"Dek, Luna di mana?" tanya Gilang mengamati sekeliling rumah. Sejak kecelakaan yang menimpa anak-anak nya tadi, dirinya tidak melihat ada Luna di mana pun. Ia mulai mengkhawatirkannya.
"Kok Mas nanya aku sih? Kan aku dari tadi juga sama kamu.""Duh, Dek. Ini semua pasti salah kamu." Gilang menekan paha kirinya lalu mengangkat kakinya untuk berdiri."Kok kamu salahin aku sih, Mas?" Wajah Natasha langsung berubah masam. Ia menyimpan Irfan di sampingnya lalu berdiri mengikuti Gilang."Iyalah. Siapa yang tadi marahin Luna nyampe mukul mukul tubuhnya, huh? Kamu jadi ibu kok bisa-bisanya sih memperlakukan anak kayak gitu. Aku lihat gak ada ibu kayak gitu selain kamu.""Mas, Mas, Mas, tunggu dulu deh. Kok akhir-akhir ini kamu nyalahin aku terus kalau soal Luna? Kamu udah sayang, ya sama anak itu?" Natasha berkacak pinggang, matanya melotot memancarkan kemarahan yang membara."Ya wajar lah kalau aku sayang juga sama Luna, Luna kan anak kita juga. Dulu emang aku sempat gak suka sama kelahirannya, tapi sekarang kita udah dikaruniai dua anak laki-laki. Jadi apa salahnya kalau sekarang kita sayang sama Luna juga? Dia anak kecil yang gak tahu apa-apa.""Iya, Mas. Iya." Natasha mengangguk berkali-kali."Tapi apa Mas lupa, siapa yang paling banyak biaya hidupnya selama ini? Aku, Irfan, Rama, atau Tia? Bukan, Mas. Tapi Luna. Selama hidupnya dia selalu aja harus dibelikan susu sapi sampai habis ratusan kardus cuma buat dia. Mas sampai rela gak ngasih aku uang belanja demi beli susu Luna. Aku suka kesel karena ingat hari-hari itu dengan jelas.""Dek...dek...." Gilang menggelengkan kepalanya sambil tersenyum smirk. Ia berkacak pinggang juga."Kamu mau nyalahin aku atas biaya pengeluaran hidup Luna, huh? Siapa di sini ibunya? Kalau aku bisa ngasih asi juga buat Luna, aku pasti ngasih Luna asi. Kamu sebagai ibunya gak mau ngasih Luna asi dengan alasan inilah itulah, ya wajar kalau aku belikan susu buat dia.""Udahlah, Mas. Ngomong sama Mas cuma buang waktu dan tenaga aja. Bela aja terus anak kesayangan Mas itu."Gilang menghela napasnya seraya mengusap wajah hingga dadanya."Mas mau pergi buat cari Luna. Kalau Luna sampai kenapa-napa kamu yang paling salah, Dek," tukas Gilang sambil melengos pergi."Aku lagi, aku lagi, semuanya aja salahku," gerutu Natasha.Gilang segera membuka pintu rumahnya. Saat pintu terbuka, tubuhnya hampir saja bertubrukan dengan tubuh kecil Luna yang berdiri di depan pintu dengan pakaian kotor dan keringat yang membasahi seluruh wajahnya. Wajah Luna tampak ketakutan dan terlihat jelas dari gemetar tubuhnya."Luna!" Gilang seketika itu juga berjongkok dan mencekal dua lengan Luna dengan lembut namun penuh perhatian. Matanya menatap Luna dengan khawatir, mencoba mencari tahu apa yang terjadi pada anaknya."Ayah!" panggil Luna dengan suara yang lirih dan gemetar, mengungkapkan betapa takutnya ia pada saat itu. Ingin sekali dirinya memeluk erat sang ayah dalam ketakutan yang kini sedang menyelimuti hatinya. Namun, ia ragu dan takut ayahnya akan menolak, bahkan justru malah membuatnya sakit hati."Kamu,- Kamu kenapa? Kamu habis dari mana? Kenapa pakaian kamu kotor gini? Keringat juga membasahi seluruh wajahmu." Gilang dengan telaten menyeka keringat Luna.Dari dalam rumah diam-diam Natasha memperhatikan."Aku tadi pergi ke makam kakek, tapi tiba-tiba ada suara yang memanggil namaku, tapi tidak ada siapapun di sana, aku berlari dan terjatuh berkali-kali," ungkap Luna sambil menundukkan kepalanya. Ia tidak berharap lebih akan mendapatkan perhatian setelah menceritakan ketakutannya."Lagian kamu itu aneh, Luna. Sore-sore gini malah pergi ke makam. Mau ngapain? Mau ikut masuk ke liang lahat bareng kakekmu, hah?" ejek Natasha sambil mengejek dengan menunjuk-nunjuk tubuh Luna yang kotor."Dek, cukup!" Gilang murka, bangkit dan berdiri di depan Natasha."Kamu jadi ibu harusnya lebih lemah lembut. Ngomong jangan asal ceplos aja. Kamu udah dewasa, punya anak empat, tapi kelakuanmu kok masih seperti ini. Dek, Dek. Salah apa Mas sama kamu, sampai kamu memperlakukan anak Mas yang satu ini dengan beda? Emang Luna salah apa sama kamu?""Salahnya dia adalah beban keluarga. Coba kalau dulu dia gak lahir, pasti anak kita cuma tiga. Terus gak harus deh ngeluarin uang tiap Minggu buat beli susu." Natasha mengangkat bahu lalu menatap Luna tajam."Masih kecil aja udah nyusahin, awas aja kalau udah gede gak berguna. Ibu usir kamu dari rumah ini!" ancam Natasha sambil mengacungkan jari ke arah wajah Luna."DEK!" Gilang tak bisa menahan amarahnya dan melayangkan tamparan keras di pipi Natasha tanpa disadarinya.Wajah Natasha berpaling ke samping, rasa panas dan perih dari tamparan suaminya mulai merambat ke seluruh pipinya, ia memegang bekas tamparan Gilang."Keterlaluan kamu, Dek. Mas kecewa sama kamu.""Udah, sekarang kamu urus Luna. Ganti pakaian sama kasih dia makan. Malam ini Mas gak akan pulang ke rumah. Mas butuh waktu sendiri buat menenangkan pikiran," ujar Gilang. Mendorong tubuh Luna mendekati Natasha. Setelah itu ia pergi meninggalkan rumah."Puas?" Natasha berkacak pinggang dan menatap tajam Luna."Puas kamu udah bikin ibu sama ayah berantem, huh? Pasti kamu seneng kan lihat ibu ditampar sama ayah?"Luna menggelengkan kepalanya."Dasar anak durhaka.""Inilah alasan mengapa ibu begitu membencimu. Sejak kamu dilahirkan, kamu hanya membawa sial bagi keluarga kita. Gara-gara kamu, ibu harus menderita karena sikap ayah dan masih banyak lagi derita yang ibu rasakan semenjak kehadiranmu di dunia ini." Natasha berucap dengan nada menghujamDengan kasar ia melucuti seluruh pakaian yang menutupi tubuh Luna. Tak kenal belas kasihan, ia pun mengguyur tubuh mungil anaknya dengan air dingin yang membuatnya bergidik kedinginan."Ibu..." rintih Luna dengan lirih, sambil berusaha memegang tangan sang ibu. Namun, Natasha dengan tegas melepaskan pegangan itu."Coba bayangkan jika kamu gak pernah lahir ke dunia ini, mungkin keluarga ibu akan bahagia selalu, dan gak akan ada hari-hari sial kayak gini.""Dulu ibu sudah memiliki rencana untuk mengambil nyawa kamu, tapi ayahmu melarangnya. Andai saja dulu ibu gak mempedulikan omongan ayah, mungkin saat ini kamu sudah tiada dan hidup keluarga ibu penuh kebahagiaan."Luna terdiam menahan rasa panas yang menyesakkan dadanya, wajahnya yang dingin kini terasa panas, dan air dingin diwajahnya bercampur dengan air panas dari air matanya."Geramnya...." Natasha dengan greget ingin sekali melampiaskan amarahnya pada Luna.Luna mendongak menatap manik mata sang ibu. "Luna juga gak mau terlahir ke dunia ini, Bu. Emang Luna bisa memilih? Kalau bisa, Luna juga mau memilih untuk tidak terlahir dari ibu yang tidak bisa membagi rata kasih sayang terhadap anak-anaknya," ucap Luna terdengar seperti seorang dewasa.Natasha pun dibuat terdiam oleh perkataan Luna barusan. Sementara Luna pergi keluar dari kamar mandi.Luna berlari cepat, tawa riangnya terdengar jelas bergema di lorong-lorong kampung. Rasa bahagia yang ia rasakan setelah bermain bersama teman-temannya masih begitu kental, membuatnya merasa seperti seorang putri yang sedang menikmati hidupnya. Namun, saat melihat langit mulai merah menjelang sore, ia sadar bahwa ia harus segera pulang agar tidak mendapatkan amarah dari ibunya.Sambil memegangi boneka kesayangannya, Luna melangkahkan kaki menuju rumahnya. Begitu sampai di depan pintu, ia menghentikan langkahnya sejenak. Dalam hati, ia berharap ibunya tidak marah karena pulang terlambat.Luna menggenggam erat kenop pintu, hendak membukanya. Namun tanpa sengaja boneka yang ia pegang jatuh dari genggamannya.Pun Luna menunduk dan mengambil bonekanya. Ia berjongkok sebentar, lalu dengan hati-hati membuka pintu rumahnya sedikit demi sedikit. Lewat celah sempit itu, matanya melihat keluarganya tengah duduk bersama di meja makan. Wajah-wajah mereka tampak ceria, tertawa dan bercengkrama den
Pagi-pagi sekali, bahkan matahari pun belum terbit, hanya ada angin dingin yang bertiup kencang di temani oleh bulan yang cantik di atas sana, Natasha saat ini sedang berjalan dengan tergesa-gesa sambil menggenggam tangan Luna begitu kuat.Ia sudah lelah dan ia sudah jengah dengan semua kesialan hidupnya yang ditimbulkan oleh Luna, maka dari itu, ia telah memikirkan berkali-kali tentang keputusannya saat ini, dan karena pertengkaran dirinya dan sang suami semalam, kini ia telah yakin tentang keputusannya terhadap kehidupan Luna."Bu, kita mau pergi ka mana?" Gadis kecil itu tak berhenti bertanya sejak ibunya memaksanya bangun."Kamu diam aja deh. Nanti juga kamu tahu sendiri. Gak usah keluarkan suara mu itu, bikin Ibu makin kesel aja tau gak," jawab Natasha dengan ketus.Walau dalam benaknya masih banyak pertanyaan yang ingin diajukan, pada akhirnya Luna memilih diam setelah sang ibu berkata seperti itu.Hanya menghabiskan waktu sepuluh menit, kini Natasha telah sampai di rumah ibunya
Sejak usia 15 tahun, ketika Tia, sang kakak telah menikah, Luna dipindahkan kamarnya ke kamar depan, bekas sang kakak. Sementara kamarnya yang dulu digunakan oleh kedua adiknya.Kamar depan yang kini menjadi milik Luna tampak seperti kamar biasa pada umumnya. Namun, ada aura yang berbeda di dalamnya, sebuah kegelapan yang tak terlihat namun bisa dirasakan. Di sudut kamar, sebuah meja kecil yang berantakan dengan buku-buku dan coretan pensil yang membentuk kalimat-kalimat yang tak berarti, menciptakan kesan kekacauan.Namun, di tengah kamar berdiri sebuah tempat tidur yang menjadi saksi bisu atas mimpi buruk yang Luna alami setiap saatnya.Cahaya rembulan dan matahari yang menerobos masuk melalui celah-celah jendela, kerap menyinari wajah Luna yang terbaring lemah. Suara angin berdesir lembut dan bayang-bayang yang bergerak tanpa arah, menambah kegelisahan Luna. Setiap saat Luna selalu merasa gelisah. Tidur siang dan malamnya s
"Jika kau bukan kuntilanak, kenapa kau duduk di sini?" tanya Hansel terus memperhatikan Luna dari ujung kepala hingga ujung kakinya."Dan kenapa kau tidak menggunakan alas kaki jika kau memang manusia?"Luna langsung menunduk melihat kakinya yang kotor dan tak mengenakkan sandal."Kau pasti kuntilanak penunggu makam ini, kan?""Apa kuntilanak bisa bahasa manusia?" tanya balik Luna dengan tatapan dingin dan wajah datarnya.Hansel langsung terdiam, memikirkan pertanyaan Luna."Tentu saja bisa. Secara dia, kan juga awalnya manusia biasa. Tapi dia meninggal dan tidak menerima kematiannya itu, makanya dia jadi kuntilanak.""Memangnya kau pernah berbicara dengan kuntilanak?" tantang Luna, dan spontan Hansel pun menggelengkan kepalanya."Kau hanya membuang-buang waktu ku," sarkas Luna sambil melenggang pergi melewati Hansel.Saat melewatinya, Hansel menoleh pada Luna, matanya terbelalak tatkala melihat wajah L
"Hansel, kamu tidurlah di kamar depan, ya!" Natasha memegang punggung Hansel seraya mendorongnya untuk maju mendekati kamar depan.Hansel berjalan, tapi entah kenapa, ia merasa enggan untuk itu. Terlebih setelah mendapat tatapan dingin dari Luna, matanya yang seakan-akan berbicara bahwa dirinya tidak boleh masuk ke kamar itu."Jika aku tidur di sini, lalu di mana Luna tidur nanti?" tanya Hansel di ambang pintu. Firasatnya mengatakan untuk tidak masuk ke dalam kamar, hawa hawa berbeda sudah terasa melewati celah-celah pintu. Ketakutannya semakin menjadi setelah menyadari bahwa hanya kamar depan saja yang memakai pintu, sementara kamar lainnya hanya menggunakan gorden.Natasha sontak menoleh pada Luna. "Ah, jangan hiraukan dia. Dia bisa tidur di mana pun. Di kursi juga bisa. Dia tipe orang yang tidak mempermasalahkan tempat tidur.""Tidak perlu sungkan. Ini adalah bentuk kami menghormati tamu." Natasha meyakinkan Hansel dan menepuk-nepuk p
Hansel duduk di samping Luna. Luna pun tidak merasa risih dengan itu. Dua orang yang tidak saling mengenal itu duduk bersampingan di bawah sinar rembulan yang terang. Melewati jendela, mereka diam-diam menatap ke langit yang gelap, membiarkan diri mereka terpesona oleh keindahan rembulan yang mengambang di malam yang tenang. Meskipun mereka tidak saling mengenal, tapi mereka merasa terhubung oleh keajaiban alam yang sama, yang sama-sama menarik perhatian mereka ke langit malam yang indah. Hansel, sosok yang tegap dan tenang, dengan tatapan yang dalam dan serius. Ia tengah berpikir keras, menerka maksud perkataan Luna beberapa saat yang lalu Sementara itu, Luna yang duduk di sampingnya terlihat anggun dan lembut, dengan senyuman kecil di wajahnya yang menunjukkan kekagumannya akan keindahan alam. Meskipun mereka tidak berbicara satu sama lain, namun keduanya merasa ada ikatan yang tak terucapkan di a
Luna duduk di makam sang kakek, melamun memikirkan tentang dirinya bersama Hansel malam itu. Hansel mencoba menjelaskan semua yang terjadi, tapi sampai saat ini pun dirinya tidak bisa mengingat apapun. Ia tidak bisa mengingat kejadian apa saja yang terjadi malam itu bersama Hansel meskipun sudah berusaha keras memikirkannya. Lima hari sudah berlalu sejak Hansel pulang dari rumahnya. Tidak ada yang berubah dari kedatangan dan kepergian Hansel. "Kenapa aku harus terus memikirkannya? Dia hanyalah orang asing. Enyah sana dari kepala ku," usir Luna pada pikiran yang terus memikirkan Hansel. Ia bahkan memukul kepalanya itu. Langit tiba-tiba mendung dan awan hitam berdatangan dari segala arah menjadikan alam tampak lebih gelap, Luna menengadah terus memperhatikan langit. "Aku harus pulang sebelum hujan turun," gumamnya sambil berusaha berdiri. "Akhir-akhir hujan datang lebih sering, aku harap malam nanti akan ada hujan lagi, supaya semua orang bisa merasakan kedinginan yang selalu me
Hansel masuk ke bar yang biasa digunakan untuk berkumpul bersama teman-temannya, tanpa harus menghubungi mereka dulu pun Hansel yakin bahwa teman-temannya pasti ada di tempat ini. "Bro, Hansel... akhirnya lu keluar juga dari rumah. Gue denger lu tantrum tiap hari, gimana sekarang?" celoteh Lucas langsung berdiri untuk menyambut Hansel. Setibanya di sampingnya, ia segera merangkul Hansel erat. "Gue gak gila," ucap Hansel langsung menjatuhkan dirinya ke kursi. Ia mengambil gelas yang ada isinya lantas meminumnya, tidak peduli milik siapa itu. Kabar burung selalu menyebar dengan cepat, apa mungkin dirinya sekarang akan dicap sebagai orang gila. Huh... kehidupan ini."Gue gak bilang lu gila. Gue, kan nanya kabar lu doang." Lucas kembali duduk."Gue baik kok. Makasih perhatiannya," jawab Hansel santai. "Gimana perjalanan lu mendaki sendirian waktu itu? Kok pulang-pulang jadi stress? Penjaga gunungnya gak suka sama lu apa kayak gimana?" Arga bertanya dengan santai sambil menghisap rok
Gilang menghela napasnya pasrah, sudah berbagi cara, beribu kalimat, dan sejuta kata yang ia ucapkan kepada Luna di malam ini supaya dia tidak pergi bekerja, tapi semuanya sia-sia, semua ucapannya bagai angin lewat di telinga Luna, keputusan Luna begitu bulat, dan tidak ada satu hal pun yang bisa mengganggu gugat keputusannya tersebut. Pagi ini, Luna sudah siap dengan semua barang-barang yang harus dibawanya untuk merantau. Sebenarnya tak banyak yang dirinya bawa, hanya pakaian dan lainnya dan itupun cukup dalam satu koper. "Luna, coba pikirkanlah sekali saja! Bekerja di tempat yang jauh dari rumah bukanlah hal indah seperti yang ada dalam bayangan mu. Ketika kamu kesulitan, tidak akan ada yang membantu mu dan kamu tidak akan punya tempat pulang untuk bercerita." "Memangnya di sini aku punya tempat untuk pulang? Pernahkah kalian mendengar cerita ku?" sergah Luna, tangannya erat meremas ujung pakaian.Gilang langsung menundukkan pandangannya."Emang mau cerita apa? Setiap hari cuma
Hansel masih dengan stelan jas kerjanya, memberhentikan mobilnya di sebuah parkiran luas di desa ini.Setelah menimbang-nimbang cukup lama, akhirnya ia memutuskan untuk datang lagi ke desa ini. Desa yang tidak ia ketahui namanya, namun ia masih ingat jelas bahwa di desa ini ada gadis bernama Luna, yang kini menjadi alasan dirinya datang ke sini.Tentang teman-temannya yang memintanya untuk ikut, Hansel menolak permintaan mereka semua karena ia tidak ingin teman-temannya melihat Luna. Bahkan kepergiannya kali ini tidak diketahui siapapun bahkan oleh kedua orang tuanya.Hansel keluar dari mobilnya.Ia langsung mendapat banyak tatapan dari orang-orang sekitar."Apa karena sekarang sore makanya jadi banyak orang disekitar? Padahal waktu itu, aku tidak menemui siapapun di sini." batin Hansel.Ia tetap terus berjalan dengan percaya diri dan tidak memperdulikan tatapan mereka."Nak, kamu sangat tampan. Ibu sepertinya baru melihat mu di sini." Seorang ibu yang Hansel lewati memberanikan diri
Hansel masuk ke bar yang biasa digunakan untuk berkumpul bersama teman-temannya, tanpa harus menghubungi mereka dulu pun Hansel yakin bahwa teman-temannya pasti ada di tempat ini. "Bro, Hansel... akhirnya lu keluar juga dari rumah. Gue denger lu tantrum tiap hari, gimana sekarang?" celoteh Lucas langsung berdiri untuk menyambut Hansel. Setibanya di sampingnya, ia segera merangkul Hansel erat. "Gue gak gila," ucap Hansel langsung menjatuhkan dirinya ke kursi. Ia mengambil gelas yang ada isinya lantas meminumnya, tidak peduli milik siapa itu. Kabar burung selalu menyebar dengan cepat, apa mungkin dirinya sekarang akan dicap sebagai orang gila. Huh... kehidupan ini."Gue gak bilang lu gila. Gue, kan nanya kabar lu doang." Lucas kembali duduk."Gue baik kok. Makasih perhatiannya," jawab Hansel santai. "Gimana perjalanan lu mendaki sendirian waktu itu? Kok pulang-pulang jadi stress? Penjaga gunungnya gak suka sama lu apa kayak gimana?" Arga bertanya dengan santai sambil menghisap rok
Luna duduk di makam sang kakek, melamun memikirkan tentang dirinya bersama Hansel malam itu. Hansel mencoba menjelaskan semua yang terjadi, tapi sampai saat ini pun dirinya tidak bisa mengingat apapun. Ia tidak bisa mengingat kejadian apa saja yang terjadi malam itu bersama Hansel meskipun sudah berusaha keras memikirkannya. Lima hari sudah berlalu sejak Hansel pulang dari rumahnya. Tidak ada yang berubah dari kedatangan dan kepergian Hansel. "Kenapa aku harus terus memikirkannya? Dia hanyalah orang asing. Enyah sana dari kepala ku," usir Luna pada pikiran yang terus memikirkan Hansel. Ia bahkan memukul kepalanya itu. Langit tiba-tiba mendung dan awan hitam berdatangan dari segala arah menjadikan alam tampak lebih gelap, Luna menengadah terus memperhatikan langit. "Aku harus pulang sebelum hujan turun," gumamnya sambil berusaha berdiri. "Akhir-akhir hujan datang lebih sering, aku harap malam nanti akan ada hujan lagi, supaya semua orang bisa merasakan kedinginan yang selalu me
Hansel duduk di samping Luna. Luna pun tidak merasa risih dengan itu. Dua orang yang tidak saling mengenal itu duduk bersampingan di bawah sinar rembulan yang terang. Melewati jendela, mereka diam-diam menatap ke langit yang gelap, membiarkan diri mereka terpesona oleh keindahan rembulan yang mengambang di malam yang tenang. Meskipun mereka tidak saling mengenal, tapi mereka merasa terhubung oleh keajaiban alam yang sama, yang sama-sama menarik perhatian mereka ke langit malam yang indah. Hansel, sosok yang tegap dan tenang, dengan tatapan yang dalam dan serius. Ia tengah berpikir keras, menerka maksud perkataan Luna beberapa saat yang lalu Sementara itu, Luna yang duduk di sampingnya terlihat anggun dan lembut, dengan senyuman kecil di wajahnya yang menunjukkan kekagumannya akan keindahan alam. Meskipun mereka tidak berbicara satu sama lain, namun keduanya merasa ada ikatan yang tak terucapkan di a
"Hansel, kamu tidurlah di kamar depan, ya!" Natasha memegang punggung Hansel seraya mendorongnya untuk maju mendekati kamar depan.Hansel berjalan, tapi entah kenapa, ia merasa enggan untuk itu. Terlebih setelah mendapat tatapan dingin dari Luna, matanya yang seakan-akan berbicara bahwa dirinya tidak boleh masuk ke kamar itu."Jika aku tidur di sini, lalu di mana Luna tidur nanti?" tanya Hansel di ambang pintu. Firasatnya mengatakan untuk tidak masuk ke dalam kamar, hawa hawa berbeda sudah terasa melewati celah-celah pintu. Ketakutannya semakin menjadi setelah menyadari bahwa hanya kamar depan saja yang memakai pintu, sementara kamar lainnya hanya menggunakan gorden.Natasha sontak menoleh pada Luna. "Ah, jangan hiraukan dia. Dia bisa tidur di mana pun. Di kursi juga bisa. Dia tipe orang yang tidak mempermasalahkan tempat tidur.""Tidak perlu sungkan. Ini adalah bentuk kami menghormati tamu." Natasha meyakinkan Hansel dan menepuk-nepuk p
"Jika kau bukan kuntilanak, kenapa kau duduk di sini?" tanya Hansel terus memperhatikan Luna dari ujung kepala hingga ujung kakinya."Dan kenapa kau tidak menggunakan alas kaki jika kau memang manusia?"Luna langsung menunduk melihat kakinya yang kotor dan tak mengenakkan sandal."Kau pasti kuntilanak penunggu makam ini, kan?""Apa kuntilanak bisa bahasa manusia?" tanya balik Luna dengan tatapan dingin dan wajah datarnya.Hansel langsung terdiam, memikirkan pertanyaan Luna."Tentu saja bisa. Secara dia, kan juga awalnya manusia biasa. Tapi dia meninggal dan tidak menerima kematiannya itu, makanya dia jadi kuntilanak.""Memangnya kau pernah berbicara dengan kuntilanak?" tantang Luna, dan spontan Hansel pun menggelengkan kepalanya."Kau hanya membuang-buang waktu ku," sarkas Luna sambil melenggang pergi melewati Hansel.Saat melewatinya, Hansel menoleh pada Luna, matanya terbelalak tatkala melihat wajah L
Sejak usia 15 tahun, ketika Tia, sang kakak telah menikah, Luna dipindahkan kamarnya ke kamar depan, bekas sang kakak. Sementara kamarnya yang dulu digunakan oleh kedua adiknya.Kamar depan yang kini menjadi milik Luna tampak seperti kamar biasa pada umumnya. Namun, ada aura yang berbeda di dalamnya, sebuah kegelapan yang tak terlihat namun bisa dirasakan. Di sudut kamar, sebuah meja kecil yang berantakan dengan buku-buku dan coretan pensil yang membentuk kalimat-kalimat yang tak berarti, menciptakan kesan kekacauan.Namun, di tengah kamar berdiri sebuah tempat tidur yang menjadi saksi bisu atas mimpi buruk yang Luna alami setiap saatnya.Cahaya rembulan dan matahari yang menerobos masuk melalui celah-celah jendela, kerap menyinari wajah Luna yang terbaring lemah. Suara angin berdesir lembut dan bayang-bayang yang bergerak tanpa arah, menambah kegelisahan Luna. Setiap saat Luna selalu merasa gelisah. Tidur siang dan malamnya s
Pagi-pagi sekali, bahkan matahari pun belum terbit, hanya ada angin dingin yang bertiup kencang di temani oleh bulan yang cantik di atas sana, Natasha saat ini sedang berjalan dengan tergesa-gesa sambil menggenggam tangan Luna begitu kuat.Ia sudah lelah dan ia sudah jengah dengan semua kesialan hidupnya yang ditimbulkan oleh Luna, maka dari itu, ia telah memikirkan berkali-kali tentang keputusannya saat ini, dan karena pertengkaran dirinya dan sang suami semalam, kini ia telah yakin tentang keputusannya terhadap kehidupan Luna."Bu, kita mau pergi ka mana?" Gadis kecil itu tak berhenti bertanya sejak ibunya memaksanya bangun."Kamu diam aja deh. Nanti juga kamu tahu sendiri. Gak usah keluarkan suara mu itu, bikin Ibu makin kesel aja tau gak," jawab Natasha dengan ketus.Walau dalam benaknya masih banyak pertanyaan yang ingin diajukan, pada akhirnya Luna memilih diam setelah sang ibu berkata seperti itu.Hanya menghabiskan waktu sepuluh menit, kini Natasha telah sampai di rumah ibunya