"Kalau takdirmu aku, kamu bisa apa, Mbak?”
Amira terenyak dan mengerjapkan matanya beberapa kali saat mendengarkan kalimat dari mantan bocah SMA itu. Iya, yang melontarkan kalimat itu sudah satu tahun tak memakai seragam putih abu-abunya setelah dicoret-coret. Tak berapa lama, tawa Amira malah menyembur bak air dari mulut mbah dukun.
“Gila ... gila! Keren banget ide konten lu, Syil,” ujar Amira sambil memegangi perutnya.
Yang Amira tahu, sejak masuk kelas sebelas, Arsyil sudah berpenghasilan dari hasil konten-kontennya di Kamu-tube. Amira pun salah satu subscriber-nya yang suka dan merasa terhibur dengan aksi konyol Arsyil. Dia sering membuat video cosplay jadi driver taksi online yang suka mengerjai para penumpang wanita berumur. Maksudnya lebih tua darinya.
Arsyil hanya menatap Amira dengan tatapan tajam. Tak ada pergerakan dari kedua sudut bibirnya yang menandakan, bahwa saat ini dia tak sedang main-main, sementara wanita yang usianya terpaut delapan tahun lebih tua dari Arsyil itu masih tertawa sembari menyeka setitik air dari sudut matanya.
“Udah ketawanya?”
Amira terdiam dengan gerakan patah-patah. Antara masih ingin tertawa, juga akhirnya mingkem mendapati tatapan tajam dari anak baru gede yang lumayan manis itu. Dia masih terlihat cengo ditatap begitu dalam oleh Arsyil, teman baik adiknya.
“Pulang sana! Udah malem. Tuh, dicariin mama lu. Suruh cuci tangan, cuci kaki, cuci muka, berdoa, terus bobok,” ujar Amira masih betah menggoda.
“Ck, aku udah gede kali, Mbak!” bantah Arsyil.
“Gede? Apanya yang gede?”
Arsyil tersenyum jahil. “Mbak Mira mau tahu, apa aja punyaku yang udah gede?”
Alis Amira hampir menyatu demi mencerna ucapan bocil di depannya. Disuruh pulang malah bicara yang enggak-enggak.
“Apa emang?”
Arsyil mulai membuka lipatan sarung yang digelung di perutnya dengan gerakan slow motion. Mata Amira membola dan ia langsung membelakangi Arsyil sebelum kain hitam kekinian dengan motif wayang itu benar-benar diturunkan.
“Arsyil gila!” umpat Amira dengan telapak tangan menutupi matanya. “Lu mau menodai mata gue?”
Arsyil terkikik dengan mengalungkan sarungnya dan menyisakan celana pendek kotak-kotak warna coklat, serta kaus hitam yang kontras dengan kulit bersihnya.
“Halah, Mbak Mira bukan pemula, kan? Masa belum pernah lihat pisang cavendis berdiri tegak menuntut keadilan?”
“Sinting lu emang!”
Arsyil tergelak.
“Balik badan, deh, Mbak. Punya aku gede, lho.” Remaja itu masih betah menggoda kakak temannya.
“Lu pulang apa gue teriak?” ancam Amira.
“Teriak aja, Mbak. Sekalian aku buka baju dan pelorotin celana. Paling ntar kita malah jadi suami istri karena langsung dinikahin.”
“Dasar stres!”
Amira tak habis pikir dengan teman adiknya itu. Hampir lima tahun tak pernah terlihat, sebab Amira berada di kota. Tiba-tiba remaja yang dulu terlihat kalem dan sopan itu sudah pintar mengerjainya. Apa lantaran dia seorang Youtuber dan terlatih membuat konten-konten yang laris dipasaran? Auk, ah.
“Lu pulang aja. Adek gue belum balik kerja.”
“Aku nunggu di sini aja, deh, Mbak.”
“Pulang!” bentak Amira masih dengan posisi membelakangi lelaki itu.
“Enggak mau ....” Arsyil menjawab dengan nada dibuat-buat.
“Pulang!”
“Enggak!”
“Pulang!”
“Enggak!”
“Pulang, nggak?”
“Ya enggaklah,” ujar Arsyil santai sembari berjalan dan duduk di kursi teras rumah Amira.
Mendengar suara kursi yang diseret, mau tak mau Amira pun menoleh dan mendapati Arsyil duduk dengan mengangkat satu kakinya sambil bersiul. Amira mendengus kesal saat tahu Arsyil mengerjainya.
“Ehhem!” Arsyil berdehem dengan suara dibuat serak-serak becek. “Ehhem, ehhem!”
Amira hanya melirik sinis.
“Haus banget, sumpah. Ada yang jual es boba keliling enggak, ya? Tungguin, ah ....”
Amira memutar bola mata malas saat sadar bahwa Arsyil tengah memberi kode. Ia ingin disuguhi minum sebagai tamu yang datang tak diundang dan pulang minta ditendang.
Dengan hati yang masih dongkol, Amira pun masuk hendak membuatkan minum untuk si tengil Arsyil. Sepanjang jalan dari teras hingga ke dapur, kedua kakinya terus mengentak-entak. Sudah seperti anak kecil yang kehabisan tahu bulat.
“Sssttt!”
Langkah Amira terhenti di depan pintu kamar ibunya yang belum tertutup sempurna. Kepalanya melongok demi melihat ibunya yang setengah berbaring.
“Ibu ngapain?”
“Ngeloni anakmu ini, lho,” jawab Bu Tami–ibunya Amira. “Kakimu itu kenapa malah grudak-gruduk?”
Amira hanya nyengir. “Mau nginjek kecoa, Buk. Tapi, kecoanya tengil. Malah ngajakin Mira main engklek.”
“Ada siapa di depan, Mir?”
“Arsyil, Buk.”
“Mau ngapain?”
“Nungguin Abib katanya.”
“Oh, ya sudah. Kamu temenin dulu aja. Tumben-tumbenan juga adikmu belum pulang jam segini?”
“Kafe lagi rame mungkin, Buk.”
Bu Tami tak lagi menanggapi ocehan anak sulungnya. Dia terus mengelus-elus rambut sang cucu yang masih merem melek. Amira pun kembali beranjak dan menutup pintu kamar ibunya pelan.
Saat di dapur, dia bingung mau menyuguhkan minuman apa untuk Arsyil. Gula kopi, ada. Teh dan sirup Marjani juga ada. Akhirnya, Mira pun hanya menuangkan air putih di gelas besar.
“Kembung, kembung, lu, Syil!” Amira terkekeh.
Sementara di teras, Arsyil sibuk dengan benda pipihnya. Seperti biasa, puluhan chat dari kaum Hawa selalu menghiasi aplikasi hijaunya. Selain tampan dan banyak uang, anak bungsu dari dua bersaudara itu memang sudah mulai terkenal setahun belakangan.
Jujur saja, Arsyil sangat risi dengan wanita-wanita yang hanya mengejar popularitas semata. Sangat mudah baginya jika hanya memiliki pacar yang cantik, seksi, gemoy, apalagi bahenol. Namun, Arsyil lebih tertantang dengan yang matang.
Apalagi saat dia membaca salah satu postingan Amira di akun sosial medianya sekitar seminggu yang lalu. Amira sedang foto berdua dengan sepupunya yang sedang melangsungkan acara lamaran. Di foto itu tertulis caption,
“Pilih mana, yang masih awam apa yang sudah berpengalaman?”
Gejolak kawula muda dalam diri Arsyil pun terasa tertantang. Adrenalinnya on fire.
“Minum dulu!” Amira meletakkan air putih di meja.
Arsyil mendongak dan menyimpan ponselnya. “Makasih, Mbak Mira.”
“Hm!”
Tanpa banyak kata, Arsyil segera menenggak minuman yang disuguhkan Amira untuknya. Padahal hanya air putih, tetapi Arsyil terlihat sangat menikmati minuman itu.
Amira sempat melirik saat bibir gelas menyentuh bibir seksi Arsyil yang berwarna merah muda nan menggoda. Belum lagi jakun remaja itu yang terlihat turun naik seperti baju yang sempat viral. Amira pun menelan saliva dengan berat. Bisa-bisanya hatinya berbisik iri ingin menjadi bibir gelas. Eh!
“Alhamdulillah ... seger banget, Mbak,” ucap Arsyil yang sudah menghabiskan separuh isi gelas. “Ngerebus sendiri, Mbak?” lanjutnya.
“Enggak, nyuling sendiri dari pegunungan,” jawab Amira asal.
Arsyil terkekeh. “Pantesan ....”
Kedua alis Amira bertaut. “Pantesan apa?”
“Airnya tuh, bening, fresh, lebih plong, rasanya enak banget. Badan terasa jauh lebih enteng, makin keterusan, deh, suka sama kamu,” ujar Arsyil dengan mengedipkan sebelah mata.
“Iyuuuh ... gelaaay ....” Amira bergidik hingga membuat tubuh bagian atasnya bergetar.
Arsyil kian tergelak dan merasa gemas dengan kakak temannya itu.
"Jangan kayak jijik gitu, Mbak, sama brondong. Entar malah tergila-gila, lho.”“Tergila-gila?”Arsyil mengangguk.“Siapa?”Pria dengan bibir tipis itu menunjuk Amira dengan dagunya.“Aku? Tergila-gila sama kamu?”Dua jempol tangan Arsyil mengacung.“Strawberry, mangga, donat. Sorry, enggak minat!”Arsyil terkekeh. “Ah, masa?”Amira kembali menunjukkan ekspresi bergidik. Sementara teman adiknya itu malah mengeluarkan sedikit ujung lidahnya untuk membasahi bibir dan mengacak-acak rambut berponinya. Tak berlebihan jika banyak subscriber-nya bilang kalau Arsyil Miftah sebagai Sehun KW dengan kearifan lokal.“Muter-muter cari cincin, nemunya di Raja Ampat. Mbak Mira udah aku tandain, pokoknya harus dapat.”“Beli buku gratis kotak pensil. Sorry, seleraku bukan bocil,” balas Amira tak mau kalah.Arsyil menggeleng dengan menyunggingkan senyum misterius. Percik semangat dalam hatinya kian berkobar, seiring ucapan Amira yang menyebut dirinya ‘bocil’.Entah apa yang tengah menyerang hati dan pik
"Semalam kafe rame banget, ya, Bib?”“Alhamdulillah, Mbak. Habis si Arsyil bikin konten di kafe dan pesen semua menu masakan di sana, hampir tiap hari menu kita ludes. Padahal porsi selalu ditambah.”“Syukurlah, berarti omset kita bulan ini bisa nutup yang kemarin-kemarin, ya?”“Alhamdulillah bisa banget, Mbak.”Amira tersenyum bahagia dengan terus mengunyah menu sarapan.“Aku boleh kasih bonus ke Arsyil enggak, Mbak?”Amira mengernyit. “Bonus apa?”“Ya semacam makan minum gratis buat dia kalau pas main ke kafe. Gimana pun dia punya andil cukup berpengaruh, Mbak, buat usaha kita.”“Hmm ... boleh-boleh aja, Bib. Kasih aja.”“Oke, Mbak. Siap!”Kafe yang dikelola oleh Abib adalah usaha miliknya dan Amira. Modal paling banyak dari kakaknya, sementara Abib yang cukup andal dalam manajemen menjadi wakil dari Amira. Selain sebagai penyumbang modal terbesar, Amira juga sebagai kepala koki di dapur kafenya sendiri.“Mama ....”Gala datang dengan seragam PAUD-nya yang cerah. Secerah senyum khas
“L-loh, kok bisa?” Amira tergagap.“Bisa apa, Mbak?”“Lu vcall gue duluan, ya?”“Dih, mana ada?” tampik Arsyil. “Mbak Mira yang vcall aku duluan.”Amira menggeleng. “Enggak mungkin!”“Apanya yang enggak mungkin, Mbak? Lihat aja entar di log panggilan. Yang manggil duluan aku apa Mbak Mira?”Amira menangkupkan kedua telapak tangannya untuk menutupi wajah, sementara ponselnya berdiri menyandar di depan vas bunga dekat laptop. Apa iya tadi jarinya sudah menyentuh gambar kamera hingga membuat panggilan video ke nomor Arsyil? Ah, ternyata selain kaki, jari pun bisa terpeleset. Apalagi hati, terpeleset brondong. Eh! “Enggak usah malu, Mbak. Aku udah denger, kok, semua yang Mbak Mira bilang.”“Hah?” Amira membuka telapak tangannya. “Emang gue bilang apaan?”“Mbak Mira bilang gini: Arsyil harus klarifikasi kenapa sampai bilang ke Gala bakal tinggal di rumah segala. Emang dia siapa? Suami aku? Nembak aja belum.”Mata Amira melebar.“Siapin mental, ya, Mbak. Aku bakal nembak Mbak Mira di depa
“M-Mas Dewo?”Amira terpaku saat pulang dari klinik bidan tempat biasa ia cek kandungan. Pulang-pulang disuguhi pemandangan di mana dua insan berlainan jenis tanpa sehelai benang sedang adu fisik penuh peluh dan nafsu setan.Air mata Amira luruh tanpa komando. Dewo benar-benar gila. Ia bermain kuda-kudaan dengan wanita lain di kamar pribadinya dengan sang istri. Cepat-cepat dua insan yang diliputi gairah itu menarik selimut.“A-Amira?” Dewo tampak gugup. Wajahnya pias dan pucat seperti mayat. “B-bukannya kamu mau menginap di rumah ibu setelah cek kandungan?”Amira tak bisa mengucapkan kata-kata. Hatinya benar-benar remuk dihajar realita di depan mata. Saat ia dan janinnya harus berjuang dengan kondisi kehamilan yang lemah, Dewo malah bermain gila di rumah kontrakan mereka.“Mas Dewo ... aku udah basah, Mas. Ayolah ...,” desah wanita di samping Dewo dengan tak tahu malu.Dapat Amira pastikan, bahwa keduanya belum sampai dipuncak yang ingin dituju. Terlihat dari wajah Dewo yang masih di
Tak mau ditipu anak kecil, Dewo segera merebut ponsel Amira untuk memastikan ucapan Arsyil. Seketika Dewo membeku, kakinya seperti mengakar di lantai, dan jari-jarinya kebas melihat nominal yang benar-benar masuk pada nomor rekening Amira.Sementara Amira tersenyum puas saat bisa membuat Dewo mati kutu dengan adegan bohongan ini. Masalah uang itu, nanti setelah episode ini selesai tayang, Amira akan mentransfer balik pada rekening Arsyil.“Sayang, aku lapar ...,” rengek Arsyil dengan mengembungkan kedua pipinya.Ya ampun, gemas banget. Amira mengerjap saat sadar telah mengagumi Arsyil secara tidak sengaja.“Ya ampun, Sayang ... maaf, ya. Aku sampai lupa. Yuk, kita makan di ruangan aku aja. Takut ada yang ganggu,” bisik Amira yang masih dapat didengar jelas oleh Dewo.“Siap, Sayang.”Arsyil menggenggam tangan Amira dan menge
Abib lagi-lagi harus menerima telepon dari salah satu teman kampusnya yang mau reservasi kafe untuk acara ulang tahun. Tangan yang sudah menyentuh handle pintu ruangannya bersama Amira urung ia putar. Merasa haus, Abib pun bergegas ke dapur sembari menerima telepon.“Iya, Sya. Gimana?”“Bib, bulan depan pas malam minggu pertama, kafe lu gue boking, ya?”“Boleh, boleh. Untuk acara apa, Sya?”“Ultah gue, Bib.”“Wih, jatah umur lu semakin berkurang, dong, Sya?”“Sialan lu, Bib!”Abib tergelak dan meminta maaf karena hanya bercanda.“Untuk makan dan minum bisa request, kan?”“Bisa dong, Sya. Pelanggan adalah raja. Entar gue kasih diskon kalau tamunya banyak.”“Sip, sip. Entar gue
Bu Zahroh mengernyit menatap lelaki dengan kemeja lengan pendek dan celana bahan itu. Wajahnya seperti tak asing, pikirnya.“Bu ....”Dewo maju dan hendak meraih tangan mantan sang mertua untuk diciumnya. Namun, dengan cepat Bu Tami menyembunyikan tangan kiri di punggung dengan tangan kanan masih menggandeng tangan Gala. Dewo tercekat mendapati reaksi mantan mertuanya.“Ibu mau ke mana? Biar Dewo antar.”Bu Zahro langsung membulatkan mulut saat sadar, bahwa lelaki di hadapannya saat ini adalah mantan suami Amira.“Nggak perlu! Kakiku masih sehat buat jalan!” jawab Bu Tami, ketus. “Ayo, Bu!” lanjutnya mengajak Bu Zahro melanjutkan langkah sembari menarik pelan tangan Gala.“Ini Gala?”Bu Tami menyadari sesuatu dan langsung menggendong anak tampan berusia 5 tahun itu. “Bukan
“Apa?! Gala diculik?”Mendengar nama sang buah hati disebut, Amira langsung menoleh ke arah adiknya.“Gala diculik?” lirih Amira dengan mata membola dan langsung mendekati Abib.“Ibu sekarang di mana?”‘Ibu di rumah. Itu penculiknya gedor-gedor pintu terus. Cepetan pulang!’‘Nek ... Gala takut ....’ Terdengar rengekan Gala setelah kalimat Bu Tami yang terdengar panik.“Ibu, Ibu tenang, ya. Kunci semua pintu, Ibu sama Gala masuk kamar dan kunci juga pintunya. Abib sama Mbak Mira pulang sekarang juga.”Klik. Bu Tami langsung memutus panggilan.Dewo terus mengetuk pintu rumah mantan mertuanya dengan tak sabar. Niatnya hanya ingin bertemu Gala, tetapi Bu Tami malah menyebutnya sebagai penculik. Jika saja Dewo datang saat Amira dan Abib sudah di rumah,
Bu Tami hanya tersenyum dan segera berdiri dari duduknya. Mencuci sayuran dengan air yang mengalir dari wastafel. Dari kursi meja dapur, Amira mengembuskan napas lemah. Apa ucapan dan pertanyaannya menyinggung perasaan sang muara kasih? Amira pun berdiri dan menghampiri ibunya. “Bu ....”“Mir, nanti sore ke makam bapak, yuk! Ibu kangen,” ucap Bu Tami tanpa menoleh ke arah putrinya. Ia masih menghadap wastafel.Amira melipat bibirnya. Mungkin ini salah satu tanggapan ibunya yang tak ingin membahas Pak haji Mukhlas. “Iya, Bu. Nanti kita ke makam bapak, ya,” jawab Amira akhirnya. Udara sore ini cukup bersahabat. Jika biasanya langit mulai berselimut mendung, tetapi berbeda dengan hari ini. Awan putih berarak seolah-olah tak memberi izin pada air dari atap bumantara untuk turun mencumbu perut bumi.Para peziarah sedang mengunjungi rumah masa depan para keluarga yang sudah mendahului. Termasuk Bu Tami yang datang ke makam sang suami untuk menghadiahi doa dan tahlil. Amira dan Arsyil pun
Usaha Manggala Cafe tetap berjalan dan dipercayakan pada seseorang. Namun, tetap setiap bulan Amira merekap semuanya. Jadi, pundi-pundi rupiah terus mengalir dari usaha pertama Amira dan Abib pada zaman perjuangan itu. Ceile. Beruntung sekali Bu Tami memiliki anak-anak yang tetap memerhatikan dirinya. Karena kasus anak yang melupakan sang muara kasih ketika sudah mapan dan banyak uang bukan hanya isapan jempol belaka. Namun, hal itu tak terjadi pada Bu Tami.Bahkan ia mendapat jatah bulanan dari kedua menantunya. Nasya dan Arsyil selalu memberi uang bulanan untuk Bu Tami. Jika Nasya diminta tolong oleh Abib agar menyampaikannya, begitu pula dengan Amira yang meminta kepada sang suami untuk melakukannya. Katanya, agar mertua dan menantu bisa semakin akrab. Walau awalnya menolak, tetapi mereka tetap ingin Bu Tami mau menerimanya. Bagaimanapun, Arsyil bisa sukses karena peran dan dukungan seorang istri. Pun dengan Nasya yang dibantu oleh kepiawaian Abib dalam mengembangkan perusahaan
Seminggu berlalu setelah Riana resmi dijadikan tersangka atas tuduhan pembakaran rumah istri dari almarhum Wandi Pranoto. Di depan polisi dan juga keluarga Bu Tami, wanita itu hanya diam tak membantah. Seolah-olah diamnya memang sebuah jawaban atas apa yang sudah dia lakukan. Bu Tami menangis di hadapan Riana. Ibu dari Amira dan Abib itu meminta maaf jika keputusan Wandi membuat ibu dari Riana frustrasi sampai gila dan akhirnya meninggal tanpa mendapatkan keadilan. Bukankah seharusnya Riana yang meminta maaf? Ah, terkadang drama kehidupan memang selucu itu. Walau Bu Tami tak salah apa-apa, tetapi sebagai sesama wanita yang perasaannya halus dan mudah tersentuh, ia tetap meminta maaf atas nama almarhum bapak dari kedua anaknya. Di akhir jam besuk, wanita paruh baya itu bahkan tak segan memeluk Riana. “Maafkan kami, Nak.” Air mata tulus mengalir dari mata Bu Tami. “Tolong maafkan suami saya, biar dia bahagia di san
Ponsel Arsyil berdering tepat ketika ia baru saja pulang kerja. Sebuah panggilan masuk dari kantor polisi. Kening suami Amira berkerut.“Halo. Selamat sore, Pak!”‘Selamat sore, Pak Arsyil. Kami mau mengabarkan hasil dari perkembangan kasus yang sudah tim kami selidiki.’“Baik, Pak. Silakan!”Arsyil duduk di sofa ruang tamu dengan tatapan penasaran dari sang istri. Melihat gelagat istrinya yang tentu sangat penasaran, Arsyil langsung me-loud speaker suara di seberang sana. “Dari kepolisian,” ucap Arsyil lirih. Amira pun mengangguk paham.‘Tim kami berhasil menemukan barang bukti yang tertinggal di TKP kebakaran rumah mertua Anda.’Arsyil dan Amira membenarkan duduknya dan lebih saksama dalam menajamkan pendengaran.‘Sebuah sarung tangan yang diduga dipakai oleh pelaku. Walau hanya sebelah, tim forensik berhasil mengidentifikasi sebuah sidik jari.’“Siapa pelakunya, Pak?” sela Amira tak sabar.‘Dari hasil fingerprint scanner, sidik jari tersebut milik seorang wanita bernama Riana Lar
Amira belum bisa memejamkan matanya walau ia sudah cukup lelah. Sebuah fakta yang baru ia ketahui tentang siapa Riana membuat istri Arsyil kian gelisah. Jika benar ia datang kembali untuk balas dendam, apakah mungkin jika dulu Dewo berselingkuh dengan Riana lantaran wanita itu yang sengaja menggoda suaminya lebih dulu? Alasannya tentu saja untuk menghancurkan rumah tangga Amira sebagai putri dari Wandi. Dan kini wanita itu ingin lanjut part dua, begitu? Benar-benar keterlaluan! Amira mengembuskan napas panjang dengan memunggungi Arsyil. Namun, dua detik kemudian helaan itu berubah menjadi sebuah desahan. Tentu saja karena aksi nakal dari sebuah tangan. Ya, itu adalah tangan Arsyil yang kembali menjelajah di depan tubuh sang istri. Dua sejoli itu memang masih polos tanpa sehelai benang dalam satu selimut. Mereka baru saja selesai melepas birahi di tempat yang semestinya. Halalan toyyiban. Tentu saja ak
Bukan rahasia umum lagi saat Wandi mendadak membatalkan pertunangannya dengan Rita. Desas-desus yang berembus pun sampai di telinga Tami. Gadis ayu berbalut hijab itu pun merasa kasihan pada pria tersebut. Sudah mencintai sepenuh hati, tapi malah dikhianati. Sungguh miris sekali. Namun, siapa sangka jika takdir malah mempersatukan mereka setelah setahun Wandi mengubur harapannya? Ya, Tami dan Wandi berjodoh dan menikah. Kabar soal Rita yang hamil dengan sang mantan sudah hilang terbawa angin. Dua sejoli yang tengah menikmati masa-masa indah pengantin baru itu pun mendengar kabar jika Rita telah melahirkan. Namun, siapa yang menyangka jika Rita depresi setelah melahirkan seorang bayi perempuan? Sungguh hebat pakar informasi di masa kini. Detail sekali. “Semua yang kamu tanyakan jawabannya benar, Nak Arsyil. Rita memang mantan tunangan bapaknya Amira dan Abib,” jawab Bu Tami. Arsyil, Amira, dan
“Nih, Lus, buat gantiin baju syar’i yang gue pinjem!” Riana meletakkan lima lembar pecahan uang seratus ribu di meja depan Lusi, wanita yang sudah membesarkan Gaby, putrinya bersama Dewo. “Kenapa diganti uang, Ri? Bajunya mana?” “Udah kotor. Dahlah, mending lu beli lagi aja. Kurang enggak segitu?” “Cukup, sih.” “Oke. Lu beli aja yang baru.” Riana menyandarkan tubuhnya di sofa, sementara Lusi menatapnya dengan cukup heran. “Kamu dari mana, sih, Ri? Tumben pinjam gamisku segala?” “Ada casting jadi ukhti-ukhti solehah. Tapi gue enggak lulus, gue lupa kalau diri gue dah bobrok.” Lusi terkekeh. Wanita berhijab lebar itu pun belum lama hijrah. Jadi masih dalam tahap belajar juga. “Dewo udah jadi nengokin Gaby, Lus?” Lusy mengangguk. “Udah. Bahkan dia ngobrol banyak sama Ma
Di TKP, para warga sudah berbondong-bondong mengalirkan air dari selang dan juga menggunakan ember. Tak berapa lama setelahnya, sirene mobil pemadam kebakaran pun berbunyi.Kobaran api cukup besar hingga membuat warga kewalahan jika hanya memadamkan kobaran api dengan cara manual. Bu Tami sudah menangis dalam pelukan Amira. Ia berusaha menenangkan sang muara kasih atas musibah kali ini.Adib dan Nasya datang setelah para petugas berseragam merah kombinasi kuning itu berhasil menjinakkan si jago merah. Bagian rumah yang terbakar cukup parah. Namun, Abib dan Amira berusaha meredam kekalutan sang ibu dengan membesarkan hatinya. Berjanji akan segera merenovasi rumah peninggalan almarhum bapak mereka agar kembali apik seperti semula. “Udah, ya, Bu. Apinya udah padam. Yang penting enggak ada korban. Masalah perabot dan apa pun itu bisa kita beli lagi, bisa diperbaiki ulang,” hibur Amira dengan mengusap-usap punggung ibunya.Nasya pun berada di sebelah sisi sang mertua. Saat baru datang, i
Pak haji langsung menurunkan kaca mobilnya ketika melihat warga lain yang tengah berjalan. Mereka dua orang. Hanya dengan lambaian tangan, dua pemuda itu pun mendekat.“Eh, Pak Haji Mukhlas, mau ke mana, Pak?”“Saya ada urusan di kompleks sebelah. Tapi, kebetulan ada yang mencurigakan, makanya saya berhenti dulu."“Mencurigakan gimana, Pak?”“Tuh, lihat!” Telunjuk pak haji mengarah pada seseorang yang terlihat aneh.“Itu siapa, Pak?”“Yo ndak tahu, kok tanya saya.”Pemuda satunya terkekeh mendengar jawaban pak haji yang sempat legendaris dengan sebutan YNTKTS.“Gerak-geriknya mencurigakan. Bukan Mbak Mira, deh, kayaknya. Bu Tami apalagi.”Pak haji dan seorang lagi mengangguk.“Samperin, yok! Takutnya pelaku pelemparan kaca rumah Bu Tami beberapa hari yang lalu. Atau jangan-jangan ... dia mau lanjut prat dua?”“Part, Beg*k! Bukan prat."“Iya, itu maksudnya.”Pak haji pun turun mengikuti dua pemuda tersebut. Wanita itu tampak tak sadar jika gerak-geriknya sudah diikuti oleh tiga orang d