“R-restu?” ulang Amira.
“Hm!” Arsyil mulai menyendok nasi dan kawan-kawannya untuk masuk ke dalam mulut.
“Emang bunda dan ayah kamu kasih restu? Kayaknya mereka tadi cuma bercerita, deh.”
“Iya. Itu, kan, sekalian mereka ngasih tahu ke aku kalau ternyata aku dan ayah satu sekte. Sama-sama suka yang lebih matang. Ayah dukung aku buat merjuangain hati Mbak Mira.”
Nyesss. Hati Amira adem dan bahagia mendengar kalimat dari bibir tipis Arsyil. Ada senyum tipis yang sengaja ia tahan saat melihat pria muda di hadapannya makan dengan sangat lahap.
“Masakan Mbak Mira enggak pernah gagal,” komentar Arsyil.
“Itu Ibu yang masak.”
“Oh, calon ibu mertua juga jago masak, to. Pantes anaknya cantik.”
Kening Amira berkerut. “Hubungannya apa?”
“Bib, bulan depan ada yang reservasi kafe?” tanya Amira.“Iya, Mbak. Nasya mau rayain ultahnya di sini.”“Nasya siapa?”“Teman kampus, Mbak.”“Oh ....”Amira kembali mengecek laptopnya sebelum pulang sebentar dan kembali lagi setelah salat Isya nanti. Kemungkinan kafe akan lebih ramai dari hari biasanya jika malam minggu. Amira akan bersih-bersih lebih dulu dan kembali lagi nanti. Sebelum beranjak, ponselnya berbunyi tanda ada pesan masuk. Amira membukanya dan mendapati pesan dari Arsyil.[Hai, calon ibu dari anak-anakku kelak. Kasih aku semangat, dong, buat mencari nafkah demi sesuap nasi dan sebongkah berlian.]Amira menggeleng dan hanya tersenyum tipis. Walau kata Arsyil kedua orang tuanya telah memberi lampu hijau, tetapi Amira sendiri belum yakin jika Pak Beni dan Bu Zahro b
Dewo mati-matian menahan malu setelah sedikit dipermalukan oleh Amira. Beberapa pelanggan yang mendengar percakapan mereka tentu saja ikut terkekeh. Amira tak habis pikir dengan pria bermuka tebal itu. Bisa-bisanya menyapanya dengan kalimat ‘hai, mantan’ di tengah keramaian kafe yang sedang berlangsung.Walau sudah dipermak dan di make over seperti apa pun, Amira tak akan mau menjelajahi wisata masa lalu dengan Dewo. Mantan is mantan. Dia bukan pahlawan yang perlu dikenang, apalagi dibanggakan. Jika diperbolehkan, Amira akan menjual mantannya itu ke toko Oren. Kalau bisa jadi duit, kenapa harus jadi kenangan?“Dasar, manusia species non insecure! Bacotnya tinggi, introspeksinya rendah!” gerutu Amira dengan sedikit membanting nampan kayu yang dibawanya.“Kenapa, Mbak?” Abib yang baru keluar dari toilet mendekati kakaknya.“Ada Dewo di depan.”&nbs
Menyadari sesuatu, Amira langsung meminta Abib menggantikan posisinya di kasir. Amira langsung menggandeng tangan Arsyil dan segera masuk ke dalam ruangannya.“Udah kangen banget, ya, sama aku?” Arsyil menaik-turunkan alisnya menggoda Amira.“Iya, kangen pengen nampol ketengilan lu!” jawab Amira kesal.Arsyil terkekeh. “Aku makin suka kalau Mbak Mira galak. Makin gahar. Rarwww!”“Emang gue macan?”“Iya, ma-can. Manis dan cantik.”Amira mengibaskan tangan dan berlalu duduk di kursi kebesarannya.“Baru pulang? Kenapa langsung ke sini?”“Soalnya semangatku ada di sini.”“Siapa?”“Mbak Mira lah, masa Abib?”“Yang nanya?”
Dewo dan Abib melotot saat melihat dua insan yang tengah berciuman itu. Dengan cepat Abib kembali menutup pintu ruangan dan menarik Dewo untuk menjauh. Sementara Arsyil yang kaget saat bibirnya menempel dengan bibir Amira tak mau semua berlalu sia-sia. Dengan penuh gairah dan cinta yang membara, perlahan Arsyil melumat bibir Amira dengan lembut. Melihat kelopak mata lawannya yang terpejam, Arsyil semakin yakin, bahwa Amira tengah menikmati moment ini. Naluri yang berbicara ditambah setan yang ikut berkolaborasi di dalamnya, kedua tangan Amira mengalung sempurna di leher Arsyil yang putih. Mendapat perlakuan seperti itu, tentu saja Arsyil tak mau kalah. Dilingkarkannya pula kedua tangan pada pinggang wanita itu. Keduanya beralih posisi sambil berdiri dan semakin memperdalam ciumannya. Abib berhasil menarik baju Dewo hingga kini posisi mereka sudah jauh dari ruangan itu. Dewo mengempaskan tangan Abib agar lepas dari bajunya. “Kamu lihat, kan, Bib! Apa yang mereka lakuin?” berang Dewo
“Brengsek!” umpat Dewo kesal setelah sampai rumah Ahmad.Ahmad hanya menggeleng dan segera berlalu ke kamarnya meninggalkan Dewo. Lalu, keluar lagi dan menyulut sebatang rokok.“Udahlah, Wo. Terima kenyataan aja. Hukum tabur tuai itu pasti akan terjadi.”“Maksudmu apa, Mad, ngomong begitu?” Dewo kesal. Bisa-bisanya temannya itu seolah-seolah ikut menyudutkan dirinya.“Benar kata mantan adik ipar lu. Saat ini, Amira itu wanita merdeka. Dia single. Mau dekat sama siapa aja ya terserah dia. Ngapain lu marah dan cemburu?”Dewo terdiam, sedangkan Ahmad merasa rileks saat menghisap rokok dan mengembuskan asapnya ke udara.“Lu sempat liat Amira ciuman sama calon suaminya? Dan lu marah? Lucu sekali ....” Ahmad terkekeh.“Benar kata si Abib, lu cuma liat mantan istri lu ciuman, seda
“Kang Joni bisa, kan, bantuin saya?” pinta Dewo dengan wajah memelas.Joni hanya terkekeh pelan, lalu mengajak lelaki yang katanya juga mau pakai dukun untuk menjerat mantan istrinya itu masuk ke dalam rumah.Baru saja duduk, istri Joni yang katanya beberapa kali menolak diajak rujuk itu mendekati suaminya dan langsung melahap bibir Joni dengan rakus. Dewo meneguk ludah. Agresif sekali wanita itu, pikirnya.“Bentar, Sayang ... tunggu di kamar, ya. Mas enggak lama, kok.”“Cepetan ...,” rengek si wanita, membuat inti dari tubuh Dewo pun menggeliat tak tenang.Joni mengangguk setelah menciumi leher istrinya. Dasar, keong racun! Dewo mengumpat dalam hati.“Kamu mau mantanmu seperti dia?” tunjuk Joni mengarahkan dagunya pada sang istri yang kembali ke kamar.“Iya, Kang.”
“Ada perlu apa?”“A-anu, Ki. Saya mau minta tolong.”“Ya sudah pasti minta tolong, kalau minta uang kamu salah orang, saya bukan sultan!” sahut Danu.“Eh. I-iya, Ki.”Dewo merasa dukunnya sengaja bercanda agar suasana tidak mencekam. Bukan apa-apa, tadi di pintu masuk desa, Dewo sudah disambut oleh hantu permen Sugus yang bergelantungan seperti belatung daun pisang.Di sisi kiri, ada lincak lebih besar dengan karpet merah dan segala macam pernak-pernik perdukunan. Seperti nampan berisi kembang setaman dan gerabah anglo khusus untuk membakar kemenyan. Namun, kenapa mereka tidak langsung duduk di sana saja?Melihat lelaki di hadapan yang sempat melirik area eksklusif bapaknya untuk bekerja, Danu berdehem. “Kita ngobrol dulu. Saya perlu tahu apa maksud dan tujuan kamu datang ke mari.”Dewo mengangguk. Yakin dan percaya, bahwa pria muda di hadapannya adalah dukun sakti yang dimaksud Joni. Buktinya, dia bisa tahu isi kepalanya. Begitu pikir Dewo.“Begini, Ki. S-saya ingin mantan istri saya
“Yank? Ayok!” Arsyil yang sudah berjalan lebih dulu kembali menghentikan langkahnya untuk memanggil sang kekasih.Amira masih tertegun di tempat dengan pandangan lurus ke depan. Arsyil pun menghampiri.“Ayok! Itu Gala udah nungguin.”Amira menatap Arsyil. “Itu yang jaga gerai gula kapas Dewo bukan?”“Dewo?” Kening Arsyil berkerut dan langsung menatap karyawan gerai yang sedang melayani dua anak. Gala dan satu anak lagi bersama orang tuanya.“Dewo siapa, Yank?”“Dewo ... bapaknya Gala,” jawab Amira lirih, malas sebenarnya mau menyebut nama dan gelar itu.“Emang kerjaannya penjual gula kapas?”“Bukan, sih. Tapi, sekilas mirip mas-mas itu.”Arsyil tak menjawab dan langsung menarik lembut tangan sang kekasih. Ada rasa cemburu yang mulai mengusik hatinya. Walau mantan is mantan, tetapi ada yang menyebut mantan adalah alumni hati yang suatu saat pasti bakal reuni. Belum lagi kalau sampai tertawan pesona mantan, seperti salah satu novel online yang ditulis seorang author yang belum bisa move
Bu Tami hanya tersenyum dan segera berdiri dari duduknya. Mencuci sayuran dengan air yang mengalir dari wastafel. Dari kursi meja dapur, Amira mengembuskan napas lemah. Apa ucapan dan pertanyaannya menyinggung perasaan sang muara kasih? Amira pun berdiri dan menghampiri ibunya. “Bu ....”“Mir, nanti sore ke makam bapak, yuk! Ibu kangen,” ucap Bu Tami tanpa menoleh ke arah putrinya. Ia masih menghadap wastafel.Amira melipat bibirnya. Mungkin ini salah satu tanggapan ibunya yang tak ingin membahas Pak haji Mukhlas. “Iya, Bu. Nanti kita ke makam bapak, ya,” jawab Amira akhirnya. Udara sore ini cukup bersahabat. Jika biasanya langit mulai berselimut mendung, tetapi berbeda dengan hari ini. Awan putih berarak seolah-olah tak memberi izin pada air dari atap bumantara untuk turun mencumbu perut bumi.Para peziarah sedang mengunjungi rumah masa depan para keluarga yang sudah mendahului. Termasuk Bu Tami yang datang ke makam sang suami untuk menghadiahi doa dan tahlil. Amira dan Arsyil pun
Usaha Manggala Cafe tetap berjalan dan dipercayakan pada seseorang. Namun, tetap setiap bulan Amira merekap semuanya. Jadi, pundi-pundi rupiah terus mengalir dari usaha pertama Amira dan Abib pada zaman perjuangan itu. Ceile. Beruntung sekali Bu Tami memiliki anak-anak yang tetap memerhatikan dirinya. Karena kasus anak yang melupakan sang muara kasih ketika sudah mapan dan banyak uang bukan hanya isapan jempol belaka. Namun, hal itu tak terjadi pada Bu Tami.Bahkan ia mendapat jatah bulanan dari kedua menantunya. Nasya dan Arsyil selalu memberi uang bulanan untuk Bu Tami. Jika Nasya diminta tolong oleh Abib agar menyampaikannya, begitu pula dengan Amira yang meminta kepada sang suami untuk melakukannya. Katanya, agar mertua dan menantu bisa semakin akrab. Walau awalnya menolak, tetapi mereka tetap ingin Bu Tami mau menerimanya. Bagaimanapun, Arsyil bisa sukses karena peran dan dukungan seorang istri. Pun dengan Nasya yang dibantu oleh kepiawaian Abib dalam mengembangkan perusahaan
Seminggu berlalu setelah Riana resmi dijadikan tersangka atas tuduhan pembakaran rumah istri dari almarhum Wandi Pranoto. Di depan polisi dan juga keluarga Bu Tami, wanita itu hanya diam tak membantah. Seolah-olah diamnya memang sebuah jawaban atas apa yang sudah dia lakukan. Bu Tami menangis di hadapan Riana. Ibu dari Amira dan Abib itu meminta maaf jika keputusan Wandi membuat ibu dari Riana frustrasi sampai gila dan akhirnya meninggal tanpa mendapatkan keadilan. Bukankah seharusnya Riana yang meminta maaf? Ah, terkadang drama kehidupan memang selucu itu. Walau Bu Tami tak salah apa-apa, tetapi sebagai sesama wanita yang perasaannya halus dan mudah tersentuh, ia tetap meminta maaf atas nama almarhum bapak dari kedua anaknya. Di akhir jam besuk, wanita paruh baya itu bahkan tak segan memeluk Riana. “Maafkan kami, Nak.” Air mata tulus mengalir dari mata Bu Tami. “Tolong maafkan suami saya, biar dia bahagia di san
Ponsel Arsyil berdering tepat ketika ia baru saja pulang kerja. Sebuah panggilan masuk dari kantor polisi. Kening suami Amira berkerut.“Halo. Selamat sore, Pak!”‘Selamat sore, Pak Arsyil. Kami mau mengabarkan hasil dari perkembangan kasus yang sudah tim kami selidiki.’“Baik, Pak. Silakan!”Arsyil duduk di sofa ruang tamu dengan tatapan penasaran dari sang istri. Melihat gelagat istrinya yang tentu sangat penasaran, Arsyil langsung me-loud speaker suara di seberang sana. “Dari kepolisian,” ucap Arsyil lirih. Amira pun mengangguk paham.‘Tim kami berhasil menemukan barang bukti yang tertinggal di TKP kebakaran rumah mertua Anda.’Arsyil dan Amira membenarkan duduknya dan lebih saksama dalam menajamkan pendengaran.‘Sebuah sarung tangan yang diduga dipakai oleh pelaku. Walau hanya sebelah, tim forensik berhasil mengidentifikasi sebuah sidik jari.’“Siapa pelakunya, Pak?” sela Amira tak sabar.‘Dari hasil fingerprint scanner, sidik jari tersebut milik seorang wanita bernama Riana Lar
Amira belum bisa memejamkan matanya walau ia sudah cukup lelah. Sebuah fakta yang baru ia ketahui tentang siapa Riana membuat istri Arsyil kian gelisah. Jika benar ia datang kembali untuk balas dendam, apakah mungkin jika dulu Dewo berselingkuh dengan Riana lantaran wanita itu yang sengaja menggoda suaminya lebih dulu? Alasannya tentu saja untuk menghancurkan rumah tangga Amira sebagai putri dari Wandi. Dan kini wanita itu ingin lanjut part dua, begitu? Benar-benar keterlaluan! Amira mengembuskan napas panjang dengan memunggungi Arsyil. Namun, dua detik kemudian helaan itu berubah menjadi sebuah desahan. Tentu saja karena aksi nakal dari sebuah tangan. Ya, itu adalah tangan Arsyil yang kembali menjelajah di depan tubuh sang istri. Dua sejoli itu memang masih polos tanpa sehelai benang dalam satu selimut. Mereka baru saja selesai melepas birahi di tempat yang semestinya. Halalan toyyiban. Tentu saja ak
Bukan rahasia umum lagi saat Wandi mendadak membatalkan pertunangannya dengan Rita. Desas-desus yang berembus pun sampai di telinga Tami. Gadis ayu berbalut hijab itu pun merasa kasihan pada pria tersebut. Sudah mencintai sepenuh hati, tapi malah dikhianati. Sungguh miris sekali. Namun, siapa sangka jika takdir malah mempersatukan mereka setelah setahun Wandi mengubur harapannya? Ya, Tami dan Wandi berjodoh dan menikah. Kabar soal Rita yang hamil dengan sang mantan sudah hilang terbawa angin. Dua sejoli yang tengah menikmati masa-masa indah pengantin baru itu pun mendengar kabar jika Rita telah melahirkan. Namun, siapa yang menyangka jika Rita depresi setelah melahirkan seorang bayi perempuan? Sungguh hebat pakar informasi di masa kini. Detail sekali. “Semua yang kamu tanyakan jawabannya benar, Nak Arsyil. Rita memang mantan tunangan bapaknya Amira dan Abib,” jawab Bu Tami. Arsyil, Amira, dan
“Nih, Lus, buat gantiin baju syar’i yang gue pinjem!” Riana meletakkan lima lembar pecahan uang seratus ribu di meja depan Lusi, wanita yang sudah membesarkan Gaby, putrinya bersama Dewo. “Kenapa diganti uang, Ri? Bajunya mana?” “Udah kotor. Dahlah, mending lu beli lagi aja. Kurang enggak segitu?” “Cukup, sih.” “Oke. Lu beli aja yang baru.” Riana menyandarkan tubuhnya di sofa, sementara Lusi menatapnya dengan cukup heran. “Kamu dari mana, sih, Ri? Tumben pinjam gamisku segala?” “Ada casting jadi ukhti-ukhti solehah. Tapi gue enggak lulus, gue lupa kalau diri gue dah bobrok.” Lusi terkekeh. Wanita berhijab lebar itu pun belum lama hijrah. Jadi masih dalam tahap belajar juga. “Dewo udah jadi nengokin Gaby, Lus?” Lusy mengangguk. “Udah. Bahkan dia ngobrol banyak sama Ma
Di TKP, para warga sudah berbondong-bondong mengalirkan air dari selang dan juga menggunakan ember. Tak berapa lama setelahnya, sirene mobil pemadam kebakaran pun berbunyi.Kobaran api cukup besar hingga membuat warga kewalahan jika hanya memadamkan kobaran api dengan cara manual. Bu Tami sudah menangis dalam pelukan Amira. Ia berusaha menenangkan sang muara kasih atas musibah kali ini.Adib dan Nasya datang setelah para petugas berseragam merah kombinasi kuning itu berhasil menjinakkan si jago merah. Bagian rumah yang terbakar cukup parah. Namun, Abib dan Amira berusaha meredam kekalutan sang ibu dengan membesarkan hatinya. Berjanji akan segera merenovasi rumah peninggalan almarhum bapak mereka agar kembali apik seperti semula. “Udah, ya, Bu. Apinya udah padam. Yang penting enggak ada korban. Masalah perabot dan apa pun itu bisa kita beli lagi, bisa diperbaiki ulang,” hibur Amira dengan mengusap-usap punggung ibunya.Nasya pun berada di sebelah sisi sang mertua. Saat baru datang, i
Pak haji langsung menurunkan kaca mobilnya ketika melihat warga lain yang tengah berjalan. Mereka dua orang. Hanya dengan lambaian tangan, dua pemuda itu pun mendekat.“Eh, Pak Haji Mukhlas, mau ke mana, Pak?”“Saya ada urusan di kompleks sebelah. Tapi, kebetulan ada yang mencurigakan, makanya saya berhenti dulu."“Mencurigakan gimana, Pak?”“Tuh, lihat!” Telunjuk pak haji mengarah pada seseorang yang terlihat aneh.“Itu siapa, Pak?”“Yo ndak tahu, kok tanya saya.”Pemuda satunya terkekeh mendengar jawaban pak haji yang sempat legendaris dengan sebutan YNTKTS.“Gerak-geriknya mencurigakan. Bukan Mbak Mira, deh, kayaknya. Bu Tami apalagi.”Pak haji dan seorang lagi mengangguk.“Samperin, yok! Takutnya pelaku pelemparan kaca rumah Bu Tami beberapa hari yang lalu. Atau jangan-jangan ... dia mau lanjut prat dua?”“Part, Beg*k! Bukan prat."“Iya, itu maksudnya.”Pak haji pun turun mengikuti dua pemuda tersebut. Wanita itu tampak tak sadar jika gerak-geriknya sudah diikuti oleh tiga orang d