Pasti sesuatu telah terjadi.Seharian ini Shine gelisah. Seharusnya hari ini berjalan sesuai dengan rencana mereka kemarin, Putra datang menjemput tapi ditunggu sampai malam pun laki-laki itu tidak muncul bahkan sama sekali tidak ada kabarnya. Shine sudah berkali-kali mencoba untuk menghubungi Putra tapi selalu terhubung dengan mailbox. Shine khawatir terjadi sesuatu sama kekasihnya."Arsen." Shine melintasi halaman rumahnya, menghampiri Arsen yang baru keluar dari mobilnya. "Aku sama sekali tidak bisa menghubunginya," ucapnya khawatir saat mereka berdiri berhadapan. "Aku takut terjadi sesuatu padanya.""Aku sudah mengutus seseorang untuk mencari alamatnya dan mendapatkannya. Lebih baik kita cek ke sana."Shine mengangguk, masuk ke dalam mobil yang pintunya dibuka Arsen dan segera melajukannya menuju ke alamat Putra. Untung saja traffic jalanan Jakarta saat malam tidak terlalu padat. Shine sudah berpikiran yang tidak-tidak. Duduk dengan tangan saling meremas dan menggigiti ujung kuku
"Kerja bagus." Putra tersenyum miring, menarik satu koper coklat yang disodorkan padanya. "Ini namanya keberuntungan karena wanita itu begitu mudah dibodohi. Awalnya aku pikir akan lama mendapatkan sesuatu yang berguna buat kalian tapi dia malah memberikannya dengan sangat mudah." "Kalau begitu kamu harus kembali ke tempat di mana kamu berasal untuk menghindari resiko apapun yang akan merugikan nantinya." Putra menyeringai, membuka kuncian kopernya dan tersenyum puas saat melihat uang dalam satuan dollar memenuhi koper itu dan menutupnya dengan bersemangat. "Tanpa anda beritahupun, aku akan melakukannya." Putra berdiri. "Kalau begitu aku pergi. Semoga anda bersenang-senang dengan apa yang aku berikan itu." Laki-laki yang duduk di sisi lain meja dengan gaya santai itu tersenyum sombong. "Itu urusanku. Anggap kita tidak pernah berurusan. Pergilah." Putra mengangguk, "Senang bekerja sama dengan anda." Lalu berbalik pergi keluar dari ruangan tertutup yang terjaga privasinya dengan
Shine berdiri diam menatap nanar pintu di depannya yang tidak juga terbuka meski dia sudah memencet belnya puluhan kali. Sudah satu jam dia berada di sana berharap bisa bertemu dengan Zaf untuk minta maaf atas ketololannya tapi tidak ada hasilnya. Shine berkali-kali mendatangi apartemen Zafier dan melakukan hal yang sama tapi pintu tetap tidak terbuka yang artinya Zafier belum pulang dari berliburnya. Rasa sesak mengganggunya sejak beberapa hari lalu. Dia patah hati, mengutuk Putra juga kebodohannya yang sangat fatal karena dibutakan oleh cinta dan mengacaukan semuanya hingga membuatnya perlahan-lahan merasakan penyesalan di dalam hatinya. "Zafier—" desah Shine, menyandarkan kepala di pintu dan menunduk ke bawah seraya bergumam, "Aku harap kau akan baik-baik saja." Ponsel di saku celananya berbunyi, Shine berdiri tegak. Saat dilihatnya siapa yang menelepon, Shine menghela napas dan mengangkatnya. "Aku akan segera menyusul." Setelah mendengar jawaban Arsen, Shine menutup ponselnya
"Aku agak lapar. Apa sebaiknya kita makan dulu?" Arsen menghempaskan tubuhnya di samping Shine yang termangu dengan kertasnya membuat Shine reflek berdiri dan berhadapan dengan Arsen yang nampak kaget melihat sikapnya. "Kenapa Shine?" Tanya Arsen. "Siapa yang membawaku ke rumah sakit saat pingsan tempo hari?" Arsen diam, tidak mengerti. "Aku—" "Katakan sejujurnya!! Bukan kamu kan yang pertama kali membawaku ke sana?" Sela Shine dengan emosi tinggi seraya mencengkram kertasnya. Arsen berdiri. "Memangnya kenapa Shine? Apa itu penting? Aku yang ada di sana menungguimu." "Ini penting Arsen." Shine menatap penuh arti. "Apa Zafier yang menolongku?" Arsen diam, tidak menjawab tapi Shine tahu kalau dia benar. Kertas di tangannya memperlihatkan dengan jelas tanda tangan Zafier. Shine terduduk di kursinya, menopang kepalanya dengan tangan yang sikunya dia sandarkan di paha. "Shine—" Shine menepis tangan Arsen yang tadi mau menyentuhnya dan menoleh dengan mata berkaca-kaca. "Sudah pulu
Shine berlari kencang dari area depan pusat perkantoran menuju ke Gaster Coorporartion karena mobil dilarang untuk masuk ke dalam. Tidak peduli napasnya sudah naik turun dan juga lelah tapi dia tetap memacu diri bisa sampai di sana secepatnya untuk bertemu dengan Zaf. Semoga saja dia tidak terlambat datang.Shine menghentikan langkahnya saat melihat beberapa orang berkewarganegaraan Amerika dengan bajunya yang seragam keluar satu persatu dari sana membawa beberapa dokumen juga benda lainnya yang terbungkus plastik dan para wartawan sibuk menyorot ke arah dalam. Sudah seperti tersangka kasus korupsi tapi yang ini jelas lebih keren karena tertangkap sebagai kriminalnya dunia Cyber.Shine tersentak saat melihat Zafier Gaster muncul di kawal beberapa polisi Amerika bersenjata di kanan dan kirinya menuju ke mobil hitam mengkilat yang berjejer di pintu masuk. Ekspresinya tidak terbaca dan tanpa rasa takut seakan-akan dia sedang dikawal untuk bertemu dengan Presiden."ZAFIER!!" teriak Shi
Flashback On Tinn Tinn Tinn Tinn Tinn Tinn "Rey, hentikan mobilnya." Zafier mengeluarkan ponsel, melepas seatbelt dan mengedarkan pandangan, mencoba melihat di antara derasnya hujan di luar. "Shine di sekitar sini." "Aku tidak bisa melihat dengan jelas bos," Rey ikut mengedarkan pandangan. "Aku akan melacaknya. Lebih cepat menemukannya dari pada harus mencari lagi." Zaf terlihat serius menatap layar ponsel, mobil masih berada di sekitar area perkantoran dan hujan turun semakin deras. Saat Zaf menemukan titik koordinat Shine, helaan napasnya terdengar. "Halte." "Malam-malam begini?" Zaf menyimpan ponsel di saku celana, melepas jasnya menyisakan kemeja dan menggulung lengannya. "Aku akan ke sana hanya sekedar untuk mengeceknya. Sepertinya aku tahu kenapa dia ada di sana." "Halte masih satu blok di depan sana bos." "Dia akan memgamuk kalau melihatku menguntitnya. Aku hanya akan mengecek. Kau tunggu saja teleponku." "Baik bos." Rey menyerahkan payung hitam dan Zaf keluar dari mo
"Aku menyebutnya jebakan bunuh diri."Aldrick mengerutkan kening, Rey mendengarkan dengan seksama, Zaf melihat ke arah luar saat mereka berada di dalam pesawat menuju London setelah meninggalkan Napoli. Mengabaikan rasa nyeri di wajah dan beberapa bagian tubuhnya yang memar."Kau gila ya?!!" Ucap Aldrick berang. "Ini sangat beresiko dan lihat apa akibatnya."Zaf menyandar di kursi dan menghela napas, menatap Aldrick. "Itulah kenapa aku sebut ini bunuh diri karena aku sudah muak dengan orang-orang yang mencoba untuk mencari celah dan menjadikan Shine sebagai sasarannya. Sudah beberapa kali aku mendapati seseorang mengikutinya diam-diam. Yang mereka inginkan itu kehancuranku. Aku tidak bisa tinggal diam lebih lama dan terbuktikan sekarang firasatku. Mereka bergerak cepat.""Jadi, semua ini sudah kau rencanakan?" Tanya Aldrick, tidak habis pikir. "Aku sengaja mengganti ID Card Shine, memasukkan semacam kode di dalamnya untuk bisa mengakses lebih jauh ke dalam sistemku. Istilahnya semaca
"Ini—" Shine menatap tidak percaya tiga benda yang disodorkan Aldrick di depan matanya. Tanpa sadar, tangannya bergetar hebat, air matanya merebak saat mencoba mengambil seuntai kalung yang dia hapal mati. Kalung milik Abigail. Shine menangis saat menggenggam kalung itu seakan Abigail-lah yang sedang dia peluk. "Zaf mendapatkan informasi kalau Abigail ada di Italia—" Shine mengangkat pandangan dengan mulut terbuka. "Kemarin kami pergi ke sana untuk memastikannya dan memang benar kalau saudara kembarmu ada di sana dan ini buktinya." Aldrick menunjuk kalung Abigail. "Zaf tidak bisa membawamu karena itu terlalu beresiko. Saat ini Abigail sudah menjadi istri dari Mafia Italia dan berbahaya jika mendekatinya." "Mafia?" Tanya Shine tidak percaya. Aldrick mengangguk, menyandar di kursi salah satu cafe yang tidak terlalu ramai. "Zaf mengambil resiko besar datang ke sana dan yah kau bisa lihat sendiri wajah memar-memar kami ini tapi untung saja tidak sia-sia karena Zaf bisa bertemu deng