Sejak usia 15 tahun, ketika Tia, sang kakak telah menikah, Luna dipindahkan kamarnya ke kamar depan, bekas sang kakak. Sementara kamarnya yang dulu digunakan oleh kedua adiknya.
Kamar depan yang kini menjadi milik Luna tampak seperti kamar biasa pada umumnya. Namun, ada aura yang berbeda di dalamnya, sebuah kegelapan yang tak terlihat namun bisa dirasakan. Di sudut kamar, sebuah meja kecil yang berantakan dengan buku-buku dan coretan pensil yang membentuk kalimat-kalimat yang tak berarti, menciptakan kesan kekacauan. Namun, di tengah kamar berdiri sebuah tempat tidur yang menjadi saksi bisu atas mimpi buruk yang Luna alami setiap saatnya. Cahaya rembulan dan matahari yang menerobos masuk melalui celah-celah jendela, kerap menyinari wajah Luna yang terbaring lemah. Suara angin berdesir lembut dan bayang-bayang yang bergerak tanpa arah, menambah kegelisahan Luna. Setiap saat Luna selalu merasa gelisah. Tidur siang dan malamnya selalu diganggu, Ia mencoba tidur dengan posisi yang berbeda dan menyalakan musik untuk menemaninya. Namun, tak ada satupun cara yang berhasil membuatnya terbebas dari mimpi buruk dan ketindihan saat tidur. Siang ini, saat Luna sedang terlelap, ia merasa sebuah beban menekan dadanya. Ketakutan yang sudah lama ia rasakan kembali menyergapnya. Dalam ketindihannya kali ini, Luna melihat wajah-wajah mengerikan dari makhluk yang tak kasat mata. Beberapa dari mereka tertawa sinis, sementara yang lainnya menghampiri wajahnya dengan tatapan kosong dan menakutkan. "Kau lemah!" "Kau tidak akan bisa lepas dari kami." "Kau akan berada di sini selamanya." Suara-suara mengancam dan mengejek selalu ia dengar setiap ketindihan. Saat ketindihan, tubuhnya tak bisa bergerak karena makhluk-makhluk itu mencekal nya sangat kuat. Tak sanggup menahan ketakutannya, Luna berusaha bangun, namun tubuhnya terasa begitu berat. Ia merasa seolah-olah semua tenaganya telah hilang dan tak mampu untuk bergerak. Dalam hatinya, Luna terus berdoa agar semua ini segera berakhir. Luna berhasil membuka matanya, tak ingin kembali ketindihan, ia segera duduk untuk memulihkan nyawanya. "Hah...hah...hah...." Napas Luna terengah-engah, dadanya pun ikut naik turun, begitu juga dengan keringat yang membasahi kening dan leher belakangnya. Luna langsung berlari keluar dari kamarnya secepat yang ia bisa. Langkahnya masih limbung karena kesadarannya yang belum terkumpul sempurna. "Luna, mau ke mana kamu?" pekik Natasha memperhatikan langkah Luna yang berlari ke luar rumah. Meski sedang makan, ia berhenti makan untuk menyusul Luna. "Luna, jangan kabur! Hai, kau, cepat kembali atau Ibu tidak akan memberimu makan." "Luna, selesaikan pekerjaan rumah yang kau tunda-tunda. Pakaian adikmu belum disetrika dan pakaian kering juga belum kau ambil." "Luna!" Meski ibunya tak berhenti berteriak yang berisi kemarahan padanya, Luna tetap berlari, setiap langkahnya semakin kencang, hingga Luna pun merasa bahwa ia berlari di luar kendalinya. Luna langsung menjatuhkan dirinya tatkala telah sampai di makam sang kakek. Ia terduduk lemas dengan napas yang sangat memburu. "Kenapa.... Kenapa setiap kali aku bermimpi buruk aku selalu datang ke makam kakek ku?" tanya Luna pada dirinya sendiri. Tentang hal ini, dirinya pun tidak mengerti. Ini sudah berlangsung sejak lama. Setiap kali diberikan mimpi buruk, maka kakinya seakan otomatis pergi ke makam kakeknya. Luna menyisir rambutnya frustasi. Setelah merasa sedikit tenang, Luna memetik bunga-bunga yang ada di sekitar makam, kemudian menaburkannya di atas makam sang kakek. "Kek, sekarang aku sudah berumur dua puluh tahun. Tapi aku masih merasa hidupku terbelenggu. Jika kau mendengarkan ku, Tolong sampaikan pada Tuhan bahwa sekarang aku sudah lelah dan menyerah." "Dua puluh tahun menanggung luka sendirian bukanlah hal yang mudah bagiku, Kek." Tak jauh dari Luna, di jalan kecil yang berbatu dan dipenuhi tanah lumpur yang menyulitkan langkahnya , seorang pria muda bertubuh atletis sedang berusaha berjalan melewati jalan kecil yang menyulitkan nya ini, sambil dibantu dengan tongkat di tangannya. "Sebenarnya, tempat apa ini? Kenapa jalannya sangat sulit?" kesal Hansel memilih untuk berhenti sejenak. Hansel Marquez, pria muda berusia 25 tahun, yang memiliki hobi mendaki gunung-gunung di setiap daerah yang ada di Indonesia. Terkadang ia hiking bersama teman-temannya, tapi terkadang juga ia sendirian. Dan kali ini, ia hiking sendirian. Dirinya sendiri tidak tahu nama gunung yang akan disambanginya kali ini, ia hanya mengikuti ke mana peta membawanya. Hansel mengeluarkan ponselnya, ia membuka untuk kembali melihat petanya. "Ssssh, tidak ada sinyal," ketus Hansel segera mengangkat ponselnya setinggi mungkin agar mendapatkan sinyal. Padahal ia masih dekat dengan kawasan penduduk, tapi sinyal sudah sulit di dapatkan. Tiba-tiba saja.... telinganya dengan jelas mendengar seorang wanita yang menangis. Matanya langsung melihat sekeliling untuk menemukan wanita tersebut. Jika ditanya apakah takut? Ya, dirinya takut dengan hantu ataupun hanya suaranya saja pun dirinya tetap takut. Tapi jika ditanya akankah berlari? Maka jawabannya tidak. Meski takut, tapi suara dan penampakan sudah terbiasa dirinya lihat dan dengar setiap kali hiking. Tapi tetap saja, rasa takut itu ada dalam benaknya. Hari semakin gelap dan awan mendung mulai memenuhi langit, tapi rasa penasaran masih menggerogoti diri Hansel. Ia ingin tahu siapa yang menangis di hutan seperti ini. Hansel diam, bahkan napasnya pun sesekali ditahan, dan kini kakinya melangkah mendekati sumber suara. Dari tempatnya, ia melihat ada seorang wanita yang duduk memeluk dirinya sendiri, dari tubuhnya yang terus naik turun, dirinya dapat meyakini bahwa wanita di sanalah yang menangis. "Setan, kah?" gumam Hansel tapi langsung menggelengkan kepalanya. "Kuntilanak?" Hansel melihat lagi sosok wanita itu. Dari rambutnya yang tergerai panjang, akalnya meyakini bahwa dia seorang kuntilanak. Sudah tahu kuntilanak, entah kenapa kakinya seakan berjalan otomatis ke arah gadis di sana. Hansel meneguk air ludahnya membuat jakunnya naik turun. Kecurigaannya semakin yakin bahwa wanita itu adalah kuntilanak, apalagi dengan keberadaannya yang duduk di samping makam. "Permisi, Mba!" Hansel langsung memukul mulutnya sendiri. Entah kenapa, sejak tadi anggota tubuhnya seakan-akan bergerak dan melakukan segalanya semau mereka. Seakan ada magnet di wanita itu yang membuatnya bergerak mendekati dan ingin mengetahui lebih. Luna mengangkat kepalanya saat mendengar ada suara lelaki tak jauh darinya. Rambutnya yang tergerai bebas dan acak-acakan langsung menutup seluruh wajah Luna ketika dia mendongak. "Shit!" Hansel terkejut saat Luna mendongak dan tak melihat wajahnya. Ia mundur satu langkah sambil memegangi dadanya. Luna menyisir rambutnya ke belakang untuk melihat sosok pria yang ada di depannya. Pandangan mata Luna dan Hansel pun beradu, tapi keduanya hanya sama-sama terdiam. Hansel terdiam, tapi kepala dan hatinya berisik sedang memuji kecantikan wanita di hadapannya saat ini. Tiba-tiba lidahnya membasahi bibir bawahnya. "Kuntilanak yang cantik," puji Hansel tak mampu melepaskan pandangannya dari wajah Luna. "Aku bukan kuntilanak.""Jika kau bukan kuntilanak, kenapa kau duduk di sini?" tanya Hansel terus memperhatikan Luna dari ujung kepala hingga ujung kakinya."Dan kenapa kau tidak menggunakan alas kaki jika kau memang manusia?"Luna langsung menunduk melihat kakinya yang kotor dan tak mengenakkan sandal."Kau pasti kuntilanak penunggu makam ini, kan?""Apa kuntilanak bisa bahasa manusia?" tanya balik Luna dengan tatapan dingin dan wajah datarnya.Hansel langsung terdiam, memikirkan pertanyaan Luna."Tentu saja bisa. Secara dia, kan juga awalnya manusia biasa. Tapi dia meninggal dan tidak menerima kematiannya itu, makanya dia jadi kuntilanak.""Memangnya kau pernah berbicara dengan kuntilanak?" tantang Luna, dan spontan Hansel pun menggelengkan kepalanya."Kau hanya membuang-buang waktu ku," sarkas Luna sambil melenggang pergi melewati Hansel.Saat melewatinya, Hansel menoleh pada Luna, matanya terbelalak tatkala melihat wajah L
"Hansel, kamu tidurlah di kamar depan, ya!" Natasha memegang punggung Hansel seraya mendorongnya untuk maju mendekati kamar depan.Hansel berjalan, tapi entah kenapa, ia merasa enggan untuk itu. Terlebih setelah mendapat tatapan dingin dari Luna, matanya yang seakan-akan berbicara bahwa dirinya tidak boleh masuk ke kamar itu."Jika aku tidur di sini, lalu di mana Luna tidur nanti?" tanya Hansel di ambang pintu. Firasatnya mengatakan untuk tidak masuk ke dalam kamar, hawa hawa berbeda sudah terasa melewati celah-celah pintu. Ketakutannya semakin menjadi setelah menyadari bahwa hanya kamar depan saja yang memakai pintu, sementara kamar lainnya hanya menggunakan gorden.Natasha sontak menoleh pada Luna. "Ah, jangan hiraukan dia. Dia bisa tidur di mana pun. Di kursi juga bisa. Dia tipe orang yang tidak mempermasalahkan tempat tidur.""Tidak perlu sungkan. Ini adalah bentuk kami menghormati tamu." Natasha meyakinkan Hansel dan menepuk-nepuk p
Hansel duduk di samping Luna. Luna pun tidak merasa risih dengan itu. Dua orang yang tidak saling mengenal itu duduk bersampingan di bawah sinar rembulan yang terang. Melewati jendela, mereka diam-diam menatap ke langit yang gelap, membiarkan diri mereka terpesona oleh keindahan rembulan yang mengambang di malam yang tenang. Meskipun mereka tidak saling mengenal, tapi mereka merasa terhubung oleh keajaiban alam yang sama, yang sama-sama menarik perhatian mereka ke langit malam yang indah. Hansel, sosok yang tegap dan tenang, dengan tatapan yang dalam dan serius. Ia tengah berpikir keras, menerka maksud perkataan Luna beberapa saat yang lalu Sementara itu, Luna yang duduk di sampingnya terlihat anggun dan lembut, dengan senyuman kecil di wajahnya yang menunjukkan kekagumannya akan keindahan alam. Meskipun mereka tidak berbicara satu sama lain, namun keduanya merasa ada ikatan yang tak terucapkan di a
Luna duduk di makam sang kakek, melamun memikirkan tentang dirinya bersama Hansel malam itu. Hansel mencoba menjelaskan semua yang terjadi, tapi sampai saat ini pun dirinya tidak bisa mengingat apapun. Ia tidak bisa mengingat kejadian apa saja yang terjadi malam itu bersama Hansel meskipun sudah berusaha keras memikirkannya. Lima hari sudah berlalu sejak Hansel pulang dari rumahnya. Tidak ada yang berubah dari kedatangan dan kepergian Hansel. "Kenapa aku harus terus memikirkannya? Dia hanyalah orang asing. Enyah sana dari kepala ku," usir Luna pada pikiran yang terus memikirkan Hansel. Ia bahkan memukul kepalanya itu. Langit tiba-tiba mendung dan awan hitam berdatangan dari segala arah menjadikan alam tampak lebih gelap, Luna menengadah terus memperhatikan langit. "Aku harus pulang sebelum hujan turun," gumamnya sambil berusaha berdiri. "Akhir-akhir hujan datang lebih sering, aku harap malam nanti akan ada hujan lagi, supaya semua orang bisa merasakan kedinginan yang selalu me
Hansel masuk ke bar yang biasa digunakan untuk berkumpul bersama teman-temannya, tanpa harus menghubungi mereka dulu pun Hansel yakin bahwa teman-temannya pasti ada di tempat ini. "Bro, Hansel... akhirnya lu keluar juga dari rumah. Gue denger lu tantrum tiap hari, gimana sekarang?" celoteh Lucas langsung berdiri untuk menyambut Hansel. Setibanya di sampingnya, ia segera merangkul Hansel erat. "Gue gak gila," ucap Hansel langsung menjatuhkan dirinya ke kursi. Ia mengambil gelas yang ada isinya lantas meminumnya, tidak peduli milik siapa itu. Kabar burung selalu menyebar dengan cepat, apa mungkin dirinya sekarang akan dicap sebagai orang gila. Huh... kehidupan ini."Gue gak bilang lu gila. Gue, kan nanya kabar lu doang." Lucas kembali duduk."Gue baik kok. Makasih perhatiannya," jawab Hansel santai. "Gimana perjalanan lu mendaki sendirian waktu itu? Kok pulang-pulang jadi stress? Penjaga gunungnya gak suka sama lu apa kayak gimana?" Arga bertanya dengan santai sambil menghisap rok
Hansel masih dengan stelan jas kerjanya, memberhentikan mobilnya di sebuah parkiran luas di desa ini.Setelah menimbang-nimbang cukup lama, akhirnya ia memutuskan untuk datang lagi ke desa ini. Desa yang tidak ia ketahui namanya, namun ia masih ingat jelas bahwa di desa ini ada gadis bernama Luna, yang kini menjadi alasan dirinya datang ke sini.Tentang teman-temannya yang memintanya untuk ikut, Hansel menolak permintaan mereka semua karena ia tidak ingin teman-temannya melihat Luna. Bahkan kepergiannya kali ini tidak diketahui siapapun bahkan oleh kedua orang tuanya.Hansel keluar dari mobilnya.Ia langsung mendapat banyak tatapan dari orang-orang sekitar."Apa karena sekarang sore makanya jadi banyak orang disekitar? Padahal waktu itu, aku tidak menemui siapapun di sini." batin Hansel.Ia tetap terus berjalan dengan percaya diri dan tidak memperdulikan tatapan mereka."Nak, kamu sangat tampan. Ibu sepertinya baru melihat mu di sini." Seorang ibu yang Hansel lewati memberanikan diri
Gilang menghela napasnya pasrah, sudah berbagi cara, beribu kalimat, dan sejuta kata yang ia ucapkan kepada Luna di malam ini supaya dia tidak pergi bekerja, tapi semuanya sia-sia, semua ucapannya bagai angin lewat di telinga Luna, keputusan Luna begitu bulat, dan tidak ada satu hal pun yang bisa mengganggu gugat keputusannya tersebut. Pagi ini, Luna sudah siap dengan semua barang-barang yang harus dibawanya untuk merantau. Sebenarnya tak banyak yang dirinya bawa, hanya pakaian dan lainnya dan itupun cukup dalam satu koper. "Luna, coba pikirkanlah sekali saja! Bekerja di tempat yang jauh dari rumah bukanlah hal indah seperti yang ada dalam bayangan mu. Ketika kamu kesulitan, tidak akan ada yang membantu mu dan kamu tidak akan punya tempat pulang untuk bercerita." "Memangnya di sini aku punya tempat untuk pulang? Pernahkah kalian mendengar cerita ku?" sergah Luna, tangannya erat meremas ujung pakaian.Gilang langsung menundukkan pandangannya."Emang mau cerita apa? Setiap hari cuma
2004Suara tangisan bayi perempuan di kamarnya terdengar nyaring memecah keheningan malam. Keluarga kecil itu tampak begitu jelas tak bahagia dengan kehadiran anak kedua mereka yang baru lahir. Gilang, sang kepala keluarga, terlihat acuh tak acuh. Di sisi lain, Natasha, sang ibu, membiarkan begitu saja anaknya menangis dan tak berinisiatif untuk memberinya asi.Natasha mendekati Gilang yang sedang menonton televisi di ruang tamu."Mas, apa kita buang saja anak ini?" ujar Natasha dengan mata berkaca-kaca. Gilang terdiam sejenak, melirik ke arah istrinya yang tampak lelah dan terbebani dengan tangisan bayi yang tak kunjung henti."Kamu serius?" tanya Gilang dengan nada ragu. Natasha menghela napas panjang. "Aku sudah tak tahan, Mas. Anak itu nangis terus. Aku gak mau ngurus anak perempuan lagi. Aku maunya anak laki-laki, bukan perempuan."Gilang mengusap wajahnya, seolah mencari solusi atas masalah yang dihadapi keluarga mereka. Mereka memang menginginkan anak laki-laki sebagai peneru
Gilang menghela napasnya pasrah, sudah berbagi cara, beribu kalimat, dan sejuta kata yang ia ucapkan kepada Luna di malam ini supaya dia tidak pergi bekerja, tapi semuanya sia-sia, semua ucapannya bagai angin lewat di telinga Luna, keputusan Luna begitu bulat, dan tidak ada satu hal pun yang bisa mengganggu gugat keputusannya tersebut. Pagi ini, Luna sudah siap dengan semua barang-barang yang harus dibawanya untuk merantau. Sebenarnya tak banyak yang dirinya bawa, hanya pakaian dan lainnya dan itupun cukup dalam satu koper. "Luna, coba pikirkanlah sekali saja! Bekerja di tempat yang jauh dari rumah bukanlah hal indah seperti yang ada dalam bayangan mu. Ketika kamu kesulitan, tidak akan ada yang membantu mu dan kamu tidak akan punya tempat pulang untuk bercerita." "Memangnya di sini aku punya tempat untuk pulang? Pernahkah kalian mendengar cerita ku?" sergah Luna, tangannya erat meremas ujung pakaian.Gilang langsung menundukkan pandangannya."Emang mau cerita apa? Setiap hari cuma
Hansel masih dengan stelan jas kerjanya, memberhentikan mobilnya di sebuah parkiran luas di desa ini.Setelah menimbang-nimbang cukup lama, akhirnya ia memutuskan untuk datang lagi ke desa ini. Desa yang tidak ia ketahui namanya, namun ia masih ingat jelas bahwa di desa ini ada gadis bernama Luna, yang kini menjadi alasan dirinya datang ke sini.Tentang teman-temannya yang memintanya untuk ikut, Hansel menolak permintaan mereka semua karena ia tidak ingin teman-temannya melihat Luna. Bahkan kepergiannya kali ini tidak diketahui siapapun bahkan oleh kedua orang tuanya.Hansel keluar dari mobilnya.Ia langsung mendapat banyak tatapan dari orang-orang sekitar."Apa karena sekarang sore makanya jadi banyak orang disekitar? Padahal waktu itu, aku tidak menemui siapapun di sini." batin Hansel.Ia tetap terus berjalan dengan percaya diri dan tidak memperdulikan tatapan mereka."Nak, kamu sangat tampan. Ibu sepertinya baru melihat mu di sini." Seorang ibu yang Hansel lewati memberanikan diri
Hansel masuk ke bar yang biasa digunakan untuk berkumpul bersama teman-temannya, tanpa harus menghubungi mereka dulu pun Hansel yakin bahwa teman-temannya pasti ada di tempat ini. "Bro, Hansel... akhirnya lu keluar juga dari rumah. Gue denger lu tantrum tiap hari, gimana sekarang?" celoteh Lucas langsung berdiri untuk menyambut Hansel. Setibanya di sampingnya, ia segera merangkul Hansel erat. "Gue gak gila," ucap Hansel langsung menjatuhkan dirinya ke kursi. Ia mengambil gelas yang ada isinya lantas meminumnya, tidak peduli milik siapa itu. Kabar burung selalu menyebar dengan cepat, apa mungkin dirinya sekarang akan dicap sebagai orang gila. Huh... kehidupan ini."Gue gak bilang lu gila. Gue, kan nanya kabar lu doang." Lucas kembali duduk."Gue baik kok. Makasih perhatiannya," jawab Hansel santai. "Gimana perjalanan lu mendaki sendirian waktu itu? Kok pulang-pulang jadi stress? Penjaga gunungnya gak suka sama lu apa kayak gimana?" Arga bertanya dengan santai sambil menghisap rok
Luna duduk di makam sang kakek, melamun memikirkan tentang dirinya bersama Hansel malam itu. Hansel mencoba menjelaskan semua yang terjadi, tapi sampai saat ini pun dirinya tidak bisa mengingat apapun. Ia tidak bisa mengingat kejadian apa saja yang terjadi malam itu bersama Hansel meskipun sudah berusaha keras memikirkannya. Lima hari sudah berlalu sejak Hansel pulang dari rumahnya. Tidak ada yang berubah dari kedatangan dan kepergian Hansel. "Kenapa aku harus terus memikirkannya? Dia hanyalah orang asing. Enyah sana dari kepala ku," usir Luna pada pikiran yang terus memikirkan Hansel. Ia bahkan memukul kepalanya itu. Langit tiba-tiba mendung dan awan hitam berdatangan dari segala arah menjadikan alam tampak lebih gelap, Luna menengadah terus memperhatikan langit. "Aku harus pulang sebelum hujan turun," gumamnya sambil berusaha berdiri. "Akhir-akhir hujan datang lebih sering, aku harap malam nanti akan ada hujan lagi, supaya semua orang bisa merasakan kedinginan yang selalu me
Hansel duduk di samping Luna. Luna pun tidak merasa risih dengan itu. Dua orang yang tidak saling mengenal itu duduk bersampingan di bawah sinar rembulan yang terang. Melewati jendela, mereka diam-diam menatap ke langit yang gelap, membiarkan diri mereka terpesona oleh keindahan rembulan yang mengambang di malam yang tenang. Meskipun mereka tidak saling mengenal, tapi mereka merasa terhubung oleh keajaiban alam yang sama, yang sama-sama menarik perhatian mereka ke langit malam yang indah. Hansel, sosok yang tegap dan tenang, dengan tatapan yang dalam dan serius. Ia tengah berpikir keras, menerka maksud perkataan Luna beberapa saat yang lalu Sementara itu, Luna yang duduk di sampingnya terlihat anggun dan lembut, dengan senyuman kecil di wajahnya yang menunjukkan kekagumannya akan keindahan alam. Meskipun mereka tidak berbicara satu sama lain, namun keduanya merasa ada ikatan yang tak terucapkan di a
"Hansel, kamu tidurlah di kamar depan, ya!" Natasha memegang punggung Hansel seraya mendorongnya untuk maju mendekati kamar depan.Hansel berjalan, tapi entah kenapa, ia merasa enggan untuk itu. Terlebih setelah mendapat tatapan dingin dari Luna, matanya yang seakan-akan berbicara bahwa dirinya tidak boleh masuk ke kamar itu."Jika aku tidur di sini, lalu di mana Luna tidur nanti?" tanya Hansel di ambang pintu. Firasatnya mengatakan untuk tidak masuk ke dalam kamar, hawa hawa berbeda sudah terasa melewati celah-celah pintu. Ketakutannya semakin menjadi setelah menyadari bahwa hanya kamar depan saja yang memakai pintu, sementara kamar lainnya hanya menggunakan gorden.Natasha sontak menoleh pada Luna. "Ah, jangan hiraukan dia. Dia bisa tidur di mana pun. Di kursi juga bisa. Dia tipe orang yang tidak mempermasalahkan tempat tidur.""Tidak perlu sungkan. Ini adalah bentuk kami menghormati tamu." Natasha meyakinkan Hansel dan menepuk-nepuk p
"Jika kau bukan kuntilanak, kenapa kau duduk di sini?" tanya Hansel terus memperhatikan Luna dari ujung kepala hingga ujung kakinya."Dan kenapa kau tidak menggunakan alas kaki jika kau memang manusia?"Luna langsung menunduk melihat kakinya yang kotor dan tak mengenakkan sandal."Kau pasti kuntilanak penunggu makam ini, kan?""Apa kuntilanak bisa bahasa manusia?" tanya balik Luna dengan tatapan dingin dan wajah datarnya.Hansel langsung terdiam, memikirkan pertanyaan Luna."Tentu saja bisa. Secara dia, kan juga awalnya manusia biasa. Tapi dia meninggal dan tidak menerima kematiannya itu, makanya dia jadi kuntilanak.""Memangnya kau pernah berbicara dengan kuntilanak?" tantang Luna, dan spontan Hansel pun menggelengkan kepalanya."Kau hanya membuang-buang waktu ku," sarkas Luna sambil melenggang pergi melewati Hansel.Saat melewatinya, Hansel menoleh pada Luna, matanya terbelalak tatkala melihat wajah L
Sejak usia 15 tahun, ketika Tia, sang kakak telah menikah, Luna dipindahkan kamarnya ke kamar depan, bekas sang kakak. Sementara kamarnya yang dulu digunakan oleh kedua adiknya.Kamar depan yang kini menjadi milik Luna tampak seperti kamar biasa pada umumnya. Namun, ada aura yang berbeda di dalamnya, sebuah kegelapan yang tak terlihat namun bisa dirasakan. Di sudut kamar, sebuah meja kecil yang berantakan dengan buku-buku dan coretan pensil yang membentuk kalimat-kalimat yang tak berarti, menciptakan kesan kekacauan.Namun, di tengah kamar berdiri sebuah tempat tidur yang menjadi saksi bisu atas mimpi buruk yang Luna alami setiap saatnya.Cahaya rembulan dan matahari yang menerobos masuk melalui celah-celah jendela, kerap menyinari wajah Luna yang terbaring lemah. Suara angin berdesir lembut dan bayang-bayang yang bergerak tanpa arah, menambah kegelisahan Luna. Setiap saat Luna selalu merasa gelisah. Tidur siang dan malamnya s
Pagi-pagi sekali, bahkan matahari pun belum terbit, hanya ada angin dingin yang bertiup kencang di temani oleh bulan yang cantik di atas sana, Natasha saat ini sedang berjalan dengan tergesa-gesa sambil menggenggam tangan Luna begitu kuat.Ia sudah lelah dan ia sudah jengah dengan semua kesialan hidupnya yang ditimbulkan oleh Luna, maka dari itu, ia telah memikirkan berkali-kali tentang keputusannya saat ini, dan karena pertengkaran dirinya dan sang suami semalam, kini ia telah yakin tentang keputusannya terhadap kehidupan Luna."Bu, kita mau pergi ka mana?" Gadis kecil itu tak berhenti bertanya sejak ibunya memaksanya bangun."Kamu diam aja deh. Nanti juga kamu tahu sendiri. Gak usah keluarkan suara mu itu, bikin Ibu makin kesel aja tau gak," jawab Natasha dengan ketus.Walau dalam benaknya masih banyak pertanyaan yang ingin diajukan, pada akhirnya Luna memilih diam setelah sang ibu berkata seperti itu.Hanya menghabiskan waktu sepuluh menit, kini Natasha telah sampai di rumah ibunya