Abizar berjalan menghampiri Excel yang tak menyadari akan kehadiran laki-laki itu. Saat mata keduanya bertemu barulah ia sadar siapa yang saat ini tengah berdiri di hadapannya.
"Di mana, Alesha?" tanya Abizar.
"Kamu lagi, kamu lagi, aku pikir kamu sudah mati dan pergi ke alam baka!" hardiknya sembari menunjuk wajah Abizar.
"Aku tanya di mana, Alesha? Apa yang kamu lakukan padanya, hah?!" Kali ini Abizar tak bisa lagi mengontrol emosinya.
"Emangnya kamu mau apa? Dasar sopir taxi!" Ejek Excel lagi.
Abizar menarik napasnya, ia ingin sekali memukuli wajah Excel saat ini.
Namun, Abizar berusaha menahannya karena tak ingin berubah dari korban menjadi tersangka. Apalagi, ia sudah meminta pengacaranya mengurus semua itu di kantor polisi.
Bahkan, Abizar juga sudah meminta pengacaranya untuk membuat laporan akan pengeroyokan dan juga penculikan terhadap temannya. Saat tiba di rumah sakit sebelum kesadarannya menghilang akibat obat bius.
"Sekarang pergi dari sini!" usir Excel.
Namun, bukannya pergi Abizar malah tersenyum tipis saat melihat dua polisi dan pengacara berjalan ke arahnya saat ini.
"Permisi, siapa yang bernama Excel Prawinata?" tanya polisi itu.
"Saya," ucap Excel. "Ada apa ini, Pak?" tanyanya bingung.
"Saya dapat surat perintah untuk membawa Anda ke kantor polisi untuk memberikan keterangan."
Excel memandang ke arah Abizar, laki-laki itu memicingkan matanya. Ia sadar benar bahwa, tak mudah bagi polisi untuk menangkap dirinya. Jika sampai terjadi hal seperti ini, ia mulai merasa si sopir taxi itu pasti bukan orang biasa.
Dengan terpaksa Excel mengikuti langkah polisi, ia menolak untuk digandeng apalagi diborgol. Karena belum ada bukti bahwa ia bersalah. Selama masih dalam praduga tak bersalah seseorang belum bisa dijadikan tersangka.
"Dengar baik-baik, aku akan bebas dari sana bahkan, kurang dari tiga puluh menit," ucap Excel di telinga Abizar.
"Kita lihat saja nanti, dalam tiga puluh menit itu apa saja bisa terjadi," balas Abizar lirih.
***
"Permisi, Nak, apakah kamu ini temannya Alesha?" tanya Mutiara pada Abizar yang kini duduk di kursi tunggu.
"Iya, Ibu. Apakah Ibu mengenal Alesha?" tanya Abizar sambil menatap wajah wanita bergamis maroon itu.
"Alesha, dia adalah putriku," jawabnya dengan terisak.
"Ada apa, Bu? Kenapa menangis?" tanya Abizar yang masih tak mengerti apa yang sedang terjadi pada Alesha.
"Saat ini kondisi Alesha kritis, ia mencoba untuk bunuh diri," jelasnya.
Seketika Abizar merasa bersalah, ia gagal melindungi gadis itu. Jika saat itu ia tak dipegangi dan dipukuli mungkin saat ini Alesha tengah berbicara padanya tentang kisah hidupnya.
"Apakah dia sedang dioperasi?" tanya Abizar gelisah.
Tante Mutiara mengangguk. "Seandainya, Tante tidak memaksanya untuk menikah mungkin kejadiannya tak akan seperti ini."
Abizar menunduk, dalam hatinya beribu doa ia panjatkan pada Allah, yang ia minta saat ini adalah kesembuhan untuk Alesha.
Dokter berseragam serba hijau dengan penutup rambut di kepalanya itu keluar dari ruang operasi.
"Keluarga dari pasien Alesha," ucapnya membuat Tante Mutiara dan Abizar berdiri.
"Bagaimana keadaan putri saya, Dokter?" tanya Tante Mutiara dengan cepat.
"Alhamdulillah, pasien sudah berhasil melewati masa kritisnya. Akan tetapi, ia masih akan dipantau di ruang intensif selama satu kali dua puluh empat jam," jelasnya.
Tante Mutiara mengangguk mengerti, ia segera bersujud syukur pada Allah. Bahwa putrinya bisa terselamatkan. Dalam dunia ini Alesha menjadi satu-satunya orang yang ia miliki.
***
Kondisi Abizar kini jauh lebih baik, ia yang sudah mendapatkan perawatan selama dua hari bisa pulang dan menjalani rawat jalan.
Abizar yang telah mengganti baju pasien dengan kaos putih dan celana panjang, kini bergegas menuju kamar rawat Alesha. Ia tersenyum sepanjang lorong seperti orang yang kehilangan kewarasan.
"Assalammualaikum, Bu," ucap Abizar saat melihat Tante Mutiara.
"Waalaikumsalam, Nak Abizar. Silahkan masuk, Alesha baru saja siuman," ucapnya sambil tersenyum.
Tante Mutiara yang mengerti akan ada pembicaraan di antara keduanya. Memilih meninggalkan mereka. Wanita itu bergegas menuju kantin untuk mengisi perut.
Namun, saat wanita paruh baya itu hendak menuruni anak tangga, ponselnya berdering. Sebuah panggilan masuk dari Excel membuatnya segera mengangkat telepon itu.
"Ada apa? Jangan pernah hubungi aku dan Alesha lagi!" bentak Tante Mutiara saat panggilan tersambung.
"Aduh, Mama, sabar, dong. Aku kan, baru saja menyelesaikan satu masalah, kenapa Mama harus membuat masalah baru lagi?"
"Apa maksudmu itu?"
"Aku tak punya maksud apa-apa, Ma. Yang jelas pengacaraku mengatakan bahwa saat ini aku belum bisa melakukan tindakan apa pun. Karena bisa saja aku akan berubah menjadi tersangka. Itulah aku mau meminta tolong pada Mama untuk menikahkan aku dan Alesha secepatnya, di rumahku."
Tante Alesha terlihat tak begitu suka mendengar perkataan Excel. "Tidak!" tolaknya dengan cepat. "Apakah kamu pikir saya bodoh ingin melihat hal yang sama terjadi lagi pada Alesha?"
"Hah, Mama jangan munafik, ya. Mama tahu benar, jika Mam--"
"Stop! Lakukan saja apa yang ingin kamu lakukan, tapi jangan pernah berani menikahi Alesha apalagi menyentuhnya!"
Tante Mutiara dengan cepat mematikan panggilan itu. Ia menarik napas panjang lalu bergumam, "Biarlah apa pun yang terjadi nanti, akan aku hadapi nanti." Wanita itu lalu menuruni anak tangga satu demi satu.
***
Kamar berdinding putih itu, menjadi saksi bisu bagaimana dua insan yang tengah terluka itu terdiam? Suasana kamar itu terlalu hening sehingga detak jarum jam terdengar begitu jelas.
"Apakah kamu baik-baik saja saat ini?" tanya Abizar yang masih berdiri di tempat yang sama sedari tadi.
Alesha yang terbaring hanya diam tak menjawab.
Membuat Abizar melangkah mendekati tepi tempat tidur itu.
"Ada apa? Apakah aku melakukan kesalahan padamu? Maafkan, aku. Karena aku tak dapat melindungimu seperti harapanmu padaku," sesal Abizar.
Alesha terdiam. Akan tetapi, air matanya mengalir. Ingin sekali ia memaki Abizar yang saat itu memutuskan menyelamatkannya dari jembatan.
"Ada apa? Katakan sesuatu padaku," pinta Abizar lagi.
Alesha yang tak bisa lagi membendung rasa sakit di hatinya kini berteriak ke arah Abizar. "Semua yang terjadi ini adalah salahmu!"
Abizar tertunduk.
"Jika kamu tak menyelamatkanku waktu itu, jika kamu tak berusaha membuatku tetap hidup. Maka semua ini tak akan pernah terjadi padaku."
Melihat emosi dan kekesalan Alesha padanya, tak membuat Abizar marah. Laki-laki itu malah merasa senang.
"Kamu benar semua ini adalah salahku, jika aku bisa melakukan sesuatu untukmu, maka katakanlah," ucap Abizar.
Laki-laki berkaos putih dengan rambut pendek hitamnya itu kini tak tega melihat mata gadis yang selalu menangis.
"Jika dengan menyalahkanku atas semua yang terjadi padamu, memuat dirimu merasa lebih baik, maka keluarkan semua kekesalanmu itu. Aku benar-benar meminta maaf."
Alesha merasa percuma berbicara pada Abizar. Tak akan ada yang berubah dalam hidupnya. Jika Allah sudah dua kali ingin dirinya tetap hidup, bukankah seharusnya ia menyadari bahwa pasti ada rencana Allah yang lebih baik untuknya.
"Aku tak akan mencoba bunuh diri lagi, aku juga tak akan mencoba melarikan diri lagi," ucap Alesha tiba-tiba.
Abizar hanya diam menatapnya.
"Seharusnya, dari awal aku tak menolak pernikahan itu." Alesha menghela napas. "Aku sudah memutuskan untuk menikah dengan Excel."
"Kenapa?" tanya Abizar terkejut dengan keputusan Alesha. "Bukankah semua ini terjadi karena kamu ingin berpisah darinya, bukankan semua ini karena kamu tak ingin menikahi laki-laki sepertinya!" protes Abizar.Alesha yang kini duduk di atas tempat tidur, meremas kuat selimut putih yang ia kenakan."Kalau pada akhirnya kamu memutuskan untuk menikah dengannya. Untuk apa semua drama ini tercipta?"'Drama. Apakah ia menganggap kesakitanku ini sebuah drama untuknya?' batin Alesha."Harusnya aku tak harus berbaring di tempat tidur selama dua hari karena pukulan anak buah mantan kekasihmu itu," ucap Abizar tak terima.Sebenarnya, Abizar mengatakan semua itu bukan karena apa yang telah ia alami. Akan tetapi, karena ia tak ingin Alesha menikah dengan Excel. Entah mengapa, ia merasa tak rela jika hal itu sampai terjadi.Alesha menahan air mata yang sedari tadi ingin terjatuh saat mendengar perkataan-perkataan Abizar padanya. Gadis cantik berambut panjang itu merasa disudutkan seketika."Kenapa k
"Berikan aku sedikit waktu untuk bisa melakukannya," pinta Alesha dengan cepat. "Sampai aku benar-benar siap untuk menjadi istrimu."~Alesha Syaqueena***"Istri?" Wanita bergamis hitam itu menatap Alesha. "Bagaimana kamu bisa menikah tanpa memberitahu?""Kakak bilang ada urusan pekerjaan di luar kota, kenapa tiba-tiba menikah?" tanya adik Abizar bernama Zahrah."Istrimu ...?" tatapan sinis Alesha dapat dari kakak ipar Abizar. Arum namanya.Abizar sendiri memiliki dua saudara, kakak pertamanya laki-laki bernama Ansyar, sudah menikah dengan Arum dan memiliki seorang putri berumur lima tahun. Zahrah adik bungsu Abizar yang masih duduk di kelas tiga SMA. Sementara Abizar sendiri anak kedua.Namun, kisah rumah tangganya tak berjalan dengan baik. Ia kehilangan sang istri saat mengalami kecelakaan dan istrinya meninggal dunia.Alesha mendekat dan mencium takzim ibu mertuanya. Sebisa mungkin ia tersenyum manis."Kamu sudah makan, Nak?" tanya ummi Abizar.Alesha mengangguk. Waktu perjalanan k
Pagi ini semua orang bangun sebelum Subuh, Alesha yang ikut terbangun saat Abizar akan berangkat ke masjid, juga bersiap-siapa mengambil air wudhu."Sha, setelah pakai mukena nanti shalat berjamaah sama Ummi, Zahrah dan Mba Arum, ya," pesan Abizar.Alesha hanya mengangguk.Alesha menatap dirinya di depan cermin. Rasanya begitu nyaman dalam balutan mukenah. Ia bahkan, terlalu lama tak merasakan hal seperti itu lagi.Suara ketukan di pintu kamarnya membuat Alesha tersadar. Ia segera membuka pintu dan melihat Zahra tersenyum padanya."Mba Alesha, sudah siap ternyata," ucap Zahra sambil tersenyum.Alesha membalas senyuman itu dan bergegas keluar dari kamar.Zahrah membawa Alesha ke sebuah ruangan ukuran 3×3 meter, mushola mini yang ada di rumah ini memang khusus untuk shalat berjamaah dan juga shalat Sunnah.Ummi Abizar sudah ada di Mushola bersama Arum dan putrinya. Sementara Zahrah dan Alesha baru masuk dan segera menggelar sajadah.Setelah selesai shalat dan berdoa, Zahrah dengan cepat
Jatah Sebelum Pernikahanmu (9)Sepasang mata Arum menatap tajam ke arah Alesha yang masih berdiri mematung menatap cangkir yang pecah di lantai keramik putih itu."Lancang sekali kamu, ya!" teriaknya lagi."Maaf, Mba, aku terkejut karena teriakan Mba tadi," jawab Alesha lalu berjongkok."Kamu gak tahu seberapa berharganya gelas itu untuk Abizar, kalau dia tahu kamu akan merasakan akibatnya," ucap Arum sambil menunjuk Alesha.Alesha memilih terdiam, memunguti pecahan cangkir ke tangannya. Dalam pikirannya hanya memikirkan Abizar, mungkin ia akan marah padanya saat ini seperti perkataan Arum."Makanya kalau bukan milikmu jangan pernah berani mengambilnya," cetus Arum sinis.Alesha merasa apa kesalahannya pada Arum, sehingga ia merasa perempuan itu tak menyukainya sejak awal kedatangannya."Ada apa ini?" tanya Abizar yang masuk ke dapur untuk makan pagi.Alesha yang tergesa-gesa tak sengaja terkena pecahan cangkir dan mengakibatkan jari telunjuknya berdarah seketika. Ia mencoba menekan a
"Cinta itu bukan hanya sekedar nafsu untuk memiliki, memaksanya tak akan pernah membuat kisahmu bahagia."♡Layla Mumtazah***Selesai sarapan bersama Alesha membantu Arum membersihkan meja, ia juga mencuci piring. Syukurlah, walau Alesha tak pandai memasak setidaknya gadis itu bisa melakukan yang lainnya."Dengar baik-baik, bukan berarti Abizar sudah melupakan almarhumah istrinya hanya karena dia bersikap baik seperti tadi. Adik ipar memang selalu bersikap baik dengan siapa pun," ucap Arum saat membasuh gelas.Alesha menoleh, entah mengapa Arum selalu saja mengeluarkan kata-kata tajamnya."Benarkah? Kalau dia melupakan mantan istrinya dan mencintaiku memangnya, kenapa? Untuk saat ini aku adalah istrinya."Arum tak percaya dengan apa yang ia dengar. Perempuan yang terlihat diam ini, ternyata bisa melawan perkataannya."Tapi tidak ada satu pun orang yang bisa memahami Abizar seperti diriku." Arum mencuci tangannya, mematikan keran dan keluar dari dapur.Meninggalkan Alesha yang masih te
Abizar masih sibuk dengan ponselnya hingga ia tak melihat sang istri tengah dalam gangguan Excel."Diam saja dan dengarkan ini baik-baik," ucap Excel di telinga Alesha "Apakah kamu sudah menghubungi Mama?"Alesha merasa ada hal yang Excel pasti lakukan pada sang Mama. "Apa yang kamu lakukan pada mamaku?" tanya Alesha."Jika kamu ingin mengetahuinya, segera hubungi aku." Excel tersenyum puas lalu pergi begitu saja setelah menutup kepalanya dengan jaket hoodie hitam yang ia kenakan.Excel memakai masker hitamnya, di saat bersamaan Abizar bangun dari kursi dan berjalan ke arah toko yang Alesha katakan.Excel yang menyadari bahwa saat ini Abizar berjalan ke arahnya, dengan sengaja menabrak bahu Abizar. Excel tersenyum sinis di dalam masker, lalu mengangguk dan terus berjalan lagi meninggalkan Abizar. Sementara Abizar yang tak mengenali Excel hanya memandang punggung laki-laki berjaket hitam itu dan mengabaikannya.Alesha yang melihat Abizar, segera masuk ke toko setelah menenangkan piki
Jatah Sebelum Pernikahanmu (12)***Alesha tak suka mendengar suara Excel memanggilnya sayang. Entah mengapa ucapan yang dulu begitu tersa indah di telinga, kini berubah menjijikan bagi Alesha."Temui aku nanti malam, akan aku beri tahu padamu, bagaimana?" Tawaran dari Excel."Kamu kira aku bodoh, kamu pasti hanya ingin menculikku lagi, bukan?" tegas Alesha."Jangan bodoh, Sayang. Untuk apa aku menculik dirimu? Apakah kamu pikir aku mau berurusan dengan polisi lagi?"Alesha terdiam, ia hanya ingin mengetahui soal mamanya saat ini. Jika memang bertemu dengan Excel bisa membuat bertemu dengan mamanya kenapa tidak."Tunggulah nanti malam aku akan menjemputmu."Seketika Alesha mengerenyitkan dahi."Apa kamu tahu di mana aku tinggal saat ini?" tanya Alesha bingung, sementara di seberang sana suara Excel terdengar nyaring tertawa."Tentu saja! Mudah bagiku untuk menemukan kamu. Walau kamu berada di lubang semut sekali pun."Alesha mengumpat di dalam hati. Kenapa ia harus bertemu dengan mons
Jatah Sebelum Pernikahanmu (13)***Pagi ini seperti biasa setelah lepas shalat Subuh Alesha membantu ibu mertuanya di dapur."Kamu bisa masak, Alesha?" tanya Ummi.Alesha menggeleng. "Alesha gak jago masak, Ummi," jawabnya sambil mencuci sayuran yang telah di potong-potong."Sudah aku duga, lalu kamu bisanya apa?" timpal Arum tiba-tiba."Tidak apa-apa Alesha, kamu bisa belajar masak dari Arum nanti. Saat Fatimah dulu masih ada, ia juga awalnya tidak bisa memasak," ujar Ummi.Setelah tiga cangkir kopi yang Ummi buat selesai, wanita bergamis hitam itu segera keluar dari dapur. Meninggalkan Alesha dan Arum bersama.Alesha yang telah selesai mencuci sayuran memberikannya pada Arum."Apakah yang kamu bisa hanya menggoda pria?" Perkataan Arum sukses membuat Alesha menatapnya tajam."Maksud kamu apa?" Alesha membuka suara."Aneh, aja. Tiba-tiba kamu menikah dengan Abizar." Arum memasukan sayuran ke wajan dan mengaduknya."Sepertinya dari awal kamu melihatku, kamu sudah tak menyukaiku bukan?
"Biarkan aku membagi rasa ini, rasa yang hampir mati dan menjadi abu."Layla Mumtazah***Arum terbangun dengan keringat dingin yang membasahi wajahnya, ia tak pernah bisa tertidur nyenyak saat wajah pucat Fatimah selalu datang dalam mimpinya. Berkali-kali ia berusaha menenangkan diri karena tak ingin membuat Ansyar terbangun.Perempuan cantik dengan mata indah itu bangkit dari tempat tidur, ia melangkah ke kamar mandi untuk mencuci wajah, tetapi saat ia hendak mencuci muka justru adegan kecelakaan Fatimah seakan-akan terlihat jelas di kaca seperti layar bioskop yang sedang memutar film. Lalu tiba-tiba sosok Fatimah berwajah pucat berdiri di hadapannya, memiringkan kepala dan tersenyum miring dengan tatapan kosong.Tubuh Arum seketika merosot ke lantai, ia tak mampu untuk berteriak karena merasakan sekujur tubuhnya lemas seketika. "Aku mohon berhenti menggangguku," lirihnya sambil memejamkan mata."Apakah kamu tak ingin menebus dosamu padaku, berhentilah mengganggu kehidupan Abizar."
"Sekali memulai aku tak dapat mengakhirinya."Layla Mumtazah***"Ummi, ini jus untuk Alesha," ucap Arum sembari tersenyum. Wanita berjilbab moca itu meletakkan gelas berisi jus buah di atas meja, akan ada permainan kecil untuk Alesha saat ini. Hal itu tentu saja membuat Arum tersenyum senang."Rum, kamu tahu kan, Alesha tengah hamil saat ini, ia mulai mengalami mual jika mencium bau-bauan. Jadi untuk sementara jangan biarkan dia mencuci baju dan piring untuk menghindari mual yang lebih parah karena mencium sabun-sabun itu," ujar ummi yang tentu saja membuat Arum kesal.Saat ini seisi rumah seakan-akan berpusat pada Alesha, semua orang ingin memperhatikan dirinya sebagai ratu.Arum menatap sembari menggangguk patuh pada sang mertua. "Baik ummi, tenang saja Arum mengerti."Ummi yang telah selesai mencuci piring, menggelap tangganya yang basah lalu menyentuh pundak Arum dan tersenyum. "Semoga kamu dan Ansyar juga disegerakan memilki momongan lagi, ya."Arum mengangguk, ia terpaksa ters
"Aku milikmu atas kehendak Allah, jagalah aku seperti ibuku menjagaku sewaktu kecil."Layla Mumtazah.***Sore ini Alesha meminta izin untuk pergi ke suatu tempat, tentu saja ia tak pergi sendiri karena sang pawang tak akan membiarkan perempuan secantik bidadari itu untuk pergi sendirian."Jadi kita mau ke mana, Bi?" tanya Abizar."Nanti kamu juga akan tahu," ujar Alesha sembari menatap ke luar kaca.Kurang lebih dua puluh lima menit perjalanan dengan mobil pastinya, kini Alesha sudah sampai ketempat tujuan yang ia inginkan. Perempuan berjilbab hitam itu terduduk di tanah sembari menyentuh batu nisan sang ayah."Pa, maafkan Alesha, baru sekarang datang ke sini. Pa, sekarang Alesha sudah menikah," ucap perempuan berkulit putih itu dengan mata berkaca-kaca.Abizar menyentuh pundak Alesha, ia menoleh sembari mengangguk."Papa, Alesha rindu, saat tahu bahwa Alesha hamil, Alesha benar-benar teringat akan Papa. Alesha ingin sekali bisa bermanja-manja dengan Papa seperti saat kecil dulu, tet
"Kebahagiaan itu akan hadir ketika keikhlasan mulai menguasai hati."Layla Mumtazah."Bi, ini ...?" Abizar menatap Alesha penuh dengan kebahagiaan juga rasa haru.Alesha mengangguk-angguk menatap mata Abizar yang mulai menitikkan butir bening."Alhamdulillah, ya, Allah, alhamdulilah," ucap syukur Abizar sembari memeluk erat tubuh Alesha."Kamu akan jadi seorang ayah dan aku akan menjadi seorang ibu," ujar Alesha sembari menangis.Laki-laki berkemeja putih polos itu lalu melepaskan pelukan dari sang istri, meletakkan kedua tangan di pundak Alesha dan berkata, "Mulai saat ini, kamu harus jaga kesehatan untuk dirimu dan calon anak kita, kamu harus menjaga makanan, vitamin, tak boleh bergadang, jangan kerja keras, semuanya harus sesuai dengan apa yang aku katakan."Alesha terdiam, ia merasa heran dengan sifat Abizar saat ini, perempuan cantik itu merasa ada sisi posesif sang suami yang tiba-tiba muncul."Akan ada janin yang tumbuh dalam rahimmu, akan ada kehadiran malaikat kecil dalam hid
"Terkadang kita hanya mau tahu dengan egois meminta yang terbaik, tanpa mau tahu bahwa Allah telah mempersiapkan yang lebih baik dari yang kita minta."Layla Mumtazah.Alesha menelan ludahnya sendiri saat melihat Ansyar berdiri di sana sembari menatap heran, di samping laki-laki berkemeja maroon itu Nisya tengah berdiri sambil tersenyum manis melihat wajah sang ibu, Arum. Sementara Zahrah berada di belakang punggung sang kakak."Apakah saat ini sudah waktunya sarapan?" tanya Alesha tiba-tiba mencoba mencairkan suasana.Nisya mengangguk. Sementara Ansyar terlihat memicingkan mata menatap sang istri.Arum bergegas membalikkan tubuhnya dan menghadap ke arah putrinya. "Nisya, ke sini Sayang, duduklah," pinta Arum sambir menarik kursi.Tentu saja gadis kecil berjilbab merah muda itu segera menuruti apa perkataan sang ibu, Ansyar dan Zahrah pun bergegas duduk dan menunggu sarapan mereka.Abizar mau tak mau pun akhirnya memilih untuk duduk bersama, meninggalkan Alesha yang buru-buru menyeles
"Aku tanpamu bagaikan dunia tanpa internet."Layla Mumtazah***Abizar segera bangkit dan duduk di hadapan Alesha. "Apa yang kamu bicarakan ini?""Mba Arum selalu mengatakan bahwa ia tak ada di tempat kejadian kecelakaan itu, tapi Kyoona melihatnya. Kyoona begitu yakin bahwa wanita yang ia lihat di dekat TKP adalah Mba Arum."Abizar tiba-tiba terdiam, ia menatap wajah Alesha. "Malam itu Fatimah mengatakan akan bertemu dengan Arum, tetapi saat itu Arum mengatakan bahwa ia tak jadi menemui Fatimah, hal itu membuatku menyusulnya dan meninggalkannya sebentar untuk membeli es krim sebelum kejadian itu terjadi.""Apakah kamu yakin bahwa Mba Arum gak jadi datang malam itu?""Entahlah, aku tak sempat berpikir apa pun, melihat tubuh Fatimah bersimbah darah di hadapanku.""Maafkan aku," lirih Alesha penuh penyesalan.Abizar segera merengkuh tubuh Alesha dan memeluknya dengan erat. "Ini bukan kesalahanmu. Lupakan saja, semua sudah takdir dari Allah."Alesha menenggelamkan wajahnya dalam dekapan
"Apa pun akan aku lakukan untukmu, walau jarum jam bergerak berbalik arah pun aku akan tetap ada untukmu."Layla Mumtazah.***Arum menatap kosong untuk sesaat saat mendengar ucapan Alesha, tetapi ia lalu berkata dengan cepat. "Mungkin kamu sudah lupa aku pernah berkata bahwa aku tak ada di sana saat kejadian itu terjadi. Apakah sekarang kamu ingin menuduhku?"Alesha tersenyum tipis melihat raut takut di wajah Arum. "Aku hanya bertanya bukan menuduh.""Apakah kamu sedang berusaha untuk mengambing hitamkan aku atas kesalahanmu?" Arum memicingkan mata pada Alesha."Aku hanya bertanya Mba, kenapa Mba berpikiran sejauh ini.""Dengar baik-baik Alesha, Fatimah itu sahabatku, satu kamar sejak di pesantren, satu rumah setelah kami menikah, jadi kamu jangan memfitnah diriku."Alesha memilih diam, melihat bahwa Arum seperti terusik dan tak suka dengan pertanyaannya, membuat istri Abizar itu semakin yakin pasti ada sesuatu tiga tahun yang lalu.***Malam tiba dengan cepat, setelah sore hujan men
"Kamu adalah awan saat sinar matahari begitu terik."Layla Mumtazah.***Apa itu cinta?Aku rasa tak ada yang bisa menjelaskan apa itu cinta dengan baik bahkan, sekelas pujangga pun. Kecuali seseorang yang sedang jatuh cinta dan itu adalah aku."Assalammualaikum, Bi ... ada apa bidadariku?" ucap Abziar saat menerima panggilan telepon dari Alesha."Waalaikumsalam, suamiku," balas Alesha tak kalah lembut dari suara Abizar."Mendengar suara istriku ini membuatku ingin buru-buru pulang," ucap Abizar sambil menatap layar laptopnya."Mau ngapain?""Mau bikin adonan kue bolu sama kamu, Bi," ujar Abizar membuat Alesha tersipu malu.Sekertaris Abizar yang masih berdiri di sampingnya saat ini hanya bisa menahan senyum mendengar perkataan sang bos. Ia tak menyangka saja bahwa sang bos masih harus masuk ke dapur untuk membantu sang istri memasak dan membuat kue."Kenapa kamu masih di sini, aku akan panggil lagi nanti setelah semuanya selesai aku tanda tangani," kata Abizar membuat pria itu mengan
"Hentikan debaran ini yang membuatku merasa sesak karena tak bisa memiliki dirimu."Layla Mumtazah.***Arum yang hari ini mengenakan gamis dusty pink dengan garis hitam di kedua sisi lengannya dipadukan dengan jilbab hitam menutupi dada membuatnya nampak begitu anggun, sama seperti saat Kyoona melihatnya tiga tahun yang lalu."Bawa semuanya," titah Arum yang dibarengi dengan anggukan kepala Alesha.Di ruang tamu itu Kyoona masih berdiri menatap wanita yang kini berada di hadapannya setelah Alesha masuk untuk meletakkan kantong-kantong plastik di dapur."Tunggu," ucap Kyoona saat Arum melewatinya begitu saja.Perempuan berjilbab hitam itu menghentikan langkah kakinya dan menoleh, ia mengerutkan kening saat melihat Kyoona, mata Arum melihat dari ujung kepala hingga ke kaki sahabat Alesha itu."Iya, ada apa?" tanya Arum sambil menatap Kyoona."Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Kyoona yang membuat Arum menaikan kedua pundaknya."Aku rasa kita tak pernah bertemu karena aku baru