Hari-hari latihan di bawah bimbingan Master Jian Xun semakin intens. Mo Tian dan Liu Qingxue menjalani setiap sesi dengan tekad yang tak tergoyahkan. Master Jian Xun, dengan pendekatan keras namun bijaksana, terus mendorong keduanya untuk melewati batas kemampuan mereka."Fokus pada niatmu, bukan pada kekuatan pedangmu," kata Master Jian Xun sambil mengamati Mo Tian berlatih. Pedang Langit Membara di tangan Mo Tian bergerak dengan presisi, tetapi Master Jian Xun tahu bahwa pemuda itu masih menyimpan banyak kekhawatiran dalam hatinya.Saat istirahat di sela latihan, Master Jian Xun mendekati Mo Tian. “Mo Tian,” katanya dengan nada serius. “Tanda hitam di pundakmu tidak akan bisa dihilangkan.”Mo Tian terdiam, matanya menatap tanah. Liu Qingxue yang berada di dekatnya juga terlihat cemas.“Tapi,” lanjut Master Jian Xun, “itu bukan berarti takdirmu sudah ditentukan. Aku percaya, dengan tekad yang cukup kuat, kau bisa merubah takdirmu. Tanda itu adalah beban, tetapi juga bisa menjadi keku
Malam itu, langit desa tempat Mo Tian dan Liu Qingxue tinggal begitu tenang. Bulan bersinar lembut, memberikan sentuhan perak pada dedaunan yang bergerak pelan tertiup angin malam. Namun, di dalam kamar sederhana mereka di dojo Master Jian Xun, ketenangan itu tidak terasa bagi Mo Tian.Ia terbaring di tempat tidur, wajahnya berkeringat, nafasnya berat, dan tubuhnya menggigil. Dalam tidurnya, ia terperangkap dalam mimpi buruk yang menakutkan, lebih nyata daripada apapun yang pernah ia alami sebelumnya.Dalam mimpinya, Mo Tian berdiri di tengah-tengah lautan api yang membara. Kobaran api itu tidak hanya memancarkan panas, tetapi juga rasa sakit yang menusuk. Di sekelilingnya, ia mendengar suara rintihan dan jeritan yang begitu menyayat hati. Ribuan jiwa berwajah samar merintih, menjerit meminta pertanggungjawabannya.“Mo Tian!” suara mereka bergema dalam kekosongan api. “Ini semua salahmu!”Mo Tian melangkah mundur, bingung dan ketakutan. “Apa... apa maksud kalian? Aku tidak mengerti!”
Malam kembali menyelimuti desa kecil itu. Di dalam kamar sederhana, Mo Tian terbaring dengan tubuh yang tampak lelah, tetapi matanya tetap terbuka menatap langit-langit.Beberapa malam terakhir, tidur baginya lebih menyerupai mimpi buruk yang panjang, tempat ia dipertemukan kembali dengan kobaran api, jiwa-jiwa yang merintih, dan suara mengerikan yang berbicara tentang kehancuran manusia.Mo Tian menghela napas berat. Dalam beberapa malam terakhir, ia mengandalkan ramuan tidur yang dibuat oleh Master Jian Xun untuk membantunya terlelap tanpa dihantui mimpi buruk. Namun, bahkan dengan ramuan itu, ketakutannya tetap ada—takut bahwa setiap kali ia memejamkan mata, ia akan kembali bertemu dengan dunia penuh kehancuran itu.Liu Qingxue, yang duduk di dekatnya, memandang dengan penuh kekhawatiran. Ia tahu Mo Tian sedang berjuang melawan sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. “Mo Tian,” katanya lembut, “kau harus beristirahat. Tubuhmu tidak bisa terus seperti ini.”Mo Tian menggeleng
Mo Tian duduk di pinggir sungai yang mengalir jernih, aliran airnya membawa bebatuan kecil yang bergemerisik lembut di dasar. Di sekelilingnya, dedaunan dari pepohonan tinggi berbisik tertiup angin, menciptakan suasana damai yang sayangnya tidak bisa dirasakan oleh hati Mo Tian.Pikirannya dipenuhi dengan berbagai pertanyaan yang tak memiliki jawaban jelas. Ia memandangi pantulan dirinya di air, wajah yang selama ini ia kenal tetapi kini terasa asing. Tanda hitam berbentuk sabit di pundaknya telah mengubah segalanya.“Kenapa aku?” bisiknya pada dirinya sendiri.Mo Tian menarik napas panjang, mencoba mengusir perasaan berat di dadanya. Ia teringat masa kecilnya, di mana hidup bersama kedua orang tuanya di sebuah desa kecil yang miskin. Mereka adalah orang-orang biasa, menjalani hari dengan bekerja keras di ladang untuk mendapatkan makanan yang cukup. Mereka bukan pahlawan, bukan pendekar, dan tentu saja bukan orang yang pernah bersinggungan dengan kekuatan besar.“Bagaimana mungkin aku
Master Jian Xun menatap Mo Tian dan Liu Qingxue dengan ekspresi penuh pertimbangan. Keduanya duduk di hadapannya di ruang meditasi utama, sementara cahaya lilin yang berkelap-kelip menerangi wajah mereka. Suasana hening, hanya terdengar suara angin yang berdesir lembut di luar.“Kalian benar-benar pernah memasuki Perpustakaan Besar Gunung Langit?” tanya Master Jian Xun, memastikan sekali lagi.Mo Tian mengangguk dengan mantap. “Ya, Master. Kami berhasil melewati rintangan dan memasuki perpustakaan itu beberapa bulan lalu. Tapi kami hanya membaca sebagian dari buku-buku di sana. Sebagian besar isinya sulit dimengerti dan tiba-tiba perpustakaannya menghilang.”“Perjalanan ke perpustakaan itu bukanlah hal yang mudah,” ujar Jian Xun, matanya menyipit seolah mencoba membaca lebih jauh ke dalam diri Mo Tian. “Bahkan pendekar terlatih sekalipun sering gagal mencapai tempat itu. Fakta bahwa kalian berhasil membuktikan bahwa kalian berdua bukanlah orang biasa.”Liu Qingxue menambahkan, “Namun,
Di ruang meditasi utama, cahaya lilin yang temaram menari di permukaan dinding kayu. Mo Tian dan Liu Qingxue duduk di hadapan Master Jian Xun, yang tampak serius dan penuh kehati-hatian. Sebuah peta tua terbentang di hadapan mereka, dipenuhi simbol-simbol kuno dan garis-garis yang sulit dipahami.“Tanah Bayangan Jiwa,” ujar Jian Xun, suaranya berat dan dalam, “bukanlah tempat biasa. Tempat itu dikenal sebagai perbatasan antara dunia manusia dan dunia akhirat. Sebuah tanah yang penuh ilusi, dimana batas antara kenyataan dan khayalan hampir tidak ada.”Liu Qingxue menatap peta itu dengan cemas. “Apa maksud Master dengan ilusi?”Jian Xun menghela napas. “Di Tanah Bayangan Jiwa, tidak ada manusia yang sebenarnya. Yang kalian temui di sana hanyalah jiwa-jiwa yang telah kehilangan harapan. Mereka adalah bayangan dari kehidupan masa lalu mereka, terjebak dalam kesedihan dan penderitaan tanpa akhir.”Mo Tian merasakan bulu kuduknya berdiri. “Jadi, setiap orang yang kita lihat di sana... hanya
Kabut di sekitar Tanah Bayangan Jiwa semakin tebal, seolah menelan setiap cahaya yang mencoba menembusnya. Mo Tian dan Liu Qingxue terus berjalan, dengan setiap langkah terasa semakin berat. Energi gelap yang mengelilingi mereka seakan menyerap kekuatan dan semangat mereka, tetapi tekad untuk mencapai bangunan itu tetap menguatkan langkah mereka.“Bangunan itu sudah dekat,” ujar Mo Tian dengan suara yang bergetar. Ia menghapus keringat dari dahinya dan menggenggam erat pedangnya. “Kita tidak boleh menyerah sekarang.”Liu Qingxue menatap Mo Tian, napasnya tersengal-sengal. “Kita sudah sampai sejauh ini. Kita harus terus maju.”Namun, mendekati bangunan itu tidak semudah yang mereka bayangkan. Tiba-tiba, suara-suara berbisik mulai terdengar di sekitar mereka. Suara itu begitu lembut, seperti angin yang menyelinap ke dalam pikiran mereka, tetapi setiap kata membawa rasa takut dan keraguan.“Kenapa kalian terus maju?” bisik suara itu. “Tidak ada yang menunggu kalian di sana. Kalian hanya
Mo Tian dan Liu Qingxue berdiri terpaku, menatap ke arah gelap tempat pria tua berjubah hitam itu menghilang. Napas keduanya masih tersengal setelah perjuangan berat mereka mendekati bangunan itu.“Dia... dia menghilang begitu saja,” ujar Liu Qingxue, suaranya bercampur antara bingung dan frustasi.Mo Tian menggenggam erat pedangnya, wajahnya tegang. “Dia pasti tahu sesuatu. Kita tidak boleh membiarkannya pergi begitu saja!”Tanpa membuang waktu, Mo Tian segera berlari ke arah pria itu sebelumnya berdiri. Liu Qingxue mengikutinya, meski tubuhnya masih terasa berat setelah bertarung melawan serangan-serangan tak terlihat tadi. Mereka berdua keluar dari bangunan tua itu, kembali ke kabut pekat yang menyelimuti Tanah Bayangan Jiwa.Namun, tidak ada tanda-tanda pria itu. Tidak ada jejak kaki di tanah, tidak ada suara langkah, bahkan tidak ada bekas keberadaannya.“Bagaimana mungkin dia menghilang begitu saja?” tanya Liu Qingxue, matanya menyapu sekeliling dengan waspada.Mo Tian menggelen
Tiba-tiba Mo Tian terbatuk dan mengeluarkan darah dari mulutnya."Mo Tian, kau baik-baik saja?" tanya Liu Qingxue dengan nada khawatir.Mo Tian mengangguk pelan. "Aku baik-baik saja, tapi mereka akan kembali. Kita harus segera bergerak menuju Kota Hantu sebelum mereka mengumpulkan lebih banyak orang untuk menghadang kita."Fang Zhi menghela napas. "Kita juga harus berhati-hati. Yan Wuxi terluka parah, tapi aku yakin dia akan melakukan segala cara untuk membalas dendam. Kita tak boleh lengah."Mo Tian memandang ke arah utara, ke jalur berbatu yang akan membawa mereka menuju Kota Hantu. Hatinya dipenuhi dengan tekad yang lebih kuat dari sebelumnya. Mereka tidak bisa mundur sekarang. Mereka harus menemukan Buku Kematian dan mengungkap misteri di balik kutukan yang ada pada dirinya.Perjalanan mereka tidaklah mudah. Jalanan semakin terjal, angin bertiup kencang, dan udara semakin dingin. Semakin mereka mendekati Kota Hantu, suasana di sekitar mereka semakin terasa aneh. Tidak ada suara bi
Mo Tian, Liu Qingxue, dan Fang Zhi melanjutkan perjalanan menuju Kota Hantu. Angin berhembus dingin, membawa aroma tanah yang lembab dan dedaunan kering yang berguguran. Langit di atas mereka tampak kelabu, seolah menandakan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Mereka tetap waspada, menyadari bahwa perjalanan ini tidak akan mudah.Setelah berhari-hari melewati hutan lebat dan melewati pegunungan berbatu, mereka tiba di sebuah padang luas yang dipenuhi kabut tipis. Suasana mencekam, sepi tanpa suara burung atau hewan liar. Liu Qingxue merasakan ketidaknyamanan dan mencengkeram pedangnya erat-erat."Kita harus berhati-hati," bisiknya.Mo Tian mengangguk. “Aku juga merasakan sesuatu yang tidak beres.”Fang Zhi menatap sekeliling, matanya tajam. “Ada seseorang di sekitar sini.”Benar saja, dari balik kabut, dua sosok muncul dengan langkah perlahan namun penuh kepercayaan diri. Yan Wuxi dan Bai Zhen berdiri di hadapan mereka, dengan tatapan penuh kebencian dan dendam yang membara.
Langkah Mo Tian, Liu Qingxue, dan Fang Zhi perlahan menjauh dari Lembah Tujuh Bintang. Ketiganya terdiam, merenungkan petunjuk samar yang baru saja mereka dapatkan. Langit di atas mereka perlahan memudar dari kerlipan bintang menjadi semburat merah muda saat matahari pagi mulai menyingsing.“Jadi, sekarang kita harus mencari seseorang yang memiliki Buku Kematian,” gumam Fang Zhi sambil mengusap lehernya yang kaku setelah perjalanan panjang.“Tapi siapa orang itu? Dan di mana kita harus mencarinya?” tanya Liu Qingxue, suaranya sedikit serak karena kelelahan.Mo Tian berhenti sejenak, menatap cakrawala yang memanjang di depan mereka. “Aku tidak tahu,” katanya lirih. “Tapi aku yakin, jika kita terus berjalan dan mencari, takdir akan membawa kita pada jawaban.”Fang Zhi mengangguk meski dengan skeptis. “Itu terdengar seperti ucapan seseorang yang tidak punya rencana. Tapi, aku rasa, kita memang tidak punya pilihan lain.”Perjalanan mereka kembali ke desa terdekat memakan waktu dua hari. K
Langit malam di Lembah Tujuh Bintang tampak seperti lautan cahaya. Ratusan, bahkan ribuan bintang berkilauan di atas mereka, memantulkan sinar ke tanah lembah yang dihiasi dengan batu-batu berwarna biru cemerlang. Mo Tian, Liu Qingxue, dan Fang Zhi berdiri di tengah lembah, memandangi keajaiban ini dengan kekaguman yang bercampur kebingungan.“Ini benar-benar memukau,” gumam Liu Qingxue, matanya terpaku pada hamparan langit penuh bintang.“Tapi, bukankah ini disebut Lembah Tujuh Bintang?” tanya Mo Tian, mengerutkan kening. “Kenapa ada begitu banyak bintang? Bagaimana kita tahu mana yang merupakan tujuh bintang inti?”Mo Tian memandang ke sekeliling, mencoba menganalisis situasi. Ia tahu bahwa mereka tidak bisa terus terpesona oleh keindahan ini. Ada misi yang harus diselesaikan, dan waktu mereka tidak banyak.“Kita harus menemukan tujuh bintang inti,” kata Fang Zhi tegas. “Itu adalah petunjuk yang dijelaskan. Mungkin di situlah kita bisa menemukan Buku Kematian, atau setidaknya petunj
Setelah melalui berbagai rintangan yang nyaris merenggut nyawa, Mo Tian, Liu Qingxue, dan Fang Zhi akhirnya bertemu kembali di sebuah ruangan besar di dalam gua. Ruangan itu dipenuhi stalaktit yang menjuntai dari langit-langit, berkilauan samar karena pantulan cahaya biru yang berasal dari dinding gua.Liu Qingxue adalah yang pertama melihat Mo Tian. Ia terkejut melihat kondisi sahabatnya itu. Tubuh Mo Tian penuh dengan luka, sebagian besar adalah luka dalam yang tampak serius. Napasnya tersengal, dan langkahnya begitu lemah hingga ia hampir terjatuh saat mencoba mendekati Liu Qingxue.“Mo Tian!” seru Liu Qingxue, berlari menghampirinya. Ia memegang bahu Mo Tian, menopangnya agar tidak jatuh. “Kau terluka parah! Kau harus istirahat!”Mo Tian hanya tersenyum tipis, meski wajahnya pucat pasi. “Aku baik-baik saja,” katanya, meskipun jelas dari raut wajahnya bahwa ia sedang menahan sakit luar biasa.Fang Zhi muncul dari arah lain, menyeret langkahnya dengan kaki yang pincang. Lengan kirin
Langkah Mo Tian, Liu Qingxue, dan Fang Zhi terasa berat saat mereka memasuki gua di tengah Lembah Tujuh Bintang. Udara di dalamnya dingin dan lembab, diselimuti aura yang mencekam. Cahaya biru yang semula memandu mereka mulai memudar, digantikan oleh kegelapan pekat.Tiba-tiba, suara gemuruh terdengar dari atas mereka. Tanah bergetar, dan batu-batu besar mulai berjatuhan. Mo Tian berteriak, “Hati-hati! Gua ini runtuh!”Ketiganya mencoba berlari kembali ke pintu masuk, tetapi pintu gua tiba-tiba tertutup oleh batu besar yang jatuh dengan cepat. Gua itu kini benar-benar tertutup.“Tidak!” seru Liu Qingxue, memukul batu yang menghalangi jalan keluar mereka. Namun, tidak ada yang bisa mereka lakukan.Suara gemuruh semakin keras, disusul dengan jeritan yang menusuk telinga. Jeritan itu bukan berasal dari manusia, melainkan dari jiwa-jiwa yang tampaknya terjebak di dalam gua. Suara itu menggema di seluruh ruangan, membuat mereka semua merasa seperti tenggelam dalam penderitaan yang tak terl
Pagi itu, desa yang porak poranda oleh serangan Yan Wuxi dan Bai Zhen telah mulai bangkit kembali. Penduduknya, meskipun masih dalam suasana duka dan keletihan, berusaha menata kehidupan baru. Namun, Mo Tian, Liu Qingxue, dan Fang Zhi tahu bahwa kehadiran mereka di desa hanya akan membawa bahaya lebih lanjut.Dengan berat hati, mereka memutuskan untuk pergi. Para penduduk desa berkumpul di gerbang untuk melepas kepergian mereka. Wu Zhan, tetua desa, memberikan doa dan harapan terbaiknya.“Mo Tian, Liu Qingxue, Fang Zhi,” katanya sambil menggenggam tangan mereka satu per satu. “Kami berhutang nyawa kepada kalian. Dunia ini mungkin keras, tetapi kalian membawa secercah harapan bagi kami. Hati-hati di perjalanan kalian. Kami akan berdoa agar kalian berhasil.”Liu Qingxue tersenyum lembut, menahan air mata. “Kami berjanji akan kembali suatu hari nanti, ketika semuanya telah selesai.”Mo Tian, yang jarang menunjukkan emosinya, hanya membungkuk dalam-dalam. Di dalam hatinya, ia merasa berat
Hari-hari berlalu dengan perlahan di desa itu. Mo Tian dan Liu Qingxue memutuskan untuk tinggal sementara waktu, tidak hanya untuk memulihkan kekuatan Mo Tian tetapi juga untuk membantu penduduk desa membangun kembali kehidupan mereka. Serangan brutal Yan Wuxi dan Bai Zhen telah meninggalkan luka yang mendalam, baik pada bangunan maupun jiwa para penduduk.Mo Tian, meskipun belum sepenuhnya pulih, bersikeras membantu. Dia bersama para penduduk memindahkan puing-puing rumah yang hancur, mendirikan tenda sementara, dan menggali kuburan bagi mereka yang menjadi korban. Liu Qingxue juga tidak kalah sibuk, membantu para wanita desa memasak makanan untuk mereka yang bekerja keras dan merawat anak-anak yang kehilangan orang tua mereka.“Setidaknya aku bisa melakukan sesuatu untuk mereka,” kata Mo Tian suatu pagi saat dia dan Liu Qingxue sedang menata kayu untuk membangun kembali balai desa. “Aku tidak bisa membiarkan mereka menanggung ini sendirian.”Liu Qingxue memandangnya dengan kagum. “K
Selama beberapa hari, Mo Tian terbaring di rumah tabib. Tubuhnya perlahan pulih, tetapi setiap gerakan terasa berat seperti memikul beban dunia. Liu Qingxue tetap berada di sampingnya, memastikan dia mendapatkan perawatan terbaik. Dia memerhatikan Mo Tian dengan cermat, bahkan di saat dia tidak sadar.Mo Tian sering terbangun di malam hari, memandangi Liu Qingxue yang tertidur di kursi dekat ranjangnya. Dalam kesunyian malam, dia menyadari sesuatu yang selama ini dia abaikan—perasaan yang lebih dari sekadar persahabatan atau ikatan keluarga. Liu Qingxue adalah seseorang yang penting baginya, lebih dari apa pun yang pernah dia miliki.Namun, Mo Tian memilih menyimpan perasaan itu dalam hatinya. Dia tahu perjalanan mereka masih panjang, dan ancaman yang mengintai terlalu besar. Baginya, menyatakan perasaan hanya akan menjadi beban tambahan untuk Liu Qingxue, yang sudah banyak berkorban untuknya.Pagi ini, saat matahari menyembul di balik bukit, Liu Qingxue duduk di tepi ranjang Mo Tian,