Notifikasi dari m-Banking berbunyi. Transaksi transfer masuk dan saldo rekeningnya bertambah. Netra Ratih membola melihat jumlah angka yang tertera di sana. [Kirimkan nomor rekeningmu, aku akan mengembalikannya, aku tidak bisa menerima uang darimu.] Ratih langsung mengirim pesan kepada Damar. [Pakai untuk berobat, jika kurang, nanti kutransfer lagi.][Aku tidak mau! Aku masih punya uang untuk berobat.][Kalau begitu, gunakan untuk membayar semua hutang-hutangmu. Lalu, istirahat di rumah. Jangan bekerja dulu sampai kamu sembuh!][Bagaimana bisa begitu? Aku tidak mau dikasihani.][Aku tidak sedang mengasihanimu. Aku sedang melaksanakan kewajibanku sebagai suami. Aku tidak mau anak-anak dan istriku terlantar.][Suami?][Iya, meski masih menjadi suami online-mu.][Kita tidak punya kesepakatan untuk itu. Tidak ada pernikahan dan tidak ada suami ataupun istri!] tegas Ratih. [Aku tidak butuh persetujuanmu, aku hanya melakukan apa yang aku inginkan. Dan aku senang melakukan ini. Aku senang
“Ibumu ke mana, Kinar. Boleh Om bicara dengan Ibumu?““Aku tanya sekali lagi, sejak kapan Ibuk jadi istrinya Om?“ Ada getar pada suara Kinar. Mungkin ia sedang menangis, atau sedang menahan tangis. “Om bisa jelaskan ini semua nanti. Sekarang Om ingin tahu bagaimana kabar Ibumu, apakah dia sudah jadi pergi ke Dokter?“ Damar ingin menjelaskan kepada Kinar? Penjelasan seperti apa? Tentang dirinya yang memaksa Ratih untuk menjadi istri online-nya? Damar mengurut pelipisnya. “Om Damar menyukai Ibuk?“ pertanyaan itu tiba-tiba muncul dari mulut Kinar setelah sekian detik tidak ada jawaban. “Iya, aku menyukai Ibumu.““Hanya suka?“ Pertanyaan Kinar terlalu kritis untuk remaja berusia 13 tahun.Damar tak menjawab, ia menghela napas panjang. Ia lebih baik menghadapi puluhan client bisnis dari pada diinterogasi oleh Kinar. “Kalau Om suka sama Ibuk. Om bisa ke sini sekarang? Tadi Ibuk pingsan lagi di puskesmas, sekarang sudah di rumah sakit dan Ibuk belum sadar. Aku tidak tahu harus bagaiman
“Semua itu salah paham, Kinar. Om Damar cuma becanda, kamu nggak usah ambil hati,“ ucap Ratih. “Ibuk nggak bohong? Atau kalian pacaran?““Om maunya serius, tapi Ibumu yang nggak mau.“ Mendengar ucapan Damar, Ratih langsung melotot. “Om Damar bohong, Kinar. Ini semua hanya lelucon!“ tegas Ratih. “Aku serius, dan kalau aku benar-benar serius, apa kamu mengizinkan aku menikah dengan Ibumu dan menjadi ayah kalian?“Mimik muka Kinar berubah seketika. Wajahnya memerah dan penuh dengan rasa tidak suka. “Bapakku sudah meninggal dan aku tidak mau punya Bapak baru. Aku tidak mengizinkan Ibuk menikah lagi!“ seru Kinar. Ia berdiri lalu keluar kamar. Ratih berusaha bangun, ia memanggil Kinar. Namun, Damar mencegahnya, Ratih belum kuat untuk melakukan itu semua. “Biar aku yang bicara dengan Kinar.““Jangan memaksakan apa pun pada Kinar. Aku tidak mau dia marah. Katakan kalau semua ini bohong, hanya lelucon, aku mohon!““Iya, kamu tenang! Kamu sedang sakit. Kalau kamu banyak pikiran maka tidak
“Kalian dari mana saja, kenapa lama?“ tanya Ratih saat Damar dan Kinar muncul bersamaan di kamar inap. “Lihat ikan di kolam, Buk,“ sahut Kinar. Ia langsung mendekati Rea yang masih bermain ponsel di sofa. “Kamu nggak usah memikirkan apa-apa, aku dan Kinar baik-baik saja.““Apa yang kalian bicarakan?“ cecar Ratih. “Besok saja, kalau kamu sudah sembuh, baru kita obrolkan lagi soal ini.““Kenapa harus menunggu besok? Aku pengennya sekarang. Semakin lama kalian menunda, maka aku semakin kepikiran.““Selain keras kepala, ternyata kamu nggak sabaran, ya!“ ucap Damar sembari melepas tawa kecil. “Nanti biar Kinar saja yang ngomong. Aku takut salah ngomong,“ imbuh Damar. “Om Damar saja yang ngomong,“ sahut Kinar cepat. “Kamu yakin, Kinar?“ Damar menatap gadis remaja yang sekarang tengah asik menikmati kacang oven itu. Kinar mengangguk, matanya melirik ke arah Ratih yang masih bermimik penasaran. “Kinar menyetujui hubungan kita,“ ucap Damar singkat. Damar yakin tanpa menjelaskan panjang l
“Dia tetanggaku, kebetulan dia Pak RT di tempatku,“ jawab Ratih pelan. “Oh, kenalkan. Saya Damar.“ Damar mengulurkan tangan. Radit menerima uluran tangan itu, tetapi matanya masih menyiratkan rasa tidak suka pada Damar. “Bagaimana saya harus memanggil? Saya kira saya lebih tua dari kamu.““Panggil nama saja. Saya memang Pak RT, tapi saya man--““Tidak usah diperjelas, Dit. Aku pernah bilang berkali-kali ke kamu!“ potong Ratih. “Ada anak-anak juga!“ imbuh Ratih dengan nada suara yang lebih tinggi. "Baik, maafkan aku! Bagaimana keadaanmu? Aku dapat kabar kalau kamu pingsan di puskemas lalu dibawa ke sini,“ tanya Radit. Ia berjalan mendekati tempat tidur Ratih, kini ia berdiri berseberangan dengan Damar. “Aku sudah lebih baik. Apa istrimu tahu kamu ke sini? Aku tidak mau ada keributan di rumah sakit.““Dia pergi setelah malam itu. Dia tetap ingin bercerai denganku. Dia bilang, tidak akan hidup dengan orang yang belum selesai dengan masa lalunya," ucap Radit yang seketika membuat Damar
Ratih diam, tetapi matanya tidak bisa berhenti mengeluarkan airmata. Apakah jika ia menerima Damar dan menikah dengannya adalah keputusan yang tepat? Atau justru ia akan memulai kehidupan baru yang lebih rumit? Mengingat, derajat mereka berbeda, mereka bagai bumi dan langit. “Aku takut ....““Apa yang kamu takutkan?““Aku tidak bisa menjadi istri seperti apa yang kamu harapkan, dari fisik dan latar belakang kita yang sangat jauh berbeda.““Justru karena itu aku ingin menikahimu. Kamu berbeda dengan wanita-wanita yang aku kenal. Mereka mengejarku hanya karena silau pada apa yang aku miliki, bukan karena tulus mencintai.““Aku juga belum mencintaimu,“ ucap Ratih jujur. “Dan aku akan berusaha membuatmu jatuh cinta, tanpa merebut cintamu kepada almarhum suamimu.““Bagaimana jika aku benar-benar lumpuh?“ Ratih melontarkan pertanyaan itu berulang kali. Ucapan Dokter saraf tempo hari seperti menjadi momok dalam pikirannya. “Semua itu tidak akan terjadi. Aku akan membawamu ke luar negeri u
“Apa maksudmu, siapa kamu?“ “Saya Damar, saya ingin memberi kabar pada Anda kalau besok saya dan Ratih akan menikah. Kami akan menikah di rumah sakit karena Ratih sakit. Dia beneran sakit, bukan pemalas seperti yang Anda bilang. Jika ingin datang silakan, jika tidak berkenan kami tidak memaksa.““Tidak sopan sekali!““Anda yang tidak sopan. Ratih belum apa-apa sudah langsung Anda sembur.““Baik, bilang ke Ratih. Mulai hari ini saya pecat dia dari toko saya.““Terima kasih, saya juga tidak mengizinkan istri saya bekerja pada majikan yang arogan seperti Anda.“Tanpa sahutan lagi telepon itu ditutup. Damar menyerahkan kembali ponsel itu ke Ratih. “Aku jadi kehilangan pekerjaan, 'kan?“ gerutu Ratih. “Kamu kuat kerja dengan orang seperti itu? Baru punya satu toko saja sudah arogan, apalagi punya perusahaan besar! Aku juga tidak akan membiarkan kamu bekerja pada orang seperti itu.““Kalau aku nggak kerja anak--““Aku ganti 100 kali lipat gajimu di toko. Diam di rumah, jaga kesehatan. Yan
Damar berjalan mendekati Ratih. Ia duduk di tepi ranjang. Meraih tangan Ratih, lalu menggenggamnya erat. Damar merasakan tangan Ratih gemetar. Damar tersenyum, lalu mengusap pipi Ratih dengan lembut. “Kamu masih takut kusentuh? Tanganmu gemetar.“ Damar mengalihkan pertanyaan Ratih. “Ti--tidak. Mungkin karena aku belum terbiasa,“ jawab Ratih salah tingkah. "Jawab pertanyaanku yang tadi. Apa kamu bos tambang?“ lanjut Ratih. Damar menarik dagu Ratih, memaksa Ratih untuk menatapnya. “Aku bukan bos tambang seperti kata Faisal. Aku karyawan seperti yang lain.““Kamu tidak bohong?“ “Iya, aku hanya karyawan, tetapi pemilik tambang itu mempercayakan aku untuk memimpin perusahaannya.““Itu artinya, kamu ...?“ Ratih menutup mulut dengan satu tangannya. “Iya, aku seorang Direktur. Tanggung jawabku banyak, ya perusahaan, ya karyawan.““Kenapa kamu tidak cerita dari awal? Kenapa kamu tidak jujur soal ini?““Aku sudah bilang kalau aku karyawan di tambang. Dan itu benar. Aku memang Direktur, t
Damar langsung menuju kamar tempat Ratih dirawat, ia belum bisa berlari. Namun, Damar berusaha berjalan dengan cepat agar bisa segera menemui Ratih. Sampai di depan kamar Ratih, Damar menarik napas panjang. Merasakan sedikit nyeri pada kakinya yang terluka. “Ratih kamu kenapa?“ ucap Damar begitu melihat istrinya terbaring lemah di ranjang. Kinar, Rea dan Bu Tutik mendekat, menyalami Damar. “Maaf, Mas ....“ “Maaf untuk apa? Apa yang terjadi sampai kamu dibawa ke sini? Apa sakit kepalamu kambuh lagi?“ tanya Damar cemas. Ratih malah menitikkan air mata. “Aku nggak bisa menyelematkan anak kita.“ Kini Ratih terisak. Damar yang terlihat bingung, hanya bisa memeluk Ratih sambil berpikir tentang apa yang terjadi. “Maaf, Mas Damar. Saya lancang menandatangi surat operasi pengangkatan janin tanpa minta persetujuan dari Mas Damar lebih dulu. Karena kondisi darurat dan kondisi Mbak Ratih yang semakin memburuk.“ Bu Tutik mencoba menerangkan apa yang baru saja terjadi. “Kamu mengandung, Ratih
6 bulan berlalu, Damar sudah bisa jalan hanya dengan menggunakan tongkat, bahkan sesekali ia berjalan tanpa tongkat. Kinar duduk di bangku kelas delapan dan Rea sudah kelas enam. “Ratih, tadi pemilik perusahaan video call denganku, beliau ....““Kenapa, Mas?““Aku sudah harus balik ke Kalimantan. Bekerja lewat online memang tidak bisa maksimal. Hendri harus bolak-balik ke sini dan itu membuat pekerjaan kantor keteteran.““Mas Damar menetap di sana?“ Ratih yang semula berdiri di dekat meja makan, kini sudah duduk di sebelah Damar di ruang keluarga. “Bukan menetap, tetapi lebih sering di sana daripada di rumah. Sabtu Minggu aku di rumah.““Apa Mas Damar nggak capek? Dengan kondisi Mas yang belum sehat betul?“ tanya Ratih khawatir, tetapi Damar menggeleng. “Sudah menjadi tanggung jawabku, Ratih. Toh, bandara tidak begitu jauh dari sini. Namun, ada satu janji yang belum aku tunaikan.““Apa itu, Mas?“ Ratih mengerutkan keningnya. “Aku ingin mengajak kamu dan anak-anak liburan ke luar n
Sebuah mobil mewah berwarna silver berhenti di halaman rumah Ratih. Perempuan tua yang masih cantik dan modis itu keluar dari mobil. Beliau mengamati sekeliling rumah Ratih.Halaman rumahnya kecil dan tidak berpagar meski tertata rapi dan cantik. Teras rumah minimalis, hanya ada satu kursi panjang dari bambu dan satu meja kecil. Meski kecil, Rumah Ratih terlihat baru dan paling bagus dari tetangga kiri dan kanannya. Suasana rumah sepi, Kinar dan Rea masih di sekolah, Ratih sedang menyetrika baju dan Damar sibuk dengan pekerjaan kantornya. Ratih berlari ke depan saat mendengar suara pintu diketuk. Ia melihat Bu Dian sudah berdiri di sana--masih dengan wajah yang tidak ramah. Ratih mengulurkan tangan, lalu menyuruh Bu Dian dan sopirnya masuk. “Kok, sepi?“ tanya Bu Dian tanpa basa-basi. “Iya, anak-anak masih sekolah, belum pulang. Saya panggilkan Mas Damar sebentar.“ Ratih gegas masuk ke kamar, memberitahu Damar kalau Bu Dian sudah datang, lalu mendorong Damar dengan kursi rodanya ke
Damar pulang ke rumah Ratih. Kepulangan Damar disambut gembira oleh Rea dan Kinar. Kinar tidak menyangka kalau Damar akan memilih pulang ke rumah mereka daripada pulang ke Solo. Kinar semakin yakin bahwa Damar adalah sosok Bapak yang benar-benar ia rindukan selama ini. Ratih membantu Damar pindah dari kursi roda ke ranjang. Meski dengan susah payah, ia berhasil memindahkan Damar. “Maaf kalau aku berat dan menyusahkanmu!““Ini sudah tugasku, Mas. Kamu nggak usah minta maaf,“ jawab Ratih. “Aku akan belajar menggeser tubuhku sendiri, biar tidak memberatkanmu!““Jangan tergesa-gesa, biarkan kondisi Mas Damar membaik dulu. Minum obat, makan yang banyak, biar lekas sembuh!“ Damar mengusap lengan Ratih yang duduk di sampingnya. “Aku pengen makan sayur lodeh, boleh?““Baik, nanti aku masak lodeh buat Mas Damar. Mau apa lagi?“ tanya Ratih. “Cuma itu, sekarang aku mau telpon Hendri dulu. Ada dokumen yang harus aku tanda tangani. Aku mau minta dikirim lewat email saja.““Apa nggak istiraha
Ratih bangun kesiangan. Semalam, berkali-kali ia terbangun karena sakit kepala. Sampai hampir subuh ia baru bisa tidur. Ratih melihat isi kulkas yang hampir kosong, ia berniat belanja dulu ke warung Pak Joni di ujung gang, memasak baru berangkat ke rumah sakit. Usai belanja Ratih memasak beberapa jenis makanan. Siapa tahu, Clarisa dan Bu Dian ingin makan masakannya. Tak lupa Ratih membeli jajan pasar untuk camilan Damar di siang hari nanti. Jam sepuluh semua selesai. Kinar dan Rea sudah makan, Ratih juga menyempatkan diri untuk sarapan. Ia tidak mau sakit kepalanya kambuh lagi dan membuat Damar khawatir. “Buk, nanti Aldo izin main ke sini apakah boleh?“ tanya Kinar saat Ratih sudah bersiap di atas motornya. “Asal ada Bu Tutik di rumah, boleh saja. Tapi kalau cuma kalian berdua, Ibuk nggak kasih izin.““Iya, Kinar ngerti. Itu Bu Tutik sudah datang!“ Kinar menunjuk Bu Tutik yang berjalan ke arah mereka. “Maaf, Mbak, baru bisa ke sini. Tadi bantuin Bu Sinta bersih-bersih rumah,“ uca
“Horeee, Ibuk pulang!“ seru Rea saat melihat Ratih memarkir motornya di halaman. “Kok, Mbak Ratih sudah pulang, bukannya hari ini Mas Damar operasi? Mas Damar sama siapa, Mbak? Bagaimana keadaannya?““Alhamdulillah operasinya berjalan dengan lancar, Bu. Di sana ada Ibunya Mas Damar. Jadi, malam ini saya bisa tidur di rumah. Bu Tutik bisa istirahat dulu. Bu Tutik juga pasti capek jagain anak-anak.““Walaaah, enggak, Mbak. Lha wong anak-anaknya Mbak Ratih pinter-pinter dan mandiri, makan pun gampang, apa-apa mau. Saya seneng sama mereka, nurut nggak aneh-aneh.““Alhamdulillah, Bu. Terima kasih untuk bantuannya. Besok kalau sudah mau berangkat ke rumah sakit lagi, saya hubungi Bu Tutik.““Dengan senang hati, Mbak Ratih. Kapan saja Mbak Ratih butuh, saya siap bantu. Kalau begitu sekarang saya permisi dulu. Saya sudah masak untuk makan malam, Mbak. Sisa uang belanja masih saya bawa.““Iya, dibawa Bu Tutik dulu saja. Nanti saya tambahi, sekali lagi makasih, ya, Bu.““Sama-sama, Mbak Ratih,
Hari ini operasi pemasangan pen di kaki Damar. Ratih dan Clarisa menunggu di depan ruang operasi dengan perasaan cemas. Mereka berharap operasi berjalan lancar dan Damar bisa segera sembuh. Tidak ada percakapan di antara mereka. Baik Ratih maupun Clarisa sibuk dengan pikiran masing-masing. Beberapa saat kemudian, telepon Clarisa berdering. Panggilan video dari Imelda, Mamanya. “Halo, Sayang. Apa operasinya sudah selesai?““Belum, Ma. Sudah satu jam lebih, tapi Papa belum keluar dari kamar operasi.““Kamu nunggu sama siapa?““Sama Tante Ratih, istrinya Papa.““Mama mau ngomong sama dia boleh?“ Clarisa mengangguk lalu mengulurkan ponselnya ke Ratih. Tanpa ragu, Ratih menerima ponsel itu, apa pun yang akan ia dengar, ia sudah siap. “Halo, kenalkan aku Imelda, Mamanya Clarisa,“ ucap Imelda. Ia menatap Ratih lalu tersenyum ramah.“Salam kenal, Mbak. Saya Ratih, istrinya Mas Damar.““Tolong titip Clarisa kalau dia pas di Indonesia, ya. Titip juga mantan suamiku. Dia orangnya gampang-gamp
“Mas Damar kenapa?“ tanya Ratih saat tahu Damar tengah mengusap airmata.“Makasih, Ratih, makasih,“ ucap Damar sambil menggenggam tangan Ratih. “Makasih untuk apa?““Sudah mau merawatku yang cacat seperti sekarang ini. Maaf jika aku merepotkanmu!““Itu sudah kewajibanku sebagai seorang istri. Tidak perlu mengucapkan maaf. Kemarin pas aku sakit, kamu juga merawatku. Tidak ada yang repot dan direpoti. Bagaimanapun keadaannya, ya, harus dihadapi bersama.““Kamu janji nggak akan tinggalin aku kalau aku cacat?““Mas hanya sakit, bukan cacat. Mas Damar akan jalan lagi. Sekarang semua serba canggih, jadi jangan takut soal itu. Sudah sekarang Mas Damar tidur, istirahat, biar cepat pulih dan bisa segera dioperasi.“Damar mengangguk. Ia menaikkan selimut, lalu berusaha memejamkan mata. Sementara Kinar sudah terlelap di ranjang kecil. Ratih membereskan meja, lalu merebahkan diri di sofa. Matanya menatap langit-langit kamar. Ia berpikir tentang Damar. Hidup dengan harta yang berlimpah tidak men
Radit berlalu dari rumah Ratih. Pria itu adalah masa lalu Ratih, sejak belasan tahun lalu, Ratih sudah mengubur perasaannya dalam-dalam. Namun, Radit seperti bayang-bayang yang selalu mengikuti ke mana saja Ratih pergi. Bahkan saat suami Ratih yang pertama masih hidup. Mungkin itulah yang menjadi sebab kenapa Tika sangat membenci dan menyimpan api cemburu kepadanya. Ratih kembali ke dapur. Sudah hampir jam lima sore. Ia harus segera menyelesaikan masakannya dan kembali ke rumah sakit. “Malam ini Ibuk tidur di rumah sakit atau tidur di rumah?“ tanya Kinar saat membantu Ratih memasak di dapur. “Ibuk harus kembali ke rumah sakit dulu. Soal pulang atau enggaknya, Ibuk belum tahu.“Kinar tampak membuang napas panjang. Bukan merasa perhatiannya direbut oleh ayah sambungnya, tetapi ia merasa kasihan kepada ibunya yang juga dalam kondisi baru sembuh dari sakit. “Aku temani ke rumah sakit, ya, Buk! Nanti kalau Ibuk mau menginap di sana, aku bisa pulang naik ojek online. Mumpung liburan se