Senyum Amira mengembang sempurna mendengar kalimat dari bibir pacarnya. Jujur, Dewo bukanlah lelaki yang manis seperti Arsyil. Entah apa dulu yang membuat Amira menjatuhkan hati dan mau dinikahi Dewo. Perkenalan yang singkat dan rasa kagum itu muncul ketika Dewo rajin salat berjamaah ke masjid. Dewo juga selalu melindungi dan mengayomi adik-adik di panti asuhan tempat dia dibesarkan.
“Syil,”
“Iya, Sayang?”
“Apa kamu yakin hubungan ini akan bertahan?”
Kening Arsyil berkerut. “Maksud kamu?”
“Kamu masih sangat muda. Kenapa harus mengejar cinta seorang janda?”
“Kamu enggak yakin sama keseriusan aku?”
Amira menggeleng. “Bukan. Bukan aku enggak yakin sama keseriusan kamu, tapi ... aku ragu kalau keluarga besarmu akan merestui hubungan kita ini.”
“Itu hanya keperluan konten saja, kan?” tebak Bu Rima.“Assalamualaikum ....”Suara salam dari luar membuat dua wanita berbeda usia itu sama-sama menoleh dan menjawab salam.“Loh, Ibu sudah sampai?” Beni langsung mengambil tangan muara kasihnya dan menciumnya penuh takzim. Tak lupa pula mencium kening dan kedua pipi cinta pertamanya itu.Dengan sayang Bu Rima memeluk putranya. “Kamu sehat, Nak?”“Alhamdulillah, Bu. Sehat, bahagia, dan selalu tampan pastinya,” jawab Beni dengan riang.“Syukurlah ....”Bu Zahra tersenyum melihat keakraban ibu dan anak itu.“Ayah mau Bunda buatin minum juga?” tawar Zahra kepada suaminya.“Boleh, Bun. Samain aja kayak punya Ibu, ya.”“Oke, Yah.&rd
“Wah ... ponakan Om udah pulang,” sambut Abib kepada Gala. “Gimana liburannya? Seneng?”Gala hanya mengangguk dan langsung digendong oleh Abib. Keduanya duduk di sofa ruang tamu.“Seneng, dong. Papa Cil temenin Adek main,” jawab Gala melaporkan kepada sang Om.Abib mengulas senyum. Sahabatnya itu sudah mulai mencuri perhatian keponakan yang sangat Abib lindungi selama ini.“Oh, ya?”Gala mengangguk-angguk lucu. Amira hanya memerhatikan adik dan anaknya itu dengan senyum simpul. Walau capek ke sana ke mari seperti bola bekel demi senyum sang buah hati, nyatanya kebahagiaan Gala selalu menjadi peluruh semua rasa capeknya.“Tadi di sana ketemu siapa aja? Ada orang yang Gala kenal, nggak?” Abib terus bertanya, agar anak itu antusias bercerita dan mengolah kata.“Ada. Adek ketem
Arsyil segera meneguk minumannya, sebab isi piring yang lengkap dan lumayan banyak itu sudah beralih ke dalam perut. Sementara ayah dan bundanya masih terus menghabiskan makanannya, dan sang oma yang masih terlihat santai serta menunggu jawaban dari sang cucu.“Gimana, Sayang?” ulang Bu Rima.“Oma ... Arsyil udah gede. Udah bisa bedain mana yang baik dan mana yang enggak. Arsyil bisa, kok, memilah dan memilih wanita mana yang menurut Arsyil pantas,” jawab sang cucu dengan lembut.“Iya, Oma tahu. Cucu Oma pasti pintar. Tapi, enggak ada salahnya juga, kan, kalau kamu coba mengenal wanita dari perjodohan. Siapa tahu cocok.”“Kalau enggak cocok?”“Ya nanti Oma kenalkan sama gadis yang lain.”Arsyil menatap bunda dan ayahnya secara bergantian. Berharap kedua orang tuanya itu sedikit memberi pendapatnya so
"Kenapa kamu memilih janda ketimbang gadis, Arsyil?” tanya Bu Rima, menatap cucunya tak percaya. “Apa unggulnya dia daripada gadis-gadis yang banyak menggilaimu?”“Oma ... ini hidup Arsyil.”“Oma tahu! Oma tahu ini hidup kamu. Makanya Oma ingin yang terbaik buat kamu, cucu kesayangan Oma.”“Apa janda bukan orang baik?” sela Arsyil. “Bagaimana dengan gadis-gadis SMA yang lebih memilih menjadi simpanan om-om? Bagaimana juga dengan wanita perebut suami orang? Bahkan banyak teman kuliah Arsyil yang–““Cukup, Arsyil!” potong Bu Rima.Dada wanita itu naik turun. Bayangan tentang seorang jalang yang telah membuatnya menjadi janda terlintas kembali dalam angan. Bu Rima merasa terpukul, terhina, dan merasa direndahkan harga dirinya sebagai seorang wanita saat suaminya menjandakan dia demi seorang janda. Ci
Di sinilah Amira dan Arsyil saat ini. Di depan wanita dengan gelar nenek, tetapi masih terlihat segar dan terawat. Ya, tentu saja. Beni selalu memberikan uang bulanan untuk ibunya itu. Bu Rima menggunakan uang itu dengan sebaik-baiknya, termasuk untuk merawat dirinya.Ia tak mau anaknya yang seorang pengusaha rumah mebel dengan beberapa cabang itu akan malu jika ibunya terlihat kucel. Apalagi semenjak nama sang cucu berseliweran di dunia maya, nama Bu Rima sebagai nenek dari sang Youtuber tampan bak aktor Korea itu semakin gemilang.Bu Rima meneliti penampilan Amira dari wajah, tubuh, hingga pakaian yang dikenakannya. Tak begitu buruk, pikirnya. Kulit putih dengan wajah ayu khas wanita Indonesia, tubuh mungil dengan rambut lurus yang diberi jepit mutiara khas remaja di sebelah kiri, serta dress warna navy motif bunga-bunga kecil dipadukan dengan cardigan rajut warna putih, terakhir sepatu hak rendah yang sangat manis di kakinya. 
“Oke, jadi semua udah deal ya?”"Deal!"Abib menjabat tangan Nasya, teman kuliah plus customer yang akan menyewa Manggala Cafe Sabtu depan untuk acara ulang tahun.“Gue bayar lunas kapan, nih, Bib?”“Terserah lu aja, Sya. Tapi, kalau bisa sebelum acara, semua udah clear biar sama-sama enak.”
“Gila, sih, si Arsyil. Siwer mata dia kalau beneran nikahin itu jendes.”“Dia kaya kali, ya, makanya Arsyil pepet?”“Arsyil udah kaya keles. Lu tahu, kan, usaha bokapnya dia lumayan juga.”“Atau jangan-jangan ... Arsyil udah diservice sama itu janda? Biasanya, kan, brondong kegoda sama tante-tante kalau udah disus*in.”Tawa tertahan dan bisik-bisik itu riuh rendah terdengar di antara alunan musik yang mengalun dari Manggala Cafe. Sejujurnya bukan Amira tak mendengar, tetapi ia berusaha abai. Apalagi para tamu undangan yang memadati area kafenya bisa dibilang pelanggan. Ya, pelanggan, sebab mereka adalah tamu-tamu yang sengaja diundang oleh penyewa kafenya malam ini.Amira sadar, akan banyak pencuri kebahagiaan saat ia memutuskan untuk menerima cinta seorang bocah tampan dan cukup dibilang mapan itu. Selain para fans Arsyil, nenek pr
[Sayang ....][Apa?][Ish, cuek amat. Kangen tauk!]Amira mengulas senyum membaca pesan dari kekasihnya. Ia pun ingin membalas tiap kata dan sikap romantis Arsyil yang selalu ditujukan kepadanya. Namun, lagi dan lagi Amira harus menekan rasa itu, sebab ditinggal pas sayang-sayangnya sedang booming di era saat ini. Nemen nek jare Mas Gilga.Tak kunjung membalas pesan terakhirnya. Arsyil langsung melakukan panggilan video.“Kenapa cuma diread doang, Sayang?” rajuk Arsyil.“Baru mau ngetik, kamunya udah bales,” jawab Amira dengan menyandarkan ponselnya.Arsyil sedang berada di luar kota. Urusan konten dan endors, katanya.“Pestanya si Nasya belum rampung, Yang?”“Belum, biasalah acara anak muda.”Arsyil mengangguk-angguk dan menyugar rambut ke belakang. Membasahi bibirnya dengan ujung lidah dan menatap Amira dengan tampang gemasnya. Jujur, Amira paling tidak kuat melihat Arsyil yang seperti itu. Wanita itu memalingkan wajahnya ke samping dan berlagak seolah-olah menyapa seseorang. Padaha
Bu Tami hanya tersenyum dan segera berdiri dari duduknya. Mencuci sayuran dengan air yang mengalir dari wastafel. Dari kursi meja dapur, Amira mengembuskan napas lemah. Apa ucapan dan pertanyaannya menyinggung perasaan sang muara kasih? Amira pun berdiri dan menghampiri ibunya. “Bu ....”“Mir, nanti sore ke makam bapak, yuk! Ibu kangen,” ucap Bu Tami tanpa menoleh ke arah putrinya. Ia masih menghadap wastafel.Amira melipat bibirnya. Mungkin ini salah satu tanggapan ibunya yang tak ingin membahas Pak haji Mukhlas. “Iya, Bu. Nanti kita ke makam bapak, ya,” jawab Amira akhirnya. Udara sore ini cukup bersahabat. Jika biasanya langit mulai berselimut mendung, tetapi berbeda dengan hari ini. Awan putih berarak seolah-olah tak memberi izin pada air dari atap bumantara untuk turun mencumbu perut bumi.Para peziarah sedang mengunjungi rumah masa depan para keluarga yang sudah mendahului. Termasuk Bu Tami yang datang ke makam sang suami untuk menghadiahi doa dan tahlil. Amira dan Arsyil pun
Usaha Manggala Cafe tetap berjalan dan dipercayakan pada seseorang. Namun, tetap setiap bulan Amira merekap semuanya. Jadi, pundi-pundi rupiah terus mengalir dari usaha pertama Amira dan Abib pada zaman perjuangan itu. Ceile. Beruntung sekali Bu Tami memiliki anak-anak yang tetap memerhatikan dirinya. Karena kasus anak yang melupakan sang muara kasih ketika sudah mapan dan banyak uang bukan hanya isapan jempol belaka. Namun, hal itu tak terjadi pada Bu Tami.Bahkan ia mendapat jatah bulanan dari kedua menantunya. Nasya dan Arsyil selalu memberi uang bulanan untuk Bu Tami. Jika Nasya diminta tolong oleh Abib agar menyampaikannya, begitu pula dengan Amira yang meminta kepada sang suami untuk melakukannya. Katanya, agar mertua dan menantu bisa semakin akrab. Walau awalnya menolak, tetapi mereka tetap ingin Bu Tami mau menerimanya. Bagaimanapun, Arsyil bisa sukses karena peran dan dukungan seorang istri. Pun dengan Nasya yang dibantu oleh kepiawaian Abib dalam mengembangkan perusahaan
Seminggu berlalu setelah Riana resmi dijadikan tersangka atas tuduhan pembakaran rumah istri dari almarhum Wandi Pranoto. Di depan polisi dan juga keluarga Bu Tami, wanita itu hanya diam tak membantah. Seolah-olah diamnya memang sebuah jawaban atas apa yang sudah dia lakukan. Bu Tami menangis di hadapan Riana. Ibu dari Amira dan Abib itu meminta maaf jika keputusan Wandi membuat ibu dari Riana frustrasi sampai gila dan akhirnya meninggal tanpa mendapatkan keadilan. Bukankah seharusnya Riana yang meminta maaf? Ah, terkadang drama kehidupan memang selucu itu. Walau Bu Tami tak salah apa-apa, tetapi sebagai sesama wanita yang perasaannya halus dan mudah tersentuh, ia tetap meminta maaf atas nama almarhum bapak dari kedua anaknya. Di akhir jam besuk, wanita paruh baya itu bahkan tak segan memeluk Riana. “Maafkan kami, Nak.” Air mata tulus mengalir dari mata Bu Tami. “Tolong maafkan suami saya, biar dia bahagia di san
Ponsel Arsyil berdering tepat ketika ia baru saja pulang kerja. Sebuah panggilan masuk dari kantor polisi. Kening suami Amira berkerut.“Halo. Selamat sore, Pak!”‘Selamat sore, Pak Arsyil. Kami mau mengabarkan hasil dari perkembangan kasus yang sudah tim kami selidiki.’“Baik, Pak. Silakan!”Arsyil duduk di sofa ruang tamu dengan tatapan penasaran dari sang istri. Melihat gelagat istrinya yang tentu sangat penasaran, Arsyil langsung me-loud speaker suara di seberang sana. “Dari kepolisian,” ucap Arsyil lirih. Amira pun mengangguk paham.‘Tim kami berhasil menemukan barang bukti yang tertinggal di TKP kebakaran rumah mertua Anda.’Arsyil dan Amira membenarkan duduknya dan lebih saksama dalam menajamkan pendengaran.‘Sebuah sarung tangan yang diduga dipakai oleh pelaku. Walau hanya sebelah, tim forensik berhasil mengidentifikasi sebuah sidik jari.’“Siapa pelakunya, Pak?” sela Amira tak sabar.‘Dari hasil fingerprint scanner, sidik jari tersebut milik seorang wanita bernama Riana Lar
Amira belum bisa memejamkan matanya walau ia sudah cukup lelah. Sebuah fakta yang baru ia ketahui tentang siapa Riana membuat istri Arsyil kian gelisah. Jika benar ia datang kembali untuk balas dendam, apakah mungkin jika dulu Dewo berselingkuh dengan Riana lantaran wanita itu yang sengaja menggoda suaminya lebih dulu? Alasannya tentu saja untuk menghancurkan rumah tangga Amira sebagai putri dari Wandi. Dan kini wanita itu ingin lanjut part dua, begitu? Benar-benar keterlaluan! Amira mengembuskan napas panjang dengan memunggungi Arsyil. Namun, dua detik kemudian helaan itu berubah menjadi sebuah desahan. Tentu saja karena aksi nakal dari sebuah tangan. Ya, itu adalah tangan Arsyil yang kembali menjelajah di depan tubuh sang istri. Dua sejoli itu memang masih polos tanpa sehelai benang dalam satu selimut. Mereka baru saja selesai melepas birahi di tempat yang semestinya. Halalan toyyiban. Tentu saja ak
Bukan rahasia umum lagi saat Wandi mendadak membatalkan pertunangannya dengan Rita. Desas-desus yang berembus pun sampai di telinga Tami. Gadis ayu berbalut hijab itu pun merasa kasihan pada pria tersebut. Sudah mencintai sepenuh hati, tapi malah dikhianati. Sungguh miris sekali. Namun, siapa sangka jika takdir malah mempersatukan mereka setelah setahun Wandi mengubur harapannya? Ya, Tami dan Wandi berjodoh dan menikah. Kabar soal Rita yang hamil dengan sang mantan sudah hilang terbawa angin. Dua sejoli yang tengah menikmati masa-masa indah pengantin baru itu pun mendengar kabar jika Rita telah melahirkan. Namun, siapa yang menyangka jika Rita depresi setelah melahirkan seorang bayi perempuan? Sungguh hebat pakar informasi di masa kini. Detail sekali. “Semua yang kamu tanyakan jawabannya benar, Nak Arsyil. Rita memang mantan tunangan bapaknya Amira dan Abib,” jawab Bu Tami. Arsyil, Amira, dan
“Nih, Lus, buat gantiin baju syar’i yang gue pinjem!” Riana meletakkan lima lembar pecahan uang seratus ribu di meja depan Lusi, wanita yang sudah membesarkan Gaby, putrinya bersama Dewo. “Kenapa diganti uang, Ri? Bajunya mana?” “Udah kotor. Dahlah, mending lu beli lagi aja. Kurang enggak segitu?” “Cukup, sih.” “Oke. Lu beli aja yang baru.” Riana menyandarkan tubuhnya di sofa, sementara Lusi menatapnya dengan cukup heran. “Kamu dari mana, sih, Ri? Tumben pinjam gamisku segala?” “Ada casting jadi ukhti-ukhti solehah. Tapi gue enggak lulus, gue lupa kalau diri gue dah bobrok.” Lusi terkekeh. Wanita berhijab lebar itu pun belum lama hijrah. Jadi masih dalam tahap belajar juga. “Dewo udah jadi nengokin Gaby, Lus?” Lusy mengangguk. “Udah. Bahkan dia ngobrol banyak sama Ma
Di TKP, para warga sudah berbondong-bondong mengalirkan air dari selang dan juga menggunakan ember. Tak berapa lama setelahnya, sirene mobil pemadam kebakaran pun berbunyi.Kobaran api cukup besar hingga membuat warga kewalahan jika hanya memadamkan kobaran api dengan cara manual. Bu Tami sudah menangis dalam pelukan Amira. Ia berusaha menenangkan sang muara kasih atas musibah kali ini.Adib dan Nasya datang setelah para petugas berseragam merah kombinasi kuning itu berhasil menjinakkan si jago merah. Bagian rumah yang terbakar cukup parah. Namun, Abib dan Amira berusaha meredam kekalutan sang ibu dengan membesarkan hatinya. Berjanji akan segera merenovasi rumah peninggalan almarhum bapak mereka agar kembali apik seperti semula. “Udah, ya, Bu. Apinya udah padam. Yang penting enggak ada korban. Masalah perabot dan apa pun itu bisa kita beli lagi, bisa diperbaiki ulang,” hibur Amira dengan mengusap-usap punggung ibunya.Nasya pun berada di sebelah sisi sang mertua. Saat baru datang, i
Pak haji langsung menurunkan kaca mobilnya ketika melihat warga lain yang tengah berjalan. Mereka dua orang. Hanya dengan lambaian tangan, dua pemuda itu pun mendekat.“Eh, Pak Haji Mukhlas, mau ke mana, Pak?”“Saya ada urusan di kompleks sebelah. Tapi, kebetulan ada yang mencurigakan, makanya saya berhenti dulu."“Mencurigakan gimana, Pak?”“Tuh, lihat!” Telunjuk pak haji mengarah pada seseorang yang terlihat aneh.“Itu siapa, Pak?”“Yo ndak tahu, kok tanya saya.”Pemuda satunya terkekeh mendengar jawaban pak haji yang sempat legendaris dengan sebutan YNTKTS.“Gerak-geriknya mencurigakan. Bukan Mbak Mira, deh, kayaknya. Bu Tami apalagi.”Pak haji dan seorang lagi mengangguk.“Samperin, yok! Takutnya pelaku pelemparan kaca rumah Bu Tami beberapa hari yang lalu. Atau jangan-jangan ... dia mau lanjut prat dua?”“Part, Beg*k! Bukan prat."“Iya, itu maksudnya.”Pak haji pun turun mengikuti dua pemuda tersebut. Wanita itu tampak tak sadar jika gerak-geriknya sudah diikuti oleh tiga orang d