Hari itu Pamela amat berduka.Dia terlihat berdiri mematung di depan jasad Alexa masih terbujur kaku di atas ranjang.Jenazah perempuan tua itu tampak terbungkus rapat oleh selimut, persis seperti kepompong. Hanya wajahnya yang nampak, berwarna ungu kebiruan dengan urat-urat ungu kehitaman yang terlihat menonjol di sana sini – seolah ingin memberi kabar bahwa dia amat tersiksa sebelum mengembuskan napasnya yang terakhir.Pamela bergidik ngeri menyaksikan keadaan mayat Alexa.“Maafkan aku, Bibi. Siapapun yang telah melakukan ini padamu – aku tidak akan melepaskannya!” gumam Pamela lirih, setengah murka setengah berduka.Dia kemudian mulai memeriksa keadaan jasad Alexa, berusaha menemukan sesuatu yang dapat menjadi petunjuk untuk memulai penyelidikan.Sementara pada waktu yang sama di luar tembok benteng mansion mewah Pamela, Leon juga sedang memeriksa beberapa bekas bercak tetesan darah yang telah mengering di beberapa tempat – dekat sebuah jalan setapak yang letaknya tersembunyi jauh
Bukit Desperato sebenarnya adalah sebuah kawasan wisata yang cukup indah. Lokasinya yang berbatasan langsung dengan Hutan Mors – yang sebenarnya lebih mirip taman alam berukuran raksasa ketimbang dianggap sebagai hutan – membuat kawasan perbukitan yang masih sangat asri itu tersohor hingga ke seluruh pelosok Negara Pecunia. Banyak keluarga dari kalangan atas yang membangun vila dan mansion mewah sebagai rumah peristirahatan di kawasan Bukit Desperato. Sesuai hukum tidak tertulis Morenmor, semua bangunan yang mereka dirikan itu diatur berdasarkan tingkat kekayaan dan status sosial pemiliknya. Vila milik keluarga kelas dua hanya boleh dibangun di area kaki bukit, sementara keluarga-keluarga teratas Morenmor berhak mendirikan mansion-mansion mewah mereka di lereng bukit – atau lokasi yang lebih tinggi lagi sesuai dengan reputasi dan status sosial mereka. Tentu saja, tempat yang paling bergengsi adalah puncak Bukit Desperato! Di puncak bukit itulah mansion mewah milik Pamela Atmaja be
Kakek Sanjaya menatap tajam sepasang mata Pamela.Lelaki tua kaya raya itu seperti sedang mencoba menjenguk isi hati Pamela.Dia tampak berusaha keras untuk menemukan sesuatu yang mungkin dapat menjelaskan alasan di balik sikap sinis dan dingin menantu pertamanya itu.Namun, dia tak menemukan apapun kecuali kemarahan dan kebencian yang mendalam.“Ada apa? Kenapa aku seperti merasa ada sesuatu yang tidak beres antara kamu dengan Martin?” tanya Kakek Sanjaya, akhirnya tak dapat menahan rasa penasaran yang tiba-tiba bergejolak dalam hatinya.Pamela mendengus pelan lalu menjawab sinis, “Seharusnya Ayah bertanya pada Martin, bukan pada saya. Saya hanya seorang istri tua yang tak berhak memutuskan apapun atas pernikahan putrinya sendiri. Saya bahkan tak bisa berbuat apa-apa ketika ditindas oleh seorang pelayan.”Kakek Sanjaya tersenyum tipis mendengar ucapan Pamela.Dia mulai merasakan aroma permusuhan dalam sikap dan kata-kata menantu pertamanya itu.Sikap Kakek Sanjaya pun berubah dingin
“Selamat sore, Tuan Besar.”Semua orang di Medicamento Hospital memberi hormat sambil membungkukkan badan hingga hampir 90 derajat saat Kakek Sanjaya bersama selusin pengawal pribadinya berjalan cepat memasuki gedung rumah sakit itu.Empat orang satpam segera mengosongkan selasar, menyingkirkan apapun atau siapapun yang mungkin akan menjadi hambatan bagi Kakek Sanjaya dan rombongannya. Sementara dua orang satpam yang lain bergerak cepat menyiapkan lift khusus yang langsung menuju ke lantai paling atas, tempat di mana ruang kerja Leon berada.Tak lama berselang, Kakek Sanjaya sudah berada di kantor Leon – berhadapan dengan Adelia.“Di mana Leon?” tanya Kakek Sanjaya.“Leon masih memeriksa lengan Tuan Martin, Tuan Besar. Tapi saya sudah memberitahunya bahwa Tuan Besar ada di sini,” jawab Adelia, sedikit gugup.Tak lama kemudian, Leon pun datang.Di belakangnya, seorang petugas laboratorium mengikuti sambil membawa sebuah kotak berisi dokumen dan foto-foto hasil pemeriksaan potongan leng
Martin memang belum mati.Tapi dia telah kehilangan sebelah tangannya.Kini dia hanya memiliki tangan kanan, sementara lengan kirinya sekarang hanya tinggal sepanjang kurang dari sejengkal saja dari bahunya. Tanpa siku dan telapak tangan, apalagi jari-jemari.Bagaimanapun, dia memang telah memotong tangan kirinya – demi menyelamatkan nyawanya dari serangan racun Alexia!Sebenarnya, waktu itu Martin memang sedikit ceroboh.Dia tak menyangka bahwa Alexa yang pernah menjadi muridnya, justru berniat membunuhnya. Dia tidak mengira sama sekali bahwa perempuan yang di masa lalu pernah sangat mencintainya itu tega melemparkan pisau beracun padanya.Martin terkena racun saat menangkap pisau yang dilemparkan Alexa!Saat itu, pisau yang dilemparkan Alexa memang berhasil sedikit menggores telapak tangan Martin.Martin sebenarnya tidak menyadari bahwa pisau itu beracun.Dia baru sadar bahwa pisau itu beracun ketika telapak tangannya tiba-tiba terasa perih dan gatal, lalu mulai menebal dan kebas de
“Berhati-hatilah, Jenderal!”Martin berpamitan pada Charles dengan cara yang tidak biasa.Dia bahkan mengubah sebutan ‘Tuan’ menjadi ‘Jenderal’, seolah ingin menegaskan bahwa kini dia bukan lagi pelindung tersembunyi putra tunggal Kakek Sanjaya itu.Charles dapat merasakan perubahan sikap Martin. Keningnya tampak berkerut saat dia bertanya, “Kamu mau kemana? Kenapa aku merasa bahwa kamu tidak akan kembali ke Morenmor?”Martin tersenyum tipis dan menjawab, “Benar, Jenderal. Saya hanya orang cacat sekarang, sudah waktunya untuk pensiun. Keahlian saya hanya bertarung, tapi sekarang – saya bahkan tak pantas untuk disebut sebagai petarung. Semua ada masanya, mungkin saat ini adalah waktunya bagi saya untuk mengundurkan diri.”“Apa maksudmu? Apakah kita tidak akan bertemu lagi?”, tanya Charles lagi, tiba-tiba merasa cemas.Martin menjawab konyol, “Saya hanya ingin pensiun, Jenderal – bukan ingin bunuh diri!”“Kalau begitu, tetaplah hidup! Kita akan bertemu di Morenmor,” sahut Charles, sedik
Jenderal Charles Sanjaya akan pulang ke Morenmor.Berita kepulangan putra tunggal Kakek Sanjaya itu merebak cepat dan langsung membuat heboh seisi kota, terutama di kalangan teratas Morenmor. Tak butuh waktu lama, tiba-tiba hampir seluruh jalanan kota berubah menjadi arena festival yang meriah.Setiap keluarga teratas, terutama yang tinggal di sekitar jalan antara gerbang kota dan istana kediaman Keluarga Sanjaya – menghias lingkungan sekitar mansion mereka dengan sangat indah.Mereka bukan hanya menghias lingkungan dengan umbul-umbul dan lampu-lampu beraneka warna, namun juga mengerahkan seluruh pelayan dan pasukan pengawal keluarga untuk berbaris di pinggir jalan – hanya untuk menunjukkan bahwa mereka bersuka cita dengan kepulangan Jenderal yang akan mewarisi tahta Keluarga Sanjaya itu.Sementara di istana Keluarga Sanjaya, suasana justru tidak terlalu meriah.Walaupun Kakek Sanjaya sebenarnya amat gembira dengan kepulangan putra tunggalnya, tapi sepertinya dia juga masih belum bisa
Charles sudah jauh meninggalkan wilayah perbatasan. Dia sengaja memilih melakukan perjalanan lewat darat untuk pulang ke Morenmor. Bukan karena tidak ada helikopter yang mau mengantarnya dan bukan pula karena dia ingin menikmati pemandangan selama perjalanan. Dia sengaja melakukan perjalanan darat untuk memberikan peluang dan godaan yang lebih besar kepada mata-mata dan pengkhianat yang masih tersisa, supaya mau muncul dan melakukan aksi balasan atas pembantaian teman-teman mereka di benteng perbatasan beberapa hari terakhir. Jenderal yang baru mengundurkan diri itu sepertinya ingin memancing dan memusnahkan musuh-musuhnya yang terakhir, sebelum ia menjalani kehidupan sipil yang damai di Morenmor. Saat ini, mobil yang ditumpangi Charles sedang melaju dengan kecepatan konstan, membelah wilayah Gurun Lata yang membentang luas sejauh mata memandang. Di belakangnya, dua buah truk dan dua buah mobil lain yang sama persis seperti mobil yang ditumpanginya – tampak mengikuti dengan patuh.