Uwaaah ... mereka jadian, tuh😍 Kasih selamat, yok! Berikan mereka GEM atau PERMATA dari kalian♥️♥️♥️
“Brengsek!” umpat Dewo kesal setelah sampai rumah Ahmad.Ahmad hanya menggeleng dan segera berlalu ke kamarnya meninggalkan Dewo. Lalu, keluar lagi dan menyulut sebatang rokok.“Udahlah, Wo. Terima kenyataan aja. Hukum tabur tuai itu pasti akan terjadi.”“Maksudmu apa, Mad, ngomong begitu?” Dewo kesal. Bisa-bisanya temannya itu seolah-seolah ikut menyudutkan dirinya.“Benar kata mantan adik ipar lu. Saat ini, Amira itu wanita merdeka. Dia single. Mau dekat sama siapa aja ya terserah dia. Ngapain lu marah dan cemburu?”Dewo terdiam, sedangkan Ahmad merasa rileks saat menghisap rokok dan mengembuskan asapnya ke udara.“Lu sempat liat Amira ciuman sama calon suaminya? Dan lu marah? Lucu sekali ....” Ahmad terkekeh.“Benar kata si Abib, lu cuma liat mantan istri lu ciuman, seda
“Kang Joni bisa, kan, bantuin saya?” pinta Dewo dengan wajah memelas.Joni hanya terkekeh pelan, lalu mengajak lelaki yang katanya juga mau pakai dukun untuk menjerat mantan istrinya itu masuk ke dalam rumah.Baru saja duduk, istri Joni yang katanya beberapa kali menolak diajak rujuk itu mendekati suaminya dan langsung melahap bibir Joni dengan rakus. Dewo meneguk ludah. Agresif sekali wanita itu, pikirnya.“Bentar, Sayang ... tunggu di kamar, ya. Mas enggak lama, kok.”“Cepetan ...,” rengek si wanita, membuat inti dari tubuh Dewo pun menggeliat tak tenang.Joni mengangguk setelah menciumi leher istrinya. Dasar, keong racun! Dewo mengumpat dalam hati.“Kamu mau mantanmu seperti dia?” tunjuk Joni mengarahkan dagunya pada sang istri yang kembali ke kamar.“Iya, Kang.”
“Ada perlu apa?”“A-anu, Ki. Saya mau minta tolong.”“Ya sudah pasti minta tolong, kalau minta uang kamu salah orang, saya bukan sultan!” sahut Danu.“Eh. I-iya, Ki.”Dewo merasa dukunnya sengaja bercanda agar suasana tidak mencekam. Bukan apa-apa, tadi di pintu masuk desa, Dewo sudah disambut oleh hantu permen Sugus yang bergelantungan seperti belatung daun pisang.Di sisi kiri, ada lincak lebih besar dengan karpet merah dan segala macam pernak-pernik perdukunan. Seperti nampan berisi kembang setaman dan gerabah anglo khusus untuk membakar kemenyan. Namun, kenapa mereka tidak langsung duduk di sana saja?Melihat lelaki di hadapan yang sempat melirik area eksklusif bapaknya untuk bekerja, Danu berdehem. “Kita ngobrol dulu. Saya perlu tahu apa maksud dan tujuan kamu datang ke mari.”Dewo mengangguk. Yakin dan percaya, bahwa pria muda di hadapannya adalah dukun sakti yang dimaksud Joni. Buktinya, dia bisa tahu isi kepalanya. Begitu pikir Dewo.“Begini, Ki. S-saya ingin mantan istri saya
“Yank? Ayok!” Arsyil yang sudah berjalan lebih dulu kembali menghentikan langkahnya untuk memanggil sang kekasih.Amira masih tertegun di tempat dengan pandangan lurus ke depan. Arsyil pun menghampiri.“Ayok! Itu Gala udah nungguin.”Amira menatap Arsyil. “Itu yang jaga gerai gula kapas Dewo bukan?”“Dewo?” Kening Arsyil berkerut dan langsung menatap karyawan gerai yang sedang melayani dua anak. Gala dan satu anak lagi bersama orang tuanya.“Dewo siapa, Yank?”“Dewo ... bapaknya Gala,” jawab Amira lirih, malas sebenarnya mau menyebut nama dan gelar itu.“Emang kerjaannya penjual gula kapas?”“Bukan, sih. Tapi, sekilas mirip mas-mas itu.”Arsyil tak menjawab dan langsung menarik lembut tangan sang kekasih. Ada rasa cemburu yang mulai mengusik hatinya. Walau mantan is mantan, tetapi ada yang menyebut mantan adalah alumni hati yang suatu saat pasti bakal reuni. Belum lagi kalau sampai tertawan pesona mantan, seperti salah satu novel online yang ditulis seorang author yang belum bisa move
Senyum Amira mengembang sempurna mendengar kalimat dari bibir pacarnya. Jujur, Dewo bukanlah lelaki yang manis seperti Arsyil. Entah apa dulu yang membuat Amira menjatuhkan hati dan mau dinikahi Dewo. Perkenalan yang singkat dan rasa kagum itu muncul ketika Dewo rajin salat berjamaah ke masjid. Dewo juga selalu melindungi dan mengayomi adik-adik di panti asuhan tempat dia dibesarkan.“Syil,”“Iya, Sayang?”“Apa kamu yakin hubungan ini akan bertahan?”Kening Arsyil berkerut. “Maksud kamu?”“Kamu masih sangat muda. Kenapa harus mengejar cinta seorang janda?”“Kamu enggak yakin sama keseriusan aku?”Amira menggeleng. “Bukan. Bukan aku enggak yakin sama keseriusan kamu, tapi ... aku ragu kalau keluarga besarmu akan merestui hubungan kita ini.”
“Itu hanya keperluan konten saja, kan?” tebak Bu Rima.“Assalamualaikum ....”Suara salam dari luar membuat dua wanita berbeda usia itu sama-sama menoleh dan menjawab salam.“Loh, Ibu sudah sampai?” Beni langsung mengambil tangan muara kasihnya dan menciumnya penuh takzim. Tak lupa pula mencium kening dan kedua pipi cinta pertamanya itu.Dengan sayang Bu Rima memeluk putranya. “Kamu sehat, Nak?”“Alhamdulillah, Bu. Sehat, bahagia, dan selalu tampan pastinya,” jawab Beni dengan riang.“Syukurlah ....”Bu Zahra tersenyum melihat keakraban ibu dan anak itu.“Ayah mau Bunda buatin minum juga?” tawar Zahra kepada suaminya.“Boleh, Bun. Samain aja kayak punya Ibu, ya.”“Oke, Yah.&rd
“Wah ... ponakan Om udah pulang,” sambut Abib kepada Gala. “Gimana liburannya? Seneng?”Gala hanya mengangguk dan langsung digendong oleh Abib. Keduanya duduk di sofa ruang tamu.“Seneng, dong. Papa Cil temenin Adek main,” jawab Gala melaporkan kepada sang Om.Abib mengulas senyum. Sahabatnya itu sudah mulai mencuri perhatian keponakan yang sangat Abib lindungi selama ini.“Oh, ya?”Gala mengangguk-angguk lucu. Amira hanya memerhatikan adik dan anaknya itu dengan senyum simpul. Walau capek ke sana ke mari seperti bola bekel demi senyum sang buah hati, nyatanya kebahagiaan Gala selalu menjadi peluruh semua rasa capeknya.“Tadi di sana ketemu siapa aja? Ada orang yang Gala kenal, nggak?” Abib terus bertanya, agar anak itu antusias bercerita dan mengolah kata.“Ada. Adek ketem
Arsyil segera meneguk minumannya, sebab isi piring yang lengkap dan lumayan banyak itu sudah beralih ke dalam perut. Sementara ayah dan bundanya masih terus menghabiskan makanannya, dan sang oma yang masih terlihat santai serta menunggu jawaban dari sang cucu.“Gimana, Sayang?” ulang Bu Rima.“Oma ... Arsyil udah gede. Udah bisa bedain mana yang baik dan mana yang enggak. Arsyil bisa, kok, memilah dan memilih wanita mana yang menurut Arsyil pantas,” jawab sang cucu dengan lembut.“Iya, Oma tahu. Cucu Oma pasti pintar. Tapi, enggak ada salahnya juga, kan, kalau kamu coba mengenal wanita dari perjodohan. Siapa tahu cocok.”“Kalau enggak cocok?”“Ya nanti Oma kenalkan sama gadis yang lain.”Arsyil menatap bunda dan ayahnya secara bergantian. Berharap kedua orang tuanya itu sedikit memberi pendapatnya so
Bu Tami hanya tersenyum dan segera berdiri dari duduknya. Mencuci sayuran dengan air yang mengalir dari wastafel. Dari kursi meja dapur, Amira mengembuskan napas lemah. Apa ucapan dan pertanyaannya menyinggung perasaan sang muara kasih? Amira pun berdiri dan menghampiri ibunya. “Bu ....”“Mir, nanti sore ke makam bapak, yuk! Ibu kangen,” ucap Bu Tami tanpa menoleh ke arah putrinya. Ia masih menghadap wastafel.Amira melipat bibirnya. Mungkin ini salah satu tanggapan ibunya yang tak ingin membahas Pak haji Mukhlas. “Iya, Bu. Nanti kita ke makam bapak, ya,” jawab Amira akhirnya. Udara sore ini cukup bersahabat. Jika biasanya langit mulai berselimut mendung, tetapi berbeda dengan hari ini. Awan putih berarak seolah-olah tak memberi izin pada air dari atap bumantara untuk turun mencumbu perut bumi.Para peziarah sedang mengunjungi rumah masa depan para keluarga yang sudah mendahului. Termasuk Bu Tami yang datang ke makam sang suami untuk menghadiahi doa dan tahlil. Amira dan Arsyil pun
Usaha Manggala Cafe tetap berjalan dan dipercayakan pada seseorang. Namun, tetap setiap bulan Amira merekap semuanya. Jadi, pundi-pundi rupiah terus mengalir dari usaha pertama Amira dan Abib pada zaman perjuangan itu. Ceile. Beruntung sekali Bu Tami memiliki anak-anak yang tetap memerhatikan dirinya. Karena kasus anak yang melupakan sang muara kasih ketika sudah mapan dan banyak uang bukan hanya isapan jempol belaka. Namun, hal itu tak terjadi pada Bu Tami.Bahkan ia mendapat jatah bulanan dari kedua menantunya. Nasya dan Arsyil selalu memberi uang bulanan untuk Bu Tami. Jika Nasya diminta tolong oleh Abib agar menyampaikannya, begitu pula dengan Amira yang meminta kepada sang suami untuk melakukannya. Katanya, agar mertua dan menantu bisa semakin akrab. Walau awalnya menolak, tetapi mereka tetap ingin Bu Tami mau menerimanya. Bagaimanapun, Arsyil bisa sukses karena peran dan dukungan seorang istri. Pun dengan Nasya yang dibantu oleh kepiawaian Abib dalam mengembangkan perusahaan
Seminggu berlalu setelah Riana resmi dijadikan tersangka atas tuduhan pembakaran rumah istri dari almarhum Wandi Pranoto. Di depan polisi dan juga keluarga Bu Tami, wanita itu hanya diam tak membantah. Seolah-olah diamnya memang sebuah jawaban atas apa yang sudah dia lakukan. Bu Tami menangis di hadapan Riana. Ibu dari Amira dan Abib itu meminta maaf jika keputusan Wandi membuat ibu dari Riana frustrasi sampai gila dan akhirnya meninggal tanpa mendapatkan keadilan. Bukankah seharusnya Riana yang meminta maaf? Ah, terkadang drama kehidupan memang selucu itu. Walau Bu Tami tak salah apa-apa, tetapi sebagai sesama wanita yang perasaannya halus dan mudah tersentuh, ia tetap meminta maaf atas nama almarhum bapak dari kedua anaknya. Di akhir jam besuk, wanita paruh baya itu bahkan tak segan memeluk Riana. “Maafkan kami, Nak.” Air mata tulus mengalir dari mata Bu Tami. “Tolong maafkan suami saya, biar dia bahagia di san
Ponsel Arsyil berdering tepat ketika ia baru saja pulang kerja. Sebuah panggilan masuk dari kantor polisi. Kening suami Amira berkerut.“Halo. Selamat sore, Pak!”‘Selamat sore, Pak Arsyil. Kami mau mengabarkan hasil dari perkembangan kasus yang sudah tim kami selidiki.’“Baik, Pak. Silakan!”Arsyil duduk di sofa ruang tamu dengan tatapan penasaran dari sang istri. Melihat gelagat istrinya yang tentu sangat penasaran, Arsyil langsung me-loud speaker suara di seberang sana. “Dari kepolisian,” ucap Arsyil lirih. Amira pun mengangguk paham.‘Tim kami berhasil menemukan barang bukti yang tertinggal di TKP kebakaran rumah mertua Anda.’Arsyil dan Amira membenarkan duduknya dan lebih saksama dalam menajamkan pendengaran.‘Sebuah sarung tangan yang diduga dipakai oleh pelaku. Walau hanya sebelah, tim forensik berhasil mengidentifikasi sebuah sidik jari.’“Siapa pelakunya, Pak?” sela Amira tak sabar.‘Dari hasil fingerprint scanner, sidik jari tersebut milik seorang wanita bernama Riana Lar
Amira belum bisa memejamkan matanya walau ia sudah cukup lelah. Sebuah fakta yang baru ia ketahui tentang siapa Riana membuat istri Arsyil kian gelisah. Jika benar ia datang kembali untuk balas dendam, apakah mungkin jika dulu Dewo berselingkuh dengan Riana lantaran wanita itu yang sengaja menggoda suaminya lebih dulu? Alasannya tentu saja untuk menghancurkan rumah tangga Amira sebagai putri dari Wandi. Dan kini wanita itu ingin lanjut part dua, begitu? Benar-benar keterlaluan! Amira mengembuskan napas panjang dengan memunggungi Arsyil. Namun, dua detik kemudian helaan itu berubah menjadi sebuah desahan. Tentu saja karena aksi nakal dari sebuah tangan. Ya, itu adalah tangan Arsyil yang kembali menjelajah di depan tubuh sang istri. Dua sejoli itu memang masih polos tanpa sehelai benang dalam satu selimut. Mereka baru saja selesai melepas birahi di tempat yang semestinya. Halalan toyyiban. Tentu saja ak
Bukan rahasia umum lagi saat Wandi mendadak membatalkan pertunangannya dengan Rita. Desas-desus yang berembus pun sampai di telinga Tami. Gadis ayu berbalut hijab itu pun merasa kasihan pada pria tersebut. Sudah mencintai sepenuh hati, tapi malah dikhianati. Sungguh miris sekali. Namun, siapa sangka jika takdir malah mempersatukan mereka setelah setahun Wandi mengubur harapannya? Ya, Tami dan Wandi berjodoh dan menikah. Kabar soal Rita yang hamil dengan sang mantan sudah hilang terbawa angin. Dua sejoli yang tengah menikmati masa-masa indah pengantin baru itu pun mendengar kabar jika Rita telah melahirkan. Namun, siapa yang menyangka jika Rita depresi setelah melahirkan seorang bayi perempuan? Sungguh hebat pakar informasi di masa kini. Detail sekali. “Semua yang kamu tanyakan jawabannya benar, Nak Arsyil. Rita memang mantan tunangan bapaknya Amira dan Abib,” jawab Bu Tami. Arsyil, Amira, dan
“Nih, Lus, buat gantiin baju syar’i yang gue pinjem!” Riana meletakkan lima lembar pecahan uang seratus ribu di meja depan Lusi, wanita yang sudah membesarkan Gaby, putrinya bersama Dewo. “Kenapa diganti uang, Ri? Bajunya mana?” “Udah kotor. Dahlah, mending lu beli lagi aja. Kurang enggak segitu?” “Cukup, sih.” “Oke. Lu beli aja yang baru.” Riana menyandarkan tubuhnya di sofa, sementara Lusi menatapnya dengan cukup heran. “Kamu dari mana, sih, Ri? Tumben pinjam gamisku segala?” “Ada casting jadi ukhti-ukhti solehah. Tapi gue enggak lulus, gue lupa kalau diri gue dah bobrok.” Lusi terkekeh. Wanita berhijab lebar itu pun belum lama hijrah. Jadi masih dalam tahap belajar juga. “Dewo udah jadi nengokin Gaby, Lus?” Lusy mengangguk. “Udah. Bahkan dia ngobrol banyak sama Ma
Di TKP, para warga sudah berbondong-bondong mengalirkan air dari selang dan juga menggunakan ember. Tak berapa lama setelahnya, sirene mobil pemadam kebakaran pun berbunyi.Kobaran api cukup besar hingga membuat warga kewalahan jika hanya memadamkan kobaran api dengan cara manual. Bu Tami sudah menangis dalam pelukan Amira. Ia berusaha menenangkan sang muara kasih atas musibah kali ini.Adib dan Nasya datang setelah para petugas berseragam merah kombinasi kuning itu berhasil menjinakkan si jago merah. Bagian rumah yang terbakar cukup parah. Namun, Abib dan Amira berusaha meredam kekalutan sang ibu dengan membesarkan hatinya. Berjanji akan segera merenovasi rumah peninggalan almarhum bapak mereka agar kembali apik seperti semula. “Udah, ya, Bu. Apinya udah padam. Yang penting enggak ada korban. Masalah perabot dan apa pun itu bisa kita beli lagi, bisa diperbaiki ulang,” hibur Amira dengan mengusap-usap punggung ibunya.Nasya pun berada di sebelah sisi sang mertua. Saat baru datang, i
Pak haji langsung menurunkan kaca mobilnya ketika melihat warga lain yang tengah berjalan. Mereka dua orang. Hanya dengan lambaian tangan, dua pemuda itu pun mendekat.“Eh, Pak Haji Mukhlas, mau ke mana, Pak?”“Saya ada urusan di kompleks sebelah. Tapi, kebetulan ada yang mencurigakan, makanya saya berhenti dulu."“Mencurigakan gimana, Pak?”“Tuh, lihat!” Telunjuk pak haji mengarah pada seseorang yang terlihat aneh.“Itu siapa, Pak?”“Yo ndak tahu, kok tanya saya.”Pemuda satunya terkekeh mendengar jawaban pak haji yang sempat legendaris dengan sebutan YNTKTS.“Gerak-geriknya mencurigakan. Bukan Mbak Mira, deh, kayaknya. Bu Tami apalagi.”Pak haji dan seorang lagi mengangguk.“Samperin, yok! Takutnya pelaku pelemparan kaca rumah Bu Tami beberapa hari yang lalu. Atau jangan-jangan ... dia mau lanjut prat dua?”“Part, Beg*k! Bukan prat."“Iya, itu maksudnya.”Pak haji pun turun mengikuti dua pemuda tersebut. Wanita itu tampak tak sadar jika gerak-geriknya sudah diikuti oleh tiga orang d