Adelia bukan hanya cantik. Di balik kecantikan parasnya yang nyaris melampaui bidadari itu ternyata tersimpan kecerdasan yang juga jauh di atas rata-rata. Dia nyaris tak butuh usaha keras sama sekali untuk memahami semua tugasnya sebagai sekretaris CEO Medicamento Hospital. Selain itu, tekad Adelia yang hendak mempersembahkan sebuah pengabdian tanpa batas sebagai wujud perasaan cintanya pada Leon – juga membuat gadis berparas bidadari itu senantiasa terus menempa diri demi mengembangkan kemampuannya. Lebih dari itu, dukungan Ray sebagai pengawal pribadi sekaligus tangan kanan Adelia juga tak dapat diabaikan begitu saja. Mantan satpam rumah sakit yang banyak memiliki hubungan di kalangan dunia gelap itu sangat menopang Adelia dalam menggali dan mengembangkan semua potensi dirinya. Yang paling mengejutkan, ternyata diam-diam Martin juga mulai mengajarkan ilmu beladiri kepada Adelia. Guru sekaligus ayah angkat Leon itu sepertinya agak trauma dengan kejadian tragis yang hampir menimpa
Sesuai perintah Kakek Sanjaya, Martin datang menemui Pamela sekali lagi. Seperti yang terjadi sebelumnya, kedatangan Martin kali inipun tidak disambut baik oleh Pamela. Persis sebagaimana yang telah diperkirakan oleh Kakek Sanjaya, istri pertama Jenderal Charles itu memang menggunakan gosip tentang kedekatan Leon dan Adelia sebagai alasan untuk menentang perjodohan Nova dengan Leon. “Jika kamu datang hendak membicarakan tentang perjodohan putriku dengan Leon, maka lupakan saja. Aku tidak akan pernah menerima Leon sebagai menantuku! Suruh saja dia menikahi sekretaris rendahan itu!” ucap Pamela tanpa menahan apapun. Raut tidak senang tampak tergambar jelas di wajah menantu pertama Kakek Sanjaya itu. Martin tersenyum simpul mendengar ucapan Pamela. Dia tidak marah sama sekali. Dia malah menanggapi dengan amat santai, “Wah, ternyata Nyonya juga sudah termakan oleh gosip murahan itu. Tapi kedatangan saya hari ini bukan untuk membicarakan masalah itu. Sesuai kesepakatan sebelumnya, kit
“Martin!”“Alexa?”“Maafkan aku,” desis Alexa seraya melemparkan sebilah pisau kecil berwarna ungu mengkilap ke arah tubuh Martin.Martin hanya terkekeh melihat serangan Alexa yang sangat mendadak.Dia kemudian bergeser setengah langkah, mengelak dari jalur lintasan pisau yang dilemparkan Alexa – lalu melompat kabur dan hilang ditelan kegelapan.“Celaka!”Alexa memekik tertahan saat menyadari serangannya gagal.Dia langsung sadar, peluangnya untuk membunuh Martin akan langsung turun 100% ketika pisau yang dilemparkannya itu meleset.Padahal, dia sudah mengambil risiko yang amat tinggi dengan membiarkan Martin melihat dan mengenali wajahnya. Dia berani mengambil risiko itu karena berpikir bahwa malaikat pelindung Keluarga Sanjaya itu pasti akan terkejut dan kehilangan kewaspadaan – saat mengenalinya.Akibatnya, Martin memang terkejut.Namun, lelaki gagah itu tidak kehilangan kewaspadaan sedikitpun.Dia hanya kehilangan sedikit kelincahan dan kecepatannya.Akan tetapi bukan karena kaget
“Martin …”Kakek Sanjaya bergumam sedih campur marah ketika mengenali arloji dan cincin yang masih terpasang pada sebuah potongan tangan kiri manusia sebatas lengan atas yang baru saja diantarkan oleh seorang petugas polisi berpakaian preman.Selanjutnya, kegemparan hebat pun melanda istana kediaman Keluarga Sanjaya.Hampir semua anggota keluarga berkumpul di sebuah pergola besar seperti pendopo yang terdapat di taman belakang paviliun utama. Soraya Clint dan putranya, Edward Sanjaya, terlihat duduk dengan raut bingung campur tegang di antara mereka.Selain itu, seluruh pelayan dan pasukan pengawal juga dikumpulkan di suatu lapangan luas dekat pergola itu. Mereka tampak menunggu sambil saling bertanya-tanya antara satu dengan yang lainnya.“Ada apa ini?”“Siapapun, tolong beritahu aku – ada apa ini?”“Sepertinya ada masalah besar, tidak biasanya Tuan Besar menyuruh kita berkumpul di sini.”“Tapi masalah apa?”“Ssst – diam, Tuan besar sudah datang. Jangan ada yang bicara lagi!”Semua s
Hari itu Pamela amat berduka.Dia terlihat berdiri mematung di depan jasad Alexa masih terbujur kaku di atas ranjang.Jenazah perempuan tua itu tampak terbungkus rapat oleh selimut, persis seperti kepompong. Hanya wajahnya yang nampak, berwarna ungu kebiruan dengan urat-urat ungu kehitaman yang terlihat menonjol di sana sini – seolah ingin memberi kabar bahwa dia amat tersiksa sebelum mengembuskan napasnya yang terakhir.Pamela bergidik ngeri menyaksikan keadaan mayat Alexa.“Maafkan aku, Bibi. Siapapun yang telah melakukan ini padamu – aku tidak akan melepaskannya!” gumam Pamela lirih, setengah murka setengah berduka.Dia kemudian mulai memeriksa keadaan jasad Alexa, berusaha menemukan sesuatu yang dapat menjadi petunjuk untuk memulai penyelidikan.Sementara pada waktu yang sama di luar tembok benteng mansion mewah Pamela, Leon juga sedang memeriksa beberapa bekas bercak tetesan darah yang telah mengering di beberapa tempat – dekat sebuah jalan setapak yang letaknya tersembunyi jauh
Bukit Desperato sebenarnya adalah sebuah kawasan wisata yang cukup indah. Lokasinya yang berbatasan langsung dengan Hutan Mors – yang sebenarnya lebih mirip taman alam berukuran raksasa ketimbang dianggap sebagai hutan – membuat kawasan perbukitan yang masih sangat asri itu tersohor hingga ke seluruh pelosok Negara Pecunia. Banyak keluarga dari kalangan atas yang membangun vila dan mansion mewah sebagai rumah peristirahatan di kawasan Bukit Desperato. Sesuai hukum tidak tertulis Morenmor, semua bangunan yang mereka dirikan itu diatur berdasarkan tingkat kekayaan dan status sosial pemiliknya. Vila milik keluarga kelas dua hanya boleh dibangun di area kaki bukit, sementara keluarga-keluarga teratas Morenmor berhak mendirikan mansion-mansion mewah mereka di lereng bukit – atau lokasi yang lebih tinggi lagi sesuai dengan reputasi dan status sosial mereka. Tentu saja, tempat yang paling bergengsi adalah puncak Bukit Desperato! Di puncak bukit itulah mansion mewah milik Pamela Atmaja be
Kakek Sanjaya menatap tajam sepasang mata Pamela.Lelaki tua kaya raya itu seperti sedang mencoba menjenguk isi hati Pamela.Dia tampak berusaha keras untuk menemukan sesuatu yang mungkin dapat menjelaskan alasan di balik sikap sinis dan dingin menantu pertamanya itu.Namun, dia tak menemukan apapun kecuali kemarahan dan kebencian yang mendalam.“Ada apa? Kenapa aku seperti merasa ada sesuatu yang tidak beres antara kamu dengan Martin?” tanya Kakek Sanjaya, akhirnya tak dapat menahan rasa penasaran yang tiba-tiba bergejolak dalam hatinya.Pamela mendengus pelan lalu menjawab sinis, “Seharusnya Ayah bertanya pada Martin, bukan pada saya. Saya hanya seorang istri tua yang tak berhak memutuskan apapun atas pernikahan putrinya sendiri. Saya bahkan tak bisa berbuat apa-apa ketika ditindas oleh seorang pelayan.”Kakek Sanjaya tersenyum tipis mendengar ucapan Pamela.Dia mulai merasakan aroma permusuhan dalam sikap dan kata-kata menantu pertamanya itu.Sikap Kakek Sanjaya pun berubah dingin
“Selamat sore, Tuan Besar.”Semua orang di Medicamento Hospital memberi hormat sambil membungkukkan badan hingga hampir 90 derajat saat Kakek Sanjaya bersama selusin pengawal pribadinya berjalan cepat memasuki gedung rumah sakit itu.Empat orang satpam segera mengosongkan selasar, menyingkirkan apapun atau siapapun yang mungkin akan menjadi hambatan bagi Kakek Sanjaya dan rombongannya. Sementara dua orang satpam yang lain bergerak cepat menyiapkan lift khusus yang langsung menuju ke lantai paling atas, tempat di mana ruang kerja Leon berada.Tak lama berselang, Kakek Sanjaya sudah berada di kantor Leon – berhadapan dengan Adelia.“Di mana Leon?” tanya Kakek Sanjaya.“Leon masih memeriksa lengan Tuan Martin, Tuan Besar. Tapi saya sudah memberitahunya bahwa Tuan Besar ada di sini,” jawab Adelia, sedikit gugup.Tak lama kemudian, Leon pun datang.Di belakangnya, seorang petugas laboratorium mengikuti sambil membawa sebuah kotak berisi dokumen dan foto-foto hasil pemeriksaan potongan leng