Wu Zhang berdiri dengan tegak, wajahnya yang penuh kerutan tampak serius namun tenang. Tangannya diangkat, memberi isyarat kepada murid-muridnya yang berkumpul untuk membubarkan diri. Kerumunan itu awalnya enggan bergerak, tetapi tatapan dingin Wu Zhang membuat mereka tidak berani melawan.Qian Lu, yang masih menyimpan seringai penuh kemenangan, tampak ingin mengatakan sesuatu. Namun, ketika tatapan tajam Wu Zhang menghampirinya, keberaniannya surut. Ia mengepalkan tangan dengan frustasi, kemudian melangkah pergi bersama murid-murid lain.Wu Zhang menoleh kepada Mo Tian dan Liu Qingxue, lalu mengisyaratkan mereka untuk mengikutinya ke dalam aula pribadi dojo. Mereka mengikuti dengan tenang, meskipun hati mereka dipenuhi berbagai macam emosi.Setelah pintu aula tertutup, Wu Zhang berbalik menghadap mereka. Cahaya lentera di ruangan itu memantulkan sorot matanya yang tajam, seolah mampu menembus jiwa siapapun yang ia tatap.“Mo Tian,” kata Wu Zhang dengan suara dalam dan penuh wibawa. “
Malam telah larut ketika Wu Zhang duduk di dalam perpustakaan kecilnya. Cahaya lilin menerangi wajahnya yang berkerut karena konsentrasi mendalam. Beberapa buku kuno tergeletak terbuka di depannya, halaman-halamannya penuh dengan tulisan tangan yang hampir tidak terbaca.Ia menelusuri setiap baris dengan seksama, berharap menemukan petunjuk tentang tanda hitam yang menghantui pikirannya sejak ia melihatnya di pundak Mo Tian.Sejak peristiwa itu, Wu Zhang merasa gelisah. Sebagai seorang tetua yang telah menghabiskan sebagian besar hidupnya mempelajari seni bela diri dan pengetahuan kuno, ia tidak asing dengan tanda-tanda supranatural. Namun, tanda hitam berbentuk sabit di pundak Mo Tian berbeda dari apa pun yang pernah ia temui sebelumnya.“Bukan segel biasa,” gumamnya, mengingat kata-katanya sendiri ketika berbicara dengan Mo Tian dan Liu Qingxue. Saat itu, ia mengatakan bahwa ia pernah melihat tanda serupa, tetapi sebenarnya itu hanya asumsi. Kenyataannya, tanda itu benar-benar asing
Langit menjelang senja, rona oranye menyelimuti cakrawala ketika Mo Tian dan Liu Qingxue melangkah di jalan berkerikil yang sepi. Angin dingin berembus pelan, menyapu wajah mereka yang dipenuhi kelelahan dan kebingungan. Setelah meninggalkan dojo Wu Zhang, tujuan mereka tampak kabur. Mereka hanya berjalan tanpa arah pasti, membiarkan langkah membawa mereka ke mana saja.Namun, di tengah ketidakpastian itu, semangat Mo Tian tetap menyala.“Kita harus mencari seorang ahli pedang lain,” kata Mo Tian dengan suara mantap. “Aku yakin di luar sana masih ada orang yang bisa mengajari kita. Tidak peduli seberapa sulit, aku akan belajar sampai aku benar-benar bisa mengendalikan Pedang Langit Membara.”Liu Qingxue menoleh, menatap Mo Tian dengan sorot mata yang sulit diartikan. Ada kekaguman, ada kekhawatiran, dan ada sesuatu yang lain—sesuatu yang ia sendiri sulit pahami.“Kau benar-benar keras kepala, Mo Tian,” katanya, suaranya lembut namun ada nada bangga di dalamnya.Mo Tian tersenyum kecil
Langit mulai berubah jingga ketika Mo Tian berdiri di tengah halaman kecil di depan gubuk Master Jian Xun. Pedang Langit Membara tergenggam erat di tangannya. Liu Qingxue berdiri tidak jauh dari situ, menyaksikan dengan cemas namun tidak berani bergerak mendekat. Master Jian Xun, dengan mata tajam seperti elang, mengamati Mo Tian tanpa sepatah kata pun.“Ini adalah ujianmu, Mo Tian,” kata Master Jian Xun akhirnya. Suaranya tenang tetapi penuh wibawa. “Ujian ini bukan sekadar tentang kekuatan atau kemampuan. Ini adalah ujian untuk hatimu, pikiranmu, dan kehendakmu. Tidak ada bantuan, tidak ada campur tangan.” Ia melirik Liu Qingxue yang seketika menundukkan kepala, memahami bahwa ia tidak boleh terlibat.Mo Tian menegakkan tubuhnya, mengangguk tegas. “Saya siap, Master.”Master Jian Xun mengangkat tangan, dan seketika, energi pedang yang kuat terpancar dari dirinya. Tanpa menyentuh pedang, dia mengendalikan energi itu, menciptakan gelombang tajam yang berputar di sekeliling Mo Tian.“
Hari-hari latihan di bawah bimbingan Master Jian Xun semakin intens. Mo Tian dan Liu Qingxue menjalani setiap sesi dengan tekad yang tak tergoyahkan. Master Jian Xun, dengan pendekatan keras namun bijaksana, terus mendorong keduanya untuk melewati batas kemampuan mereka."Fokus pada niatmu, bukan pada kekuatan pedangmu," kata Master Jian Xun sambil mengamati Mo Tian berlatih. Pedang Langit Membara di tangan Mo Tian bergerak dengan presisi, tetapi Master Jian Xun tahu bahwa pemuda itu masih menyimpan banyak kekhawatiran dalam hatinya.Saat istirahat di sela latihan, Master Jian Xun mendekati Mo Tian. “Mo Tian,” katanya dengan nada serius. “Tanda hitam di pundakmu tidak akan bisa dihilangkan.”Mo Tian terdiam, matanya menatap tanah. Liu Qingxue yang berada di dekatnya juga terlihat cemas.“Tapi,” lanjut Master Jian Xun, “itu bukan berarti takdirmu sudah ditentukan. Aku percaya, dengan tekad yang cukup kuat, kau bisa merubah takdirmu. Tanda itu adalah beban, tetapi juga bisa menjadi keku
Malam itu, langit desa tempat Mo Tian dan Liu Qingxue tinggal begitu tenang. Bulan bersinar lembut, memberikan sentuhan perak pada dedaunan yang bergerak pelan tertiup angin malam. Namun, di dalam kamar sederhana mereka di dojo Master Jian Xun, ketenangan itu tidak terasa bagi Mo Tian.Ia terbaring di tempat tidur, wajahnya berkeringat, nafasnya berat, dan tubuhnya menggigil. Dalam tidurnya, ia terperangkap dalam mimpi buruk yang menakutkan, lebih nyata daripada apapun yang pernah ia alami sebelumnya.Dalam mimpinya, Mo Tian berdiri di tengah-tengah lautan api yang membara. Kobaran api itu tidak hanya memancarkan panas, tetapi juga rasa sakit yang menusuk. Di sekelilingnya, ia mendengar suara rintihan dan jeritan yang begitu menyayat hati. Ribuan jiwa berwajah samar merintih, menjerit meminta pertanggungjawabannya.“Mo Tian!” suara mereka bergema dalam kekosongan api. “Ini semua salahmu!”Mo Tian melangkah mundur, bingung dan ketakutan. “Apa... apa maksud kalian? Aku tidak mengerti!”
Malam kembali menyelimuti desa kecil itu. Di dalam kamar sederhana, Mo Tian terbaring dengan tubuh yang tampak lelah, tetapi matanya tetap terbuka menatap langit-langit.Beberapa malam terakhir, tidur baginya lebih menyerupai mimpi buruk yang panjang, tempat ia dipertemukan kembali dengan kobaran api, jiwa-jiwa yang merintih, dan suara mengerikan yang berbicara tentang kehancuran manusia.Mo Tian menghela napas berat. Dalam beberapa malam terakhir, ia mengandalkan ramuan tidur yang dibuat oleh Master Jian Xun untuk membantunya terlelap tanpa dihantui mimpi buruk. Namun, bahkan dengan ramuan itu, ketakutannya tetap ada—takut bahwa setiap kali ia memejamkan mata, ia akan kembali bertemu dengan dunia penuh kehancuran itu.Liu Qingxue, yang duduk di dekatnya, memandang dengan penuh kekhawatiran. Ia tahu Mo Tian sedang berjuang melawan sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. “Mo Tian,” katanya lembut, “kau harus beristirahat. Tubuhmu tidak bisa terus seperti ini.”Mo Tian menggeleng
Mo Tian duduk di pinggir sungai yang mengalir jernih, aliran airnya membawa bebatuan kecil yang bergemerisik lembut di dasar. Di sekelilingnya, dedaunan dari pepohonan tinggi berbisik tertiup angin, menciptakan suasana damai yang sayangnya tidak bisa dirasakan oleh hati Mo Tian.Pikirannya dipenuhi dengan berbagai pertanyaan yang tak memiliki jawaban jelas. Ia memandangi pantulan dirinya di air, wajah yang selama ini ia kenal tetapi kini terasa asing. Tanda hitam berbentuk sabit di pundaknya telah mengubah segalanya.“Kenapa aku?” bisiknya pada dirinya sendiri.Mo Tian menarik napas panjang, mencoba mengusir perasaan berat di dadanya. Ia teringat masa kecilnya, di mana hidup bersama kedua orang tuanya di sebuah desa kecil yang miskin. Mereka adalah orang-orang biasa, menjalani hari dengan bekerja keras di ladang untuk mendapatkan makanan yang cukup. Mereka bukan pahlawan, bukan pendekar, dan tentu saja bukan orang yang pernah bersinggungan dengan kekuatan besar.“Bagaimana mungkin aku
Mo Tian, Liu Qingxue, dan Fang Zhi berjalan tertatih-tatih menyusuri jalan berbatu, meninggalkan Kota Hantu yang sudah menolak mereka. Tubuh mereka terasa lelah, luka-luka yang mereka dapat dari perjalanan sebelumnya masih terasa perih, dan kepala mereka dipenuhi pertanyaan tentang Buku Kematian."Kita harus menemukan penginapan," ujar Liu Qingxue. "Kalau kita terus berjalan seperti ini, kita akan tumbang sebelum menemukan jawaban."Mo Tian mengangguk. "Aku setuju. Kita juga perlu berpikir lebih jernih tentang apa yang sebenarnya terjadi."Setelah berjalan beberapa saat, mereka akhirnya menemukan sebuah desa kecil di kaki bukit. Desa itu terlihat tenang, dengan rumah-rumah kayu yang berjejer rapi dan cahaya lentera yang menerangi jalan setapak. Mereka segera mencari penginapan dan akhirnya menemukan Rumah Peristirahatan Angin Timur, sebuah penginapan sederhana yang dijalankan oleh seorang wanita tua bernama Madam Xiu.Setelah memesan satu kamar untuk bertiga, mereka segera membersihka
Tubuh Mo Tian, Liu Qingxue, dan Fang Zhi terlempar ke udara saat pilar batu hitam itu hancur. Mereka merasa seperti jatuh ke dalam kehampaan, dikelilingi oleh kegelapan yang tak berujung. Angin menderu, suara berdesir mengelilingi mereka seolah-olah ada bisikan dari dunia lain.Saat mereka akhirnya mendarat, mereka mendapati diri mereka berada di sebuah lapangan luas yang gelap. Tidak ada langit, tidak ada tanah, hanya kekosongan tak terbatas yang membentang ke segala arah."Apa ini…?" Liu Qingxue bangkit perlahan, matanya menyapu sekitar dengan waspada.Fang Zhi menyentuh permukaan tempat mereka berdiri. "Kita benar-benar berada di tempat lain… tapi ini bukan Kota Hantu."Mo Tian berdiri, tubuhnya sedikit goyah akibat perjalanan yang tidak mereka duga. Namun, sebelum ia bisa berbicara, bayangannya sendiri muncul di sekeliling mereka.Mo Tian terkejut saat melihat puluhan—tidak, ratusan—bayangan dirinya sendiri berdiri di sekitar mereka. Setiap bayangan memiliki bentuk yang identik de
Mo Tian, Liu Qingxue, dan Fang Zhi kembali mengikuti jejak yang samar-samar tertinggal di jalanan Kota Hantu. Jejak itu terus membawa mereka ke arah timur, melewati bangunan-bangunan yang semakin terlihat aneh. Kadang, jejak itu tampak jelas di tanah berdebu, tetapi di lain waktu, jejak itu seperti melayang, tidak meninggalkan bekas di tanah."Ini benar-benar aneh," gumam Liu Qingxue. "Seolah dia bisa berjalan di udara."Fang Zhi menyipitkan mata, melihat sekeliling dengan curiga. "Yan Luo... apa dia manusia atau bukan?"Mo Tian tak langsung menjawab. Sejak awal, ia sudah merasa ada yang tidak biasa dengan sosok itu. Bayangannya yang muncul lalu lenyap seperti asap, gerakannya yang secepat kilat, dan jejak-jejak misterius ini membuat mereka bertanya-tanya: apakah Yan Luo benar-benar nyata?Saat mereka tiba di depan sebuah bangunan tua yang besar, jejak itu berhenti di sana. Bangunan ini tampak lebih utuh dibandingkan dengan reruntuhan lainnya di kota ini, seolah memiliki energi yang m
Setelah berhasil mengalahkan penjaga gerbang, Mo Tian, Liu Qingxue, dan Fang Zhi melangkah masuk ke dalam Kota Hantu. Suasana di dalamnya lebih mencekam daripada yang mereka bayangkan. Bangunan-bangunan tua berdiri dalam kesunyian, beberapa sudah runtuh dan tertutup oleh kabut tipis yang bergulung-gulung di antara reruntuhan.Tidak ada tanda kehidupan—tidak ada suara langkah kaki, tidak ada hembusan nafas makhluk hidup, bahkan suara angin pun terasa seperti tertahan di tempat ini. Kota ini benar-benar seperti telah lama ditinggalkan, namun tetap menyimpan aura yang mengancam."Apa ini benar-benar kota?" Fang Zhi bergumam, matanya menyapu ke sekeliling. "Tempat ini lebih mirip kuburan raksasa."Mo Tian mengangguk. "Kita harus tetap waspada. Bisa saja sesuatu mengintai kita dalam bayangan."Liu Qingxue berjalan sedikit di belakang mereka, tangannya sudah bersiap dengan senjata jika sewaktu-waktu bahaya datang. Namun, semakin mereka melangkah ke dalam kota, semakin aneh rasanya.Mereka m
Angin berhembus kencang, membawa hawa kematian yang menyesakkan. Kota Hantu berdiri di hadapan mereka, diselimuti kabut pekat yang berputar seperti roh-roh penasaran. Pintu gerbang kota yang besar dan usang tampak menjulang di depan mereka, dihiasi ukiran-ukiran aneh yang menyerupai wajah-wajah menyeringai. Suasana begitu sunyi, hanya terdengar suara napas mereka yang tertahan.Mo Tian melangkah maju, tangannya menggenggam erat Pedang Langit Membara. Namun, sebelum ia sempat mendekati gerbang, tanah tiba-tiba bergetar. Dari balik bayangan, muncul sesosok penjaga yang mengenakan baju zirah hitam legam. Matanya kosong tanpa cahaya, tetapi auranya begitu menekan."Apa yang mencari kehidupan lakukan di tempat orang mati?" Suaranya terdengar berat, seperti berasal dari dunia lain.Mo Tian tidak langsung menjawab. Ia bisa merasakan tekanan kuat dari makhluk itu. Liu Qingxue dan Fang Zhi juga merasakan hawa membunuh yang begitu pekat, membuat mereka bersiaga penuh."Kami mencari sesuatu di d
Tiba-tiba Mo Tian terbatuk dan mengeluarkan darah dari mulutnya."Mo Tian, kau baik-baik saja?" tanya Liu Qingxue dengan nada khawatir.Mo Tian mengangguk pelan. "Aku baik-baik saja, tapi mereka akan kembali. Kita harus segera bergerak menuju Kota Hantu sebelum mereka mengumpulkan lebih banyak orang untuk menghadang kita."Fang Zhi menghela napas. "Kita juga harus berhati-hati. Yan Wuxi terluka parah, tapi aku yakin dia akan melakukan segala cara untuk membalas dendam. Kita tak boleh lengah."Mo Tian memandang ke arah utara, ke jalur berbatu yang akan membawa mereka menuju Kota Hantu. Hatinya dipenuhi dengan tekad yang lebih kuat dari sebelumnya. Mereka tidak bisa mundur sekarang. Mereka harus menemukan Buku Kematian dan mengungkap misteri di balik kutukan yang ada pada dirinya.Perjalanan mereka tidaklah mudah. Jalanan semakin terjal, angin bertiup kencang, dan udara semakin dingin. Semakin mereka mendekati Kota Hantu, suasana di sekitar mereka semakin terasa aneh. Tidak ada suara bi
Mo Tian, Liu Qingxue, dan Fang Zhi melanjutkan perjalanan menuju Kota Hantu. Angin berhembus dingin, membawa aroma tanah yang lembab dan dedaunan kering yang berguguran. Langit di atas mereka tampak kelabu, seolah menandakan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Mereka tetap waspada, menyadari bahwa perjalanan ini tidak akan mudah.Setelah berhari-hari melewati hutan lebat dan melewati pegunungan berbatu, mereka tiba di sebuah padang luas yang dipenuhi kabut tipis. Suasana mencekam, sepi tanpa suara burung atau hewan liar. Liu Qingxue merasakan ketidaknyamanan dan mencengkeram pedangnya erat-erat."Kita harus berhati-hati," bisiknya.Mo Tian mengangguk. “Aku juga merasakan sesuatu yang tidak beres.”Fang Zhi menatap sekeliling, matanya tajam. “Ada seseorang di sekitar sini.”Benar saja, dari balik kabut, dua sosok muncul dengan langkah perlahan namun penuh kepercayaan diri. Yan Wuxi dan Bai Zhen berdiri di hadapan mereka, dengan tatapan penuh kebencian dan dendam yang membara.
Langkah Mo Tian, Liu Qingxue, dan Fang Zhi perlahan menjauh dari Lembah Tujuh Bintang. Ketiganya terdiam, merenungkan petunjuk samar yang baru saja mereka dapatkan. Langit di atas mereka perlahan memudar dari kerlipan bintang menjadi semburat merah muda saat matahari pagi mulai menyingsing.“Jadi, sekarang kita harus mencari seseorang yang memiliki Buku Kematian,” gumam Fang Zhi sambil mengusap lehernya yang kaku setelah perjalanan panjang.“Tapi siapa orang itu? Dan di mana kita harus mencarinya?” tanya Liu Qingxue, suaranya sedikit serak karena kelelahan.Mo Tian berhenti sejenak, menatap cakrawala yang memanjang di depan mereka. “Aku tidak tahu,” katanya lirih. “Tapi aku yakin, jika kita terus berjalan dan mencari, takdir akan membawa kita pada jawaban.”Fang Zhi mengangguk meski dengan skeptis. “Itu terdengar seperti ucapan seseorang yang tidak punya rencana. Tapi, aku rasa, kita memang tidak punya pilihan lain.”Perjalanan mereka kembali ke desa terdekat memakan waktu dua hari. K
Langit malam di Lembah Tujuh Bintang tampak seperti lautan cahaya. Ratusan, bahkan ribuan bintang berkilauan di atas mereka, memantulkan sinar ke tanah lembah yang dihiasi dengan batu-batu berwarna biru cemerlang. Mo Tian, Liu Qingxue, dan Fang Zhi berdiri di tengah lembah, memandangi keajaiban ini dengan kekaguman yang bercampur kebingungan.“Ini benar-benar memukau,” gumam Liu Qingxue, matanya terpaku pada hamparan langit penuh bintang.“Tapi, bukankah ini disebut Lembah Tujuh Bintang?” tanya Mo Tian, mengerutkan kening. “Kenapa ada begitu banyak bintang? Bagaimana kita tahu mana yang merupakan tujuh bintang inti?”Mo Tian memandang ke sekeliling, mencoba menganalisis situasi. Ia tahu bahwa mereka tidak bisa terus terpesona oleh keindahan ini. Ada misi yang harus diselesaikan, dan waktu mereka tidak banyak.“Kita harus menemukan tujuh bintang inti,” kata Fang Zhi tegas. “Itu adalah petunjuk yang dijelaskan. Mungkin di situlah kita bisa menemukan Buku Kematian, atau setidaknya petunj