Rukma dan Gaurika mengelap keringat mereka yang becucuran saat membolak-balikan mayat yang terbakar baik hanya sebagian maupun seluruhnya. Namun tidak ada tanda-tanda itu Mpu Panukuh ataupun Dyah Meitala. Sementara Kelwang mencoba mengenali juga orang-orang dari Kelasa yang dikenalinya, namun tidak satu-pun ditemuinya. Begitu juga tanda-tanda Mpu Kumbhayoni dan guru-gurunya yang dari Walaing."Di sebelah sana tidak ada."Kata Rukma"Di sisi sebelah sini-pun aku tidak menemukan siapapun. Aku akan mencoba melihat yang ada di sebelah sana. Mungkin aku bisa menemukan tanda-tanda kehidupan."Jawab Gaurika. Rukma mengangguk."Kau menemukan teman-temanmu Kelwang?" Tanya Rukma"Belum Kakang. Tapi aku menemukan kelat bahu Munding. Apa mungkin mereka ditawan?"Tanya Kelwang."DI mana kau menemukannya?" Rukma memeriksa kelat bahu atau gelang lengan yang ditemukan Kelwang."Aku menemukan di sana kakang." Kata Kelwang sambil menunjuk hutan yang cukup lebat."Kalau ditawan, pasti akan mengarah ke Poh
"Mengapa ke Gunung Gora?" Tanya Rukma saat mereka berjalan beriringan menuju tempat persembunyian Mpu Panukuh. "Karena Gora adalah benteng pertahanan terkuat wangsa Sanjaya. Di tempat itu masih ada Rakai Gejahlewa yang merupakan abdi setia wangsa Sanjaya. Hhmm....seharusnya saya tidak mengatakan ini kepada Sanditaraparan Medang." Kata Bahuwirya sambil tersenyum."Meskipun aku perwira Sanditaraparan, namun aku tidak mengabdi pada kekuasaan. Aku mengabdi pada kebenaran yang didasarkan pada undang-undang negara. Benar kami dilantik oleh seorang Raja, tetapi bahkan Raja-pun harus tunduk pada ketentuan negara berupa undang-undang yang disepakati Dewan kerajaan." Jawab Rukma."Jadi menurut Anda, apakah Maharaja Samarattungga tidak sedang menyimpang dari undang-undang itu?" Tanya Diraya"Jika menurut pengamatanku, Maharaja Samarattungga tidak melakukan kesalahan ini sendirian namun seluruh anggota Dewan kerajaan turut andil di dalam kekacauan ini, terutama wangsa Sanjaya yang tidak murni, a
"Sial. Mengapa bisa lolos?" Teriak Sriti lirih, namun meskipun lirih tetap terdengar oleh Candrakanti yang sedang meninggikan radarnya sejak Rukma, Gaurika dan Kelwang turun.Candrakanti terus memperhatikan dan mengawasi pergerakan Sriti, bukan hanya supaya Sriti tidak membahayakan anggota kelompoknya namun sekaligus supaya Sriti tidak mendekati Jentra Kenanga. Hanya saja ia juga terikat oleh tugas yang diberikan Maharaja Samarattungga. Kegelisahan Candrakanti-pun sempat terbaca oleh Jentra Kenanga, yang bukan tidak tahu berkaitan dengan tugas yang diterima istrinya dari Maharaja Samarattungga sendiri. Namun Jentra tetap berpura-pura seperti tidak tahu apa-apa. Termasuk saat ini, ketika perburuan Mustika telah masuk ke tahap-tahap paling rumit karena yang mereka hadapi bukan hanya manusia saja, namun juga penunggu-penunggu Gunung yang memiliki kesaktian diluar nalar yang hanya bisa dikalahkan dengan olah spiritual."Malam ini kita akan memasuki demensi yang berbeda dari perjalanan ki
Jentra dan Amasu menggiring Sriti menuju ke perkemahan Nagarjuna di perut Gunung, agak jauh dari tempat dimana Jentra dan Amasu mendirikan perlindungan mereka dari dingin dan kabut. Sriti menangis sepanjang jalan dan menghiba untuk dikasihani."Ayolah Kakang Jentra. Jangan lakukan ini padaku. Aku sungguh menyesalinya. Aku....aku melakukan ini karena aku ingin bisa mendapatkan perhatianmu. Kakang....tolonglah, bagaimana aku menjalani hariku tanpamu." Tangis Sriti sambil merayu Jentra yang terus menarik tangan Sriti tanpa bicara apa-apa.Amasu sebenarnya ingin sekali menggoda Jentra. Namun ia tidak sampai hati melihat sahabatnya yang begitu serius menangani kasus ini. Pada perburuan mustika yang pertama dan memasuki demensi berbeda, Jentra sempat hampir mendapatkan mustika Kalimaya jika saja Sriti tidak membuyarkan meditasinya. Sehingga akhirnya ia hanya mendapatkan tiga buah permata Biduri yang dikirimkan kepada calon menantunya Mpu Panukuh.Kali ini Jentra sepertinya tidak ingin kebob
"Mengapa kau bawa ia kembali?" Tanya Candrakanti dengan marah."Kau tidak melihat? Tombak Nagarjuna menembus punggungnya Kanti. Ia terluka parah." Kata Jentra sambil mengambil obat-obatan yang diperlukan untuk menghentikan pendarahan pada luka Sriti."Nagarjuna ternyata sangatlah kejam. Tidak ada belas kasihan sedikit-pun pada wanita yang selama ini membantunya. Lepas Sriti telah mengkhianati kita, namun kita wajib menolongnya Kanti." Kata Wiku Sasodara yang masih berusaha menghentikan pendarahan Sriti dengan menggunakan ilmu pengendalian airnya. "Benar. Senjata Nagarjuna itu sangat berbahaya, ia tidak hanya menusuk tetapi juga bisa mengembang seperti payung sehingga akan mengupas jaringan atau organ jika benar sampai masuk ke perut Jentra. Sriti menyelamatkannya Kanti. Jadi kumohon, berbelas kasihanlah. Hilangkanlah kebencianmu dan rasa cemburu itu." Kata Amasu.Jentra dan Sasodara mengunci beberapa titik pembuluh darah Sriti dengan ilmu kanuragan mereka. Lalu Sasodara menjahit luka
"Candrakanti, kuharap kau dan Jentra mau untuk menyimpan dahulu permasalahan pribadi kalian. Simpan semua kecemburuanmu. Sekarang kita tinggal berlima, sedangkan Sriti terluka. Jadi kuminta jagalah Sriti baik-baik. Kau tidak akan bisa memasuki demensi mustika karena menyimpan terlalu banyak kemarahan di hatimu. Tetapi aku, Jentra dan Amasu harus masuk ke sana untuk mengambil mustika itu. Jika terjadi apa-apa pada Sriti, kau harus bertanggung jawab." Pesan Wiku Sasodara."Kau juga tidak perlu khawatir, Kanti. Guru sudah memberikan rajah di sekitar tempat kita berkemah. Jadi selama kau dan Sriti tidak keluar dari area rajah itu, kau aman. Bangsa dhemit atau makhluk halus tak akan bisa menembusnya. Sementara manusia tidak akan melihat keberadaanmu dan Sriti." Amasu juga ikut menyampaikan hal-hal yang perlu diketahui Candrakanti"Kanti maafkanlah aku jika selalu menyakitimu. Aku akan pergi untuk berjuang mencari mustika itu. Kuharap doamu karena bagaimanapun kau adalah istriku, jadi aku ak
Ketiga orang itu kemudian diantar masuk ke ruang meditasi yang besar dan luas, segera sesudahnya ruangan itu dikunci dari luar dengan meninggalkan kegelapan yang benar-benar pekat. Sunyi tanpa suara, tanpa cahaya dan seperti tanpa kehidupan. Sasodara, Amasu dan Jentra-pun segera mengambil sikap meditasi sempurna.Mereka menutup semua panca indra kecuali yang berhubungan dengan nafas. Kepasrahan sepenuhnya, tanpa keinginan, tanpa keakuan. Hakekat dari kesempurnaan adalah kekosongan. Suara nafas mereka yang lirih terdengar mengingat kesunyian itu begitu mencekam. Bahkan suara air terjun di luar Kuil yang jatuh menggerojog dengan deras tidak terdengar.Setelah mereka mengheningkan dari segala keakuan, seberkas cahaya keluar dari tubuh mereka. Roh mereka, namun dalam dimensi mereka masing-masing sehingga tidak saling bertemu. Jentra menemukan dirinya dikelilingi berbagai makhluk mengerikan di sekitarnya, mencoba meraihnya, mencoba menangkapnya namun pada hakekatnya manusia memiliki deraja
Setelah mendapatkan mustika Udarati. Wiku Sasodara meminta diri pada Wiku Sadana yang telah memberikan kesempatan kepada mereka untuk mendapatkan apa yang mereka harapkan."Semoga menjadi berkah buat semesta dan semua makhluk berbahagia" kata Wiku Sadana melepaskan mereka bertiga pergi."Berjanjilah hanya akan menyerahkan mustika Udarati kepada orang yang benar-benar layak menerimanya. Seorang Chakrawartin sejati bukan penjajah dan penakluk bangsa atau wangsa lainya."Lanjutnya lagi.Wiku Sasodara berjanji dan setelah memperbarui perbekalan mereka kembali kepada Candrakanti dan Sriti."Guru!" Sambutnya gembira."Bagaimana keadaanmu dan Sriti?" Tanya Wiku Sasodara."Aku baik guru. Dia juga berangsur pulih tapi masih sedikit lemah. Lukanya sudah mulai mengering, demamnya juga mereda." Kata Candra Kanti.Amasu dan Jentra Kenanga segera berlari memeriksa Sriti. Demamnya sudah turun, namun belum bisa diajak untuk berjalan jauh. Hanya cukup berbahaya juga jika mereka tetap tinggal tanpa menc