"Maafkan aku. Apa masih terasa sakit?" Shine mencoba untuk mengobati luka-luka yang di dapat Putra di beberapa area wajahnya dengan kapas, alkohol dan obat merah. Meski tidak terlalu parah tapi itu akan meninggalkan bekas. "Aku tidak apa-apa sayang. Jangan khawatir seperti itu." Shine tersenyum saat merasakan elusan di pipinya. Saat ini mereka sedang duduk di apotik sembari menunggu hujan yang menderas di luar mereda. "Kenapa dia sampai menghajarmu seperti ini?" "Aku tidak tahu. Seingatku tadi, aku hanya duduk di bar menunggu minuman sembari berbincang dengan bartender yang sudah aku kenal tapi tiba-tiba laki-laki itu nyolot, tidak terima dan menghajarku seperti ini. Aku bahkan tidak mengenalnya meski aku tahu dia siapa." Shine menaikkan alisnya. "Memangnya kamu tahu dia siapa?" "Zafier Gaster, right?" kata Putra seraya memperhatikan ekspresi wajahnya. "Pemilik perusahaan tempat di mana kamu bekerja." Shine menghela napasnya dan mengangguk. "Aku minta maaf, dia memang kadang s
Kepalan tangannya semakin menguat, tapi tidak ada yang bisa dia lakukan selain duduk diam memperhatikan di dalam mobilnya yang terparkir di sebrang apotik, memandangi pasangan yang baru saja keluar dan berjalan berdua di bawah payung pergi ke arah berlawanan. Zaf melihat semua yang mereka lakukan. Bagaimana Shine mengobati luka laki-laki itu, bagaimana dia menatapnya, bagaimana Shine pasrah dipeluk dengan eratnya dan mereka tertawa bersama. "Aku membencimu Zafier Gaster." Kalimat itu terus terulang di dalam kepalanya. Mungkin selama ini Shine memang sudah membencinya tapi kalimat itu terasa berbeda kali ini. Shine membela laki-laki lain dan itu rasanya lebih menyakitkan. "Apa benar kau hanya menginginkannya?" desah Sheila di sampingnya, sejak tadi diam memperhatikan semua ekspresinya dan berasumsi. "Kau mencintainya, Zaf." "Tidak." Zaf mengalihkan tatapannya. "Ah, menyebalkan. Laki-laki yang terlihat terluka tapi tidak mau mengakuinya itu sangat-sangat menyebalkan. Kau menyangka
"Sejak kapan kamu di situ?" desisnya seraya melepas earphonenya. "Sejak tadi. Apa kau tidak menyadarinya?" Zafier Gaster menaikkan alis dengan tatapan berkilat jahil. Shine mengangkat dagunya dan memandang kesal Zaf yang nampak santai sekali dengan kemeja merahnya yang lengannya sudah dia gelung sampai siku. "Sori, aku gak punya kemampuan indera keenam yang bisa mendeteksi makhluk gaib apalagi setan sepertimu," sindir Shine dengan seulas senyum devil. "Tidak masalah kalau dengan begitu aku bisa mendengarkan suara Shine Aurora yang sangat merdu sekali," Zaf menyindir balik. "Pintu keluarnya di sana, tolong pergilah dari sini." Shine tidak mau terus meladeni Zaf karena dia masih punya pekerjaan. Shine memilih duduk lagi di balik komputernya dan melanjutkan. "Cuma kau satu-satunya karyawanku yang berani mengusirku dari kantorku sendiri dan tidak aku pecat." Zaf berdiri dan menghampiri Shine. "Luar biasa sekali. Tidakkah kau merasa tersanjung?" "Bodo amat!" balas Shine dengan mata
Kedatangan Arsen ke Indonesia semata-mata hanya untuk melihat dengan mata kepalanya sendiri siapa laki-laki yang sekarang berstatus kekasih Shine Aurora. Dia ingin memastikan kalau laki-laki itu tidak akan melukai sahabatnya, kalau perlu mengancamnya untuk tidak bertindak macam-macam. Kalau sampai Shine di sakiti maka Arsenlah yang akan maju dan menghajar sendiri laki-laki itu.Setelah perjumpaan mereka yang tanpa kesengajaan di depan kantor Shine, Arsen bisa melihat kalau dia hanya seorang lelaki sederhana yang sepertinya peduli dan serius menjalin kasih dengan sahabatnya tapi jelas Arsen akan tetap mengawasi mereka beberapa hari ini untuk memastikannya dan kembali ke Inggris setelah yakin kalau tidak ada yang perlu dikhawatirkan.Arsen jelas tahu kalau Shine pasti bahagia bisa mendapatkan kekasih seperti yang diinginkannya selama ini dan semarah apapun dia pada dirinya sendiri yang pengecut, Arsen tidak akan menghancurkan kebahagiaan itu. Sudah cukup Shine sendirian dan hanya memili
"Put,Dengar dulu penjelasanku. Apa yang kamu lihat tadi gak seperti apa yang kamu pikirkan." Shine menarik lengan Putra agar menghentikan langkah kakinya dan berbalik menghadapnya. "Aku gak perlu penjelasan lagi karena apa yang aku lihat dengan mataku sendiri itu sudah menjelaskan semuanya." Putra terlihat marah. "Kemarin aku baru aja tanya sama kamu dan menganggap kalau kamu memang wanita yang berbeda tapi nyatanya—" Putra tersenyum miris. "Kamu juga terpesona dengan lelaki berparas tampan dan banyak uang itu kan sampai mau diperlakukan seperti tadi." "Itu bukan karena kemauanku!" Shine mencoba menahan serbuan air matanya sementara dia berusaha meyakinkan Putra. "Laki-laki itu melakukannya atas dasar kesengajaan. Dia memang laki-laki brengsek yang suka bertingkah semaunya. Aku sama sekali tidak menyukainya bahkan membencinya." "Tapi kalian berciuman panas seperti tadi dan di mataku kamu seperti menerimanya begitu saja." "Tidak Put. Demi Tuhan!" Putra mendengus, mengacak rambutny
Sheila ternganga mendengarnya lalu meletakkan gelas wine-nya di meja dan menelengkan kepalanya memandangi Zaf yang terlihat sangat santai menyesapnya. "Sebagai wanita, aku jelas mengutuk alasan kenapa kau melakukannya bahkan sampai membuatnya patah hati seperti ini dan itu semata-mata untuk kepentinganmu sendiri. Tidakkah kau berpikir kalau kau sudah keterlaluan? Dia bukan boneka apalagi obat yang bisa kau gunakan untuk keegoisanmu itu. Victoria sudah lama menghilang dalam hidupmu dan kau seharusnya belajar pelan-pelan menerima kepergiannya bukannya malah berdiri di belakang wanita itu seperti seorang pengecut!" Sheila menumpahkan semua kekesalannya yang hanya ditanggapi seulas senyuman di wajah Zafier. "Zaf, aku mencoba untuk memperingatkanmu sebelum semuanya terlambat. Lepaskan dia dan cobalah untuk menjalani hidupmu dengan benar." "Sejak aku mengenal Shine, aku tidak pernah lagi tidur dengan wanita manapun.Bukankah itu suatu kemajuan?" "Itu karena kau menginginkannya!" desis She
"Apa yang harus aku lakukan sekarang supaya Putra percaya kalau aku tidak seperti apa yang dipikirkannya."Sasha menghela napas panjang seraya mengelus rambut Shine yang memeluknya sementara Arsen duduk di sofa lain di dalam rumah Shine. Sudah tiga hari Shine memilih tidak pergi bekerja dengan alasan sakit dan bosnya, Pak Williem terdengar bersalah saat meneleponnya, mengira kalau Shine sakit karena harus lembur."Pergi dan cari dia. Jangan mendekam di dalam rumah seperti ini," usul Sasha."Lebih baik kamu keluar dari sana, Shine. Aku akan mencarikanmu pekerjaan yang lain.""Aku juga dari dulu sudah berniat mengundurkan diri tapi tidak semudah itu berurusan dengan Zafier."Arsen berdecak. "Aku yang akan mengurusnya. Berapapun denda yang dia mau, biar aku yang bayar.""Tidak!" Shine menolak keras. "Aku tidak mau seperti itu.""Lalu kamu akan tetap bekerja dengan bos yang memang 99% sinting?" tanya Sasha.Shine menoleh. "Aku akan mencari cara lain untuk keluar dari sana. Yang harus aku
Shine Aurora duduk di halte yang sepi saat hari sudah berubah gelap dan hujan yang semakin menderas menahannya di sana, tidak peduli sekalipun tubuhnya terasa dingin dan kepalanya terasa agak pusing karena seharian dia belum makan. Mungkin ini kesempatan yang diberikan padanya untuk berbicara dengan Putra yang berhasil dia temui setelah menunggu selama beberapa jam di lobbi kantornya dan sedang duduk diam di sampingnya. Tidak mengeluarkan satu katapun dengan pandangan lurus ke depan tapi Shine tahu kalau dia menunggu semua penjelasannya. "Aku tidak memiliki hubungan apa pun dengan Zafier Gaster yang melibatkan masalah asmara." Shine menunduk, meremas kedua tangannya sendiri, menghela napas panjang "Kami memang memiliki hubungan yang tidak biasa terjadi diantara atasan dan bawahan—" Putra sontak menoleh dan itu membuat Shine langsung menjelaskan dengan cepat. "Kami memiliki kepentingan masing-masing." "Kamu menginginkan uangnya?" tembak Putra langsung. "Tidak!!" Shine menggelengkan
Setelah hari itu, hidup Lize sepenuhnya berubah. Dia sama sekali tidak pernah membayangkan suatu saat nanti, dia akan merindukan sinar matahari yang menyengat seperti panasnya Florida. Yang bisa dia lakukan saat ini ketika melihat sinar matahari hanyalah tersenyum tanpa ekspresi, berdiri di balik kaca transparan kamarnya yang tidak bisa ditembus matahari dan mencoba menerima keadaannya dengan lapang dada. Hari itu, saat mereka pergi liburan ke Florida yang seharusnya dua minggu menjadi dua hari, Lize divonis menderita penyakit langka Polymorphous light eruption (PMLE) yang menyebabkan kulit seperti terbakar jika terkena sinar matahari. Intinya, hidupnya terancam bahaya jika dia berada di bawah sinar matahari terlalu lama. Bahkan sekarang, sedikit saja bersentuhan langsung dengan sinar matahari, kulitnya akan mulai melepuh seperti terbakar. Sungguh ironis hidupnya saat ini. Terkurung dalam dinding kaca saat siang dan melakukan semua kegiatan di luar rumah saat malam. Selama setahun d
Florida, Amerika SerikatLize mengangkat pandangannya ke atas, satu tangannya memegangi topi pantai yang menghalau pandangannya dari teriknya matahari yang menyengat meski angin pantai di sekitarnya mengibarkan rambut hitam panjangnya.“Lize—”Lize berbalik saat mendengar panggilan itu, menemukan Papinya yang sudah siap membaur bersama laut yang membentang luas tidak jauh di depannya.“Ya Pap?”“Apa yang kau pandangin sayang?”Lize menunjuk ke ujung cakrawala, ke arah matahari yang bersinar teriķ.“Terlalu panas.”Papinya tersenyum, “Sebaiknya kau bersenang-senang sementara kita berada di sini.”Lize menggelengkan kepala, “Meskipun ingin tapi aku tidak tertarik. Mana Mami?”“Berjemur.”Lize menoleh ke belakang, melihat Maminya yang sedang hamil adik kembarnya memasuki usia kandungan tujuh bulan menikmati teriknya matahari yang langsung menyengat kulitnya. Di sampingnya, Omanya melakukan hal yang sama sembari bermain pasir dengan Lucia.“Pap—”Entah kenapa, Lize merasa tubuhnya tidak e
Semenjak memiliki keluarga, Shine mendedikasikan seluruh perhatiannya untuk merawat kedua putrinya meski sesekali dia menerima tawaran iklan juga model. Meskipun Zafier dengan gaya angkuhnya berulang kali mengatakan kalau uangnya tidak akan habis sekalipun dia membelanjakannya terus menerus tapi Shine ingin tetap bisa melakukan sesuatu yang disukainya. Meski berat namun Zaf menyetujuinya dengan syarat dan ketentuan yang telah disepakati. Suaminya itu bahkan membelikannya pesawat pribadi yang bisa dia gunakan sesuka hati. Meski terlihat agak berlebihan namun Shine mengalah dan menerimanya dari pada Zaf melarangnya menjadi model lagi. Lelah selama perjalanan panjang dari Indonesia akan menghilang saat dia sampai di rumah seperti saat ini. Alih-alih menggunakan mobil untuk menjemputnya, Zaf malah mengirim helikopter yang saat ini mendarat sempurna di belakang mansion keluarga Gaster tidak jauh dari tamannya yang asri. Melintasi kebun mawar merah, Shine berjalan mengarah ke gazebo yang
“Kenapa kalian tidak bisa akur?”“Kenapa kami harus akur?” Zaf bertanya balik.Shine mendengkus, melipat lengan di dada sembari rebahan di tempat tidur saat Zaf bergabung dengannya.“Kalian sudah sama-sama tua dan seharusnya bisa berdamai.”“Kau terlalu berlebihan mengkhawatirkannya.”Shine menghela napas, memiringkan tubuhnya ke arah Zaf dan menatapnya serius. “Dia seharusnya sudah memiliki kehidupan yang lebih baik. Memiliki istri dan anak lalu hidup bahagia bukannya malah menjadi orang tua tunggal karena kesalahan satu malam seperti ini. Aku benar-benar sedih Zaf.” “Seperti yang kau katakan, dia sudah tua dan pastinya tahu bagaimana harus bersikap. Aku yakin dia sedang menata hidupnya lagi jadi kau harus mempercayainya.”“Semoga saja.”Shine membiarkan saja Zaf menariknya dalam pelukan dan membisikkan sesuatu.“Aku juga berharap dia bisa bahagia.” Shine tersenyum. “Agar berhenti mengangguku seperti ini.”Shine melotot membuat Zaf sontak tertawa. Sikap menyebalkan suaminya memang s
“Kau sengaja melakukannya ya,” desis Zaf saat menemukan Arsen sedang menjaga Lize yang asyik dengan es krimnya sementara Lucia tidur di kereta dorongnya di salah satu restoran yang ada di Seattle. Duduk di samping Lize yang langsung tersenyum menyambutnya dan mendaratkan kecupan di pipi. “Tetap tidak berubah,” jawab Arsen entang, mengelus rambut Lize yang tertiup angin. “Tidak bisa membiarkan kami sedikit saja menghabiskan waktu bersama.” “Tidak akan!” ujar Zaf datar, mengalihkan tatapan ke Lize dengan ekspresi berbeda, tersenyum lembut. “Lize, mau Papi suapin makan es krimnya?” Lize sontak menggelengkan kepala membuat Arsen menahan senyumannya di sudut bibir. “Sama uncle Arsen aja.” “Good girl,” ujar Arsen, menyuapi sesendok besar es krim strawberry ke Lize di bawah tatapan kesal Zaf yang melipat lengannya di dada, kalah telak. “Shine bilang kau sedang meeting dan tidak bisa diganggu.” “Karena itu kau sengaja melakukan hal ini kan?” “Tidak. Aku hanya ingin kau tahu kalau ak
“Berapa lama kau akan meeting?”Zaf berjalan ke ruang rapat bersama Nick, sekretarisnya dan beberapa orang penting di perusahaannya yang mengikuti di belakang sembari mengangkat panggilan telepon dari Shine.“Mungkin tiga jam. Ada banyak hal yang harus dibicarakan.”“Oke baiklah. Kami sedang berbelanja saat ini jadi mungkin setelah selesai kau bisa menemui kami untuk makan siang bersama. Lize bilang dia ingin es krim pisang.”Zaf menghentikan langkah kakinya dan semua bawahannya ikut berhenti.“Bagaimana kalau aku tunda rapatnya dan menemani kalian?”Nick ingin menyahut namun terhenti saat Zaf melotot membuatnya langsung mengatupkan bibir.“Tidak perlu!” tolak Shine. “Kau tidak boleh mempermainkan bawahanmu seenaknya.”“Mereka tidak akan protes.” Zaf menoleh ke belakang, menatap satu persatu bawahannya yang hanya diam saja. “Begitulah enaknya jadi bos.”“Dasar bos setan memang!” umpat Shine. “Kau selesaikan saja pekerjaanmu lalu susul kami. Jangan membuatku marah!”Zaf mendesah, kemba
Zaf bangkit membuat Alva langsung kaget, berjalan menghampiri putrinya yang menunggu anak lelaki itu membukakan permen bentuk bunga matahari itu dengan sabar. Zaf menyimpitkan mata, mencoba mengabaikan tatapan Shine yang sesaat tadi beradu dengannya dan menaikkan alis penuh curiga. Zaf mengabaikannya karena yang terpenting saat ini menyelamatkan putrinya dari penggoda yang hanya bermodalkan permen itu. Zaf berdiri di belakang Lize dengan tatapan tajam membuat anak lelaki itu reflek menatapnya dan tertegun. Zaf menarik senyum ke sudut bibirnya menakuti membuatnya langsung mengerjapkan mata. Saat Lize berbalik, Zaf sontak tersenyum. “Papi—“ Ucap Lize dengan senyuman lebar. “Hai sayang, kau sedang apa?” “Mau makan permen,” ujarnya seraya menunjuk permen bunga di tangan anak lelaki itu. “Ah begitu.” Zaf mendekat, melipat satu kakinya agar sejajar dengan Lize sembari tangannya mengambil permen lain di meja dan membukanya. “Rasa strawberry lebih enak. Ini Papi bukakan.” Mengabaikan an
Seattle, Amerika Gaster Coorporation semakin berkembang pesat. Setelah berhasil memperjuangkan cintanya, memperistri Shine dan mendapatkan malaikat secantik Lize juga Lucia yang kedatangannya benar-benar tidak terduga, Zaf memboyong anggota keluarganya menetap permanen di Seattle dan menjalankan bisnisnya yang tersebar di berbagai belahan dunia dari sana. Sebagai kepala keluarga, pebisnis dan suami yang saat ini tengah bahagia menjalankan perannya, Zaf benar-benar merasa sedang berada di momen terbaik hidupnya. Pada akhirnya dia menemukan tempat untuk pulang bukan lagi persinggahan, diberi kesempatan menjadi hot Daddy untuk kedua putrinya. Suatu keberkahan yang diberikan Tuhan padanya. “Bukankah mereka terlalu cepat besar,” gumam Zaf di samping sepupunya, Alva Alexander memperhatikan gadis mereka masing-masing yang sedang asyik bermain bersama teman-teman sepantaran mereka dalam acara ulang tahun Angela, putri Alva yang berumur tujuh tahun di taman kediaman keluarga Alexander di Ne
Teriakan itu membuat Zaf reflek menoleh ke atas tebing dan ternganga saat melihat Shine sudah berdiri di atas sana sembari berkacak pinggang. Bagaimana bisa dia sudah ada di atas sana? “Ngapain kau di situ?” “Hmm, entahlah. Enaknya ngapain ya.” Zaf mengeryit, “Kalau begitu ayo turun.” Meski tebingnya tidak terlalu tinggi dan kalaupun Shine jatuh ke bawah dia akan masuk ke dalam air tetap saja Zaf tidak mau istrinya itu kenapa-napa. “Look at me Zaf.” Zaf yang tadinya sudah berniat menyusul Shine langsung terhenti. Dilihatnya Shine tersenyum menatapnya membuatnya terpaku. Istrinyalah yang tercantik di dunia selain Maminya dan Lize, tentu saja. “Terima kasih banyak untuk semua yang kau lakukan.” Disela suara air, Zaf tidak mengerti kenapa Shine tiba-tiba bersikap sok terharu. “Seharusnya sejak awal kau mengatakannya agar aku senang.” “Dasar menyebalkan!!” dengus Shine. “Sekarang waktunya pertunjukan.” Zaf mengeryit tidak mengerti. Tercengang saat Shine dengan tatapan nakal mul