"Jangan kayak jijik gitu, Mbak, sama brondong. Entar malah tergila-gila, lho.”
“Tergila-gila?”
Arsyil mengangguk.
“Siapa?”
Pria dengan bibir tipis itu menunjuk Amira dengan dagunya.
“Aku? Tergila-gila sama kamu?”
Dua jempol tangan Arsyil mengacung.
“Strawberry, mangga, donat. Sorry, enggak minat!”
Arsyil terkekeh. “Ah, masa?”
Amira kembali menunjukkan ekspresi bergidik. Sementara teman adiknya itu malah mengeluarkan sedikit ujung lidahnya untuk membasahi bibir dan mengacak-acak rambut berponinya. Tak berlebihan jika banyak subscriber-nya bilang kalau Arsyil Miftah sebagai Sehun KW dengan kearifan lokal.
“Muter-muter cari cincin, nemunya di Raja Ampat. Mbak Mira udah aku tandain, pokoknya harus dapat.”
“Beli buku gratis kotak pensil. Sorry, seleraku bukan bocil,” balas Amira tak mau kalah.
Arsyil menggeleng dengan menyunggingkan senyum misterius. Percik semangat dalam hatinya kian berkobar, seiring ucapan Amira yang menyebut dirinya ‘bocil’.
Entah apa yang tengah menyerang hati dan pikiran seorang Arsyil Miftahur Ridho. Seorang Youtuber muda tampan dan banyak uang, serta memiliki jutaan penggemar. Namun, sedikit pun ia tak tertarik dengan gadis-gadis muda kekinian.
Walaupun dia termasuk anak di era milinial, tetapi seleranya bisa dibilang jauh ke belakang. Sejak SMP, Arsyil memang lebih tertarik dengan lawan jenis yang lebih dewasa satu atau dua tahun di atasnya. Saat SMA pun dia pernah berpacaran dengan kakak kelas paling kece di sekolah.
“Yang matang, lebih menantang,” ucapnya kala itu.
“Menantang gimana, Syil?” tanya Abib.
“Enggak ményé-ményé, lebih dewasa, dan matang dalam berpikir. Sat-set, gitu, Bib.”
Abib hanya manggut-manggut.
“Enggak perlu diajarin, malah gue yang diajarin.”
“Hah? Diajarin apaan lu?”
Arsyil membisikkan sesuatu di telinga sahabat kentalnya itu. Seketika mata Abib membola. “Serius lu?”
Arsyil tersenyum miring dengan mengedikkan alisnya ke atas.
“Gila lu, Syil!”
“Mereka yang tergila-gila sama gue, Bib.”
Entahlah apa yang mereka bicarakan, hanya penulisnya yang tahu.
Beberapa saat rasa canggung mengepung. Amira dan Arsyil larut dalam kegiatan masing-masing. Amira sibuk dengan ponselnya, memasukkan barang-barang murah dan menarik ke dalam keranjang aplikasi belanja. Sementara Arsyil juga terlihat sibuk dengan ponselnya, tetapi matanya awas sesekali menatap wanita incarannya.
“Abib lembur kayaknya, Syil. Lu ada urusan apa ke mari?” Amira coba mengusir kecanggungan dengan mulai melupakan ketengilan Arsyil yang sempat membuatnya risi.
“Sebenarnya, aku ke sini bukan mau ke Abib, sih, Mbak.”
“Lah?” Kening Amira mulai berkerut lagi. “Terus?”
“Aku mau main sama Gala.”
“Hah?”
“Aku mau main sama Gala, Mbak,” ulang Arsyil.
“Iya, Mbak denger.”
“Terus?”
“Apanya yang terus?”
“Gala-nya ada, kan?”
“Enggak ada. Udah tidur dia.”
“Uhmm, udah tidur. Kalau gitu, boleh enggak kalau aku main sama mamanya Gala?”
Tatapan laser Amira terasa menembus jantung Arsyil. Pria dewasa menuju matang itu sedikit kikuk, tetapi hatinya bersumpah akan membuat Amira bertekuk lutut.
“Main apa?” tanya Amira.
“Main hati, Mbak,” jawab Arsyil.
Uhuk!
***
Semakin hari, kelakuan Arsyil semakin menjadi-jadi. Tentu saja itu tak baik untuk kesehatan jantung Amira. Tak bisa dipungkiri bahwa Arsyil memang memiliki pesona yang kian paripurna saat menginjak usia dewasa.
Awalnya, Amira hanya mengira bahwa kalimat-kalimat tengil yang dilontarkan Arsyil kepadanya hanyalah sebuah bualan semata. Hanya bentuk latihan atau pemanasan sebelum melakukan syuting pembuatan konten. Ya, itu yang Amira pikirkan.
Berbeda halnya dengan Arsyil yang selalu mencari celah untuk bisa meluluhkan single mom satu anak itu. Apalagi, dia masih ingat betul dengan candaan yang pernah dilontarkan Amira saat dirinya kecil dulu.
“Sore, Tante. Lagi nyuapin Arsyil, ya?”
“Eh, Mira. Iya, nih,” jawab Bu Zahro–ibunda Arsyil. “Mau ke mana siang-siang panas begini, Mir?”
“Mau les masak, Tante. Biar besok enggak dijulitin ipar dan mertua karena enggak bisa masak.” Amira terkikik.
“Wah, wah, wah. Udah cantik, pinter masak pula anak perawan Bu Tami ini.”
Amira tersenyum mendengar pujian dari Bu Zahro. Dia pun mendekat dan menghampiri Arsyil yang asyik bermain robot-robotan sambil menerima suapan dari bundanya itu.
“Tante, makannya Arsyil apaan, sih?” Mira melongok pada piring yang dibawa Bu Zahro.
“Ya sama kayak kamu, Mir. Nasi, lauk, sayur, buah, ditambah minum susu.”
“Masa, sih?”
Kening Bu Zahro berkerut. “Kenapa emang?”
“Anak Tante ganteng banget. Masih kecil aja seganteng ini. Gimana kalau udah gede, pasti meresahkan gadis-gadis desa.”
Bu Zahro terkekeh dengan mengibaskan tangan ke udara. “Kamu ini ada-ada saja.”
Sementara Arsyil terlihat acuh walau merekam dengan baik obrolan bunda dan kakak temannya itu.
“Syil!” panggil Amira.
Arsyil masih terus bergumam dengan menirukan suara mobil.
“Hei, Arsyil!”
Bocah tampan bak titisan dewa Yunani itu menoleh. “Apa, Mbak? Abib mana?”
“Ada di rumah.”
“Oh ....”
“Eh, Arsyil. Besok kalau udah gede, nikah sama Mbak Mira, yuk?”
Bu Zahro hanya menggeleng-geleng sambil terkekeh.
“Enggak mau!”
“Dih, kenapa?”
“Mbak Mira jelek. Pas Acil gede, pasti Mbak Mira udah tua.”
Amira tergelak mendapat jawaban menohok dari teman adiknya itu. Saat itu Amira masih 15 tahun dan Arsyil baru masuk usia anak SD, 7 tahun.
“Awas, ya, kamu. Entar beneran Mbak nikahin!”
Arsyil tersenyum mengingat momen itu. Rasa-rasanya, dia harus mengingatkan Amira soal ucapannya 12 tahun yang lalu itu. Apalagi, Pak Ustaz bilang, besar pahalanya menikahi janda. Arsyil pun semakin penasaran.
“Serius, Pak Ustaz?”
“Seriuslah, Syil. Masa uztaz ngibul?”
Arsyil menggaruk rambutnya yang tidak gatal. “Sebesar apa pahalanya, Ustaz?”
“Orang yang berusaha menghidupi para janda dan orang-orang miskin, laksana orang yang berjuang di jalan Allah. Dia juga laksana orang yang berpuasa di siang hari dan menegakkan salat di malam hari. Hadist riwayat Bukhari dan Muslim.”
“Selain meneladani Nabi kita, menikahi seorang janda bisa dikategorikan sebagai berkah dan membawa anugerah dalam hidup. Apalagi jika niat menikahinya adalah untuk melindungi si janda dari fitnah ataupun hal-hal buruk yang mungkin saja terjadi.”
Arsyil manggut-manggut mendengar penuturan ustaz di masjid dekat rumahnya.
“Kamu suka sama janda, Syil?” Pertanyaan Pak Ustaz membuat Arsyil tersentak.
“E-eh, kenapa, Pak Ustaz?”
Ustaz muda yang katanya juga masih jomlo ting-ting itu tersenyum samar.
“Kamu naksir seseorang?”
Arsyil tersenyum canggung.
“Menikahi wanita yang lebih matang itu memang menantang, Syil. Apalagi jika wanita itu diliputi rasa trauma di hatinya.”
“Maksudnya, Taz?”
“Janda yang cerai mati ataupun cerai hidup, sedikit banyak keduanya memiliki trauma dalam kisah percintaannya. Yang ditinggal mati, akan ada ketakutan dalam dirinya, sebab perpisahan karena maut itu pasti akan selalu terjadi. Yang ditinggal saat masih hidup pun sama, ketakutan untuk berumah tangga lagi akan selalu hinggap dalam hatinya. Terlebih perpisahan mereka pastilah terdapat musabab yang mendasari hingga kata cerai dipilih sebagai jalan akhir.”
“Kalau kamu memang menginginkan seseorang yang pernah punya masa lalu kelam, perjuangan kamu akan sangat berat, Syil. Tapi ... semakin berat tantanganmu, semakin manis pula buah yang akan kamu petik dari tiap kesabaran untuk mendapatkannya itu.”
Arsyil mengangguk dan tersenyum penuh arti.
“Temukan wanita yang hidupnya dipenuhi luka dan rasa trauma. Wanita yang tidak lagi mempercayai cinta, bahkan siapa pun yang mencoba menawarkan cinta. Setelah kamu menemukannya, coba jaga dia, rebut hatinya. Tancapkan rasa percaya, bahwa saat Tuhan mengambil yang baik, maka dia akan mendapatkan yang lebih baik. Nanti, kamu akan paham dan mengerti betapa hebatnya dicintai oleh wanita hebat seperti dia.”
"Semalam kafe rame banget, ya, Bib?”“Alhamdulillah, Mbak. Habis si Arsyil bikin konten di kafe dan pesen semua menu masakan di sana, hampir tiap hari menu kita ludes. Padahal porsi selalu ditambah.”“Syukurlah, berarti omset kita bulan ini bisa nutup yang kemarin-kemarin, ya?”“Alhamdulillah bisa banget, Mbak.”Amira tersenyum bahagia dengan terus mengunyah menu sarapan.“Aku boleh kasih bonus ke Arsyil enggak, Mbak?”Amira mengernyit. “Bonus apa?”“Ya semacam makan minum gratis buat dia kalau pas main ke kafe. Gimana pun dia punya andil cukup berpengaruh, Mbak, buat usaha kita.”“Hmm ... boleh-boleh aja, Bib. Kasih aja.”“Oke, Mbak. Siap!”Kafe yang dikelola oleh Abib adalah usaha miliknya dan Amira. Modal paling banyak dari kakaknya, sementara Abib yang cukup andal dalam manajemen menjadi wakil dari Amira. Selain sebagai penyumbang modal terbesar, Amira juga sebagai kepala koki di dapur kafenya sendiri.“Mama ....”Gala datang dengan seragam PAUD-nya yang cerah. Secerah senyum khas
“L-loh, kok bisa?” Amira tergagap.“Bisa apa, Mbak?”“Lu vcall gue duluan, ya?”“Dih, mana ada?” tampik Arsyil. “Mbak Mira yang vcall aku duluan.”Amira menggeleng. “Enggak mungkin!”“Apanya yang enggak mungkin, Mbak? Lihat aja entar di log panggilan. Yang manggil duluan aku apa Mbak Mira?”Amira menangkupkan kedua telapak tangannya untuk menutupi wajah, sementara ponselnya berdiri menyandar di depan vas bunga dekat laptop. Apa iya tadi jarinya sudah menyentuh gambar kamera hingga membuat panggilan video ke nomor Arsyil? Ah, ternyata selain kaki, jari pun bisa terpeleset. Apalagi hati, terpeleset brondong. Eh! “Enggak usah malu, Mbak. Aku udah denger, kok, semua yang Mbak Mira bilang.”“Hah?” Amira membuka telapak tangannya. “Emang gue bilang apaan?”“Mbak Mira bilang gini: Arsyil harus klarifikasi kenapa sampai bilang ke Gala bakal tinggal di rumah segala. Emang dia siapa? Suami aku? Nembak aja belum.”Mata Amira melebar.“Siapin mental, ya, Mbak. Aku bakal nembak Mbak Mira di depa
“M-Mas Dewo?”Amira terpaku saat pulang dari klinik bidan tempat biasa ia cek kandungan. Pulang-pulang disuguhi pemandangan di mana dua insan berlainan jenis tanpa sehelai benang sedang adu fisik penuh peluh dan nafsu setan.Air mata Amira luruh tanpa komando. Dewo benar-benar gila. Ia bermain kuda-kudaan dengan wanita lain di kamar pribadinya dengan sang istri. Cepat-cepat dua insan yang diliputi gairah itu menarik selimut.“A-Amira?” Dewo tampak gugup. Wajahnya pias dan pucat seperti mayat. “B-bukannya kamu mau menginap di rumah ibu setelah cek kandungan?”Amira tak bisa mengucapkan kata-kata. Hatinya benar-benar remuk dihajar realita di depan mata. Saat ia dan janinnya harus berjuang dengan kondisi kehamilan yang lemah, Dewo malah bermain gila di rumah kontrakan mereka.“Mas Dewo ... aku udah basah, Mas. Ayolah ...,” desah wanita di samping Dewo dengan tak tahu malu.Dapat Amira pastikan, bahwa keduanya belum sampai dipuncak yang ingin dituju. Terlihat dari wajah Dewo yang masih di
Tak mau ditipu anak kecil, Dewo segera merebut ponsel Amira untuk memastikan ucapan Arsyil. Seketika Dewo membeku, kakinya seperti mengakar di lantai, dan jari-jarinya kebas melihat nominal yang benar-benar masuk pada nomor rekening Amira.Sementara Amira tersenyum puas saat bisa membuat Dewo mati kutu dengan adegan bohongan ini. Masalah uang itu, nanti setelah episode ini selesai tayang, Amira akan mentransfer balik pada rekening Arsyil.“Sayang, aku lapar ...,” rengek Arsyil dengan mengembungkan kedua pipinya.Ya ampun, gemas banget. Amira mengerjap saat sadar telah mengagumi Arsyil secara tidak sengaja.“Ya ampun, Sayang ... maaf, ya. Aku sampai lupa. Yuk, kita makan di ruangan aku aja. Takut ada yang ganggu,” bisik Amira yang masih dapat didengar jelas oleh Dewo.“Siap, Sayang.”Arsyil menggenggam tangan Amira dan menge
Abib lagi-lagi harus menerima telepon dari salah satu teman kampusnya yang mau reservasi kafe untuk acara ulang tahun. Tangan yang sudah menyentuh handle pintu ruangannya bersama Amira urung ia putar. Merasa haus, Abib pun bergegas ke dapur sembari menerima telepon.“Iya, Sya. Gimana?”“Bib, bulan depan pas malam minggu pertama, kafe lu gue boking, ya?”“Boleh, boleh. Untuk acara apa, Sya?”“Ultah gue, Bib.”“Wih, jatah umur lu semakin berkurang, dong, Sya?”“Sialan lu, Bib!”Abib tergelak dan meminta maaf karena hanya bercanda.“Untuk makan dan minum bisa request, kan?”“Bisa dong, Sya. Pelanggan adalah raja. Entar gue kasih diskon kalau tamunya banyak.”“Sip, sip. Entar gue
Bu Zahroh mengernyit menatap lelaki dengan kemeja lengan pendek dan celana bahan itu. Wajahnya seperti tak asing, pikirnya.“Bu ....”Dewo maju dan hendak meraih tangan mantan sang mertua untuk diciumnya. Namun, dengan cepat Bu Tami menyembunyikan tangan kiri di punggung dengan tangan kanan masih menggandeng tangan Gala. Dewo tercekat mendapati reaksi mantan mertuanya.“Ibu mau ke mana? Biar Dewo antar.”Bu Zahro langsung membulatkan mulut saat sadar, bahwa lelaki di hadapannya saat ini adalah mantan suami Amira.“Nggak perlu! Kakiku masih sehat buat jalan!” jawab Bu Tami, ketus. “Ayo, Bu!” lanjutnya mengajak Bu Zahro melanjutkan langkah sembari menarik pelan tangan Gala.“Ini Gala?”Bu Tami menyadari sesuatu dan langsung menggendong anak tampan berusia 5 tahun itu. “Bukan
“Apa?! Gala diculik?”Mendengar nama sang buah hati disebut, Amira langsung menoleh ke arah adiknya.“Gala diculik?” lirih Amira dengan mata membola dan langsung mendekati Abib.“Ibu sekarang di mana?”‘Ibu di rumah. Itu penculiknya gedor-gedor pintu terus. Cepetan pulang!’‘Nek ... Gala takut ....’ Terdengar rengekan Gala setelah kalimat Bu Tami yang terdengar panik.“Ibu, Ibu tenang, ya. Kunci semua pintu, Ibu sama Gala masuk kamar dan kunci juga pintunya. Abib sama Mbak Mira pulang sekarang juga.”Klik. Bu Tami langsung memutus panggilan.Dewo terus mengetuk pintu rumah mantan mertuanya dengan tak sabar. Niatnya hanya ingin bertemu Gala, tetapi Bu Tami malah menyebutnya sebagai penculik. Jika saja Dewo datang saat Amira dan Abib sudah di rumah,
Bahu Dewo luruh saat mendengar panggilan sang putra untuk pria yang usianya jauh di bawahnya. Hatinya hancur mendapati kenyataan. Jangankan memanggilnya papa, mengenali Dewo saja tidak. Mungkin itu tak seberapa dibanding sakit yang Amira rasakan dulu. Namun, diperlakukan sebagai orang yang tak dikenali putra kandungnya saja rasanya begitu pilu.“Papa Cil,” panggil Gala.“Iya, Sayang?”“Gala pengen main ke timezone,” pintanya setengah merengek.“Timezone yang di Mall?”Jagoan tampan itu mengangguk.“Tanya dulu sama Mama. Boleh, enggak?”Gala menoleh pada muara kasihnya yang menatap sang buah hati dengan penuh cinta.“Boleh, Ma?”Melihat kejadian yang sempat membuat Gala ketakutan, Amira pun mengangguk demi melihat senyum mereka
Bu Tami hanya tersenyum dan segera berdiri dari duduknya. Mencuci sayuran dengan air yang mengalir dari wastafel. Dari kursi meja dapur, Amira mengembuskan napas lemah. Apa ucapan dan pertanyaannya menyinggung perasaan sang muara kasih? Amira pun berdiri dan menghampiri ibunya. “Bu ....”“Mir, nanti sore ke makam bapak, yuk! Ibu kangen,” ucap Bu Tami tanpa menoleh ke arah putrinya. Ia masih menghadap wastafel.Amira melipat bibirnya. Mungkin ini salah satu tanggapan ibunya yang tak ingin membahas Pak haji Mukhlas. “Iya, Bu. Nanti kita ke makam bapak, ya,” jawab Amira akhirnya. Udara sore ini cukup bersahabat. Jika biasanya langit mulai berselimut mendung, tetapi berbeda dengan hari ini. Awan putih berarak seolah-olah tak memberi izin pada air dari atap bumantara untuk turun mencumbu perut bumi.Para peziarah sedang mengunjungi rumah masa depan para keluarga yang sudah mendahului. Termasuk Bu Tami yang datang ke makam sang suami untuk menghadiahi doa dan tahlil. Amira dan Arsyil pun
Usaha Manggala Cafe tetap berjalan dan dipercayakan pada seseorang. Namun, tetap setiap bulan Amira merekap semuanya. Jadi, pundi-pundi rupiah terus mengalir dari usaha pertama Amira dan Abib pada zaman perjuangan itu. Ceile. Beruntung sekali Bu Tami memiliki anak-anak yang tetap memerhatikan dirinya. Karena kasus anak yang melupakan sang muara kasih ketika sudah mapan dan banyak uang bukan hanya isapan jempol belaka. Namun, hal itu tak terjadi pada Bu Tami.Bahkan ia mendapat jatah bulanan dari kedua menantunya. Nasya dan Arsyil selalu memberi uang bulanan untuk Bu Tami. Jika Nasya diminta tolong oleh Abib agar menyampaikannya, begitu pula dengan Amira yang meminta kepada sang suami untuk melakukannya. Katanya, agar mertua dan menantu bisa semakin akrab. Walau awalnya menolak, tetapi mereka tetap ingin Bu Tami mau menerimanya. Bagaimanapun, Arsyil bisa sukses karena peran dan dukungan seorang istri. Pun dengan Nasya yang dibantu oleh kepiawaian Abib dalam mengembangkan perusahaan
Seminggu berlalu setelah Riana resmi dijadikan tersangka atas tuduhan pembakaran rumah istri dari almarhum Wandi Pranoto. Di depan polisi dan juga keluarga Bu Tami, wanita itu hanya diam tak membantah. Seolah-olah diamnya memang sebuah jawaban atas apa yang sudah dia lakukan. Bu Tami menangis di hadapan Riana. Ibu dari Amira dan Abib itu meminta maaf jika keputusan Wandi membuat ibu dari Riana frustrasi sampai gila dan akhirnya meninggal tanpa mendapatkan keadilan. Bukankah seharusnya Riana yang meminta maaf? Ah, terkadang drama kehidupan memang selucu itu. Walau Bu Tami tak salah apa-apa, tetapi sebagai sesama wanita yang perasaannya halus dan mudah tersentuh, ia tetap meminta maaf atas nama almarhum bapak dari kedua anaknya. Di akhir jam besuk, wanita paruh baya itu bahkan tak segan memeluk Riana. “Maafkan kami, Nak.” Air mata tulus mengalir dari mata Bu Tami. “Tolong maafkan suami saya, biar dia bahagia di san
Ponsel Arsyil berdering tepat ketika ia baru saja pulang kerja. Sebuah panggilan masuk dari kantor polisi. Kening suami Amira berkerut.“Halo. Selamat sore, Pak!”‘Selamat sore, Pak Arsyil. Kami mau mengabarkan hasil dari perkembangan kasus yang sudah tim kami selidiki.’“Baik, Pak. Silakan!”Arsyil duduk di sofa ruang tamu dengan tatapan penasaran dari sang istri. Melihat gelagat istrinya yang tentu sangat penasaran, Arsyil langsung me-loud speaker suara di seberang sana. “Dari kepolisian,” ucap Arsyil lirih. Amira pun mengangguk paham.‘Tim kami berhasil menemukan barang bukti yang tertinggal di TKP kebakaran rumah mertua Anda.’Arsyil dan Amira membenarkan duduknya dan lebih saksama dalam menajamkan pendengaran.‘Sebuah sarung tangan yang diduga dipakai oleh pelaku. Walau hanya sebelah, tim forensik berhasil mengidentifikasi sebuah sidik jari.’“Siapa pelakunya, Pak?” sela Amira tak sabar.‘Dari hasil fingerprint scanner, sidik jari tersebut milik seorang wanita bernama Riana Lar
Amira belum bisa memejamkan matanya walau ia sudah cukup lelah. Sebuah fakta yang baru ia ketahui tentang siapa Riana membuat istri Arsyil kian gelisah. Jika benar ia datang kembali untuk balas dendam, apakah mungkin jika dulu Dewo berselingkuh dengan Riana lantaran wanita itu yang sengaja menggoda suaminya lebih dulu? Alasannya tentu saja untuk menghancurkan rumah tangga Amira sebagai putri dari Wandi. Dan kini wanita itu ingin lanjut part dua, begitu? Benar-benar keterlaluan! Amira mengembuskan napas panjang dengan memunggungi Arsyil. Namun, dua detik kemudian helaan itu berubah menjadi sebuah desahan. Tentu saja karena aksi nakal dari sebuah tangan. Ya, itu adalah tangan Arsyil yang kembali menjelajah di depan tubuh sang istri. Dua sejoli itu memang masih polos tanpa sehelai benang dalam satu selimut. Mereka baru saja selesai melepas birahi di tempat yang semestinya. Halalan toyyiban. Tentu saja ak
Bukan rahasia umum lagi saat Wandi mendadak membatalkan pertunangannya dengan Rita. Desas-desus yang berembus pun sampai di telinga Tami. Gadis ayu berbalut hijab itu pun merasa kasihan pada pria tersebut. Sudah mencintai sepenuh hati, tapi malah dikhianati. Sungguh miris sekali. Namun, siapa sangka jika takdir malah mempersatukan mereka setelah setahun Wandi mengubur harapannya? Ya, Tami dan Wandi berjodoh dan menikah. Kabar soal Rita yang hamil dengan sang mantan sudah hilang terbawa angin. Dua sejoli yang tengah menikmati masa-masa indah pengantin baru itu pun mendengar kabar jika Rita telah melahirkan. Namun, siapa yang menyangka jika Rita depresi setelah melahirkan seorang bayi perempuan? Sungguh hebat pakar informasi di masa kini. Detail sekali. “Semua yang kamu tanyakan jawabannya benar, Nak Arsyil. Rita memang mantan tunangan bapaknya Amira dan Abib,” jawab Bu Tami. Arsyil, Amira, dan
“Nih, Lus, buat gantiin baju syar’i yang gue pinjem!” Riana meletakkan lima lembar pecahan uang seratus ribu di meja depan Lusi, wanita yang sudah membesarkan Gaby, putrinya bersama Dewo. “Kenapa diganti uang, Ri? Bajunya mana?” “Udah kotor. Dahlah, mending lu beli lagi aja. Kurang enggak segitu?” “Cukup, sih.” “Oke. Lu beli aja yang baru.” Riana menyandarkan tubuhnya di sofa, sementara Lusi menatapnya dengan cukup heran. “Kamu dari mana, sih, Ri? Tumben pinjam gamisku segala?” “Ada casting jadi ukhti-ukhti solehah. Tapi gue enggak lulus, gue lupa kalau diri gue dah bobrok.” Lusi terkekeh. Wanita berhijab lebar itu pun belum lama hijrah. Jadi masih dalam tahap belajar juga. “Dewo udah jadi nengokin Gaby, Lus?” Lusy mengangguk. “Udah. Bahkan dia ngobrol banyak sama Ma
Di TKP, para warga sudah berbondong-bondong mengalirkan air dari selang dan juga menggunakan ember. Tak berapa lama setelahnya, sirene mobil pemadam kebakaran pun berbunyi.Kobaran api cukup besar hingga membuat warga kewalahan jika hanya memadamkan kobaran api dengan cara manual. Bu Tami sudah menangis dalam pelukan Amira. Ia berusaha menenangkan sang muara kasih atas musibah kali ini.Adib dan Nasya datang setelah para petugas berseragam merah kombinasi kuning itu berhasil menjinakkan si jago merah. Bagian rumah yang terbakar cukup parah. Namun, Abib dan Amira berusaha meredam kekalutan sang ibu dengan membesarkan hatinya. Berjanji akan segera merenovasi rumah peninggalan almarhum bapak mereka agar kembali apik seperti semula. “Udah, ya, Bu. Apinya udah padam. Yang penting enggak ada korban. Masalah perabot dan apa pun itu bisa kita beli lagi, bisa diperbaiki ulang,” hibur Amira dengan mengusap-usap punggung ibunya.Nasya pun berada di sebelah sisi sang mertua. Saat baru datang, i
Pak haji langsung menurunkan kaca mobilnya ketika melihat warga lain yang tengah berjalan. Mereka dua orang. Hanya dengan lambaian tangan, dua pemuda itu pun mendekat.“Eh, Pak Haji Mukhlas, mau ke mana, Pak?”“Saya ada urusan di kompleks sebelah. Tapi, kebetulan ada yang mencurigakan, makanya saya berhenti dulu."“Mencurigakan gimana, Pak?”“Tuh, lihat!” Telunjuk pak haji mengarah pada seseorang yang terlihat aneh.“Itu siapa, Pak?”“Yo ndak tahu, kok tanya saya.”Pemuda satunya terkekeh mendengar jawaban pak haji yang sempat legendaris dengan sebutan YNTKTS.“Gerak-geriknya mencurigakan. Bukan Mbak Mira, deh, kayaknya. Bu Tami apalagi.”Pak haji dan seorang lagi mengangguk.“Samperin, yok! Takutnya pelaku pelemparan kaca rumah Bu Tami beberapa hari yang lalu. Atau jangan-jangan ... dia mau lanjut prat dua?”“Part, Beg*k! Bukan prat."“Iya, itu maksudnya.”Pak haji pun turun mengikuti dua pemuda tersebut. Wanita itu tampak tak sadar jika gerak-geriknya sudah diikuti oleh tiga orang d