluka parah." Kata Jentra sambil mengambil obat-obatan yang diperlukan untuk menghentikan pendarahan pada luka Sriti."Nagarjuna ternyata sangatlah kejam. Tidak ada belas kasihan sedikit-pun pada wanita yang selama ini membantunya. Lepas Sriti telah mengkhianati kita, namun kita wajib menolongnya Kanti." Kata Wiku Sasodara yang masih berusaha menghentikan pendarahan Sriti dengan menggunakan ilmu pengendalian airnya. "Benar. Senjata Nagarjuna itu sangat berbahaya, ia tidak hanya menusuk tetapi juga bisa mengembang seperti payung sehingga akan mengupas jaringan atau organ jika benar sampai masuk ke perut Jentra. Sriti menyelamatkannya Kanti. Jadi kumohon, berbelas kasihanlah. Hilangkanlah kebencianmu dan rasa cemburu itu." Kata Amasu.Jentra dan Sasodara mengunci beberapa titik pembuluh darah Sriti dengan ilmu kanuragan mereka. Lalu Sasodara menjahit luka
"Candrakanti, kuharap kau dan Jentra mau untuk menyimpan dahulu permasalahan pribadi kalian. Simpan semua kecemburuanmu. Sekarang kita tinggal berlima, sedangkan Sriti terluka. Jadi kuminta jagalah Sriti baik-baik. Kau tidak akan bisa memasuki demensi mustika karena menyimpan terlalu banyak kemarahan di hatimu. Tetapi aku, Jentra dan Amasu harus masuk ke sana untuk mengambil mustika itu. Jika terjadi apa-apa pada Sriti, kau harus bertanggung jawab." Pesan Wiku Sasodara."Kau juga tidak perlu khawatir, Kanti. Guru sudah memberikan rajah di sekitar tempat kita berkemah. Jadi selama kau dan Sriti tidak keluar dari area rajah itu, kau aman. Bangsa dhemit atau makhluk halus tak akan bisa menembusnya. Sementara manusia tidak akan melihat keberadaanmu dan Sriti." Amasu juga ikut menyampaikan hal-hal yang perlu diketahui Candrakanti"Kanti maafkanlah aku jika selalu menyakitimu. Aku akan pergi untuk berjuang mencari mustika itu. Kuharap doamu karena bagaimanapun kau adalah istriku, jadi aku ak
Ketiga orang itu kemudian diantar masuk ke ruang meditasi yang besar dan luas, segera sesudahnya ruangan itu dikunci dari luar dengan meninggalkan kegelapan yang benar-benar pekat. Sunyi tanpa suara, tanpa cahaya dan seperti tanpa kehidupan. Sasodara, Amasu dan Jentra-pun segera mengambil sikap meditasi sempurna.Mereka menutup semua panca indra kecuali yang berhubungan dengan nafas. Kepasrahan sepenuhnya, tanpa keinginan, tanpa keakuan. Hakekat dari kesempurnaan adalah kekosongan. Suara nafas mereka yang lirih terdengar mengingat kesunyian itu begitu mencekam. Bahkan suara air terjun di luar Kuil yang jatuh menggerojog dengan deras tidak terdengar.Setelah mereka mengheningkan dari segala keakuan, seberkas cahaya keluar dari tubuh mereka. Roh mereka, namun dalam dimensi mereka masing-masing sehingga tidak saling bertemu. Jentra menemukan dirinya dikelilingi berbagai makhluk mengerikan di sekitarnya, mencoba meraihnya, mencoba menangkapnya namun pada hakekatnya manusia memiliki deraja
Setelah mendapatkan mustika Udarati. Wiku Sasodara meminta diri pada Wiku Sadana yang telah memberikan kesempatan kepada mereka untuk mendapatkan apa yang mereka harapkan."Semoga menjadi berkah buat semesta dan semua makhluk berbahagia" kata Wiku Sadana melepaskan mereka bertiga pergi."Berjanjilah hanya akan menyerahkan mustika Udarati kepada orang yang benar-benar layak menerimanya. Seorang Chakrawartin sejati bukan penjajah dan penakluk bangsa atau wangsa lainya."Lanjutnya lagi.Wiku Sasodara berjanji dan setelah memperbarui perbekalan mereka kembali kepada Candrakanti dan Sriti."Guru!" Sambutnya gembira."Bagaimana keadaanmu dan Sriti?" Tanya Wiku Sasodara."Aku baik guru. Dia juga berangsur pulih tapi masih sedikit lemah. Lukanya sudah mulai mengering, demamnya juga mereda." Kata Candra Kanti.Amasu dan Jentra Kenanga segera berlari memeriksa Sriti. Demamnya sudah turun, namun belum bisa diajak untuk berjalan jauh. Hanya cukup berbahaya juga jika mereka tetap tinggal tanpa menc
Tepat seperti yang dikatakan Wiku Sasodara, begitu mereka menuruni Udarati, mereka telah dihadang seribu personil pasukan Kanjuruhan di bawah Tumenggung Hatala. Mereka semua bersenjata lengkap dan menunjukan sikap yang kurang bersahabat."Salam hormat Wiku! Bisakah kami memeriksa barang bawaan Anda sebelum meninggalkan Udarati khususnya dan kerajaan Kanjuruhan sebagai pemilik wilayah?" Tanya Tumenggung Hatala tanpa turun dari kudanya. Sikapnya sungguh arogan dan kurang bertata krama. Hal itu membuat Jentra tersinggung."Tumenggung, apakah di negeri Kanjuruhan ini seorang pejabat negara telah meninggalkan tata krama sehingga untuk menyapa seorang pemuka agama, Anda merasa tidak perlu turun dari kuda?" Jentra ganti bertanya. Wiku Sasodara memberikan tanda kepada Jentra untuk bersabar karena ia menangkap gelagat yang tidak baik pada para pejabat Kanjuruhan utamanya Tumenggung Hatala, Ihatra dan Madaharsa."Maaf Tumenggung. Tanpa mengurangi rasa hormat kami terhadap aturan dari negeri Kan
Balaputerdewa dihadapkan pada majelis Pamgat yang dipimpin oleh Maharaja sendiri.Jentra, Rukma, Amasu dan Sasodara yang hadir di situ terpekur dengan sedihnya. Sebagai Mahamentri, kedatangan Balaputeradewa dikawal dan dijaga ketat oleh pasukan kawal istana maupun para Sanditaraparan. Namun kehadirannya dalam majelis itu masih diperkenankan memakai pakaian kebesarannya.Wiku Wirathu membuka sidang dengan pembacaan sutera dan segera setelahnya, para Pamgat yang terdiri dari pangeran-pangeran sepuh dan para Wiku duduk baik sebagai penuntut maupun sebagai pembela. Banyak Pangeran sepuh wangsa Syailendra yang berdiri dibelakang Sang Mahamentri I Halu. Tapi yang muda lebih banyak menentangnya karena fanatisme wangsa dianggap sebagai pemahaman kuno yang sudah tidak relevan dengan perkembangan jaman. Sementara hakim yang mengadili adalah Maharaja sendiri di dampingi, Mahamentri I Hino yang dalam hal ini diwakili Rakai Pikatan, Wiku Wirathu dan Wiku Sasodara.Semua tuntutan dibacakan untuk m
Ternyata kekuatan tentara Walaing, benar-benar tidak dapat dibandingkan dengan kekuatan pasukan Medang. Mereka menggulung kekuatan tentara Walaing seperti badai menelan segala yang dilewatinya, meskipun pesan Sang Rakai adalah tidak membunuh tapi hanya melumpuhkan saja. Welas asih dan dhamma yang diajarkan para Wiku ternyata begitu merasuk dalam hati Sang Pikatan sehingga peperangan yang dilakukan-pun seminimal mungkin membawa korban jiwa.Sementara Jentra menyusup memasuki kedaton Walaing yang telah mulai terbakar api. Rupanya Sang Balaputeradewa-pun telah bertekad untuk melakukan puputan yang artinya bahwa jika ia kalah maka ia akan menghadapi mahapralaya itu dengan kematiannya sendiri. Saat Balaputeradewa melihat pasukan belakangnya telah mencapai ambang kehancuran dan tentara musuh mulai menjejakan kaki ke halaman istananya. Ia telah mulai mencabut pedang dan kerisnya siap menjemput maut sebagai seorang ksatria dan Mahamentri wangsa besar yang dibanggakannya."Berhenti tuanku. Dul
"Gusti, apa Gusti akan yakin akan melakukan perang Puputan. Sekali lagi hamba mohon Gusti, jangan gegabah memutuskan untuk perang puputan. Gusti harus ingat bahwa di Walaing, bukan hanya peninggalan Walaing saja yang harus tuanku jaga. Tetapi di Walaing ada Abhaya Giri Wihara peninggalan Syailendra Wangsa Tilaka yang lainnya yaitu Sri Maharaja Rakai Panangkaran. Apa Gusti akan membiarkan putera wangsa Sanjaya menghancurkannya hingga rata dengan tanah." Aswin menyembah hingga hidungnya menempel ke tanah."Tetapi ini adalah masalah harga diri dan kehormatan Aswin. Apa kau rela kita akan hidup sebagai orang yang kalah dan dicemoohkan setiap kali? Itu-pun kalau Sri Maharaja Samarattungga tidak menghukum mati kita juga. Jadi apa bedanya Aswin?" Sahut Balaputeradewa saat bersiap untuk kembali ke Walaing."Permohonan saya, Iswari dan Karmika tetap sama Gusti. Lebih baik kita kehilangan harga diri dan kehormatan daripada kita berdosa kepada leluhur wangsa Syailendra. Apalagi putra tuanku masi
Pangeran Balaputeradewa menembus kabut tebal dan dinginnya malam untuk menyambut kedua buah hatinya. Bersama Aswin ia berkuda tanpa atribut sebagai seorang Mahamentri. Pengawal yang menyertainya juga hanya enam sampai tujuh orang saja, juga tanpa atribut sebagai perajurit tapi menyamar sebagai warga biasa."Apakah tempat itu sangat jauh Aswin?" Tanya Pangeran Balaputeradewa."Ya tuanku. Tapi dengan berkuda cepat seperti ini saya memperkirakan tengah malam kita akan sampai." Jawab Aswin."Aku tidak bisa meninggalkan Walain terlalu lama, karena kakak iparku Samarattungga pasti sudah tidak sabar untuk memotong kepalaku ini." Jawab pangeran Balaputeradewa."Jangan berpikir yang buruk tuanku. Apalagi di saat tuanku memiliki putra. Anggaplah keduanya hadiah dari Yang Maha Agung sehingga kelak akan menjadi permata wangsa Syailendra. Saya rasa tuanku Samarattungga tidak akan segera menyerang saat fajar menyingsing karena mengerahkan puluhan ribu pasukan bukanlah hal mudah." Aswin mencoba mene
Aswin mengikuti Pangeran Balaputeradewa ke bangsal agung Perdikan Walaing. Seluruh pasukan telah dimobilisasi, namun warga asli Walaing memilih untuk menyembunyikan diri di gua-gua yang tersebar di pesisir Walaing. Mereka ketakutan jika peristiwa pembantaian beberapa tahun lalu terjadi lagi."Atreya! Atreya!" Teriak Pangeran Balaputeradewa memanggil orang kepercayaan untuk menghadap. Atreya tergopoh-gopoh datang dan menyembah."Sembah hamba paduka Mahamentri I halu. Tuanku sudah kembali. Apa yang bisa hamba lakukan untuk tuanku?" Tanya Atreya. "Perkuat pertahanan dan tutup semua jalan menuju Walaing. Siagakan semua tentara cadangan, pasukan gajah dan pasukan berkuda." Kata Sang pangeran."Baik paduka. Tapi siapa musuh kita kali ini hingga semua sumber daya dikerahkan?"TanyaAtreya."Apa pedulimu lakukan saja. Kita akan berperang melawan orang-orang Kedu. Orang-orang Samarattungga." Jawab Pangeran Balaputeradewa tanpa rasa hormat.Atreya seketika bersujud di bawah kaki Sang pangeran, b
Rukma memacu kudanya menuju rumah Sriti, namun di dalam perjalanan ia harus berhadapan dengan sisa-sisa pasukan Pangeran Balaputeradewa. Mereka mencegat Rukma dan menghentikan kudanya."Berhenti ki sanak. Kau orang dari Kedu mau melintas ke mana?" tanya salah seorang prajurit."Aku hendak masuk ke dalam kota, apa pedulimu?" Rukma balik bertanya."Apakah kau tidak tahu bahwa kekacauan sedang terjadi sehingga tidak seorang-pun boleh melintas wilayah ini." Kata prajurit yang lain lagi."Istriku hendak melahirkan, jadi kau ijinkan atau tidak kau ijinkan aku akan tetap lewat wilayah ini. Lagipula wilayah ini masih merupakan wilayah Kedu jadi mengapa kau menghalangiku." Kata Rukma sambil menarik tali kekang kudanya sehingga kudanya berdiri dengan dua kaki naik ke atas dan hendak menendang prajurit di hadapannya. Prajurit itu-pun mundur, dan saat ada jalan Rukma langsung menghela kudanya."Dia lari, kejar!" teriak prajurit-prajurit itu, sambil melemparkan tombak ke arah Rukma. Namun Rukma be
Jentra Kenanga dan Kunara Sancaka mulai kewalahan menghadapi ribuan anak panah yang dilepaskan pasukan Mahamentri I Halu. Tembok air yang mereka gunakan untuk menahan panah-panah itu mulai tergerus dan panah-panah mulai menembusi tubuh mereka. Melihat keadaan semakin genting, Rakai pikatan tidak tinggal diam, Ia merapalkan mantra kekuatan pengendalian tanahnya."Rana bantala!" Teriaknya. Seketika tanah di bawah panggung di mana pasukan pemanah Mahamentri I Halu terangkat dan memutar. Pasukan panah itu-pun mulai panik. Namun Mahamentri I Halu memerintahkan untuk terus menghujani mereka dengan panah-panah itu.Rakai Pikatan meningkatkan kapasitas energinya hingga akhirnya tidak hanya tanah tempat pijakan mereka yang bergerak dan memutar, namun batu-batu besar yang terpendam mulai melayang ke permukaan. Batu-batu besar itu mulai menyerang pasukan-pasukan panah itu seperti peluru yang ditembakan. Wiku Sasodara yang ada disitu juga tidak tinggal diam, ia-pun mulai juga bergerak untuk men
Perkawinan Agung antara Rakai Pikatan dengan Mahamentri I Hino benar-benar diselenggarakan dengan meriah. Banyak tamu yang hadir dalam perhelatan yang diselenggarakan selama hampir satu bulan. Rakyat-pun ikut menikmati kemeriahan pesta yang diselenggarakan istana dan mereka bisa menikmati aneka makanan serta jajanan gratis."Aku senang seluruh rakyat dapat menikmati pesta yang menyenangkan ini. Hanya semua pasti ada akhirnya bukan? Tidak selamanya kita akan berpesta. " Kata Andaka pada Kelwang, Munding dan Rukma."Benar. Tapi puncak acara yang sangat ditunggu adalah pemberian berkat bagi pengantin dari para Wiku. Aku jadi penasaran saja apa yang akan menjadi hadiah Wiku Wirathu dan Sasodara nanti bagi kedua mempelai." Rukma memang sedang bertanya-tanya apakah Wiku Sasodara benar-benar akan memberikan mustika Udarati pada kerajaan Medang atau justru menyimpannya untuk Pangeran Balaputeradewa."Kau benar Kakang Rukma. Aku juga sangat penasaran dan jika tidak salah. Puncaknya adalah mala
Bangunan suci di Bhumi Sambhara telah diresmikan. Semua orang berbahagia terutama para Wiku karena Bhumi Sambhara akan menarik banyak orang untuk datang dan bersembahyang di tempat suci itu. Sehingga persembahyangan itu tidak hanya mendatangkan berkat dari doa-doa mereka yang berziarah namun sekaligus akan menjadi pemicu peningkatan ekonomi Medang dari perdagangan dan wisatanya."Wiku Sasodara sekarang sampailah kita pada pemberian hadiah pada Silpin Agung yang telah menyelesaikan pembangunan Bhumi Sambhara Budura. Aku akan menganugerahkan gelar Rakai dan akan kuberikan wilayah Kailasa kepadanya." Maharaja Samarattungga bertitah. Mendengar berita itu Sang putri Dyah Meitala dan putranya Pikatan langsung berlutut. Warisan ayah mereka akhirnya kembali lagi kepadanya. "Mulai hari ini silpin Agung Medang akan bergelar Rakai, dan akan disebut sebagai Rakai Pikatan Dyah Saladu yang akan menguasai Keilasa dan sekitarnya di wilayah Kewu. Kami semua warga Medang berterima kasih kepadanya atas